“Aku tidak ingin bermain denganmu, kau akan membunuhku. Gara-gara kau, ayahku juga meninggal!” Anak lelaki itu mendorongnya dengan sangat kuat sampai membuat anak lelaki lain di hadapannya itu jatuh tersungkur di tanah. Dia lantas berbalik meninggalkannya seorang diri di sana.
Sepeninggalan mereka, anak itu terdiam dengan wajah murung. Bukan hanya tentang rasa sakit pada tubuhnya, melainkan juga karena perlakuan anak yang menjadi sepupunya itu begitu kasar padanya. Dengan wajah murung, dia meratapi anak-anak lain yang sekarang bergembira bermain bersama, sementara dirinya harus mengalami pengucilan dari teman-teman seusianya. Tanpa sadar kedua matanya berkaca-kaca dan dia mulai menangis. Anak itu beranjak dan lari dengan sekuat tenaganya menuju arah hutan. Dia berlari semakin dalam hingga akhirnya dia tiba di sebuah sungai yang terletak tepat di tengah hutan.
Anak laki-laki itu berjongkok di tepi sungai sambil terisak. Kedua tangannya terkepal sementara wajahnya tertunduk memandangi pantulan di air yang mengalir. Dia tampak begitu kecewa karena sama sekali tidak ada orang yang mau bermain dengannya. Saat kedua iris matanya memandangi pantulan di air, secara tiba-tiba cahaya terang muncul dari dalam sana. Sinarnya begitu terang dan menyilaukan hingga membuatnya tanpa sadar bergerak mundur dan duduk di tanah dengan tangan yang kini menutupi wajahnya guna mengurangi intensitas cahaya. Bersamaan dengan itu, cahaya tersebut semakin besar hingga sesuatu muncul di hadapannya.
Dia membuka matanya perlahan, dan cahaya itu sirna hingga dia bisa melihat sesuatu yang baru saja muncul dari balik cahaya. Anak itu terdiam dengan wajah terkejut. Tepat di hadapannya, dia melihat seekor kuda putih bersayap yang berdiri di tengah-tengah sungai. Untuk sesaat dia terpesona oleh kehadirannya yang tiba-tiba. Kuda itu melirik ke arahnya. Mereka seolah saling beradu pandang satu sama lain.
“SAMPAI KAPAN KAU TIDAK AKAN BANGUN? DASAR PEMALAS!” Anak itu mengerutkan keningnya saat dia mendengar kuda tersebut bicara, namun suara yang keluar justru adalah suara bibinya yang berteriak penuh kesal.
Brakk!
Sekali lagi pintu digedor dengan begitu kencangnya sampai membuat Ezra akhirnya terbangun dari tidurnya. Lelaki itu membuka mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamarnya yang hanya diterangi cahaya remang-remang. Ezra terdiam sesaat. Dia mendengar bibinya Marceline yang terus berteriak menyerukan namanya dengan penuh kesal sembari mengetuk-ngetuk pintunya dengan sangat kasar.
Dengan malas, Ezra bangkit dari ranjangnya dan duduk sambil berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya. “EZRA!”
“Aku sudah bangun.”
“Dasar pemalas! Kalau begitu cepat keluar!” Marceline beranjak dari sana dan meninggalkan Ezra yang masih berusaha mencerna setiap kejadian yang muncul di mimpinya.
...*...
Lagi-lagi aku bermimpi aneh. Entah kenapa, sejak aku pindah ke sini, aku jadi lebih sering mengalami mimpi seperti itu. Terlebih tentang mimpi kejadian itu. Tentang pertemuanku dengan kuda terbang itu. Sebenarnya kenapa aku bermimpi seperti itu? Rasanya lebih aneh lagi karena aku bermimpi kuda terbang itu memiliki suara yang sama dengan bibi Marceline. Kalau itu memang benar, pasti lebih menyeramkan. Ezra bergidik ngeri. Dia masih tidak bisa bayangkan kalau mimpinya benar-benar terjadi.
Ezra meraih cangkir berisi airnya lalu berkumur dan membuang busa pasta gigi di mulutnya. Begitu selesai, dia langsung bersiap untuk pergi ke sekolah.
