NovelToon NovelToon

Sugar Daddy & Sukma

Di sita

Saat ini. Sukmawati sangat kebingungan, ketika rumah peninggalan orang tua satu-satunya itu harus berpindah tangan alias di sita oleh BANK.

Sebab sebagai jaminan tuk membayar hutang-hutangnya orang tua semasa hidup dan hutang tersebut buat biaya sekolahnya Sukma dan adik-adik yang masih SMP, Jihan yang masih kelas dua dan Marwan yang baru di kelas satu.

''Gimana kak? kita akan kemana?'' tanya Jihan dengan wajah sedih menatap sang kakak yang tampak kebingungan.

Ketiganya duduk di teras rumah mereka yang sudah di sita oleh pihak BANK tersebut, menghadapi tas-tas pakaian mereka dan hanya itu yang bisa mereka bawa. Sebab barang-barang yang sedikit berharga di dalam rumah tersita semua.

"Nggak tau nih, kakak masih pikirkan." Jawab Sukma sambil menghela napas panjang dan berat, tatapannya kosong ke depan.

"Aku lapar, Kak." Keluh Marwan nimbrung, sambil memegangi perutnya yang terasa perih itu.

Sukma menoleh, lantas membuka dompetnya yang cuma ada tiga lembar uang warna biru. Itupun sisa tabungannya yang ia pakai sehari-hari dalam sebulan ini, semenjak kepergian sang ayah dan sang ibunda. Ia menelan saliva nya sendiri, merasa berat untuk menghadapi hidup ini.

"Ya, sudah. Kita pergi yu sambil cari kontrakan." Sukma berdiri dan membawa tas pakaiannya.

"Bagaimana kita cari kontrakan rumah Kak? bayarnya dari mana?" protes Jihan sambil cemberut.

Sukma terdiam sejenak. Benar juga di dompet cuma ada uang segitu. Belum buat makan, belum lagi buat ongkos jalan.

"Em, untuk sementara ... kita nginep saja di rumah Bibi. Nanti setelah Kakak kerja, baru kita mencari kontrakan. Kita tidak boleh tergantung sama orang," ucap Sukma menatap keduanya.

"Baik Kak," sahut kedua adiknya dengan sangat lesu, beranjak mengikuti langkah kakaknya.

Mereka berjalan membawa tas nya masing-masing. Namun sebelum ke tempat tujuan, mereka singgah di warung makan dan kebetulan mengenal mereka bertiga, toh masih satu kampung.

Sukma membeli 2 bungkus nasi dan lauknya, tempe dan tahu saja, cukuplah untuk makan bertiga.

"Kalian mau kemana, bawa tas segala?" tanya si penjaga warung heran menatap intens kepada mereka bertiga.

"Em ... kami mau ke tempat bibi di kampung sebelah Bu," sahutnya Sukma sembari mengangguk.

"Lho, rumah kalian gimana kalau mau ditinggalkan?" tanyanya lagi heran sambil membungkus nasinya.

"Rumah beserta isinya disita BANK, Bu." Celetuk Marwan.

"Shuttt," Jihan mendelik ada Marwan yang nyablak namun benar adanya.

"Ha ... di sita? jadi kalian gak punya tempat tinggal lagi?" Bu Warung kaget.

Sukma mengangguk pelan. "I-iya, Bu."

"Ya , ampun ... kalau saja rumah Ibu luas, Ibu gak keberatan kok kalian tinggal bersama kami, bener dah." Ibu warung ikut bersedih menatap ke arah Sukma dan adik-adiknya.

"Oh, makasih, Bu. Terima kasih? tapi tidak apa-apa kami mau ke tempat bibi saja." Sukma mengangguk, hatinya mencelos sedih jadi ingat lagi pada orang tua yang sudah tiada.

Ketiganya menyantap nasi bungkus dengan lahap. Terutama Jihan dan Marwan, sementara Sukma tak berselera makan dan sengaja membiarkan adik-adiknya saja yang kenyang.

