Cuaca cerah pagi itu seakan menggambarkan suasana hati gadis belia yang baru saja bangun dari tidurnya. Wanita itu terlihat tersenyum menyambut pagi dengan membentangkan tangannya ke atas. Kemudian kedua kakinya yang putih mulus turun dari ranjang. Dia berjalan ke arah jendela kamar itu dan menyibakkan gorden yang membuat dirinya terhalang melihat pemandangan ke luar.
Marissa, nama gadis belia itu adalah Marissa. Dia menikmati pemandangan alam itu dari lantai tiga kamarnya. Dari jendela kamar itu, dia bisa melihat kendaraan yang lalu lalang di jalan raya. Tapi bukan pemandangan itu yang terpenting melainkan ada seorang pria yang ingin dia perhatikan lantai atas itu. Tidak ingin pandangannya terhalang. Akhirnya Nia melangkah ke arah pintu yang menghubungkan kamar dengan balkon kamar.
Benar saja. Setelah dirinya berdiri di pembatas balkon itu. Dia bisa melihat pria yang membuat hatinya berdebar debar. Dia adalah Dino putra dari salah satu pembantu di rumah itu. Dari atas balkon itu, Marissa dapat melihat jika Dino sedang membonceng ibunya. Hampir setiap pagi dan sore hari Dino melakukan itu. Ibunya yang bertugas membersihkan taman dan kebun mini di belakang rumah besar itu tidak mengharuskan wanita itu harus tinggal menatap di rumah itu.
Seakan mengetahui jika dirinya diperhatikan dari atas. Dino mendongak menatap Marissa yang juga menundukkan pandangan menatap pria itu. Marissa semakin mengembangkan senyumnya kala pria itu melambaikan tangannya ke arah Marissa. Marissa membalas lambaian itu kemudian menjauh dari pembatas balkon. Dirinya yang baru mengenal cinta merasa malu bertatapan dengan Dino.
Marissa berjalan ke arah kamar. Dia berniat berbaring kembali di ranjang menikmati bunga bunga indah yang bermekaran di hatinya. Baru saja dirinya hendak menjatuhkan diri ke ranjang. Kamarnya sudah terbuka dan sang mama berjalan masuk ke dalam kamar.
"Selamat pagi Marissa sayang," sapa wanita itu dengan tersenyum.
"Pagi mama sayang."
"Kamu melupakan sesuatu Marissa," kata sang mama membuat Marissa mengerutkan keningnya. Ini baru pagi hari tapi sudah melupakan sesuatu?. Merasa perkataan sang mama salah. Marissa menggelengkan kepalanya.
"Kami yakin tidak melupakan sesuatu?" tanya sang mama. Marissa menganggukkan kepalanya sangat yakin.
"Ini hari pertama kamu masuk sekolah...."
Mendengar sang mama menyebut nama sekolah. Marissa sadar ternyata memang dirinya melupakan sesuatu. Hari ini dirinya harus masuk kelas setelah dua minggu libur kenaikan kelas. Marissa langsung berlari kecil ke arah kamar mandi karena menyadari dirinya sudah terlambat. Jatuh cinta membuat dirinya lupa jika dirinya harus ke sekolah hari ini
"Hati hari Marissa. Awas jatuh."
Mama Nisa terlalu khawatir. Tidak mungkin Marissa terjatuh hanya karena berlarian kecil seperti itu. Marissa tidak lama di kamar mandi. Dia keluar dengan hanya menggunakan bathrobe. Dan di atas tempat tidurnya, sudah ada seragam sekolah dan juga kaos kaki. Marissa mengembangkan senyumnya. Marissa benar benar merasa bahagia memiliki orang tua seperti mama Nisa. Wanita yang sangat baik dan sempurna di hari Marissa. Marissa dengan cepat memakai seragam sekolah itu. Di setiap hari pertama masuk sekolah seperti hari ini. Papanya selalu mengantarkan dirinya ke sekolah.
"Good morning papa," sapa Marissa dari tangga. Penampilannya sudah rapi dan siap pergi ke sekolah. Tapi Marissa harus sarapan terlebih dahulu karena mama Nisa tidak akan menginginkannya keluar dari rumah jika tidak sarapan.