Sudah hampir sebulan lebih Ezra dan keluarga bibinya pindah dari Ibukota ke kota kecil di dekat pedesaan. Semuanya mereka lakukan karena keluarga Marceline yang mengurusnya mengalami kebangkrutan setelah suaminya—Bruce meninggal dunia. Sepeninggalan mendiang suaminya, Marceline jadi harus mengurus keponakannya Ezra dan membesarkannya bersama dengan putranya Augustine.
Ezra beranjak keluar dari dalam kamarnya dengan mengenakan pakaian rapi. Dia siap untuk berangkat ke sekolah. Di ruang makan, dia melihat Marceline yang sudah duduk bersama dengan Augustine. Mereka berdua sudah siap untuk sarapan. Ezra menghampiri mereka lalu duduk di kursi yang ada. Ketiganya menikmati sarapan pagi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Suasananya sama seperti biasanya. Setiap pagi, mereka memang menghabiskan waktu sarapan bersama, namun tidak pernah saling bertegur sapa. Terlebih antara Ezra dan bibi serta sepupunya.
Perlakukan mereka padanya memang seperti itu. Mereka selalu bersikap dingin padanya karena mereka masih menganggap kematian Bruce adalah kesalahannya. Sama seperti dalam mimpinya, Augustine sejak dulu memang tidak menyukai Ezra. Itu semua beralasan karena sejak dulu, Bruce lebih memperhatikan Ezra dibandingkan dirinya sendiri. Sementara alasan mereka menganggap Ezra penyebab kematian Bruce adalah karena saat itu Bruce sedang dalam perjalanan bisnis keluar kota. Namun dia memutuskan untuk pulang secepatnya karena dia hendak memberikan hadiah pada Ezra di hari ulang tahunnya. Saat di perjalanan pulang, dia mengalami kecelakaan yang menyebabkannya tewas.
...***...
Ezra menghela napas panjang. Seharian ini dirinya mengalami banyak sekali kejadian buruk. Mulai dari berangkat terlambat akibat ulah Augustine yang mengerjainya, kesiangan sampai di kelas, dan terakhir ada ulangan mendadak. Semua kejadian itu sungguh tidak bisa dikendalikan sama sekali. “Kau baik-baik saja?”
Ezra tersadar dari lamunannya. Dia menoleh ke arah sosok lelaki berkacamata yang kini berdiri di belakangnya. Mereka sedang berada di kafetaria. Mengantri untuk mengambil makan siang. Dan lelaki yang berdiri di belakangnya adalah Jodie. Lelaki yang tak lain adalah temannya sejak dia pindah. Mereka berada di satu kelas yang sama, dan memiliki hubungan pertemanan yang cukup dekat.
“Aku tidak apa-apa. Hanya saja hari ini berjalan dengan kurang baik. Seharian ini aku terus ditimpa masalah.”
“Kau murung karena itu?”
“Iya.”
“Tenanglah. Aku yakin semua itu akan segera berakhir.” Ezra dan Jodie mengambil nampan mereka dan mengisinya dengan makanan yang ada di stan di sana. Begitu selesai, keduanya beranjak menuju meja kosong yang ada dan berniat untuk menikmati makan siang mereka. Belum sempat mereka mencapai meja yang mereka lihat, secara tiba-tiba Augustine dan teman-temannya datang. Mereka berjalan dengan begitu cepat dan mendorong tubuh Jodie hingga menyebabkan makanan lelaki itu tumpah bersamaan dengannya yang terjatuh.
Ezra yang melihat hal itu segera membantu Jodie. Sementara Ezra sibuk membantu Jodie, beda halnya dengan Augustine dan teman-temannya yang malah tertawa dengan sangat keras tanpa merasa bersalah sama sekali. Mereka bahkan kini mengolok-olok keduanya di depan semua orang dan meledek mereka karena berteman dengan alasan yang sama. Mereka sama-sama orang anak yang tidak memiliki orang tua dan menjadi beban bagi saudaranya yang lain. Mendengar mereka mengolok-oloknya seperti itu membuat Jodie kesal.
Anak itu tidak terima dia diolok-olok. Terlebih kalau hal itu menyangkut tentang kedua orang tuanya. Dengan kesal dia mengambil gelas minumannya lalu mengguyur salah satu dari mereka dengan air tersebut. Apa yang dilakukannya membuat mereka marah sampai akhirnya mereka mendorong Jodie hingga anak itu tersungkur. Mereka terlibat perkelahian. Jodie juga tak diam saja dan mengalah. Anak itu justru menyerang balik, dan membalas setiap serangan dari Augustine dan teman-temannya. Seketika mereka menjadi tontonan semua orang seisi kafetaria.