Dia sendiri biarlah, tak jadi masalah membawa perut yang keroncongan juga gak bakalan banyak bicara. Pikir Sukmawati.

Netra nya menatap sedih, pada kedua adiknya itu yang harus terlunta-lunta tanpa tempat tinggal, hatinya pilu bagaikan diiris sembilu. Tak terasa buliran air bening menggenang di sudut matanya dan langsung ia seka dan menyembunyikan wajah sedihnya itu.

Wajah Sukma menghadap kelainan arah dan menghela napas panjang tuk membuang semua beban yang ada dalam hatinya. Dan berusaha agar tidak menangis. Tiba-tiba Jihan memanggil.

"Kak, kok makannya sedikit?" Jihan memandangi sang kakak yang entah melihat ke mana?

"Ha! Kakak sudah kenyang, habiskan saja ya?" Sukma pura-pura kenyang dan bersendawa.

"Ya, sudah. Aku habiskan saja kalau begitu, sayang kan. Jangan buat makanan menjadi mubazir." Gumam Jihan sambil menghabiskan makannya.

"Ayo, habiskan Wan. Biar kenyang." Sukma menatap sang adik bungsunya dengan tatapan pilu.

Marwan pun segera menghabiskan makannya. Jihan juga, setelah habis! mereka bersiap untuk pergi ke tempat bibinya yang berada di lain kampung. Itupun entah mau menerima kedatangan mereka entah tidak.

Sebelum pergi, tidak lupa berpamitan pada ibu warung dan membayar dua bungkus nasinya itu.

"Bismillah ... semoga Bibi bisa menampung kami. Untuk sementara waktu." Gumamnya Sukma dalam hati.

Ketiganya naik angkutan umum. dengan tujuan tempat bibi. Adik dari sang ayah. Selang beberapa lama berada di angkot, akhirnya mereka turun dan berjalan lagi tuk sampai ke tempat yang dituju.

Suasana sudah hampir malam dan suara adzan Maghrib terdengar berkumandang.

"Kak benarkan ini alamatnya?" tanya Marwan, maklum dia baru menginjakan kaki di tempat ini.

"Benar, dan itu rumahnya bibi," sahutnya Jihan. Gadis itu menggendong tas punggung yang berisi pakaian.

Sukma mengangguk membenarkan jawaban dari Jihan. Lalu melanjutkan langkahnya mendekati teras.

"Assalamu'alaikum ..." suara Jihan dengan lantang dan jelas.

Tidak lama kemudian, terdengarnya langkah kaki yang teratur mendekati pintu.

Blak!

Pintu terbuka. Dan tampak bibi Lilian berdiri menatap lekat pada tamunya. Dengan spontan Sukma memberi contoh yang baik untuk kedua adiknya, dengan cara menyalami tangan bu Lilian.

"Sehat Bi?" suara yang keluar dari mulut Sukma sambil mencium tangan bibinya.

"Sehat, kalian ngapain ke sini malam-malam? bawa ransel segala? mau kemping atau gimana?" selidiknya Lilian bukannya menyuruh masuk malah memberondongkan pertanyaan.

Setelah kedua adiknya bersalaman pada bibinya, Sukma berkata. "Bi, kami mau numpang tinggal di sini tuk sementara waktu. Sampai aku mendapat pekerjaan Bi." Dengan nada sungkan.

Lilian terkejut mendengarnya. "Maksud mu mau tinggal di sini? ayo masuk dulu." Pada akhirnya menyuruh keponakannya masuk.

"Alhamdulillah ... akhirnya disuruh masuk juga. Kaki dah pegel nih," gumamnya pelan Jihan, selepas sang bibi mendahului masuk.

"Beneran Kak ditanya mulu." Timpal Marwan.

"Shuttt ... kalian harus sopan, jangan gitu." Protes Sukma pada adik-adiknya.

"Em, Bi. Sebelum melanjutkan obrolan, kami mau salat dulu." Sukma seakan meminta ijin.