"Good morning," sapa Arjun. Pria itu juga sudah mengenakan pakaian rapi dan sudah siap berangkat. Marisa semakin mendekati Arjun. Seperti biasa dia ingin menghadiahi pria itu dengan ciuman di pipi. Tapi ketika Marissa hendak mencium papanya. Aroma parfum mahal yang melekat di pakaian Arjun membuat Marissa mual.
Dan benar saja, aroma parfum itu membuat perut Marissa bergejolak. Gadis belia itu berlari ke kamar mandi dapur untuk memuntahkan isi perutnya.
"Marissa, kamu sakit?" tanya mama Nisa sangat khawatir. Wanita itu ikut masuk ke dalam kamar mandi dan memijit pundak Marissa yang terus ingin mengeluarkan isi perutnya.
"Sepertinya kamu masuk angin sayang. Sebaiknya kamu tidak perlu ke sekolah hari ini."
"Tidak ma. Aku harus sekolah. Aku tidak mau dapat bangku yang paling belakang," jawab Marissa. Di belakang tubuhnya, Marissa dapat merasakan kekecewaan sang mama.
"Jangan dipaksakan kalau memang kurang enak badan sa," kata Arjun yang juga sudah berdiri di pintu kamar mandi. Marissa tidak menjawab. Wanita itu masih sibuk mengeluarkan isi perutnya yang sudah kosong.
Nisa membantu Marissa keluar dari kamar mandi itu setelah Marissa merasa cukup baikan. Setelah di meja makan, Arjun menyodorkan segelas susu ke arah Marissa. Tapi gadis belia itu menggelengkan kepalanya karena dirinya kurang selera untuk memasukkan apa saja ke dalam mulutnya.
"Kita ke dokter ya!" kata Arjun. Marissa terlihat sangat pucat.
"Biar aku saja yang bawa Marissa ke dokter mas. Kamu ke kantor saja," kata Nisa sambil menunjuk jam dinding. Marissa terlambat bangun ditambah dengan acara muntah muntah itu membuat Arjun sudah terlambat Lima belas menit dari biasanya dia ke kantor.
"Baiklah. Marissa diantar mama ke dokter ya," bujuk Arjun lembut. Nisa sudah sibuk membuat teh untuk Marissa.
"Oke pa, tapi nanti sore ya. Pagi ini aku harus ke sekolah."
"Bagaimana bisa kamu ke sekolah dalam keadaan sakit seperti ini, sebaiknya berobat
," saran Arjun sangat khawatir. Pria itu mengulurkan tangannya merapikan rambut Marissa yang menjuntai ke wajahnya.
"Ini hanya masuk angin biasa pa. Buktinya sekarang tidak mual lagi kan?.
Marissa bangkit dari duduknya dan mengambil ransel miliknya yang dia letakkan di salah satu bangku sebelum dirinya ke kamar mandi.
"Yuk, berangkat pa," ajak Marissa sambil menarik tangan papanya. Arjun tidak bisa menolak. Pria itu berdiri.
"Sayang, kami berangkat," kata Arjun kepada istrinya Nisa. Nisa berbalik dan menatap suami serta putrinya itu.
"Berangkat? lalu bagaimana dengan teh ini?" tanya Nisa keberatan. Di tangannya sudah ada segelas teh yang sudah siap untuk diminum. Wanita itu menginginkan Marissa tidak masuk sekolah hari ini. Dan mereka seharusnya berobat ke dokter.
Seperti biasa Arjun mencium kening istrinya sebelum berangkat dan Nisa mencium punggung tangan Arjun. Hal yang sama dilakukan oleh Marissa kepada Nisa. Nisa mengantar Arjun dan Marissa sampai dua manusia itu masuk ke dalam. Arjun memberikan senyum manis kepada istrinya itu sebelum keluar dari rumah.
Di dalam mobil, Marissa memikirkan hal yang dialami dirinya tadi pagi. Sebanyak apapun angin masuk ke dalam tubuhnya, Marissa hanya merasakan tubuhnya pegal pegal.
"Tidak, tidak mungkin hanya karena duduk berduaan bisa hamil," kata Marissa dalam hati setelah membaca di internet penyebab mual di pagi Hari. Untuk pertama kalinya, lebih kurang satu bulan yang lalu. Nisa memberikan ijin kepada Marissa dan Dino duduk berduaan di ruang tamu sampai jam sebelas malam. Nisa berani memberikan ijin itu karena Arjun mengabari dirinya akan pulang terlambat karena masih ada urusan kantor yang harus diselesaikan.