Di saat yang bersamaan, Ezra berusaha untuk melerai perkelahian yang terjadi. Namun Augustine mendorongnya dengan begitu kencang. Refleks, Ezra mendorong balik tubuh Augustine. Namun apa yang terjadi selanjutnya membuat semua orang melongo dengan wajah kaget. Augustine terpental dan berakhir membentur salah satu meja yang posisinya bahkan sangat jauh dari tempat mereka bertengkar.
“Sshhh…” Augustine meringis menahan sakit. Dia berusaha untuk bangkit namun kesulitan. Melihat lelaki itu terluka akibat ulahnya, kedua temannya yang semula bertengkar dengan Jodie kini beralih menghampiri Ezra.
“Ternyata kau cukup berani dari yang aku kira, ya!”
“Sepertinya kalian memang ingin mencari gara-gara dengan kami. Asal kalian tahu saja, kalian sudah salah mencari lawan!” Mereka berdua mempersiapkan diri untuk melawan Ezra. Keduanya menyerang Ezra dengan sekuat tenaga. Memukul lelaki itu dengan kemampuan beladiri yang mereka miliki. Namun entah bagaimana caranya Ezra bisa menghindari bahkan menangkis setiap serangan mereka. Lalu hanya dalam satu gerakan, mereka terpental hingga jatuh menimpa Augustine di buatnya. Semua orang semakin melongo dengan apa yang terjadi.
“A-apa itu? bagaimana dia bisa begitu kuat?” Salah satu teman Augustine berucap dengan terbata. Lelaki itu bangkit tertatih seraya meringis menahan sakit.
“Mo-monster… dia seperti monster!” ujar temannya yang lain.
“Kau berusaha untuk menunjukkan jati dirimu yang sesungguhnya, huh? Apakah kau mencoba untuk membunuh kami seperti bagaimana kau membunuh ayahku?!” Augustine bangun sambil menahan sakit. Dia menatap Ezra dengan wajah kesal. Tubuhnya terasa begitu sakit akibat benturan yang cukup kuat. Bukan hanya itu, bahkan tubuhnya di timpa oleh kedua temannya yang terpental ke arahnya.
Ezra mendadak diam tanpa kata. Dia memandang Augustine tanpa mengatakan apa-apa. Tatapan sepupunya itu sama persis seperti tatapan yang selama ini selalu dia lontarkan ke arahnya. Ezra termangu cukup lama. Ucapannya membuatnya teringat akan kejadian dulu. Kejadian yang sempat membuatnya terbawa mimpi buruk berulang kali. Di saat yang sama, dia merasakan seolah tatapan semua orang berubah terhadapnya. Seolah semua orang menatapnya dengan ketakutan, apalagi setelah mendengar ucapan Augustine yang membawa-bawa tentang kematian Bruce.
Tak lama setelah apa yang terjadi, salah seorang guru datang ke tengah kerumunan di kafetaria, dan yang terjadi setelahnya adalah situasi berubah menjadi sangat kacau sampai-sampai membuat Augustine dan teman-temannya terkena masalah. Begitu juga dengan Ezra dan Jodie. Mereka dibawa ke ruang guru untuk ditanyai apa yang sebenarnya terjadi.
...***...
“Ini semua adalah salahmu. Coba saja kalau kau tidak membuat masalah, maka aku tidak akan ikut terseret, kan!” Augustine menatap Ezra penuh kesal. Sejak kejadian tadi siang, dia jadi dihukum bersama dengan Ezra dan yang lainnya. Ezra hanya diam dan tak mendengarkan ucapannya sama sekali. Lelaki itu memilih untuk terus berjalan hingga akhirnya mereka tiba di depan pintu rumah. Dengan wajah gusar, Augustine mendahuluinya dan langsung membuka pintu. Saat mereka membuka pintu, Marceline sudah ada di sana. Wanita itu langsung menghampiri Augustine dengan wajah cemas.