"Oh, boleh-boleh. Tuh di dekat dapur ada kamar kosong." Seraya menunjuk ke sebuah kamar di dekat dapur.

"Makasih Bi?" ketiganya berjalan menuju kamar tersebut yang setelah berada di dalam mereka melongo dengan kondisi kamar yang sangat berantakan bak gudang.

"Kak, ini kamar apa gudang sih?" tanya Jihan melirik ke arah Sukma.

Pandangan Sukma dan Marwan masih menyisir seisi kamar itu yang persis seperti yang Jihan bilang.

"Huuh." Sukma membuang napas melalui mulutnya. "Ya sudah. Kita bereskan sedikit dulu asal ada buat salat saja."

Sukma langsung menyingsingkan lengan bajunya, menurunkan tas dari punggung dan langsung membereskan sementara buat salat.

Saat ini mereka duduk di lantai seakan membuat lingkaran. Menghadapi beberapa gelas minuman di tengahnya.

"Sekarang katakan, apa maksud kalian datang membawa tas ke sini?" selidik bibi Lilian menatap semua keponakannya satu demi satu.

Sukma melirik ke arah adik-adiknya terlebih dahulu sebelum bicara, kemudian pandangannya mengarah pada Bibinya. Bi Lilian. "Begini Bi."

Sukma menceritakan semua yang menimpanya, bahwa rumah disita oleh pihak BANK karena beberapa bulan tak membayar cicilan orang tuanya, bekas segala keperluan anak-anaknya sekolah.

Sehingga sekarang ini mereka tak punya tempat tinggal, dan sekolah pun harus berhenti ....

.

...Bersambung!...

Menumpang

"Jadi, kalian mau menumpang di sini? kalian tahu kondisi kami gimana susahnya? masih mending kehidupan Abang almarhum, ketimbang Bibi." Keluh bu Lilian sambil menghela napas nya yang panjang.

"Bapak mu itu, sok-sokan mau menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga meminjam ke BANK segala? akhirnya seperti ini, boro-boro sekolah, tempat tinggal saja raib," ungkap suami bu Lilian, yang bernama paman Dandi dengan nada sinis dan tatapan yang tajam.

Sukma dan kedua adik-adiknya saling pandang. Lalu menunduk dalam, terlihat jelas kesedihan dari wajahnya mereka bertiga.

"Kami mohon, Bi. Paman, ijinkan kami tinggal di sini sampai aku dapat kerjaan dan bisa ngontrak! nanti kami pindah dari sini, Bi. Paman. Untuk sementara saja." lirih Sukma setengah memohon dan menunduk.

"Sekarang, kamu kerja di mana?" selidik paman Dandi menatap tajam pada Sukma.

Sukma menggeleng. "Belum, Paman. Tapi aku akan segera mencari kerjaan apa aja, Paman. Kami gak tau harus minta tolong pada siapa lagi selain ke sini." Sukma terlihat sedih.

Bagaimana pun Sukma dan adik-adiknya adalah keponakan bu Lilian. Dia menatap iba keponakannya itu.

"Baiklah, tapi janji sampai kamu dapat kerja dan mendapat kontrakan. Sebab kami tidak bisa menampung kalian lebih lama lagi, karena kehidupan kami pun susah." Lirih Bu Lilian, sebenarnya dia merasa tidak enak pada sang suami.

"Makasih, Bi. Paman, makasih banyak? Sukma janji akan segera membawa adik-adik dari sini bila sudah mendapat kerjaan." Sukma berterima kasih sekali pada paman dan bibi yang akhirnya mau menampung mereka bertiga.

Sukma merasa lega, akhirnya ada tempat tinggal untuk berteduh. Menitipkan kedua adik nya.

"Kalian tidur di kamar tadi bekas kalian salat. Oya, kalau kalian mau makan beli lauk sendiri. Sebab Bibi sedang kehabisan lauk." Sambung Bu Lilian menatap ketiganya.

