NovelToon NovelToon

Lauhul Mahfudzku

PROLOG ~

...HAPPY READING!...

Tepat pukul 00.00 malam, jalur balap malam ini sungguh ramai. Bunyi bising dimana-mana, keadaan semakin riuh dikala seorang yang ditunggu-tunggu kehadirannya akhirnya tiba. Farez Byantara Altezza.

Cowok dengan bandana pada kening nya, yang akan menjadi peserta balap malam ini. Farez adalah seorang pembalap liar yang sering mengikuti balap sana sini, dan itu tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya.

Keahlian dirinya dalam hal balapan cukup baik sehingga ia menjadi pemenang disetiap balap liar yang ia turut sertai. Dan kali ini Farez nekat karena sekarang pun keadaan hati nya tengah kacau, ia butuh pelampiasan.

"Lo harus siapin 10 juta buat malam ini," ujar Damar. Lawan Farez malam ini.

Farez menampilkan senyum sumringah. "Kita liat aja, siapa yang berhak dapat uang itu," kata Farez meremehkan. Kedua pria muda itu sudah siap di balik garis start.

Farez menutup kaca helm nya, meng-gas motor nya tanda ia siap malam ini. Tepuk tangan berserta sorak-sorai dari penonton menghiasi seluruh arena balap. Perempuan dengan pakaian cukup terbuka itu berjalan ke tengah-tengah garis. "One.. Two..—"

"GO!" tepat peluru di tembak ke atas, kedua pria dengan motor besar nya melaju di atas aspal. Deru motor kedua nya sangat bising.

Farez mencapai posisi pertama, dan Damar berada jauh dibelakang nya. Ia tersenyum puas, namun tanpa ia sangka Damar muncul di belakangnya dan menendang bodi samping motor nya sehingga membuat Farez kehilangan keseimbangan.

Namun dengan cekatan Farez mengendalikan motornya agar tidak terjatuh. "Brengsek!" Umpatnya.

Damar sudah mendahului Farez, dan cowok itu kini tertinggal jauh. Tak mau kalah, Farez segera kembali menarik pedal gas nya dengan kecepatan tinggi.

Farez berhasil menggapai posisi pertama kembali. Dan Farez lah yang memenangkan pertandingan malam ini.

"Wah kerennn!" Puji Javas. Teman sekolah sekaligus teman dekat Farez.

"Bos gue nih," sahut Saka. Ia juga teman dekat Farez dan bisa dibilang keduanya sudah dianggap saudara oleh Farez.

"Gimana aman kan?" tanya Saka memastikan. "Aman," jawab Farez.

Mata Farez fokus memperhatikan Damar yang tengah berjalan kearahnya. "Hebat lo, tapi liat aja nanti. Gue bakal kalahin lo," tekan Damar pada Farez. Ia tidak rela jika ia kalah, namun jika ia adu otot bersama Farez pun tak ada guna nya, sudah pasti ia akan kalah. Kemampuan Farez dalam bidang beladiri jangan diragukan lagi.Karena sudah sejak kecil Farez diajarkan untuk belajar bela diri.

"Gue tunggu," jawab Farez menantang.

Damar memberi amplop coklat pada Farez. "Duit lo, selamat," ucap nya sebelum pergi meninggalkan Farez bersama teman-teman nya.

Farez melihat isi amplop tersebut. Didalam sudah jelas ada uang 10 juta hasil dirinya balapan. Namun sebenarnya ia tidak butuh uang itu, dari kecil dirinya sudah dilimpahi harta. Jadi uang 10 juta itu tidak begitu besar bagi nya.

Farez pun balapan bukan karena uang nya, namun ia yang suntuk dirumah dan karena keadaan hati nya yang disaat itu tengah kacau.

"Rez woi! Malah melamun, kenapa sih lo? Ntar kesambet baru tau lo!" Sembur Javas.

"Buat lo, bagi dua," kata Farez dengan mudahnya memberikan uang itu pada kedua teman-teman nya.

"Repot-repot banget lo Rez, tau aja gue lagi butuh duit," cengir Saka.

"Buat jajan adek lo Sak," kata Farez lagi.

"Ini mah buat jajan gue juga cukup Rez, makasih ya!" Kata Saka lagi. Farez menjawab dengan anggukan kepala, lalu ia memperhatikan sekelilingnya yang masih tampak ramai.

"Rez, lo kenapa? Soal Hana lagi?" Tanya Javas yang mengerti dengan raut diwajah Farez.

"Sok tau lo!" Cetus Farez galak.

"Yah kena marah, nanya doang gue padahal," gerutu Javas memelas. "Emang cocok lo dimarahin Jav! Hahahahah!" Saka tertawa dengan kurang ajarnya.

"Sialan lo!" Umpat Javas kesal.

"Anw Rez, emang nya kenapa lo bisa putus sama Hana? Bukan nya hubungan kalian baik-baik aja ya?" Tanya Saka dengan hati-hati.

"Gak penting," jawab Farez cuek. Hana adalah pacar Farez sebelum kedua nya putus. Farez sangat menyayangi perempuan itu, karna Hana adalah cinta pertamanya. Namun sayang, Hana berkhianat pada nya, dan itu yang membuat Farez marah.

"Cabut," ucap Farez menginterupsi.

***

"KAMU INI FAREZ! DARI MANA SAJA KAMU! PULANG JAM SEGINI, MAU JADI APA KAMU HAH!" bentak sang ayah ketika Farez baru saja menginjakkan kaki nya dirumah.

"Yah sabar.. gausah marah-marah. Tenang ya?" Ucap Bunda mencoba membuat suasana hati suaminya itu membaik.