“Kau tidak apa-apa, sayang? Mama tadi mendapatkan telepon dari pihak sekolah. Mereka bilang kau terlibat masalah dengan Ezra? Apa yang terjadi?”
“Dia mendorongku hingga punggungku menabrak meja. Rasanya sungguh sakit, ma…” adunya seperti seorang anak SD. Mendengar hal itu, Marceline marah besar. Dia langsung mendelik ke arah Ezra yang sejak tadi hanya diam tanpa berkomentar. Lelaki itu sama sekali tidak peduli dengan apa yang mereka ucapkan.
“EZRA! BERANINYA KAU MENYERANG SEPUPUMU SENDIRI. KAU INI SEMAKIN HARI MEMANG SEMAKIN BERANI, YA!” Marceline mengamuk padanya. Dengan malas, Ezra berjalan meninggalkan ruangan tersebut hingga mengundang amarah Marceline. Wanita itu bahkan sampai mengikutinya dan memarahinya habis-habisan. Tiba di depan basement yang menjadi kamarnya, Ezra hanya masuk dan langsung mengunci pintu. Dia sama sekali tidak memberikan kesempatan untuk Marceline bicara lebih banyak. “POKOKNYA TIDAK ADA MAKAN MALAM UNTUKMU!”
Wanita itu akhirnya pergi setelah jengkel karena ucapannya sama sekali tidak dihiraukannya. Sepeninggalan wanita itu, Ezra terduduk di lantai dengan lesu. Wajahnya tampak tak bersemangat, dan pikirannya tampak penuh dengan berbagai hal. Ezra bukan sedang memikirkan perkataan menyakitkan dari bibinya, bukan pula memikirkan tuduhan dari sepupunya, dan bukan pula sedang memikirkan hari yang berjalan dengan buruknya. Yang membuatnya sejak tadi diam dan tidak menghiraukan perkataan mereka adalah karena sejak dihukum, dia terus teringat akan kejadian di kafetaria.
Dia masih ingat betul dengan tatapan orang-orang di sana yang langsung berubah seratus delapan puluh derajat begitu mereka mendengar ucapan dari Augustine yang menuduhnya sebagai pembunuh ayahnya. Tatapan mereka masih terekam dengan jelas di benaknya. Bahkan perlakuan orang-orang disekitar berubah setelah mereka mendengar semua itu. Termasuk perlakuan Jodie. Lelaki itu bahkan hanya diam sepanjang pelajaran terakhir. Saat pulang pun, dia sama sekali tak menyapanya.
Ezra beranjak dari sana dan berjalan menghampiri ranjang tidurnya. Dia berbaring sembari menatap langit-langit kamarnya yang tampak begitu gelap dan lembab. Kenapa aku memiliki kehidupan yang tidak pernah beruntung? Orang tuaku meninggal, dan membuatku harus tinggal di keluarga ini. Lalu paman juga harus meninggal, padahal hanya dia satu-satunya orang yang memperlakukanku dengan baik… sepertinya aku memang tidak pernah ditakdirkan untuk memiliki kehidupan yang baik, dan sepertinya kehadiranku di dunia ini memanglah sebuah kesalahan. Kesalahan untuk aku dilahirkan, dan kesalahan untuk aku hidup di antara orang-orang ini. Bahkan karena itu, setiap orang yang aku sayangi mati…
Ezra menghela napas dalam-dalam. Di tengah renungannya itu, tiba-tiba saja dia mendengar suara dari arah tumpukan kardus berisi barang milik mendiang pamannya. Hal itu membuatnya terkejut. Ezra bangkit dari tempatnya dan memandang ke arah salah satu kotak yang sejak tadi terus bergerak dan mengeluarkan suara yang begitu berisi. Dia tidak mengerti ada apa dan kenapa benda itu bisa bergerak. Merasa penasaran, Ezra lalu beranjak dan menghampiri kotak tersebut. Begitu di cek, ternyata ada tikus di dalam sana yang sedang asyik menggerogoti pakaian milik mendiang pamannya. Menyadari adanya hama di dalam sana. Ezra tidak bisa tinggal diam.