"Iya, Bi. Sekali lagi makasih ... banyak, Aku janji akan segera mendapat kerjaan dan tidak menyusahkan Bibi dan Paman lagi," ujar Sukma. Kemudian mengajak adik-adiknya ke kamar yang tadi.

Kini mereka sudah berada di dalam kamar yang tepatnya seperti gudang. Mereka membereskan semua barang-barang ke samping supaya mereka punya tempat buat tidur.

"Apa tidak sebaiknya bara-barang ini dikeluarin Kak?" tanya Jihan melirik sang kakak yang sedang membereskan ruang tersebut.

"Bener, Kak. Sempit," sambung Marwan membenarkan kalimat dari Jihan, kakak keduanya.

"Tidak, jangan. Kecuali bibi yang suruh." Sukma menggeleng sambil mendongak melihat ke langit-langit yang sudah tampak banyak bocor sehingga banyak kotoran atau debu yang turun.

"Hah ... gini amat sih nasib kita Kak?" keluh Marwan sembari menghela napas berat dan panjang.

"Sabar, Kakak akan berusaha kok, tenang saja. Dan Kakak cuma minta sama kalian berdua untuk sabar dan mendoakan Kakak." Sukma menggenggam tangan Jihan dan Marwan. Dengan tatapan yang nanar, namun Sukma berusaha untuk tersenyum walaupun senyumannya getir.

Kemudian di antara mereka tak ada lagi banyak pembicaraan, Marwan langsung berbaring. Tampak jelas rasa lelah di wajah adik lelakinya tersebut. Begitupun Sukma dan Jihan berbaring berdekatan.

Namun Sukma tidak semudah itu untuk tertidur, dalam pikirannya berjubel segala permasalahan hidupnya. Gimana bisa menghidupi kedua adiknya? sekolahnya? dirinya pun yang ingin melanjutkan pendidikan dan menggapai cita-cita untuk menjadi seorang suster.

"Ha? pusing-pusing, pusing ..." gumamnya Sukma dalam hati.

Dan lambat laun mata Sukma pun terpejam, mengistirahatkan semua anggota tubuhnya dari lelah dan penat. Bersiap menyongsong hari esok entah bagaimana? indah kah atau sebaliknya, yang jelas hari esok sudah direncanakan dengan matang. Kalau hari itu Sukma harus mendapatkan kerjaan tuk biaya melanjutkan hidupnya.

...---...

Saat ini Sukma sedang berada di bawah teriknya matahari, berjalan gontai mencari pekerjaan. Kerjaan apa sajalah yang penting halal baginya. Sekalipun asisten rumah tangga bila saja gak ada yang lain.

"Permisi ..." ucap Sukma di depan pintu gerbang rumah yang besar.

Kebetulan ada yang tengah berdiri di dekat sebuah mobil mewah, seorang wanita cantik dengan penampilan yang elegan.

"Iya, ada apa ya?" wanita itu menatap intens dari sela-sela pintu gerbang yang tinggi tersebut. Di dalamnya ada dua buah mobil terparkir cantik.

Kepala Sukma mengangguk hormat. "Em, kali saja di sini membutuhkan pekerja? eh ... sebagai asisten atau pengasuh, saya bersedia."

Netra wanita itu menatap curiga, matanya melihat ke arah Sukma dari atas ke bawah tanpa terlewatkan sedikitpun. "Maaf, saya tidak membutuhkan pekerja! Sorry ya!"

Sukma membuang napasnya kasar lalu mengangguk hormat. "Permisi?"

Sukma melanjutkan langkahnya yang bingung, harus melangkah kemana lagi? hari ini sudah beberapa gedung pun dia telah datangi melamar sebagai cleaning service sebab kalau ke Rumah sakit kemampuannya untuk menjadi perawat belum memadai masih harus kuliah beberapa semester lagi.

"Ya Allah ... gini amat ya hidup gue? sudah dua hari ini cari kerjaan gak satu pun terima gue," gerutu Sukma di bawah teriknya matahari. Rasa haus pun menghiasi tenggorokannya.