"Gak bisa Bun! Anak ini gak bisa di kasih tau dengan lembut! Selalu saja membangkang omongan orang tua!" Kata Prama—Ayah Farez.

"Ngapain aja kamu diluar sana Farez! Kamu ini siswa, harus nya kamu belajar bukan keluyuran sampai jam segini!"

"Benar kata Ayah mu nak, gak seharusnya kamu keluyuran dan baru pulang jam segini. Kami khawatir sama kamu Farez," ucap Kinara dengan lembut pada anak tunggal nya.

"Farez gak keluyuran Bun, Farez cuma main," elak Farez dengan wajah datar.

"Gak ada main sampe jam segini, emang nya kamu kemana?" Tanya Kinara lagi.

"Balapan."

"APA!" Prama spontan membentak Farez. "KAMU BALAPAN? KURANG KERJAAN KAMU HAH?! UNTUK APA KAMU BALAPAN KAYAK GITU, SUPAYA KEREN IYA?!"

"AYAH UDAH BILANG SAMA KAMU JANGAN TERLIBAT SAMA BALAPAN FAREZ! TAPI KAMU SELALU MEMBANTAH UCAPAN AYAH! MAU JADI APA KAMU!"

"FAREZ TAU APA YANG FAREZ LAKUIN YAH!" kata Farez dengan nada tinggi membuat Bunda dan Ayah nya terkejut bukan main.

"BERANI KAMU MEMBENTAK AYAH! SIAPA YANG NGAJARIN KAMU BEGITU?! AYAH DAN BUNDA KAMU TIDAK PERNAH MENGAJARKAN UNTUK JADI ANAK YANG TIDAK SOPAN FAREZ!" omel Prama. Terlihat guratan kesal di lehernya.

"Ayah.. udahh.." Kinara terus mencoba menenangkan suaminya. "Farez, kamu gak boleh kayak gitu sama Ayah kamu. Bunda tidak mengajarkan kamu seperti itu ada orang tua Farez." Sambut Bunda menegaskan.

"Apa karena perempuan itu kamu jadi anak yang pembangkang seperti ini? Ayah sudah bilang jangan berhubungan dengan perempuan itu, tapi kamu tidak dengar kata Ayah!"

"Ayah gak suka Farez punya hubungan sama Hana kan? Ayah tenang aja, udah putus kok." Setelah mengatakan itu, Farez langsung melangkah pergi menaiki tangga menuju kamarnya.

"FAREZ AYAH BELUM SELESAI BICARA!"

"Ayah udah biarin Farez tenangin pikiran nya dulu.." ucap Kinara. Prama jatuh terduduk di sofa, ia memegang kepala nya yang berdenyut nyeri.

"Ayah, kenapa? Biar Bunda ambilin obat ya Yah," kata Kinara dengan raut panik.

"Gak perlu Bun. Ayah gak papa. Ayah lelah dengan sikap Farez yang tidak berubah sampai sekarang. Bagaimana kita akan bicara dengan keluarga Hasan?" Ucap Prama.

"Yah, apa gak sebaiknya kita batalkan saja? Bunda yakin Farez akan menolak, dan melihat tingkah dia yang sekarang Bunda khawatir nanti nya tidak baik untuk mereka."

"Ayah juga berfikir seperti itu Bun, Ayah bingung," kata Prama.

"Kita lihat perkembangan Farez beberapa hari ini. Setelah itu baru kita bicarakan pada Farez dan keluarga Hasan," ucap Prama yang di angguki oleh Kinara.

***

Jakarta, pukul 07.00 SMA Bagaskara.

"Woi Jav! Susu gue anjing!" Teriak Saka didalam kelas yang teriakan nya terdengar hingga luar kelas. Hanya pasal susu yang dihabiskan oleh Javas.

"Yah, gue pikir lo udah gak mau jadi gue habisin deh," ucap Javas dengan muka tak bersalahnya.

"Duh pusing gue denger lo berdua ribut melulu di kelas. Pasti orang nya lo berdua. Bosen gue tau gak!" Omel Gisa sang sekretaris kelas.

"Gausah didengerin lah, ribet banget. Yak gak Sak?" Ucap Javas.

"Yoi," sahut Saka.

"Lo contoh tu si Farez, kalem aman damai tentram. Gak kayak lo berdua! Gue suka heran, kok Farez mau ya temenan sama lo berdua, sikap nya udah kayak monyet lagi," kata Gisa tega.

"Ya ampun Sa, tega bener lo. Awas lo ntar klepek-klepek sama gue," ucap Saka dengan pedenya.

"DIH NAJONG!" sembur Gisa. Javas tertawa terbahak-bahak melihat itu, kasian sekali teman nya yang satu itu.

"Bisa diem gak?!" Farez menatap tajam kearah tiga orang disana.

"Sorry Rez! Peace deh," kata Javas dengan cengiran khas miliknya.

Kelas 12 IPS3 tengah jamkos karena guru matpel pertama mereka tidak masuk dan hanya di beri tugas saja. Namun bukan mereka jika mereka mengerjakan. Mereka akan bermain, bernyanyi, dan lain-lain nya di kelas.

Kalau kata Saka begini. "Buat apa ngerjain tugas kalau cuma terpaksa? Mending gak usah lah." Begitu katanya.

"Mending lo berdua kerjain tugas lo sana! Selesai gak selesai kumpulin!" Tekan Gisa.

"Heran banget gue sama lo Sa, bawaan nya kalo sama kita marahh mulu. Salah apa sih gue sama lo?" tanya Saka heran.