Pria itu mengambil sebuah pemukul baseball tua yang kemudian dia ayunkan ke arah si tikus. Sayangnya hama itu malah melarikan diri ke dalam kotak lain yang sudah dia lubangi dengan giginya. Menyadari hal itu, Ezra bergegas menurunkan beberapa kotak yang ada dan terus memukulkan tongkat di tangannya hingga membuat semua tumpukan itu berjatuhan dan berantakan. Puncaknya dia berhasil memukulnya hingga tikus itu tidak bergerak setelah dia memukulnya sekeras mungkin di antara tumpukan buku tua milik sang paman yang sempat jatuh dan berserakan di lantai.
Begitu memastikan tikus itu mati, Ezra memungutnya. Dia menarik ekor si tikus dan membawanya menuju pintu lain di dalam basement itu yang mengarah langsung ke kebun belakang rumah mereka yang gelap dan sunyi. Dia mengeluarkan makhluk itu dan membiarkannya tergeletak cukup jauh dari pintu setelah dia melemparkannya. Tapi apa yang terjadi setelahnya membuat dia tersentak. Tikus itu mendadak bangkit lagi dan berlari menuju arah semak-semak.
Ezra berusaha untuk menganggap apa yang dilihatnya tidak pernah terjadi. Lelaki itu menarik pintu dan siap untuk menutupnya kembali, namun sekali lagi perhatiannya beralih ketika dia mendengar suara dari arah dalam kamarnya. Begitu berbalik, dia melihat setumpuk buku yang bergerak-gerak. Awalnya dia pikir itu adalah tikus lain yang mungkin bersembunyi di dalam buku itu. Tapi ketika dia mendekat, sesuatu yang tidak terduga mendadak dialaminya.
Salah satu buku itu bergerak. Mengeluarkan cahaya yang begitu terang hingga membuat seluruh ruangan menjadi tampak silau. Ezra menggunakan kedua tangannya untuk menutupi pandangan. Otaknya masih berusaha untuk memproses apa yang baru saja terjadi. Sejurus kemudian hal aneh lain dialaminya. Buku itu terbang di udara dan melesat dengan begitu cepatnya menuju arah pintu.
Ezra tersentak begitu melihat buku tebal bergerak tepat menuju kepalanya. Dengan refleks, lelaki itu merunduk dan bukunya bergerak menuju keluar. Ezra berbalik, dan tanpa pikir panjang langsung mengejar benda itu guna memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Dalam benaknya semua itu memang terasa tidak masuk akal, dan satu-satunya hal yang muncul dalam dugaannya hanyalah mungkin saja di dalam buku itu ada seekor burung yang membawanya terbang? Entahlah. Tapi yang pasti Ezra harus memastikannya dan membawa buku milik pamannya itu kembali.
Buku itu terus mengapung menuju hutan. Semakin lama dia mengejarnya, benda itu bergerak semakin dalam hingga membuat Ezra mau tidak mau harus berlari. Tepat di tengah hutan, dia melihat sesuatu terjatuh dari dalam buku tersebut. Ezra berhenti sejenak dan memandangi sesuatu yang tergeletak di tanah.
“Ini… kalung?” Ezra terdiam untuk sesaat. Detik berikutnya lelaki itu berjongkok dan memungut kalung yang dilihatnya. Namun baru saja dia menyentuh benda itu, sebuah cahaya menyilaukan kembali muncul. Kali ini lebih menyilaukan dari sebelumnya. Ezra mengambil kalung itu cepat. Setelahnya, dia berjalan menghampiri cahaya yang posisinya tidak terlalu jauh dari tempatnya berada. Ezra termangu menatap buku yang kini masih dalam keadaan bersinar dan melayang di udara. Hanya saja benda itu kini sama sekali tidak bergerak.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa di dalam buku itu? Kenapa buku itu bisa terbang?” Ezra melangkah mendekat ke arah buku itu. Baru saja dia bergerak satu langkah, secara tiba-tiba cahaya lain muncul dari arah tanah yang di pijaknya. Hal itu membuatnya terkejut dan spontan bergerak mundur. Cahaya yang dilihatnya bergerak membentuk sebuah lingkaran di sekitar tanah kosong di tengah hutan tempat buku itu terapung. Cahaya itu membentuk sebuah simbol sihir yang tampak begitu jelas, sampai akhirnya tanah yang tadi diinjaknya berubah menjadi sebuah lantai marmer putih dengan simbol emas yang sama yang dilihatnya terukir di lantai. “Ini… apa yang terjadi?”
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!