Marissa meyakinkan hatinya jika dirinya tidak hamil melainkan masuk angin biasa. Sebagai siswa yang duduk di sekolah menengah umum dan pernah belajar biology. Dia sangat yakin bahwa di rahimnya tidak ada pembuahan. Dia merasa tidak pernah melakukan hal di luar batas apalagi melakukan dosa nikmat itu. Jatuh cinta baru pertama kalinya dan kebebasan dirinya pun terbatas. Arjun sangat displin menjaga dan membatasi pergaulannya. Terutama pergaulannya dengan laki laki. Itulah sebagai sampai saat ini. Marissa belum mempunyai pacar sangat berbeda dengan sebagian temannya yang sudah mempunyai pacar.
Marissa tidak menjadikan mual pagi hari ini menjadi beban pikiran. Wanita itu berpikiran positif bahwa siapa saja bisa mengalami mual di pagi hari walau bukan karena hamil muda. Marissa sangat yakin banyak faktor yang bisa membuat seseorang merasa mual di pagi hari.
"Masih mual?" tanya Arjuna lembut dan menoleh ke Marissa.
"Masih pa, tapi sudah lebih baik dibandingkan tadi," jawab Marissa. Mual itu memang sudah berkurang kini kepalanya yang terasa pusing. Tapi Marissa masih bisa menahan dan memilih tidak mengeluhkan sakit kepala itu kepada sang papa. Marissa takut, Arjuna membawa dirinya ke rumah sakit jika mengetahui apa yang dialami saat ini.
"Akan lebih baik lagi jika seandainya tadi kamu sarapan terlebih dahulu. Tapi ya sudahlah. Nanti pas jam istirahat jangan lupa makan. Makan yang bergizi dan jangan jajan sembarangan."
"Iya pa."
Marissa menjawab singkat. Arjun sangat tegas dan tidak bisa dibantah oleh siapapun jika perkataannya benar.
Marissa tersenyum melihat gedung sekolahnya sudah di depan Mata. Memasuki ajaran baru di kelas XII. Membuat Marissa ingin belajar lebih giat lagi. Arjuna sudah berjanji akan memberikan ijin kepada dirinya melanjutkan pendidikan di luar negeri di universitas impiannya jika nilai memenuhi persyaratan untuk itu.
"Ingat ambil bangku paling depan," kata Arjuna setelah menghentikan mobilnya. Arjuna selalu menekankan Marissa supaya duduk di bangku paling depan supaya konsentrasi dalam proses belajar.
"Siap papaku ganteng," jawab Marissa sambil mengulurkan tangannya. Marissa mencium punggung tangan Arjuna dan Arjuna mengusap kepala Marissa dengan penuh kasih sayang.
"Uang jajan sudah ada?"
"Sudah pa. Tapi kalau papa mau nambah. Marissa dengan senang hati menerima," jawab Marissa dengan menyodorkan telapak tangannya. Arjuna tertawa sambil mengambil dompetnya. Arjuna mengeluarkan beberapa lembar kertas merah dan meletakkan lembaran itu di telapak tangan Marissa. Marissa tidak seperti putri orang kaya lainnya yang sudah mempunyai atm di masa bangku sekolah. Arjuna dan Nisa memberikan uang jajan setiap harinya cash kepada Marissa.
"Terima kasih papaku yang baik. Semoga papa panjang umur, banyak rejeki dan secepatnya mempunyai anak kandung."
Arjuna tertawa mendengar kata kata indah dari Marissa. Marissa akan selalu berkata seperti itu tiap kalinya Arjuna memberikan sesuatu kepada gadis belia itu.
"Papa tidak ulang tahun hari ini. Masih lama."
"Ulang tahun atau tidak. Yang pasti aku menginginkan semua perkataan aku tadi menjadi kenyataan pa. Udah ya pa. Aku masuk dulu. Papa hati hati menyetir."
Tanpa mendengar jawaban Arjuna. Gadis belia itu membuka pintu mobil dan menutupnya. Rasa mual yang masih terasa di dalam mobil hilang begitu melihat teman temannya sudah menunggu di depan gerbang sekolah itu.
Arjuna masih bisa melihat Marissa dari dalam mobil itu. Ada rasa bangga di hatinya karena bisa mendidik Marissa menjadi gadis yang baik, ramah, sopan dan murah hati. Memberikan uang jajan berlebih kepada Marissa bukan hal yang baru bagi Arjuna. Arjuna mengetahui sikap penolong dalam diri Marissa sangat tinggi.