"Salah lo udah lahir dibumi! Ribet kalau ada lo!"

Nah kan, cuma bertanya ujung-ujungnya kena marah.

"Dari pada lo marah-marah gak jelas mending lo jadi pacar gue aja deh Sa," ujar Javas dengan pede nya.

"Dih! Amit-amit gue punya pacar modelan kayak lo!" Gisa bergidik ngeri membayangkan nya. Bisa hancur reputasi nya jika berpacaran dengan Javas, cowok dengan sejuta keanehan didalam dirinya.

"Lo kenapa gak pacaran?" Tanya Saka kepo, karna dari awal mereka kenal yaitu kelas sepuluh, Gisa sama sekali tidak memiliki pacar.

"Buat sekarang cowok plastik lebih menarik," ungkap Gisa.

"Siapa itu? Jimin?" Ujar Javas mengingat-ingat ucapan Gisa yang sebelumnya pernah memberi tau idol favorit nya.

"HAHAHAHAH!" Saka tertawa puas mendengar lontaran dari mulut Javas. "JAEMIN TOLOL!" ucap Saka ngegas.

"Nah iya Jemin," kata Javas.

"JA E MIN, BUKAN JEMIN! LO KALAU NYEBUT NAMA SUAMI GUE YANG BENER DONG!" omel Gisa galak.

"Maaf kanjeng," Javas menyatukan kedua tangannya seolah tunduk pada Gisa.

"Udah ah! Ngomong sama lo berdua gak ada faedah nya, cepet kerjain! Awas kalau sampe gak selesai!" Ancam Gisa lalu pergi ke bangku nya.

"Gila tu cewek galak amat.." ucap Saka bergidik ngeri.

***

Bandung, 08.30 Ponpes Nurul Hidayah.

"Permisi, saya di amanahkan Kyai untuk memanggil Ning, sudah ditunggu Kyai di Ndalem," ucap Ustadzah Mirna, salah satu guru yang mengabdi disana.

Ada apa Abi manggil aku? Dijam pelajaran lagi? Batin Mora heran. Zamora Levannia atau kerap disebut Mora oleh orang terdekat nya. Ia anak dari Kyai pemilik ponpes Nurul Hidayah.

Gadis cantik dengan cadar di wajah nya itu bangkit dari duduknya untuk meminta izin keluar pada guru yang tengah mengajar. Baru lah setelah itu ia pergi ke Ndalem.

Ndalem berasal dari Bahasa jawa yang artinya rumah. Ndalem adalah tempat menempuh pendidikan di suatu pesantren sekaligus mengabdikan dirinya membantu Kyai mengerjakan pekerjaan sehari-hari.

Mora tiba di Ndalem, dengan perasaan tak karuan. "Assalamualaikum," salam nya sebelum masuk. Mendengar sautan dari dalam, baru lah Mora melangkah masuk dan menemui Umi dan Abi nya yang terlihat tengah duduk di sofa ruang tamu.

"Umi Abi, panggil Mora?"

"Iya, duduk dulu nak," kata Umi. Mora lantas duduk berhadapan dengan Umi dan Abi nya. "Ada apa Umi Abi?"

"Mora, maaf jika Umi dan Abi menganggu waktu mu, tapi kami harus katakan ini pada mu sekarang. Jika menunda seperti nya tidak baik, dan Umi Abi akan berangkat ke Jogyakarta untuk mengisi Tausiyah disana." Jelas Umi pada Mora yang membuat Mora semakin penasaran.

"Memang nya ada apa Umi?"

"Mora, jika Abi menjodohkan kamu dengan anak dari teman Abi, apa kamu bersedia nak?" Tanya Abi dengan halus.

"Maksud Abi? Mora gak ngerti," Mora terkejut bukan main, namun ia mencoba menetralkan raut diwajahnya.

"Abi berniat menjodohkan kamu dengan anak dari teman Abi nak, insyaallah jika kalian menikah akan menjadi pahala untuk kalian," ucap Abi.

"Tapi kenapa Abi? Kenapa mendadak? Mora bingung, Mora kan masih sekolah Abi, Mora belum siap untuk berumah tangga," ucap Mora lirih.

"Mora, ini niat baik kami. Teman Abimu, ingin jika setelah kalian menikah nanti, kamu bisa membantu beliau dalam merubah sikap putra nya." Sambung Umi menjelaskan.

Mora terdiam dalam seribu bahasa. Ia menunduk dalam, meresapi kata demi kata dari Umi dan Abi nya. "Mora masih sekolah Umi.."

"Sebentar lagi kan kamu lulus nak, tidak perlu terburu-buru. Kalian bisa ta'aruf, tidak langsung menikah," ujar Abi nya.

"Dan Abi yakin, ini yang terbaik untuk kamu. Abi dan teman Abi sangat ingin melihat kalian menikah, dan itu pula membuat hubungan silaturahmi semakin kuat," kata Abi menimpali.

"Beri Mora waktu untuk berfikir Abi," ucap Mora setelah lama nya terdiam.

"Iya nak, pikirkan baik-baik. Ini untuk masa depan kamu, jangan lupa sholat istikharah supaya dipermudah oleh Allah," timpal Umi nya.

"Iya Umi, Mora permisi. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah Mora keluar dari Ndalem, Umi memandang kasihan pada putri sulung nya itu. "Sejujurnya Umi tidak setuju dengan ini Abi, kasian Mora. Dia masih sekolah," ucap Umi sendu. Abi menoleh pada istrinya lalu berkata. "Abi yakin ini yang terbaik, berdoa saja. Kita juga sudah bicarakan ini sama Prama dan Kinara kan, semua nya akan baik-baik aja Umi. Jangan khawatir, serahkan semuanya kepada Allah."

