Di sebuah rumah sakit PERMATA SYIFA banyak sekali orang yang sedang berlalu lalang di sana. Bahkan banyak para keluarga-keluarga yang ingin menjenguk pasien dengan menunggu di depan ruangannya masing-masing.
Dari arah jauh, ada dua orang suster berusaha mendorong brangkar dengan cepat untuk segera di bawa ke ruangan UGD karena keadaan pasien kritis, membuatnya harus segera di tangani sang Dokter. Hal itu membuat dua seorang wanita di belakangnya menangis hebat.
"Ayah, Bu ... Ayah ..." Gadis itu menangis sambil memegang pundak Ibunya sambil memeluknya erat.
"Hiks ... Hiks ... Hiks ... Nak, kita doakan saja agar Ayah mu cepat melewati masa kritis nya, Ibu juga sangat khawatir." ujar Wanita paruh baya sambil menyeka air mata anak perempuannya. Gadis itu menurut lalu menganggukkan kepalanya pelan.
Dokter keluar dengan kepala menoleh ke arah kanan dan kiri, "Keluarga pasien atas nama Bapak Husein?" seru Dokter, membuat Ibu dan Gadis tadi melangkahkan kaki nya mendekati sang Dokter.
"Kami dok ... Kami keluarga pasien. Bagaimana keadaan suami saya Dok?" ujar Bu Amirah yang merupakan istri dari Pak Husein.
"Kami akan segera melakukan tindakan operasi kepada Bapak Husein, tetapi sebelum nya mohon lakukan pembayaran administrasi terlebih dahulu agar tindakan operasi segera di lakukan." kata Dokter itu membuat Bu Amirah tertunduk lesu seraya menatap anaknya yang sama-sama shock mendengarnya.
"Kira- kira biaya operasi nya berapa banyak Dok?" tanya Adiba pelan. Adiba Afsheen Myesha, anak tunggal dari Bapak Husein dan Ibu Amirah.
"25 juta." ujar Dokter menyampaikan.
Sregg ...
Bu Amirah dan Adiba saling pandang, karena uang yang sangat begitu banyak bagi mereka harus dapatkan dari mana? Hutang kepada para rentenir saja belum lunas, di tambah biaya untuk operasi, membuat mereka semakin tertunduk lesu.
"Kalau begitu kami permisi dulu, jangan masuk dulu ya Bu ... karena keadaan pasien masih sama, belum ada perubahan." kata Dokter kemudian ia langsung melenggang pergi.
"Bu .... bagaimana? Hiks ..." tanya Adiba sambil menggenggam tangan Ibunya.
"Ibu juga nggak tahu Nak ..." kata Amirah sambil terisak.
"Bu Amirah?" celetuk laki-laki paruh baya menghampiri Bu Amirah lalu dengan intens menatap kedua nya, "Kalian ada disini? Dimana Pak Husein?" imbuh nya bertanya.
Degg ...
"Pak Alzam ... Tolong saya Pak, tolong saya ... Hiks ... Hiks ..." ujar Adiba dengan memeluk kaki Pak Alzam seraya meminta pertolongan.
"Ayah saya harus segera di operasi Pak ..." Adiba menjelaskan dan menyeka air mata nya, "Tapi kami belum ada biaya, bisakah Pak Alzam memberikan kami bantuan, saya janji Pak akan mengganti semua uang nya." kata Adiba sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
"Kenapa kalian nggak menelpon saya saja. Jangan sungkan dengan saya, bagaimana pun juga Pak Husein dulu pernah meminjamkan uangnya kepada saya untuk ke luar kota." ucap Pak Alzam sambil tersenyum.
"Kalau begitu saya ke bagian Administrasi nya, kalian tunggu disini ... Nanti saya akan balik lagi kesini." ujar pak Alzam membuat Bu Amirah serta Adiba tersenyum lega.
"Bu ... Alhamdulillah akhirnya ada Pak Alzam ya Bu ... Pak Alzam baik sekali." kata Adiba.
"Iya sayang, Allah benar-benar sangat baik kepada kita, ya Allah terimakasih ... "
Pak Alzam merupakan sahabat Pak Husein sejak masa SMA nya, mereka duduk sebangku, mereka juga saling membantu ketika salah satu dari mereka ada yang kesusahan, dulu Pak Alzam sangat berterimakasih kepada Pak Husein karenanya lah membuat Pak Alzam sesukses ini. Ya, Pak Husein membiayai Pak Alzam untuk berangkat keluar kota untuk mencari pekerjaan pada masa itu.
Setelah selesai, Pak Alzam kembali lagi menghampiri Bu Amirah dan Adiba yang sedang duduk termenung di ruang tunggu, ia tidak sendiri melainkan dengan sang Istri nya.
"Saya sudah membayar biaya semuanya Bu Amirah." ucap Pak Alzam membuyarkan lamunan Bu Amirah dan Adiba.