Setelah memastikan Marissa memasuki gerbang sekolah. Arjuna meninggalkan tempat itu. Sedangkan Marissa sudah berbaur dengan teman temannya dan kini sedang bercanda. Rasa mual dan sakit kepala itu lenyap seketika hanya bertemu dengan para temannya.
Marissa dan teman temannya langsung menuju ruangannya mereka. Tapi sayang, ruangan itu masih terkunci. Marissa dan yang lainnya memutuskan menunggu di depan ruangan itu sampai petugas nantinya membukakan pintu ruangan tersebut.
"Sa, nanti seperti biasa ya," kata Luna. Marissa mengacungkan jempolnya. Dia sudah mengerti apa yang dimaksudkan temannya itu. Temannya yang lain bersorak senang. Nanti di jam jam istirahat, mereka akan makan gratis dari Marissa. Marissa ikut tersenyum. Wanita itu merasa bahagia jika teman temannya itu merasa senang. Marissa mengetahui keadaan para temannya. Bisa dikatakan jika hanya dirinya yang lebih mampu dari segi ekonomi dibandingkan para temannya itu.
Petugas sekolah akhirnya datang dan membuka pintu ruangan itu. Marissa dan yang lainnya berhamburan masuk. Tidak seperti Marissa. Teman temannya memilih bangku belakang. Sedangkan Marissa mendapatkan bangku paling depan seperti keinginannya.
Marissa memukul meja itu berulang ulang. Dia merasa senang. Posisi meja itu akan mendukung dirinya untuk konsentrasi belajar dan mendengarkan penjelasan guru. Marissa berjanji dalam hati impiannya kuliah di luar negeri harus tercapai.
Hari pertama itu mereka tidak belajar. Hanya perkenalan guru yang menjadi wali kelas mereka di tahun ajaran ini. Dan bisa dipastikan mereka akan pulang lebih cepat dari jam pulang sekolah seperti biasanya.
Dan seperti yang sudah disetujui oleh Marissa sebelumnya. Kini Marissa dan teman temannya berada di kantin sekolah. Gadis yang sudah beranjak dewasa itu sedang mentraktir teman temannya makan bakso di kantin sekolah atas hari pertama mereka masuk sekolah di kelas XII hari ini. Marissa terlihat sangat bahagia karena bisa melihat teman temannya itu berbahagia dan terlihat menikmati bakso sapi kesukaan mereka bersama. Marissa terkenal diantara teman teman sebagai teman yang baik dan tidak pelit. Uang saku yang lebih banyak dibandingkan dengan teman temannya membuat Marissa sering mentraktir atau bahkan membantu teman temannya.
Dan senyum di bibir Marissa meredup melihat salah satu temannya kurang bersemangat memasukkan bakso itu ke dalam mulutnya.
Melihat raut wajah temannya itu, Marissa sudah menduga jika temannya itu mempunyai masalah pribadi. Sosok Marissa bukan sosok yang suka pamer. Dia akan bertanya kepada temannya itu setelah pulang sekolah nanti.
"Wi, dewi. Tunggu," panggil Marissa kepada temannya yang terlihat kurang bersemangat tadi. Dewi menghentikan langkahnya.
"Pulang bareng aku yuk," kata Marissa setelah jarak mereka sudah dekat.
"Duluan saja Ris, aku masih ada keperluan dan tidak langsung pulang ke rumah?"
"Kamu ada masalah?" tebak Marissa. Dewi menganggukkan kepalanya.
"Masalah apa?" tanya Marissa lembut. Ditanya dengan lembut seperti itu. Dewi tidak dapat menyembunyikan masalah nya sendiri. Dewi menceritakan tentang ibunya yang sedang terbaring di rumah sakit dan mereka kekurangan biaya. Sang ibu mengalami gagal ginjal.
Marissa berpikir sebentar. Biasanya dirinya membantu teman temannya dalam masalah yang tergolong ringan saja. Tapi masalah Dewi bukan masalah kecil tapi masalah besar yang membutuhkan banyak biaya.
Marissa menatap temannya itu. Diantara teman temannya dewi adalah temannya yang bisa dikatakan orang yang tidak mampu. Dewi bisa bersekolah di tempat ini karena mengandalkan otak sehingga bisa mendapatkan bea siswa.