"Amiin Abi."

***

BAB 1 : BINGUNG

...HAPPY READING!!...

Mora kembali ke kelas nya, ia terus merenungkan ucapan Abi nya. Mora sungguh pusing dibuatnya, bahkan untuk fokus mendengar penjelasan guru saja sulit rasanya. Kepala nya serasa ingin pecah saat itu juga, hanya beberapa kalimat namun efek nya sangat kuat bagi Mora.

"Mora! Kamu kenapa bengong terus!" Tegur Zizah teman sebangku Mora. Gadis itu tersentak kaget lantaran teguran Zizah.

"Engga kok Zi, aku lagi bingung aja nih," kata Mora.

"Bingung kenapa kamu teh?"

"Nanti aku cerita deh, tapi gak sekarang Zi," ujar Mora pada Zizah.

Zizah mengangguk paham, ia tidak ingin memaksa. "Yaudah gak papa, sekarang kamu fokus dulu," kata Zizah.

"Iya Zi."

***

Bel masuk terlah berbunyi, yang menandakan jam istirahat telah berakhir. Siswa/i SMA Bagaskara berhambur masuk kedalam kelas masing-masing. Namun berbeda dengan tiga laki-laki ini, mereka malah asik nongkrong di rooptof sekolah.

Javas dan Saka memainkan ponselnya, dan Farez yang menutup matanya menikmati semilir angin yang menerpa. "Rez! Gila sih, gue liat-liat mantan lo makin cakep aja! Apa gak nyesel lo mutusin dia?" Seru Saka antusias.

Farez membuka matanya lalu bangkit dari posisi tidurnya. "Siapa?" Tanya nya pada Saka.

"Ya Hana lah! Siapa lagi, emang mantan lo ada berapa?" Sahut Javas ngegas.

"Lo suka? Ambil," kata Farez pada Saka dengan enteng nya.

"Anjir lah! Lo ngasi cewek kayak ngasi permen aja," kata Saka tak menyangka.

"Gak kenal," cetus Farez.

"Jangan gitu juga lo Rez. Gitu-gitu pernah jadi yang berharga di hidup lo!" Sembur Javas.

"Omong-omong, ini kita gak ke kelas?" ucap Saka menatap Farez dan Javas secara bergantian. Javas menaruh ponselnya kedalam saku celana abu-abu nya. "Gue males Sak, sekarang kan jam nya mtk, otak gue mampet kalo sama tu pelajaran," ungkap Javas.

"Ya sama gue juga. Kadang gue tuh mikir, siapa sih yang ciptain mtk di dunia? Bikin ribet!" cerocos Saka turut kesal.

"Halaman belakang," instruksi Farez yang langsung di ikuti oleh kedua temannya.

***

Javas, Saka dan Farez tentunya sudah berada di halaman belakang. Berbatasan dengan pagar tembok yang langsung berhubung ke parkiran belakang sekolah, tempat dimana mereka menaruh motor mereka.

Untuk apa mereka disana? Jelas memanjat tembok, tidak ada hal lain selain bolos, memang tidak ada kapok-kapok nya, walau pernah di hukum tetapi tidak pernah jera.

"Kalian ngapain?"

"Bangs*t!" Umpat Saka terkejut. Cowok itu mengelus dada nya masih terkejut. "Sial, bikin kaget aja lo!" Kesal Saka. Ia pikir itu adalah Bu Rini, guru BK di sekolahnya.

"Ya maaf, kalian ngapain disini?" Tanya Hana mengulangi.

"Ya lo sendiri ngapain?" tanya balik Javas.

"Kebetulan tadi gue lewat, trus liat lo pada disini. Kalian.. Mau bolos?" tanya Hana pelan.

"Kalo iya kenapa? Lo mau ngadu? Sana!" sahut Farez sarkastik.

"Gak gitu Rez, aku—"

"Mending lo pergi dari sini, kehadiran lo gak dibutuhin disini!" kata Farez semakin menjadi. Jujur saja sejak Hana muncul perasaan nya semakin tidak karuan, masih ada setitik rasa di hati nya pada gadis didepannya ini.

"Rez!" Tegur Javas. Menurutnya Farez terlalu kasar bicara seperti itu untuk ukuran perempuan.

"Rez kamu masih marah soal kejadian hari itu? Rez itu semua salah paham," bela Hana.

"Yaudah, kalo gitu jelasin!"

Hana geming.

"So? Lo aja gak bisa jelasin ke gue, sekarang gimana cara nya gue bisa percaya sama lo Han!" kata Farez menahan amarah dihati nya. Ia menatap tajam perempuan itu.

"Lo tau kan, gue paling gak suka di bohongin. Apalagi orang itu yang paling gue percaya! Sekali ada kebohongan, bakal ada kebohongan lain untuk menutupi kebohongan sebelumnya," sambung nya.

"Farez—"

"Lo pergi! Gue muak liat muka lo!" potong Farez sangat menusuk. Hana terkejut mendengar penuturan Farez kepada nya. Tidak pernah selama ini Farez berkata kasar pada nya, namun kali ini berbeda. Dia bukan Farez yang Hana kenal.

"Oke.. Gue pergi," kata Hana dengan lirih dan pelan. Perempuan itu tampak putus asa, dapat dilihat dari perkataan nya.

Javas merasa iba dengan Hana namun ia pun tidak tau harus berbuat apa sekarang. Ketika Hana sudah benar-benar pergi dari mereka, Farez mengeram marah. Mata nya memanas, tangan nya sudah terkepal sempura.

