...Kamu datang dikala sepi....
...Tetapi, kamu bukan tamu yang dinanti....
...Uluran tanganmu membuatku bahagia....
...Namun, duniaku tetap berwarna jingga....
...Aku tak pandai berteman....
...Aku tak terbiasa bergandengan tangan....
...Tetapi, denganmu aku merasa damai....
...Seolah kamu datang membawa pelangi di tengah badai....
...~o0o~...
Di atas sebuah panggung, sebaris anak-anak SD berdiri bersama dengan orang tua mereka. Sebuah acara perpisahan tergelar sebagai ucapan selamat untuk para pelajar SD Tunas Mutiara yang lulus tahun ini. Mereka semua tampak bahagia dengan memakai toga wisuda layaknya anak kuliahan. Di antara semua tawaan dan nyanyian merdu mereka, ada satu anak perempuan yang berdiri di barisan belakang dengan wajah sedihnya.
Suram.
"Katanya anak itu baru saja kehilangan Ibunya. Dia meninggal karena penyakit jantungnya yang sudah sangat parah. Apalagi, Ibunya itu juga menurunkan penyakitnya pada anaknya sendiri."
"Kasihan sekali. Lalu, dimana Ayahnya? Apakah dia tidak ada di sini?"
"Ayahnya sibuk bekerja di Jakarta dan dia hidup bersama tetangganya. Nggak ada yang mau menggiringnya ke panggung. Katanya dia nggak mau ke sana selain bersama Ibunya."
"Kalau gitu, kita nggak bisa berbuat apapun untuknya. Apa kita harus membiarkannya di sana terus?"
"Jangan berbicara tentangnya! Bisa saja dia mendengar ucapan kita."
Orang-orang itu langsung pergi meninggalkannya. Mestinya dia merasa sunyi karena tak ada seorangpun yang menggandeng tangannya menuju panggung di saat semua orang sudah pergi meninggalkannya.
Tak ada yang mengerti.
Seperti bulan yang menggantikan matahari saat sudah tenggelam, ada satu anak laki-laki yang mengulurkan tangan untuknya dan mengajaknya pergi bersama ke panggung. Dia orang pertama yang mengajaknya tersenyum bersama.
"Kemarilah. Kamu tidak akan pernah sendirian lagi."
...~o0o~...
Lima tahun kemudian, Tangerang, Bulan September, musim hujan.
"Haha! Target sudah terkunci! Tubuh bagus untuk dijadikan tokoh seorang Pangeran." ucap Sonya, seorang siswi SMA yang memiliki rambut hitam sebahu dan sorot mata yang selalu memburu. Saat ini, dia sedang bersembunyi di balik pohon dengan sebuah kamera yang siap memotret sosok cowok berbadan bagus tak jauh di depannya.
Sudah sejak lama Sonya begitu memperhatikan sosok Aratha yang katanya dingin seperti patung es, sulit didaki seperti gunung Everest bahkan sebelum ketua klub Drama memintanya untuk mencarikan seseorang yang pantas dalam pementasan drama bulan ini.
Dia sudah mencoba memotretnya berulang kali tanpa sepengetahuan Aratha meskipun dia sendiri tidak tahu cara menyimpan hasil fotonya. Sonya tahu, rasanya sangat percuma memiliki kamera jika dia saja tidak bisa menggunakannya.
Sonya terlihat fokus pada sosok Aratha. Lalu, tiba-tiba pukulan keras dari seorang cowok mendarat di pundak Sonya sampai membuatnya terkejut."DORR! Sonyaaa! Kamu ngapain?!" teriak Fahruz, teman sekaligus tetangga Sonya.
Sonya langsung panik ketika Aratha hendak menoleh ke belakang setelah mendengar teriakan Fahruz. Dengan gerakan secepat kilat, Sonya menutup mulut Fahruz dan bersama, mereka berdua bersembunyi di balik pohon yang sempit.
"Bisa diam nggak? Kamu minta aku menyumpal mulutmu dengan kaos kakiku?" Sonya menatap Fahruz jengkel. Siapapun bahkan bisa melihat urat kepala Sonya menonjol keluar.
"Memangnya aku salah? Sudah menjadi tradisi ku menyapamu seperti ini dan memergokimu melakukan kesalahan." bisik Fahruz.
"Tapi, kamu nggak harus teriak 'kan?!" bentak Sonya. Dia kemudian teringat pada Aratha yang mungkin saja masih berdiri di tempat yang sama. Karena itu, dia mencoba melihat ke belakang dengan hati-hati. Dan dia tidak melihat keberadaan Aratha. Padahal dia hanya beralih selama beberapa detik saja dan dia sudah menghilang seperti harapan.
"Gagal! Padahal tadi itu posenya sedang bagus sekali." gumam Sonya kecewa karena tak melihatnya.