"Nanti aku coba bilang ke papa ku ya, Dewi. Semoga saja hati papa tergerak membantu ibu kamu. Tapi ini bukan janji. Aku hanya akan berusaha," kata Marissa. Dewi menganggukkan kepalanya. Ada harapan di hatinya mendengar perkataan temannya itu. Marissa dikenal sebagai putri dari salah satu pengusaha di kota ini yang terkenal banyak memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang kurang mampu.
Marissa dan Dewi akhirnya pulang terpisah. Marissa pulang dengan taksi online. Dewi pulang dengan beban yang sedikit berkurang sedangkan Marissa pulang dengan harapan semoga papanya bersedia membantu temannya itu.
Baru saja Marissa memasuki pekarangan rumah. Marissa sudah kurang bersemangat masuk ke dalam rumah. Di depan rumah sudah terparkir mobil kakek dan neneknya. Tidak ingin menjadi sasaran kemarahan kakek neneknya. Marissa akhirnya duduk di teras rumah menunggu ketegangan yang terjadi antara mama dan kakek neneknya mereda.
"Aku tidak mau tahu. Tahun depan aku sudah harus menggendong cucu. Kamu sudah mengetahui jika Arjun adalah putra tunggal kami. Mengapa kamu tidak berusaha keras untuk memberikan keturunan kepada kami." kata Kakek marah.
"Tapi kami sudah mempunyai Marissa pa. Dan mas Arjun juga tidak mempermasalahkan keadaan ini," jawab Nisa.
"Kamu bodoh atau pura pura bodoh Nisa?. Marissa hanya anak angkat kalian. Dia bukan penerusku," kata sang kakek semakin marah.
"Tidak ada cara lain Nisa. Jika kamu tidak kunjung hamil juga. Kami terpaksa menikahkan Arjun tahun depan. Kamu harus siap dimadu. Kami sudah mempunyai calon istri kedua untuk Arjun," kata nenek menambahkan luka di hati Nisa.
Marissa yang mendengar pembicaraan itu ikut sedih membayangkan mama angkatnya yang sudah terisak.
Marisa akhirnya bangkit dari duduknya. Dia mengucapkan salam sebelum masuk ke dalam rumah. Hanya mama Nisa yang menjawab salamnya sedangkan kakek dan neneknya hanya menatap dirinya sinis.
Kakek dan Nenek menganggap Marissa adalah anak angkat yang membawa sial. Marissa diangkat menjadi putri dari Arjun di tahun pertama Arjun dan Nisa sebagai suami istri. dan saat itu usianya masih lima tahun. Kini wanita itu sudah berusaha enam belas tahun Lima bulan.
"Anak pembawa sial. Jangan tunjukkan dirimu di hadapan kami," kata Kakek marah. Dia menduga keberadaan Marissa di rumah ini yang sangat disayang oleh Arjun sehingga pria itu tidak terlalu memikirkan untuk memiliki anak kandung. Arjun terlalu sibuk dengan urusan bisnis dan merasa jika dirinya sudah mempunyai pewaris yaitu Marissa sendiri. Sedangkan bagi Kakek dan Nenek. Anak kandung dari Arjun lah yang berhak menjadi pewaris semua harta kekayaannya.
Marissa merasakan hatinya selalu sakit setiap mendengar perkataan pria tua itu. Apalagi Nisa sang mama tidak mengatakan apapun yang membela dirinya. Biasanya setiap Marissa mendapatkan kata kata yang kurang enak dari kakek dan Nenek. Nisa pasti membela dirinya. Tapi hari ini, Nisa larut dengan kesedihannya sendiri.
"Marissa," panggil Nenek ketika Marissa hendak berlalu dari tempat itu. Marissa berhenti dan membalikkan tubuhnya tapi tidak berani menatap sang nenek.
"Banyak banyak lah berdoa. Berdoa lah supaya mama angkat kamu secepatnya hamil supaya kamu aman di rumah ini. Jika tidak, maka akan ada wanita yang akan menjadi istri kedua bagi papa angkat mu," kata nenek. Marissa terdiam. Menjawab apapun perkataan sang nenek jawaban pasti selalu salah.
"Dan kamu Nisa. Perjalanan kami kali ini agak lama. Gunakan kesempatan ini untuk berobat. Usiamu tidak lagi muda. Jadi berusaha keraslah," kata sang kakek. Nisa mengganggukan kepalanya karena apa yang dikatakan oleh mertua laki lakinya benar. Usianya kini tiga puluh tujuh. Beberapa tahun lagi dirinya tidak lagi wanita produktif.