"Men, lo gak harus kayak tadi. Dia cewek bro!" Peringat Saka. "Lo boleh marah, tapi jangan segitunya lah, kasian."

"Lo kasian sama tu cewek? Sana aja lo sama dia!" kata Farez galak.

"Udah Rez, yang dibilang Saka itu bener. Lo tenangin diri lo dulu," sambung Javas.

"HEI KALIAN! NGAPAIN KALIAN DISANA?! BUKAN NYA MASUK KELAS MALAH KELUYURAN, IKUT IBU KALIAN!" teriak Bu Rini, dari sisi kiri mereka. Ya, mereka ketahuan.

"EH! ADA BU RINI, MAKIN CANTIK AJA BU!" seru Saka pada Bu Rini.

"GAK USAH BANYAK OMONG KAMU SAKA! SEKARANG KALIAN BERDIRI HORMAT MENGAHADAP BENDERA SAMPAI JAM TERAKHIR!"

Mampus.

***

Tepat dibawah matahari terik ketiga laki-laki ini mengadah pada bendera merah-putih yang berkibar. Peluh membasahi kening hingga leher mereka. Baju mereka saja sudah jelas terlihat basah oleh keringat.

"Kejam bener tu guru! Masa siang bolong begini disuruh hormat bendera!" gerutu Javas kesal setengah mati. Hati nya sangat tidak ikhlas.

"Panas banget lagi, tu guru kayak nya emang pengen kita menderita kali ya. Punya dendam apa si tu guru ma kita?" sahut Saka yang sama kesal nya. Wajah nya yang putih terlihat merah padam saat ini, sama seperti Farez yang sudah mati-matian menahan panas di seluruh tubuhnya.

"Pegel gue," cetus Farez. Bagaimana tidak pegal? Dari masuk istirahat pertama, hingga istirahat kedua. Bayangan empat jam berdiri di bawah teriknya sinar matahari langsung.

"Kalau bisa gue mau kabarin bendera putih aja deh! Suer gue udah gak kuatt!" Ucap Saka memprihatinkan.

Tringg...tringg..

Bunyi bel istirahat kedua membuat ketiga nya bernapas lega. Mereka langsung menurunkan tangan nya dan berhambur duduk di lapangan. Persetan menjadi tontonan, mereka benar-benar pegal.

"Akhir nya..., setelah empat jam berdiri gue bisa duduk. Kaki gue rasa nya mau copot," kata Javas mengeluh.

"Gue gak sanggup berdiri lagi deh kayak nya ini," timpal Saka. Farez diam sembari duduk menikmati keringat yang terus bercucuran.

Bu Rini datang menghampiri mereka. "Ini hukuman kalian yang sudah berani ingin bolos. Awas aja kalau sampe ketahuan kalian mau bolos, ibu akan beri kalian surat peringatan!"

"Yah bu! Tega bener ibu, baru mau bolos belum bolos udah disuruh berdiri disini. Empat jam bu empat jam!" kata Saka memelas.

"Salah kalian sendiri! Sekarang kalian boleh masuk kekelas! Awas kalau kalian bolos lagi!" Ancam Bu Rini sebelum akhirnya beliau pergi dari sana.

"Kantin gas!"

***

"Assalamualaikum Umi.. Abi," ucap Mora ketika pulang ke Ndalem. Suasana rumah sangat sepi, ah iya! Mora baru teringat, Abi dan Umi nya pergi untuk mengisi tausyiah.

Mora berjalan memasuki ruang tamu. Ia mendudukan bokongnya disana, lalu melepas cadarnya. Gadis itu celingak-celinguk mencari keberadaan adik perempuan nya. Della nama nya.

"Della!" panggil Mora namun tak mendapat sahutan. "Kemana dia?" gumam Mora berfikir. Gadis itu bangkit dari duduk nya, berjalan menuju kamar tercinta.

Saat memasuki kamar, Mora berniat bersih-bersih diri. Tubuhnya terasa sangat lengket sekali. Lalu setelah itu barulah ia akan melaksanakan sholat ashar.

Tiga puluh menit berlalu, Mora sudah selesai mandi. Mora segera melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim. Mora melaksanakan sholat nya dengan khusyu' dan tertib. Tak lupa ia selipkan doa di setiap sujud nya.

Ya Allah, tolong beri hamba petunjuk, harus apa hamba sekarang. Hamba ingin memenuhi permintaan Umi dan Abi, tapi hamba bimbang ya Allah. Ini terlalu sulit untuk hamba, hamba memohon pada engkau, berikan hamba jalan keluar. Amiin..

Sesudah sholat, Mora berniat untuk keluar mencari udara segar.

Setelah siap dengan setelan gamis nya, Mora keluar tak lupa cadar diwajahnya yang senantiasa disana. Saat ia berada di ruang tamu, ia melihat Della yang duduk disana. Ia pun menghampiri adik nya itu.

"Della, baru pulang?" tanya Mora.

"Iya teh, baru." Della melihat penampilan kakak nya yang rapi, lantas ia bertanya. "Teteh mau keluar? Kok rapi banget?"

"Masa sih? Biasa aja kok ini, teteh mau cari udara seger aja nih," jawab Mora.

"Oh gitu, oh ta teh, Umi sama Abi kemana?" Tanya Della yang tak melihat keberadaan kedua orang tuanya.

"Umi sama Abi lagi ke Jogja buat isi tausyiah. Paling besok pulang."

Della mengangguk paham. "Yaudah, Della kekamar ya teh. Mau mandi," pamit Della.