"Kayaknya kamu tergila-gila sekali sama Aratha. Memangnya apa bagusnya dia? Cowok dingin, jarang ngomong, melakukan apapun serba sendirian kayak orang autis!" celetuk Fahruz berdiri di sebelah Sonya. Wajahnya terlihat tak bersalah sama sekali meski ucapannya sungguh pedas.
Sonya menatapnya kesal lalu bertanya, "Memangnya kamu bisa lebih baik dari dia?!"
"Hah? Kamu berani bandingin aku sama dia? Aku ini tipe cowok populer yang bersahabat! Siapapun bisa berbicara denganku! Aku bahkan dengan senang hati menerima hadiah apapun untukku!" ketus Fahruz dengan percaya diri.
Sonya memutar bola matanya. Kekesalan itu seolah berubah menjadi rasa heran yang tak terduga. "Kayaknya cuma perasaanku aja. Kamu ngomongnya kayak cemburu sama Aratha. Kamu nggak pengen aku suka sama dia?" Sonya mengejek.
Kedua pipi Fahruz langsung memerah seperti habis ditonjok. Rasanya asap putih keluar dari dua lubang telinganya karena rasa malu yang tak terbendung. "Haha! Jangan membuatku ngakak sampai kena serangan jantung! Mana mungkin aku menghalangi mu! Kamu berusaha membandingkan ku dengan Aratha. Mana mau aku dibandingin sama dia!" Fahruz tertawa keras, nyaris menyamai suara klakson bus.
"Siapa yang membandingkan kamu? Ge-er banget kayaknya. Lagian kamu duluan yang bilang Aratha itu autis. Aku kan cuma membelanya. Apa mungkin kamu nggak suka sama Aratha? kalian berdua musuhan sejak lahir?" Sonya semakin curiga dengan isi pikiran Fahruz.
"Kamu ini berusaha memojokkanku ya?! Memangnya aku melarang? Kalau aku marah, seharusnya aku nggak mau bicara denganmu seperti ini! Pergilah sama cowok itu! Aku sama sekali nggak keberatan! Aku ikhlas! Aku merestui kalian berdua!"
Sonya mengalihkan perhatiannya dengan abai. Dia kemudian berkata, "Ya sudah. Terserah! Sampai sapi bertelur pun aku nggak akan berhenti berdebat denganmu."
...~o0o~...
Jam istirahat adalah jam yang paling di tunggu-tunggu di hari yang cerah agak mendung ini. Kebetulan sekali, hari ini ada diskon besar-besaran di warung mie instan. BELI SATU GRATIS SATU PLUS TELOR CEPLOK! Semua siswa yang ada di dalam kelas secara serempak berlarian ke kantin dan saling dorong mendorong bak berebut sembako murah.
"Bibi! Mie kuah pakai telor sepuluh!"
"Nggak pakai sambal!"
"AHHH! MINGGIR KAMU! PAK KETOS MAU LEWAT!"
"Aduh, sepatuku diinjak-injak padahal baru dicuci. Aku nggak bisa bergerak juga." batin Sonya, heran di antara kerumunan orang-orang yang saling berhimpitan di depan warung. Wajah Sonya nyaris terlihat bonyok setelah terjepit pundak dan siku teman-temannya sendiri. Tubuhnya juga di dorong ke sana kemari seperti berada di tengah ombak pantai selatan.
Di sisi lain, Fahruz sepertinya sangat menikmati pemandangan ini. Dia duduk di kursi kantin sembari memperhatikan Sonya yang terhimpit, tenggelam, seperti gerombolan ikan sarden yang tertangkap jaring.
"Sonya! Jangan lupa titipanku!" teriak Fahruz dari barisan belakang.
"AHH! FAHRUZ! TOLONG!" teriak Sonya.
Fahruz tertawa kecil melihat lambaian tangan Sonya diantara orang-orang kemudian dia terdiam selama beberapa saat. Dari tempat yang sama, dia merasa ada seseorang yang dikenalnya saat ini. Cowok yang baru saja berjalan memasuki kantin, terlihat sedang memandangi sekitar seperti sedang mencari seseorang.
"Dia kan Alrez. Mantannya Sonya. Ngapain dia ke sini?" batin Fahruz sembari memperhatikan Alrez. Dari lirikannya dan gerakan kepalanya, Alrez sepertinya sedang mencari Sonya. Dia tahu kalau Sonya sangat menyukai mie. Karena itu, pandangannya tidak lepas dari kerumunan berhimpitan di depan warung.
Alrez dan Sonya memang pernah bersama. Namun, untuk waktu yang sangat singkat. Ketika Alrez menampar wajah Sonya hanya karena sebuah gosip, saat itulah Fahruz datang dan memisahkan mereka. Sonya sangat takut bertemu dengannya meski hanya untuk menatap matanya sekilas. Dan siapa yang tidak mengira, Alrez datang kembali padanya setelah berani menyakitinya.