Sakit hati tidak membuat Marissa langsung membenci atau bersikap tidak sopan kepada kakek dan Neneknya. Gadis belia itu bahkan membuat jus buah sebelum kakek dan nenek pergi dari rumah. Inilah salah satu sikap yang membuat Arjuna dan Nisa semakin sayang kepada Marissa. Gadis belia itu selalu memaafkan orang yang menyakitinya walau tidak ada permohonan maaf. Bukan hanya memaafkan. Marissa juga bersikap baik seakan sudah lupa hal yang membuat hatinya sakit.
"Marissa, kemari," panggil Nisa. Nisa memanggil Marissa dari pintu kamar yang baru saja mengantarkan nenek dan kakek sampai ke mobil. Kedua orang tua itu, akan berangkat ke luar Kota dan mungkin berbulan bulan supaya kembali ke kota ini. Nisa tidak ikut mengantarkan nenek sampai ke mobil karena wanita itu mendadak sakit kepala. Tapi bukan sakit kepala yang sebenarnya. Itu hanya alasan menyembunyikan sakit hatinya kepada kedua mertuanya.
"Ada apa ma?" tanya Marissa kemudian menjatuhkan tubuhnya di ranjang empuk milik Nisa dan Arjuna. Nisa melakukan hal yang sama. Wanita itu berbaring telentang seperti yang dilakukan oleh Marissa. Mereka memang sering melakukan seperti itu jika Arjuna tidak ada di rumah. Marissa tidak hanya sebagai anak angkat bagi Nisa, Marissa juga bisa sebagai sahabat untuk wanita itu.
"Nanti sore, kita ke dokter ya!, kata Nisa sambil memiringkan tubuhnya supaya bisa menatap Marissa.
"Untuk apa ma, aku tidak mual mual lagi."
"Tapi kan ada baiknya kita periksa secepatnya. Aku mengkhawatirkan kamu sayang," kata Nisa sambil memainkan rambut Marissa. Marissa tersentuh mendengar perkataan Nisa. Dia sangat jelas mengetahui jika Nisa adalah bukan mama kandungnya. Tapi Marissa bisa merasakan kasih sayang seperti dari seorang mama kandung.
"Hari ini, jangan dulu ya ma!. Tapi kalau besok masih mual. Aku janji akan ikut saran mama dan papa untuk berobat."
Nisa menganggukkan kepalanya. Kemudian wanita itu kembali terlentang dan menatap langit langit kamar. Marissa menoleh ke mama Nisa ketika mendengar wanita itu menghela nafas panjang.
Seketika itu juga, Marissa merasa kasihan kepada sang mama. Marissa mengetahui apa yang menjadi beban pikiran mama Nisa. Tidak lain tidak bukan pasti karena kedatangan Kakek nenek dan semua perkataannya.
"Mama, apa mama sedih karena semua perkataan kakek dan nenek?" tanya Marissa. Walau dirinya sangat disayang oleh Arjuna dan Nisa. Marissa tidak khawatir jika Arjuna dan Nisa mempunyai anak kandung. Dirinya justru menantikan hal itu. Marissa juga ingin mempunyai adik dari kedua orang tua angkatnya.
"Setiap wanita menikah pasti menginginkan seorang anak Sa," jawab wanita itu sedih. Dia dan Arjuna sudah menikahi lebih dari sebelas tahun tapi sampai saat ini tanda tanda kehadiran seorang anak tidak ada dalam kehidupan mereka.
"Mungkinkah itu karena mama dan papa mengangkat aku sebagai anak kalian?" tanya Marissa. Gadis belia itu terkontaminasi dengan semua perkataan kakek dan nenek yang mengatakan dirinya adalah anak pembawa sial dalam rumah tangga Nisa dan Arjuna.
"Tidak sayang. Tidak ada hubungannya karena kami mengangkat kamu menjadi anak sehingga mama tidak kunjung hamil. Jangan katakan itu sekali lagi. Mama tidak suka."
"Maaf ma."
Nisa membelai rambut Marissa dengan penuh kasih sayang.