"Jangan lupa sholat Ashar Del!"

"Iya teh!"

Mora menggeleng kecil melihat tingkah adiknya itu. Ia kembali pada niat awal nya untuk jalan-jalan sekitar pondok. Ia berjalan melewati asrama perempuan, yang ternyata ada yang tengah piket halaman disana.

"Assalamualaikum ning," sapa mereka.

"Waalaikumsalam.." jawab Mora ramah.

"Ning mau kemana?" tanya salah satu dari mereka.

"Cuma cari udara segar aja, kalian udah pada sholat ashar belom?"

"Alhamdulillah, udah ning."

"Alhamdulillah, bagus kalau gitu. Yaudah lanjut piket nya, saya duluan. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab mereka serempak.

"Masyallah, ning Mora benar-benar bikin aku insecure. Pengen jadi kayak ning Mora, doain aku bisa Istiqomah dan konsisten pake cadar."

"Amiinn.."

"Jodoh ning Mora nanti, pasti beruntung bisa miliki ning. Perempuan Sholeha yang sangat menjaga pandangan nya."

"Udah, kok malah ngobrol. Lanjutin piket nya."

***

Pukul 19.00

Farez baru pulang ke rumahnya. Seragam sekolah masih melekat di tubuhnya. Baru memasuki rumah, terlihat Ayah dan Bunda nya yang sudah menunggu kehadirannya. Farez memilih abai, dan terus berjalan tanpa menghiraukan Prama dan Kinara disana.

"Farez!" Panggil Prama membuat langkah Farez terhenti.

"Tidak sopan sekali kamu, tidak mengucap salam main nyelonong aja! Gimana nanti kalau kamu menikah?" tegur Prama.

Nikah? Batin Farez heran.

Cowok itu membalik kan tubuhnya melihat Prama dan Kinara disana. "Nikah? Siapa yang mau nikah?" tanya Farez bingung.

"Farez, sini dulu. Kami mau bicara hal penting sama kamu," ucap Kinara pada anak tunggal nya itu. Farez menurut pada Kinara, ia berjalan mendekati Prama dan Kinara.

Farez langsung duduk di sofa berhadapan dengan Prama dan Kinara. "Ada apa Bun?"

"Farez kamu sudah dewasa, tau mana yang baik dan yang tidak. Dan kami ingin yang terbaik untuk kamu. Bunda dan Ayah liat kamu semakin hari semakin susah diatur, Bunda tau kamu sudah punya dunia sendiri. Tapi—"

"Tunggu! Ini ada apa? Kenapa Bunda ngomong kayak gitu?" Potong Farez.

"Farez! Bunda mu lagi ngomong, jangan potong ucapan orang tua," tekan Prama memperingati. Farez memutar bola matanya malas, padahal ia hanya bertanya.

"Farez, sebentar lagi kamu lulus, apa rencana kamu selanjutnya?" tanya Kinara pada putranya.

"Gak tau Bun, bingung."

"Lebih baik kamu menikah Farez, dengan anak teman Ayah," ceplos Prama.

"Hah? Nikah? Farez gak mau Yah! Apa kata temen Farez kalau Farez nikah muda!" bantah Farez.

"Denger Farez, ini demi kebaikan kamu juga. Bunda mohon, kamu mau ya?" ucap Kinara memohon. Farez memandang Kinara, tercetak jelas dimata nya tanda permohonan. Farez tidak menyukai Kinara yang memohon padanya.

"Tapi Bun—"

"Bunda yakin ini semua yang terbaik. Mau ya?" Ucap Kinara lagi.

Farez tak bisa berkata-kata lagi, ia kehabisan kata-kata nya. Biasanya ia dengan mudahnya melontarkan kata penolakan, namun sekarang entah kenapa kata itu sulit bagi nya untuk diucapkan.

Farez menghela nafas berat. "Siapa?" tanya Farez. Kinara tersenyum sumringah mendengar perkataan Farez, setidaknya dengan Farez yang bertanya demikian ada setitik harapan untuk Farez menerima ini.

"Mora nama nya. Zamora Levannia, anak dari Kyai di ponpes Nurul Hidayah Bandung. Teman Ayah," jawab Prama.

"Dia gadis yang baik, sopan, dan ramah. Ayah sangat ingin melihat kamu menikah dengan dia Farez," sambung Prama.

"Kasih Farez waktu Yah, Farez pikirin dulu," kata Farez seketika membuat Prama senang mendengar nya. Setidaknya Farez tidak langsung menolak.

"Oke, jangan lama-lama."

"Farez ke kamar dulu."

***

BAB 2 : MENUJU KEPUTUSAN

...HAPPY READING!!...

Usai melaksanakan sholat isya, Mora melanjutkan dengan muraja'ah Qur'an di kamarnya. Umi dan Abi nya menelfon akan pulang besok pagi, selang beberapa menit Mora muraja'ah ada yang mengetuk pintu kamarnya.

Mora menghentikan aktifitasnya sejenak, menaruh Qur'an yang berada di tangan nya ke atas meja. Gadis itu masih menggunakan mukena nya, jadi ia tidak perlu lagi menggunakan jilbab. Ia pun membuka pintu kamar, terlihat Della yang berdiri didepan kamarnya.

"Della? Ngapain?" tanya Mora.

"Aku mau setor muraja'ah aku, Umi kan lagi gak dirumah, jadi aku setor nya sama teh Mora dulu," kata Della.