Fahruz melangkah menghampiri Alrez untuk memastikan sesuatu. Dia kemudian berhenti di depan Alrez sembari menatapnya dengan kesal. "Mau apa kamu ke sini? Kayaknya kamu nggak ada niat buat beli sesuatu di sini." tanya Fahruz serius.
"Memangnya kenapa? Bukan urusanmu!" ketus Alrez.
"Kamu mau ketemuan sama Sonya, kan? Kamu pikir dia nggak bakalan ingat kejadian dua bulan lalu?"
"Kamu itu siapanya? Kamu bahkan nggak pernah jadi orang istimewa baginya."
"Setidaknya aku nggak pernah main tangan sama perempuan."
"Oh, ya? Lalu, apa yang kamu lakukan pada Ibumu sendiri? Dia sedang ada di rumah sakit kan? Katanya kamu punya gangguan perilaku. Jadi kamu melukai Ibumu sangat parah sampai-sampai harus dibawa ke rumah sakit. Siapa yang lebih sadis di sini?”
Fahruz berhasil dibuat kesal olehnya. Dengan berani Alrez mengungkapkan masa lalunya di depan semua orang yang tak mengetahui apapun. Memang benar, Fahruz pernah melukai Ibunya sendiri setelah dia dicampakkan oleh cewek yang disukainya. Terlebih, dia melakukan itu secara sadar tanpa tahu Ibunya sudah tergeletak di lantai dengan kepala mengeluarkan darah.
Tangan Fahruz yang terus mengepal, langsung meluncur ke wajah Alrez di depannya. Dengan cepat, Alrez langsung menghindar dan berbalik menyerang Fahruz menggunakan tendangannya. Serangan itu tak sampai mengenai Fahruz yang sudah lebih dulu melangkah mundur untuk menghindarinya. Siapa sangka, hanya dalam beberapa detik saja, mereka sudah berhasil mengundang perhatian semua orang dengan aksi mereka yang memukau, nyata di depan mata mereka.
"Kamu pikir, dengan cara ini kamu bisa bertemu dengan So-
Suara botol minuman terjatuh ke lantai terdengar secara tiba-tiba dan langsung membuat Fahruz menghentikan ucapannya. Fahruz dan Alrez menatap ke arah suara dan mereka melihat Sonya yang berdiri dengan penuh ketakutan dan tekanan sembari memegang pipinya sendiri. Ingatan buruk tentang dia dan Alrez kembali menggema dalam pikirannya seperti nyamuk yang masuk ke dalam telinganya.
Fahruz terlihat khawatir. Dia langsung berjalan menghampiri Sonya. Dan Sonya sudah lebih dulu berlari pergi meninggalkan mereka berdua tanpa mendengarkan penjelasan apapun. Fahruz awalnya ingin mengejar. Namun, sepertinya ini adalah saat yang tepat untuk membiarkannya sendiri.
...~o0o~...
Sonya berlari kabur melewati koridor kelas dengan kepala menunduk ke bawah sampai-sampai dia tidak sengaja menabrak beberapa orang yang melintas.
Kalimat sumpah serapah yang mereka katakan, tak menjadi penghalang bagi Sonya untuk berlari menjauh.
Sonya masih tidak bisa melupakan kejadian dua bulan lalu. Saat itu Alrez yang cemburuan marah karena Sonya berjalan bersama cowok lain. Setelah itu, muncul sebuah gosip yang membicarakan hal buruk tentang Sonya dan cowok tadi. Karena itu, Alrez yang mudah terpengaruh dengan kata-kata yang tidak pasti langsung menampar wajah Sonya saat mereka bertemu.
Karena tidak melihat jalan, Sonya tak sengaja menabrak seseorang yang juga sedang berjalan di depannya. Mereka bertabrakan begitu keras sampai-sampai membuat Sonya melangkah mundur darinya.
"Mata kamu ditaruh di dengkul? Kamu nggak pernah lihat-lihat kalau jalan?" ketus seorang cowok di depannya.
Sonya mengangkat kepalanya dan menatap Aratha, sedang berdiri di depannya. Melihat Aratha, membuat Sonya teringat pada Fahruz yang masih berada di kantin. Dia juga pergi meninggalkan makanannya di sana dan itu membuatnya sangat sedih. Mulanya dia hanya meneteskan air mata. Lalu, tanpa diduga olehnya, Sonya tiba-tiba menangis histeris di depan Aratha seolah menjadikan Aratha seperti orang yang sudah membuatnya menangis.