"Mana haus, gak ada uang lagi, kecuali buat ongkos." Sukma membuka dompetnya yang tidak ada isinya selain lembaran lima ribuan.

Sukma memberanikan diri memasuki sebuah warung dan duduk di sana, Netra nya menyapu keadaan warung yang cukup ramai.

"Mau pesan apa Mbak?" suara penjaga warung mengagetkan Sukma yang sedikit bengong dan menelan saliva nya. Tenggorokan sangat kering.

"Ooh maaf, Bu. Saya cuma numpang duduk saja." Sukma mengangguk hormat.

"Duduk? halangi orang-orang yang mau makan dong?" kata penjaga warung itu.

Sukma tersenyum sembari celingukan. Lalu menghampiri ibu warung.

"Bu, maaf benget. Saya haus dan saya tidak ada uang buat beli minum! Boleh gak? saya minta satu gelas saja. Eh ... maksud saya! sebagai bayarannya Ibu boleh suruh saya apa aja, mencuci piring misalnya." Sukma penuh harap.

Sebentar si ibu warung terdiam, menatap intens ke arah Sukma yang bertubuh mungil rambut di bawah bahu. Wajah oval, penampilan nya sangat sederhana.

"Boleh, kau boleh mencucikan piring kotor di belakang." Ibu itu memberikan satu liter air mineral pada Sukma.

Sukma sangat bahagia. "Makasih, Bu. Makasih? saya sedang mencari kerjaan namun belum dapat juga. Sekali lagi terima kasih, Bu?" Sukma mencium tangan ibu warung sebagai ungkapan terima kasih yang tiada tara.

"Sudah, kamu harus membayar dengan tenaga mu, cucian piring kotor di belakang." Tegas ibu warung.

"I-iya, Bu sekali lagi terima kasih?" Sukma meneguk minumnya lalu ke belakang mau lihat cucian.

Sukma langsung mencuci piring kotor, setelah mengikat rambutnya. Di kuncir kuda agar leluasa dalam bekerja.

Kriuk ....

Kriuk ....

Kriuk ....

Perut Sukma bersuara, cacing-cacing sudah demo meminta makan. Tadi pagi cuma minum air teh saja, mau minta sarapan sama bibinya malu. Apalagi adiknya dua di rumah, tentunya ikut sarapan walau membeli lauknya sendiri.

"Aduh, perutku keroncongan. Ya Allah ... beri aku kemudahan untuk mendapatkan uang. Aku gak ingin menyusahkan bibi dan paman." Gumamnya dalam hati.

"Gue harus semangat! demi adik-adik gue juga." Monolog Sukma sambil membereskan cucian yang datang lagi dan datang lagi ....

.

...Bersambung!...

Dapat kerjaan

Pada akhirnya cucian pun selesai. Dan untuk menghilangkan rasa lapar, Sukma menghabiskan minumnya sampai tandas tak tersisa lagi.

"Bu, tugas saya sudah selesai dan terima kasih minumnya?" ucap Sukma setelah menghadap ibu warung.

"Ooh, iya. Terima kasih dan ini upah mu," si ibu warung memberikan selembar uang Rp 50 kepada Sukma yang bengong.

Ada rasa sedih dan bahagia bercampur menjadi satu. "Lho. Saya kan, mencuci piring buat bayar air minum." Sukma Menatap uang tersebut dengan tatapan nanar.

"Nggak pa-pa ambil saja? dan ini nasi bungkus, buat kamu makan." Si ibu warung menambahkan sebungkus nasi.

Sukma tidak menyangka kalau ibu ini sangat baik, padahal di awal raut wajahnya sangat jutek.

"Terima kasih, Bu? aku ucapkan sangat-sangat berterima kasih atas kebaikan Ibu." Wajah Sukma begitu sumringah. Bahagia.

"Ambilah. Kamu pasti lapar, kan?" kemudian ibu warung pergi entah kemana. Tinggallah pekerjanya saja dan beberapa orang yang belanja masakan.