"Oh gitu, yaudah ayo masuk." Della dan Mora sama-sama duduk di ranjang dengan posisi berhadapan. Della memulai muraja'ah nya dengan begitu seirus, namun berbanding balik dengan Mora. Gadis itu tidak fokus dalam mendengarkan setoran Della.

Pikirannya melayang kemana-mana hingga untuk fokus pun sulit rasanya. Della sadar ketika melihat Mora yang hanya termenung, ia pun berhenti membaca. Gadis SMP itu memerhatikan raut bingung di wajah cantik kakaknya.

"Teh, kenapa bengong!" tegur Della membuat Mora tersentak dan lamunan nya buyar seketika. "Eh! Udah selesai?" tanya Mora gelagapan.

"Teteh gak dengerin ya? Kok aku liat dari tadi bengong terus, teh Mora kenapa?" tanya gadis itu.

"Maaf Del, teteh gak fokus. Lanjutin muraja'ah nya."

"Gak teh, percuma kalau teteh gak fokus. Cerita teh kenapa?"

Mora menghela nafas panjang sebelum berkata. "Teteh.. dijodohin Del."

"HAH?!" teriak Della spontan.

"Astaghfirullah," ucap Mora terkejut.

"Eh, maaf teh. Habis nya Della kaget. Teteh serius? Kok bisa?" tanya Della beruntun.

"Serius Del, kamu aja kaget apalagi teteh."

"Terus, teteh mau?" tanya Della memastikan.

Mora menggeleng. "Bingung Del. Teteh gak mau nolak permintaan Umi dan Abi, tapi ini terlalu sulit buat teteh. Sampe sekarang teteh belum kasih jawaban," ungkap Mora dengan raut wajah yang memprihatinkan.

Della pun turut bingung jadinya, ia harus senang atau sedih? Ia senang, kalau kakak nya benar-benar menikah, ia akan memiliki abang ipar. Namun ia juga sedih, pasti kakak nya itu bingung dan tak tau harus apa sekarang.

"Teh, Della yakin di balik semua ini ada hikmahnya. Dan Della juga yakin, Umi dan Abi gak mungkin ngelakuin ini kalau bukan atas dasar kebaikan," ujar gadis yang menduduki bangku kelas 3 SMP itu. Di umurnya yang masih dibilang remaja, namun cara ia berbicara sudah menandakan betapa dewasa nya dia. Dewasa tidak dilihat dari umur bukan?

"Iya Del, teteh paham. Cuma sekarang teteh bingung jawaban apa yang harus teteh kasih nanti."

"Saran aku, teteh dengerin kata hati teteh. Jangan terima karna terpaksa, karna itu gak baik untuk kedepannya. Kalau teteh emang gak mau, ngomong sama Umi dan Abi pelan-pelan, mereka pasti ngerti kok," ucap Della membuat Mora semakin dilanda kebingungan.

"Makasih ya Del saran nya," kata Mora. Della mengangguk ceria. "Omong-omong, teteh udah tau siapa yang bakal dijodohin sama teteh?" tanya Della penasaran.

Mora menggeleng tanda tak tau. "Umi sama Abi juga belum kasih tau Del."

"Yaudah kalo gitu, Della balik ke kamar dulu," pamit Della. Dengan senang hati Mora mempersilahkan, dan ketika adik nya itu sudah keluar dari kamarnya, pikiran nya kembali terbayang pada ucapan Umi dan Abi nya. Perkataan Della pun terbesit di pikiran nya, ada benar nya memang.

Untuk kesekian kalinya Mora menghela nafas, pikiran nya benar-benar dipenuhi jawaban apa yang akan ia berikan nanti. Memikirkan hal itu saja sudah membuat kepalanya seakan ingin pecah.

***

Dua hari kemudian.

Jakarta, sabtu 13.34 WIB.

"Iya, baik. Waalaikumsalam."

"Apa kata Kyai Hasan Yah?" tanya Kinara penasaran. Prama yang baru saja mematikan ponselnya langsung memandang istinya. "Mora belum juga kasih jawaban sampe sekarang, sama kayak Farez. Jadi biar jelas, kita diundang kesana besok, sekalian tanya sama anak-anak apa jawaban mereka. Biar tidak ada salah paham," jelas Prama.

"Wah bagus itu, jadi biar jelas semua nya," timpal Kinara. Disela mereka berbincang, Farez keluar dari kamarnya dengan jaket denim yang sudah melekat sempurna ditubuhnya.

"Farez, mau kemana kamu?" tanya Kinara. Farez menghentikan langkahnya, berbalik memandang Kinara. "Mau main sama temen Bun," kata nya.

"Tadi malam kamu pulang udah larut, sekarang kamu mau main lagi?" tanya Prama tak habis fikir.

"Farez bosen di rumah Yah," cetus Farez.

"Yasudah, tapi sebelum jam delapan kamu sudah pulang," kata Kinara tak ingin dibantah. Farez memandang Kinara tidak senang. "Loh Bun? Gak bisa gitu dong," bantah Farez.

"Nurut atau gak sama sekali?" Kinara menatap tajam putra nya itu. Farez menghela nafas berat. "Oke, jam delapan Farez pulang," final nya.

Kinara tersenyum senang. "Good boy. Dan ya satu lagi, besok pagi kita berangkat ke bandung, ke rumah calon istri mu, biar jelas semuanya kita obrolin disana. Kamu sudah ada jawaban belum?"

Farez ingin muntah rasanya mendengar kata 'istri' itu. "Nanti Farez pikirin lagi Bun," ucap nya seadanya.

"Pokoknya besok kamu harus sudah menyiapkan jawaban, dan Bunda harap jawaban kamu tidak mengecewakan Bunda nantinya," ujar Kinara dengan sungguh-sungguh.