"Eh? Kamu kenapa nangis? Aku kan cuma tanya. Nggak usah pakai drama!" Aratha mulai panik saat perhatian semua orang tertuju padanya dengan tatapan curiga.
"Kasihan sekali. Dasar cowok brengsek! Bisanya hanya membuat gadis menangis." bisik seseorang.
"Hidupnya pasti sangat berantakan sampai-sampai dia berani melakukannya." bisik yang lain.
Aratha menghela nafas saat mendengarnya. Dia tidak pernah mengira akan mendapatkan kejutan yang sangat tidak terduga bahkan luar biasa di sekolahnya padahal, baru beberapa bulan dia pindah ke sini.
Sungguh awal yang berat.
...Kamu datang dengan tangisan....
...Kurang ajarnya, kamu meminta pelukan....
...Ku taruh makanan manis di atas meja....
...Tetapi, kamu tidak juga tertawa....
...Aku tanya apa yang kamu inginkan....
...Ternyata, denganku kamu ingin berjalan-jalan....
...~o0o~...
Jengkel!!!
"Aku sedikit kesal karena pada akhirnya, hariku dikacaukan oleh seorang gadis yang tak ku kenal. Aku terpaksa harus mentraktirnya ke kantin agar dia tidak menangis lagi." batin Aratha kesal saat dia menyaksikan Sonya makan dengan lahapnya. Aratha tak akan percaya, gadis mungil seperti Sonya bisa makan dalam porsi yang sangat banyak melebihi kaum cowok.
Sonya makan tanpa memberi jeda untuk bernafas dan membuat Aratha teringat pada paus biru yang bisa menelan apa saja. Bahkan berliter-liter air mampu diminumnya.
Aratha langsung menyimpulkan kalau Sonya sangat menyukai mie instan dan sekarang dia sudah menghabiskan tiga mangkuk. Untungnya hari ini ada diskon besar-besaran. Jika bukan karena itu, Aratha tak akan pernah membelikan Sonya enam mangkuk mie instan pakai telur. Mungkin dia akan memilih untuk membelinya tiga tusuk sate setelah itu pergi dan mengancam jika Sonya muncul lagi di depannya. Namun, Sonya terus memaksa agar dia tetap berada di sini dan menemaninya makan. Dia akan menangis lagi jika Aratha sampai meninggalkannya.
"Kamu kayak nggak pernah makan setahun. Memangnya apa enaknya itu? Sangat tidak sehat jika dimakan berlebihan!" Aratha menatapnya heran.
Sonya berkedip beberapa kali, menyadari ada sesuatu yang kurang di sini. "Kamu nggak makan juga? Jarang sekali ada diskon besar-besaran di kantin ini. Jadi, jangan di sia-siakan." Sonya mendorong salah satu piring berisikan martabak manis pada Aratha.
"Nggak usah!" singkat Aratha dingin dan langsung mengalihkan perhatiannya.
"Kenapa sikapmu dingin seperti ini? Aku merasa kita sedang mengobrol di kutub selatan dan dikelilingi pinguin kecil. Aku juga belum pernah melihat orang yang memiliki sifat menyebalkan kayak kamu." celetuk Sonya.
"Siapa yang menyebalkan di sini? Kamu pikir aku nggak tahu? Selama ini kamu kan yang selalu membututi ku sepanjang hari? Kamu juga sering memegang kamera menyeramkan milikmu dan diam-diam memotret ku dari kejauhan kan?! Dan saat kamu ketemu sama aku, kamunya malah nangis! Cengeng banget sih!" tegas Aratha begitu dingin dan curiga pada setiap gerak-gerik Sonya.
"OHOOK! OHOOK!" Sonya langsung tersedak makanannya yang tersangkut di tenggorokan. Dengan cepat dia mengambil segelas air di atas meja dan meminumnya. Sementara Aratha masih menatapnya, tak peduli apakah dia sampai sesak nafas atau malah berujung ke elevator akhirat. Bisa saja, Sonya hanya mencoba berdalih dari pertanyaannya.
Hening.
"Sudah selesai drama batuknya?"
"Manusia tanpa perasaan! Bisa-bisanya dia santai aja ketika ada seseorang yang tersedak! Apakah dia nggak takut aku akan mati setelah ini?!" batin Sonya, kesal.
Berusaha sabar. Tarik nafas lalu buang perlahan.
Sonya melirik ke arah Aratha. Dia bingung bagaimana dia bisa menjawab pertanyaannya tadi. Selain sikapnya yang dingin, Aratha juga tidak suka jika pertanyaannya digantungkan begitu saja. Ekspresinya juga tidak pernah bisa dikondisikan.
"Ketua klub drama memintaku untuk mencarikan seseorang yang cocok menjadi tokoh pangeran di pentas seni nanti. Jadi, aku pikir kamu orang yang cocok untuk menempatinya." jawab Sonya apa adanya meskipun dia tidak yakin kalau Aratha akan mengerti.