"Ya Allah ... makasih, semoga ibu ini warungnya semakin rame! Aamiin." Sukma begitu bahagia yang tadinya cuma inginkan segelas air, akhirnya dapat plus-plus, uang bersama nasinya.

Sukma berjalan membawa hati yang senang. "Aku harus dapat kerjaan hari ini juga!" dia terus berjalan menyusuri pinggiran jalan.

Namun di tengah perjalanan Sukma berhenti, mengambil bungkus nasi nya yang ingin ia makan. Perut semakin lama semakin keroncongan, tubuh pun terasa lemas.

Akhirnya Sukma duduk di pojokan membuka nasi bungkusnya. Kemudian melahap tak tersisa.

"Alhamdulillah ... kenyang nya perut ku!" gumamnya Sukma.

Setelah selesai makan, Sukma kembali mengayunkan kakinya untuk mencari pekerjaan, tidak selang lama tibalah di depan sebuah Rumah sakit.

"Apa gue ngelamar di sini aja ya buat cleaning service? yang penting kerja dapat uang." Gumam Sukma menatap gedung tersebut.

Pada akhirnya Sukma memutuskan untuk mencoba masuk dan melamar di sana.

Kebetulan ada pengumuman kalau ada lowongan untuk cleaning service, bibir Sukma tertarik membentuk sebuah senyuman.

"Permisi?" ucap Sukma pada suster yang kebetulan berpapasan dengan memberi anggukan hormat.

"Iya, ada apa ya?" menatap intens ke arah Sukma yang berpenampilan biasa saja.

"Katanya di sini ada lowongan kerja buat cleaning servis, dan saya berniat melamar," ucap Sukma dengan mengangguk hormat.

"Oh, datang aja ke pihak resepsionis. Mari? saya permisi?" suster berlalu dan Sukma pun langsung ke ruangan resepsionis.

Derap langkah Sukma menuju ruang tersebut, dengan yakin dan mempunyai harapan kalau ia pasti mendapatkan pekerjaan di sini.

"Selamat siang?" Sukma mengangguk hormat setelah berada di depan orang yang duduk di meja resepsionis itu.

Dan Sukma langsung mendapat respon baik dari pihak sana. Dengan ramahnya Sukma dilayani dengan sangat baik.

Kemudian terjadilah perbincangan, dan akhirnya Sukma bersyukur sekali dia diterima kerja sebagai tukang bersih-bersih.

Sukma sangat bersyukur dirinya mendapat kerjaan, apapun itu yang penting ia punya pendapatan untuk menghidupi ia dan adik-adiknya.

Pihak Rumah sakit menganjurkan kalau Sukma bisa mulai bekerja besok pagi, dan pagi-pagi sekali harus sudah berada di lokasi.

"Terima kasih, Bu? terima kasih banyak. Saya akan datang pagi-pagi sekali dan saya janji." Sukma beberapa kali berterima kasih atas diterimanya dia bekerja di tempat tersebut.

Setelah itu, Sukma langsung berjalan menuju jalan raya lantas naik angkutan umum untuk pulang ke rumah bibinya.

"Alhamdulillah ... akhirnya gue dapat kerja juga. Ya Allah ...."

Di dalam angkutan umum, Sukma senyum-senyum sendiri hatinya berbunga-bunga. bahagia akhirnya ia mendapatkan kerjaan.

Pekerjaan yang sangat dia butuhkan untuk menopang kelanjutan hidup dia dan kedua adiknya. Dia harus mampu menjadi ibu sekaligus ayah bagi adik-adik nya tersebut.

"Dek, kau kenapa senyum-senyum sendiri? gak ke sambet apa gitu?" tanya seorang ibu yang duduk dihadapannya Sukma.

"He he he ... em ... tidak, Bu." Sukma menganggukkan kepala.

"Kok senyum-senyum tanpa sebab?" timpal yang lainnya.

"Saya cuma merasa seneng saja karena sudah mendapatkan kerjaan."

"Ooh, begitu?" sambung ibu yang tadi.