"Jadi bagaimana kalau kakek dan nenek benar benar meminta papa untuk menikah lagi," kata Marissa membuat wajah Nisa kembali mendung. Sebagai istri, dirinya tidak mengharapkan suaminya untuk menikah lagi dengan alasan apapun termasuk dengan alasan ketidakhadiran anak kandung di dalam rumah tangga mereka.
"Itu tidak akan pernah terjadi," jawab Nisa dengan sangat yakin. Marissa menganggukkan kepalanya berharap apa yanng dikatakan oleh mamanya adalah kenyataan nantinya. Marissa dapat melihat kedua orang tuanya saling mencintai. Bahkan dirinya menginginkan jika kelak menikah, Marissa berharap mendapatkan suami seperti Arjuna yang sangat mencintai mama Nisa dengan segala kekurangannya.
"Aku pun tidak yakin papa mau menikah lagi ma. Papa sangat mencintai mama," kata Marissa mengatakan apa yang sebenarnya dan kata kata itu bisa membuat Nia merasa terhibur.
"Maksud perkataan mama tadi. Mama akan berusaha keras supaya papa kamu tidak akan pernah menikah lagi," kata Nisa memperjelas perkataannya tadi.
"Maksud mama?"
"Mama hanya seorang wanita yang mandul Sa. Kakek dan Nenek akan berusaha keras juga supaya papa kamu mendapatkan keturunan kandung. Mama diberi waktu satu tahun untuk berobat dan hamil."
Kini Nisa terlihat frustasi. Bukan hari ini, yang pertama kedua mertua memberikan ancaman. Dua bulan lalu, juga kedua mertuanya sudah memberikan ancaman yang lebih menakutkan. Calon istri kedua bagi Arjuna bukan hanya sekedar ada tapi sudah bekerja di perusahaan yang sedang dipimpin oleh Arjuna saat ini atas rekomendasi dari kedua mertuanya. Hal itu dilakukan oleh sang Kakek untuk mendekatkan Arjuna dengan wanita itu. Kedua mertuanya dan wanita itu sengaja menyembunyikan identitasnya supaya Nisa tidak bisa melabrak wanita tersebut. Hampir satu bulan setelah mengetahui rencana kedua mertuanya, Nisa berusaha menemukan pria itu diantara ratusan karyawan wanita yang ada di perusahaan milik suaminya. Tapi usahanya tidak membuahkan hasil.
Dan yang membuat Nisa frustasi. Arjuna bersikap cuek jika ditanya tentang hal itu. Pria itu mengaku tidak ada wanita yang berusaha mendekati dirinya di kantor.
"Ma, jangan berkata seperti itu. Mungkin saja waktunya belum tepat. Aku sangat yakin. Papa dan mama akan mempunyai anak kandung," kata Marissa memberikan semangat kepada sang mama. Nisa tidak menanggapi. Tapi sorot matanya jelas menunjukkan kesedihan yang sangat dalam. Melihat itu, Marissa memeluk mama Nisa.
"Tapi entah mengapa. Mama mempunyai firasat jika apa yang dikatakan oleh kakek nenek kamu akan menjadi kenyataan," kata Nisa sedih. Marissa tidak tahu harus mengucapkan apapun yang membuat sang mama bisa terhibur.
"Sa, kamu sayang mama kan?" tanya Nisa.
"Sayang ma. Sangat sayang malah," Marissa serius. Gadis belia itu berharap sang mama bisa terhibur dengan mengetahui rasa sayangnya yang sangat dalam.
"Benar sayang?. Marissa menganggukkan kepalanya cepat.
"Kalau mama meminta sesuatu kepada kamu. Kamu mau mengabulkan permintaan mama?"
"Mama minta apa. Selagi bisa dan ada padaku apa yang mama minta. Pasti aku berikan."
"Benar. Janji?"
"Benar ma. Aku janji. Mama minta apa?"
Marissa tidak ragu ragu berjanji akan memberikan apapun permintaan sang mama. Marissa ingin membalas kebaikan wanita yang menjadi mama angkatnya itu.
"Tidak hari ini sayang. Mungkin suatu hari nanti. Mama sangat senang ternyata kamu sangat menyayangi mama. Makasih ya Sa," kata mama Nisa. Wajahnya sudah berubah ceria.
Melihat wajah mama Nisa yang tidak terlihat sedih lagi. Marissa ikut tersenyum. Dia merasa senang karena bisa membuat wanita itu melupakan kedatangan dan perkataan Kakek dan Nenek.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!