Berusaha bicara baik-baik untuk mendapatkan hatinya.
"Terus? Kenapa kamu selalu memegang kamera saat mengikutiku? Apa hubungannya itu? Sudah diam-diam kamu memotret ku dan dengan mudahnya kamu mengatakan alasan yang lain! Kamu stalker ya?! Kamu mau buat aku celaka dengan ngandelin dukun?!" Aratha terlihat semakin dingin sampai membuat Sonya merasa sedang diinterogasi.
Tegang sekali.
”Heh! Zaman sekarang mana ada dukun! Lagian kalau emang ada, ngapain aku ngandelin dia?! Mending aku langsung lempar sesuatu ke kamu biar kamu belajar cara jadi manusia normal!” Sonya memukul meja.
”Jangan memukul meja di depan lawan bicaramu! Kamu nggak pernah belajar sopan santun?!”
”Siapa juga yang mulai duluan?! Sekarang kamu tahu kan kalau aku orangnya pemarah?!”
”Dari awal aku emang nggak kenal kamu! Aku juga nggak pengin kenal kamu! Kamu duluan yang nangis di depanku dan membuatku dituduh melakukan kesalahan!”
”Kamu aja yang merasa! Aku kan nggak nuduh kamu sama sekali!”
Di sisi lain, Fahruz sedang mengawasi Sonya dan Aratha di salah satu meja yang ada di belakang Sonya. Meski tidak mendengar pembicaraan keduanya, dia bisa merasakan ketegangan dan amarah yang sedang dialami Sonya saat ini. Rasanya, pesona dingin Aratha mampu menyejukkan orang-orang yang berkeringat di kantin. Meskipun Aratha adalah sosok cowok yang digilai oleh Sonya sejak keduanya pertama kali bertemu, Fahruz jelas-jelas tak membiarkan hal ini terjadi setelah Sonya bertemu lagi dengan Alrez.
”Tapi, tampaknya mereka juga nggak serasi.”
Lagi-lagi untuk kedua kalinya, saat Fahruz akan berjalan menghampiri Sonya, tiba-tiba saja Sonya beranjak dari kursi lalu mengajak Aratha berlari menuju suatu tempat. Fahruz tidak tahu apa yang dikatakan oleh Sonya sampai-sampai menarik Aratha juga. Diam-diam, Fahruz mengikuti mereka berdua dari belakang.
...~o0o~...
"Kinan! Kinan!" seru Sonya sembari menarik Aratha masuk ke dalam kelas milik klub drama yang penuh sesak karena dipenuhi benda-benda tidak terpakai.
Seorang cewek dengan rambut panjang dikuncir kuda, menoleh ke arah Sonya ketika dia sedang mengecat properti drama. Dia satu-satunya cewek cantik yang ada di klub dan semua orang mendambakan dirinya memakai gaun seorang putri dari negara barat. Namun, kecantikannya ini ditutupi oleh sifat dinginnya yang tak jauh berbeda dari Aratha.
"Kenapa? Kamu datang bawa masalah lagi?" celetuk Kinan, menatapnya dengan curiga.
"Aku bawa orang yang cocok! Dia bakalan jadi karakter pangeran utamanya!" ucap Sonya dengan antusias saat dia mendorong Aratha ke depan.
"Heh! Kamu ini apa-apaan?! Aku nggak bilang kalau aku menerima tawaran kamu!" ucap Aratha tegas sembari melepaskan tangannya dari Sonya.
Namun, Kinan sudah lebih dulu memperhatikannya dari jarak yang sangat dekat. Sepertinya tak cukup bagi Kinan untuk memperhatikan dan menilainya sejauh satu meter. Dia begitu dekat bahkan suara nafasnya sampai terdengar di telinga Aratha yang langsung berdebar-debar karena tak terbiasa.
”Satu cewek keras kepala dan satu cewek yang minusnya nggak karuan. Kenapa aku sampai ketemu mereka sih?!” batin Aratha kesal.
"Hmm, cocok juga. Tubuhnya bagus dan rambutnya rapi sekali. Kakinya juga panjang dan tangannya sedikit berotot. Selera kamu cukup bagus, Sonya." ucap Kinan sembari melipat tangannya dan menjauhkan kepalanya.
Kinan menoleh ke belakang lalu memanggil, "Faiz! Sini sebentar!"
"Ya! Sebentar!" seru Faiz, seorang cowok yang gemar memamerkan senyum lembutnya pada siapapun. Meskipun begitu, dia gemar sekali berganti-ganti cewek setiap bulannya. Namun, hatinya tetap tertuju pada Kinan.