Farez menatap mata Kinara yang memancarkan harapan padanya. "Farez pergi dulu," tanpa salam cowok itu pergi begitu saja.

"SALAM NYA NAK!" teriak Kinara menggelegar seluruh rumah. Prama yang berada disampingnya pun terjengkit kaget.

"LUPA! ASSALAMUALAIKUM!" sahut Farez dari luar.

"Waalaikumsalam," jawab Prama dan Kinara. Mereka geleng-geleng melihat tingkah anak nya itu.

***

"Umi? Ini ada apa kok pada beres-beres? Trus ini kenapa di dekor rapi gini?" tanya Mora pada Umi nya. Karna ia bingung ketika baru keluar dari kamar dengan gamis dan cadar diwajahnya, ia sudah melihat para santriwati yang membantu Umi nya membereskan ndalem.

"Ada tamu spesial yang mau datang besok, jadi semua nya disiapkan hari ini," ucap Umi pada Mora. Dekoran nya bukan dekoran yang mewah, namun hanya di rubah sedikit saja.

"Tamu spesial? Siapa?"

"Calon suami kamu dan keluarga nya. Jadi kamu besok harus siap-siap ya nak. Besok Umi mau kamu sudah menyiapkan jawaban kamu, biar sama-sama enak. Umi gak maksa kamu untuk jawab iya, tapi Umi harap itu jawaban kamu," ujar Umi. Jujur saja Umi nya sangat berharap pada jawaban Mora.

"Jadi... Besok yang mau dijodohin sama Mora bakal dateng kesini?"

"Iya Mora, Umi sudah siapkan gamis untukmu. Kamu pakai besok," kata Umi nya dengan raut bahagia tercetak disana. Mora senang melihatnya, ia ingin terus melihat itu di wajah Umi nya, namun mengingat jawaban dirinya, apakah senyum diwajah Umi nya akan tetap tercetak disana?

"Iya Umi."

***

"Wei bro! Kenapa lo, dateng-dateng udah kusut aja tu muka!" seru Javas ketika Farez baru datang di cafe tempat biasa mereka kumpul.

"Bacot lo!" sembur Farez galak. Cowok itu duduk di salah satu kursi disana. Tampak dari raut wajahnya cowok itu tengah gelisah.

Saka dan Javas melihat itu. "Lo kenapa Rez? Kayak banyak pikiran gitu. Cerita kali ma kita," ucap Saka. "Iya Rez, mana tau kita bisa bantu lo kan?" timpal Javas.

"Gue dijodohin."

"HAH?!" seru kedua nya kaget. Suara mereka sungguh besar hingga seluruh pengunjung cafe memperhatikan mereka.

"Pelanan dikit anj*ng!" desis Farez kesal.

"Ya maap, nama nya kaget. Reflek gitu Rez," kata Saka membela diri.

"Tapi lo serius ini? Gimana ceritanya?" tanya Javas gregetan.

"Panjang lah ceritanya, inti nya besok gue, bokap nyokap pergi ke bandung tempat tu cewek. Gue bingung, sampe sekarang gue belum nemuin jawaban apa yang bakal gue kasih nanti," ucap Farez frustasi.

"Wait wait, lo kenapa baru cerita sekarang?"

"Penting?" tanya Farez sekenanya.

"Ini nih, berasa gak dianggep temen rasanya," kata Saka melangsa.

"So, lo udah tau cewek nya kayak gimana?" tanya Javas.

"Belom, gue juga kepo sama muka tu cewek sampe bokap nyokap gue ngebet gue buat nikah sama dia," gerutu Farez.

"Cakep kali," ceplos Saka.

"Gue gak peduli mau dia cakep atau engga, inti nya gue pengen nolak perjodohan ini," kekeh Farez.

"Gue heran deh, lo kan masih sekolah, kenapa orang tua lo bisa kepikiran buat nikahin lo?" pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Saka yang sedari tadi ia simpan.

"Gue juga gak ngerti sama jalan pikiran mereka. Ini gue harus gimana coba, nyokap gue mohon banget supaya gue terima. Tapi masalah gue aja gak kenal sama tu cewek!" Farez mengeluarkan semua unek-unek.

"Menurut gue sih, lo terima aja. Toh, lo gak rugi kan, lo dapet enak nya," cetus Javas yang langsung mendapat tampolan keras dari Saka. Javas menjerit kaget, ia mengelus kepala nya yang terasa ngilu.

"Apa yang lo pikiran hah?" Saka memasang wajah galaknya. Seketika nyali Javas ciut begitu saja melihat raut wajah Saka. "Gue bercanda sumpah, Rez bercanda doang gue!"

Farez mendengar itu semakin pusing jadinya. Tidak ada solusi yang bisa ia dapatkan. Farez menelungkup kan wajah nya di lipatan tangan diatas meja. Farez saat ini benar-benar terlihat frustasi.

Javas dan Saka merasa iba melihatnya. Namun kapan lagi melihat Farez seperti ini? Yang biasanya hanya wajah datar yang diperlihatkan namun berbeda dengan sekarang.

"Udah lah Rez, terima aja. Mungkin orang tua lo punya rencana sendiri, pasti buat kebaikan lo juga percaya deh ma gue," ucap Saka.

Farez mengangkat wajahnya kembali. "Lo mau gue hidup sama cewek yang sama sekali gak gue kenal apalagi gue cinta?" kata Farez dengan wajah datarnya yang sangat menyebalkan.

"Cinta itu bisa dateng seiring berjalannya waktu men, jadi lo jalani aja."

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!