"Lah. Gue bisa dibilang gila kalau senyum-senyum sendiri, ada-ada ah kamu Sukma." Batin Sukma sembari mengedarkan pandangan ke luar jendela.

"Ooh ... gitu, pantas wajah nya berseri-seri roman-roman dapat durian runtuh." Kata si ibu lainnya lagi.

Sukma menoleh. "Lah Ibu, saya ketiban dong! he he he ...."

"Ha ha ha ... itu perumpamaan. Bukan betulan." Timpal si ibu, yang lain pun ikut tersenyum pada Sukma.

Di jalan perempatan, angkutan umum berhenti dan Sukma langsung turun, setelah membayar angkot tersebut.

Kemudian dia berjalan menelusuri jalan yang cuma bisa masuk sepeda motor. Namun tidak jauh dari situ rumah bibinya Sukma terlihat.

Baru nyampe teras pun, Sukma langsung disambut oleh kedua adiknya yaitu Jihan dan Marwan.

"Gimana kak? dapat kerjaannya? dapat duit gak. Atau kontrakan gitu?" Marwan mengajukan rentetan beberapa pertanyaan.

"Kamu ini, Wan. Kakak baru pulang sudah di berondong pertanyaan, gimana sih?" Jihan menatap tidak suka pada adik laki-lakinya itu.

"Ya, Kakak. Aku kan penasaran. Masa kita mau numpang terus? di sini, perut saja kita sudah kelaparan!" keluh Marwan cemberut.

Manik mata Sukma mengedarkan pandangan ke arah adik-adiknya bergantian. "Kalian belum pada makan?"

"Pagi sudah Kak. Siang belum dapat, bibi cuma masak nasi buat kita. Nggak ada lauknya." Keluh Marwan menunduk lesu. Perutnya yang sedari tadi berdemo meminta makan kini berdemo lagi.

Sukma menghela napas panjang. Hatinya mencelos, sedih mendengar kata Marwan seperti itu. "Sabar ya sayang. Kakak akan berusaha kok, untuk kalian." Memeluk kepala Marwan.

Hening!

Jihan hanya memilih untuk terdiam, tak tahu harus berkata apa? dia tahu sang kakak pun sedih dan menanggung beban yang cukup berat.

"Ya sudah. Ini uang sepuluh ribu. Beli lauk sana buat kalian makan," tangan Sukma merogoh tasnya dan memberikan selembar uang yang berwarna ungu.

"Yah ... Kak. Mana cukup segini?" lagi-lagi Marwan mengeluh.

"Beli Padang lauknya doang. Kenapa sih?" protes Jihan pada sang adik. Hatinya mencelos namun kendati demikian dia tidak ingin perlihatkan kesedihannya pada sang kakak.

"Iya, Wan ... sabar aja dulu. Nanti kalau Kakak sudah bekerja dan dapat gajih, Kakak traktir deh ... ya? sekarang beli telor aja." Sambung Sukma.

Pada akhirnya Marwan pergi ke warung depan dengan membawa uang tersebut. Dengan langkah lebih cepat.

"Cepat ya? Maghrib nih?" kata Jihan.

"Iya bawel." Lantas Marwan berlari.

Sukma membuka mulutnya. "Nggak lari juga, Wan ...."

Kemudian keduanya masuk ke dalam rumah bibi Lilian. Ketika melintasi pintu ditegur paman Dandi.

"Adik mu itu sudah memecahkan gelas kesayangan Paman, dan kamu harus ganti," ucap paman Dandi dengan nada marah.

Sukma kaget, baru saja melangkah memasuki pintu. "Paman?" terus Sukma melirik ke arah sang adik yang berada di belakangnya. Seolah memberi pertanyaan apa maksud paman Dandi dan siapa yang memecahkan gelas tersebut?

Namun Jihan menunduk dalam. Ia mengakui sudah memecahkan gelas milik paman Dandi. Dan itu bukan disengaja ....

.

...Bersambung!...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!