Kinan menatap Faiz yang sudah ada di sebelahnya. Dia berkata, "Berikan dia naskahnya dan buatkan bajunya. Pementasan akan dimulai seminggu lagi. Jadi semuanya harus cepat."
"Oke, akan kulakukan." jawab Faiz sembari berjalan dan mendorong punggung Aratha. "... Ayo, ukur bajumu. Dilihat dari belakang, punggungmu lebar juga. Kamu sering olahraga ya?"
Aratha langsung menahan langkahnya sambil berkata, "Aku nggak bilang kalau aku mau ikut-ikutan! Kenapa memaksa sekali?" Aratha menatap dingin Sonya yang berlindung di belakang Kinan. Sonya sepertinya sangat tahu kalau Aratha pasti akan sangat marah padanya karena dia orang yang sudah memaksanya.
"Sudahlah, lakukan saja! Semua ini demi Sonya. Dia sudah membututimu sejak aku menyuruhnya untuk mencari orang." Kinan tampak tak peduli.
"Kalau kamu nggak mau, Sonya bakalan nangis dan pementasan akan dibatalkan. Semua orang akan menyalahkanmu karena kamu nggak bisa diatur." lanjut Faiz.
"Tapi, aku nggak bilang kalau aku mau melakukannya!" bentak Aratha.
"Terlambat! Aku sudah menuliskan namamu dalam daftar. Kamu juga akan mendapatkan nilai tambahan jika melakukannya." ucap Kinan sembari menuliskan namanya di atas sebuah kertas.
"Tapi, aku tetap nggak mau melakukannya!" paksa Aratha.
"Sudahlah, Aratha. Terima nasib. Kami semua menerimamu di sini." ucap Sonya sembari menggandeng tangan Aratha lalu menggiringnya masuk ke dalam sebuah ruangan.
Bersamaan dengan itu, Fahruz mendatangi mereka. Dia berjalan menghampiri Kinan yang sedang berbicara dengan orang lain. "Kamu lihat Sonya?"
Kinan menatap Fahruz lalu menjawab, "Ya, dia baru saja pergi. Kali ini dia memaksa Aratha sampai-sampai membuatnya mengalami tekanan." Kinan menutup bukunya.
"Oh, begitu ya?" singkat Fahruz pelan sambil menggaruk kepala belakangnya.
"Kayaknya kamu butuh kerjaan. Tolong selesaikan properti yang belum di cat. Aku mau memastikan mereka berdua Nggak bertengkar." Kinan memberikan kuas cat pada Fahruz. Setelah itu dia pergi menuju ruangan lain.
"Seenaknya saja dia memberikanku tugas seperti ini. Aku juga ada pekerjaan." gumam Fahruz kesal, memperhatikan tumpukan triplek dan kardus properti yang belum di cat.
"Gimana kenalannya? Sukses?" Fahruz berjalan beriringan dengan Sonya saat pulang sekolah tiba.
Sambil memakan es krim yang dibelikan Fahruz untuknya karena tanggal tua, Sonya menjawab, "Agak tegang sedikit. Aku lelah karena terus bertengkar dengannya. Tapi, aku pikir dia jauh berbeda dari yang dikatakan orang-orang."
"Apa? Maksud kamu dia itu terlalu galak daripada jarang berbicara?"
Sonya terlihat ragu saat akan menjawabnya. Dia mengalihkan perhatiannya sambil menggaruk pipinya yang tidak gatal dengan jari telunjuknya.
"Nggak baik nggak buruk. Dia sama seperti yang lain. Aku pikir dia langsung mengatakan sumpah serapahnya padaku dan membuatku terdiam seribu bahasa. Tapi, ternyata nggak begitu juga. Aku lega setelah berbicara dengannya."
Melihat wajah Sonya tersenyum hangat seolah baru saja mendapatkan kebahagiaan, membuat Fahruz terpesona seolah Sonya dengan sengaja telah menancapkan panah di hatinya.
"Apa-apaan wajahmu itu? Aku sangat alergi! Bikin semua orang keracunan! Jangan-jangan kamu punya perasaan ke dia?" tanya Fahruz yang mempertahankan ekspresinya.
Sonya menatap Fahruz dengan bingung. "Memangnya kenapa? Aku bebas menyukai siapapun. Kenapa kamu bertanya? Aku heran sama sifatmu itu. Beragam warna bak pelangi, berliku-liku kayak sirkuit balapan yang banyak polisi tidurnya!"
"A- aku kan cuma tanya! Cuma tanya ke kamu! Kamunya aja yang terlalu percaya diri! Lagian, kamu juga belum tahu jelas sifat Aratha itu seperti apa." Fahruz sedikit keras.
Wajah Sonya melunak, tersenyum tulus sampai-sampai membuat Fahruz melebur karenanya. Fahruz tidak bisa menahan wajah memerahnya. Untungnya saat itu, Sonya tak sedang menatapnya.
"Iya, aku tahu Aratha orang baik. Lagian, Fahruz sudah ada di sini. Aku jadi merasa aman dan dicintai. Terima kasih untuk semuanya." Sonya berkata sambil menatap Fahruz dengan penuh arti.
...~o0o~...
Di saat semua orang sudah pulang sejak dua jam yang lalu, Aratha baru saja keluar dari ruangan klub drama ketika matahari sudah tenggelam. Aratha terlihat sangat kesal mengingat Sonya yang sudah membuatnya terjebak dalam situasi seperti ini. Apalagi cewek yang bernama Kinan itu terus memaksanya menghafalkan seluruh teks dialog yang sangat panjang. Kekesalannya ini semakin bertambah ketika dia mendengar kalau yang membuat naskahnya adalah Sonya.
Rasanya pengen nonjok.
"Cewek itu! Sudah membuatku mentraktir dirinya dan sekarang dia malah menjebloskanku dalam situasi yang merepotkan seperti ini! Lihat saja apa yang akan kulakukan padanya nanti! Dia pasti menyesal!" gerutu Aratha sembari berjalan meninggalkan koridor penuh dengan perasaan kesal dan jengkel.
Apa ini? Kenapa terlihat gelap?
Tatapan Aratha terlihat terkejut setelah menatap ke depan koridor yang tak memiliki lampu menyala. Dia menatap ke arah jendela dan menyadari kalau sebentar lagi, matahari akan kehilangan sinarnya dan kembali pada pagi berikutnya.
Aratha langsung berkeringat dingin, menjauhi bayangan kegelapan yang muncul di depannya. Dia terlihat ketakutan, terlebih lagi tak ada seorangpun yang berada di dekatnya. Cemas. Takut. Gelisah. Tidak aman. Pemandangan ini, membuatnya teringat pada masa lalu kelamnya. Dengan mata kepalanya sendiri, dia menyaksikan kematian Ibunya saat malam tiba.
...~o0o~...
"Oh, tidak. Ini bencana." ucap Sonya sembari membuka-buka isi tasnya dan membuatnya berantakan.
"Kenapa lagi? Ada masalah?" tanya Fahruz memperhatikan.
"Ponselku tertinggal di ruang klub. Aku harus mengambilnya untuk menghubungi Ayah." jawab Sonya sembari menutup tasnya kembali.
"Kamu pulang saja. Aku yang akan mengambilnya."
"Nggak usah. Aku akan mengambilnya sendiri. Lagian, aku sudah banyak merepotkanmu." ucap Sonya yang langsung berlari pergi kembali ke sekolah dengan terburu-buru.
"Aduh, di sana kan gelap. Dia yakin bisa sendirian?" gumam Fahruz sembari menatap punggung Sonya yang semakin menjauh sebelum akhirnya Fahruz berjalan berbalik.
Sonya begitu tergesa-gesa saat pergi kembali ke sekolah. Dia harus tahu kapan Ayahnya akan kembali. Terkadang, Ayahnya itu tidak pulang selama lima hari karena sibuk bekerja dan makanan yang sudah disiapkan Sonya untuknya harus terbuang.
Pemandangan sore menjemput malam terlihat cukup menyeramkan di sekolah sekaligus menjadi pemandangan sendu di jalanan. Namun, langit masih memancarkan cahaya merah indahnya untuk meredam kegelapan yang ada dimana-mana.
Tak ada seorangpun yang berdiri di koridor kelas saat Sonya berlari di sana. Hanya beberapa lampu saja yang menyala untuk menerangi koridor. Setelah menaiki anak tangga, Sonya akhirnya sampai ke sebuah ruangan.
Di antara semua ruangan yang ada di sini, hanya ruangan klub drama yang selalu terlihat menyeramkan. Ruangan itu dipenuhi dengan properti dan kain putih panjang yang belum dijahit. Selain itu, juga ada sebuah piano yang katanya selalu berdentang sendiri saat malam.
"Akhirnya ketemu." Sonya terlihat senang ketika dia berhasil menemukan ponselnya yang berada di laci salah satu meja.
Baru saja Sonya melangkah keluar ruangan, dia mendengar suara nafas yang terdengar sesak seperti sedang panik. Sonya sama sekali tak berpikir tentang keberadaan hantu atau makhluk astral manapun. Dia langsung berjalan mengikuti arah suara dan suara itu mengarahkannya pada ruang musik yang berjarak tiga kelas dari ruang klub drama.
"Ada seseorang yang belum pulang? Apakah ini semacam bullying?! Waduh! Bisa gawat nantinya! Sekolah ini bakalan masuk tv dan dicap buruk sama pemerintah!" batin Sonya. Pikiran buruknya ini selalu kumat setiap kali dia menemukan hal yang janggal.
Sonya berjalan memasuki ruangan gelap itu dan memperhatikannya selama beberapa saat. Hanya ada beberapa benda yang bisa dilihat olehnya. Jendela ruangan juga masih terbuka sehingga memungkinkan angin berhembus masuk. Lagi-lagi suara nafasnya masih terdengar sangat jelas di telinganya. Semakin dia mengikutinya, semakin gelap juga ruangan yang dilewatinya.
Sonya berhenti di depan sebuah lemari coklat karena sepertinya suara ini berasal dari dalam sini. Dengan hati-hati dan sedikit ragu, Sonya membuka lemarinya perlahan. Benar saja dengan apa yang dirasakannya saat ini. Dia melihat Aratha, sedang meringkuk di atas kedua lututnya. Aratha terlihat sangat ketakutan dan gemetaran. Keringatnya bahkan tidak berhenti mengalir dari atas kepalanya.
"Aratha?"
Dengan cepat, Aratha langsung mengangkat kepalanya, menatap Sonya dengan penuh ketakutan. Sosoknya jauh berbeda dengan Aratha di siang hari yang dingin dan tegas. Sekarang ini, dia lebih terlihat seperti anak kecil yang takut akan kehilangan arah.
Sonya berjongkok di depan Aratha. Dia tidak begitu tahu apa yang harus dilakukannya saat menghadapi seseorang yang mengalami ketakutan berlebih.
"Jangan takut. Aku ada di sini. Kamu nggak akan sendirian lagi." Sonya tersenyum sembari memegang tangan Aratha yang dingin dan gemetar dengan lembut.
Saat Aratha terlihat jauh lebih tenang, Sonya mencoba menggandeng tangannya keluar dari ruangan gelap. Rasanya akan sulit baginya untuk menyelesaikan masalah ini karena, di luar sana pemandangan gelap juga terjadi.
"Kalau saja aku bisa mengendarai motor atau memiliki mobil, mestinya aku bisa mengantarkan Aratha sampai rumah dengan cepat. Rasanya seperti memegang tangan mayat saja." pikir Sonya, menatap langit-langit ruangan.
Ketika keduanya telah sampai di luar sekolah dan Aratha masih terlihat ketakutan. Sonya semakin khawatir. Dia tidak tahu bagaimana lagi sementara langit semakin gelap. Dia takut Aratha tidak bisa diajak bicara dalam ketakutannya dan memilih untuk lari tanpa arah meninggalkannya.
"Aratha, dimana rumah kamu? Aku akan mengantarkanmu pulang." tanya Sonya.
Aratha tetap diam menunduk sembari memejamkan matanya. Mulanya Sonya tidak tahu kalau Aratha sangat takut dengan kegelapan. Jika saja dia tahu lebih awal, mungkin dia akan meminta Kinan untuk tidak berlatih sampai malam.
"Habislah sudah. Aku nggak mungkin ngajak dia pulang ke rumahku. Bisa gawat karena tetangga sebelahku tukang gosip." batin Sonya, berpikir keras sampai dia bisa merasakan asap keluar dari kepalanya.
Suara motor besar terdengar semakin dekat. Sonya merasa familiar dengan suara motor ini. Dia pun langsung menatap ke depan dan memperhatikan sosok cowok yang mengendarainya dengan memakai helm berwarna putih senada dengan motor dan jaketnya.
"Sonya! Kamu bilang cuma mengambil ponsel. Kenapa sampai selama ini?" ucap cowok itu. Dia berhenti di depan Sonya dan Aratha lalu membuka kaca helmnya.
"Fahruz! Kebetulan banget! Makasih udah datang." ucap Sonya begitu antusias dan sangat senang sampai terharu.
"Kamu ngapain lama-lama di sekolah? Sudah malam begini. Lagian, dia juga kenapa? Lagi kesurupan?" tanya Fahruz sembari menunjuk ke arah Aratha yang terlihat ketakutan.
"Tanyanya nanti saja! Kamu cepetan bawa dia pulang! Tanyakan dimana rumahnya! Aku nggak bisa bawa dia sambil jalan kaki." ucap Sonya, tegas.
"Eh? Apa-apaan ini? Kamunya gimana? Memangnya aku tega ninggalin kamu sendirian di sini?" tanya Fahruz.
Sonya langsung menjawab, "Gampang! Aku bisa pulang sendiri. Sekarang, kamu cepetan bawa dia pulang!" jawabnya sembari mendorong Aratha dan membantunya menaiki motor.
"Iya, aku anterin. Tapi, kamu tunggu di sini. Aku tetap akan mengantarmu pulang." ucap Fahruz pada Sonya sebelum akhirnya dia melajukan motornya dengan cepat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!