"Ya Allah, terimakasih atas kebesaran hati mu Pak Alzam. Nggak tahu lagi saya harus berbuat apa untuk menebus kebaikan Pak Alzam ..." ucap Bu Amirah sambil meneteskan air matanya.
"Sudah tidak apa Bu Am ... Yang penting suami mu segera pulih kembali dan di angkat semua penyakitnya." ujar Bu Aisyi, istri dari Pak Alzam.
"Terimakasih Bu Aisyi sudah menolong kami." ucap Bu Amirah sambil memeluk Bu Aisyi.
"Terimakasih Pak Alzam ... Bu Aisyi ..." ucap Adiba seraya menundukkan kepala nya.
"Kalau begitu kami pulang dulu, nanti kami kesini lagi ... kabari jika Pak Husein sudah siuman." kata pak Alzam seraya tersenyum, "Istri saya sekarang harus bedrest, asam lambungnya sedang kumat." kata Pak Alzam lagi sambil merangkul pundak Bu Aisyi.
"Baik Pak ... saya akan kabari Pak Alzam jika Ayah saya sudah siuman," ucap Adiba sambil tersenyum menatap Pak Alzam dan Bu Aisyi secara bergantian. Mereka mengangguk mengerti dan langsung melenggang pergi meninggalkan Bu Amirah dan Adiba yang masih setia di ruang tunggu, tidak jauh dengan ruangan operasinya.
Dua jam berlalu, lampu di dekat pintu ruangan operasi sudah menyala, menandakan operasi itu sudah selesai. Dilihatnya Pak Husein dengan berbagai macam alat di tubuhnya dengan mata yang masih terpejam. Para Suster mendorong brangkar yang di naiki Pak Husei untuk segera di pindah ke ruang perawatan.
Ternyata tadi Pak Alzam juga selain membayar biaya operasi, ia juga sudah memesan ruangan VVIP untuk Pak Husein di rawat di Rumah Sakitnya.
Bu Amirah dan Adiba mengikuti arah brangkar tersebut berjalan hingga masuklah kedalam ruangan perawatan itu, rasanya tenang dan nyaman sekali.
Adiba meneteskan air matanya melihat sang Ayah tercintanya terbaring lemah di depannya. Bu Amirah yang saat ini hatinya benar-benar hancur, sangat tak tega melihat suaminya seperti itu, ia hanya pura-pura tegar dan menyimpan isakan tangisan nya di depan anaknya.
"Ayah bangun Ayah ..." ujar Adiba pelan sambil mengusap lembut tangan Lak Husein.
"Sabar sayang, biarkan Ayah mu istirahat, kamu makan dulu ... Nanti sakit, kamu dari pagi belum makan kan? Kalau begitu biar Ibu suapi." ujar Bu Amirah meletakan sendok kedepan mulut Adiba, Adiba menggeleng pelan.
Bu Amirah menghela nafas nya pelan, "Kalau Adiba nggak makan, nanti sakit ... Kan Ibu jadi repot kalau kedua kesayangan Ibu ini sakit semua ..." ucap Bu Amirah dengan menampakkan deretan giginya.
"Baiklah, biar Adiba makan sendiri saja, Bu. Ibu tunggu disini, Adiba ingin keluar. Adiba di luar saja makannya." ucap Adiba seraya berjalan keluar ruangan dan menuju kantin yang ada di Rumah Sakit tersebut.
Setelah perutnya terasa kenyang, Adiba kembali lagi menuju kamar Ayahnya dan duduk samping Ibunya.
"Mirah ... Diba ..." gumam Pak Husein pelan dengan mengerjapkan matanya sedikit demi sedikit.
"Alhamdulillah ya Allah ... Iya Mas, Mirah disini, dengan Adiba juga." ucap Amirah yang langsung merintihkan air matanya. Dengan cepat Adiba menekan tombol Nurse Cal Bell dengan tujuan agar Ayahnya segera di periksa kembali oleh Dokter.
Dokter pun tiba di ruangan dan langsung memeriksa keadaan Pak Husein, Dokter menghela nafasnya dan hanya tersenyum simpul.
"Alhamdulillah saat ini kondisi Pak Husein sudah lebih baik dari sebelumnya ... Di jaga terus ya Bu Pak Husein nya, supaya tidak banyak bergerak ... Agar semakin stabil keadaannya. Detak jantungnya juga sudah bagus, hanya saja badannya yang terasa lemas untuk melakukan semuanya, mungkin karena efek operasi." jelas Dokter itu lalu pamit permisi untuk keluar.
Adiba yang melihat Ayahnya sudah siuman, ia langsung menelpon Pak Alzam untuk mengabari nya.
...Next ......
...Jangan lupa Like, Komen, Hadiah & Vote nya ya guyss ... Happy reading ...😍😘...
Pagi nya, Pak Alzam yang sudah dapat kabar dari putri sahabatnya membuat dirinya pamit kepada istrinya untuk bergegas kembali ke Rumah Sakit.
Setelah sampai di depan ruangan rawat inap, Pak Alzam mulai melangkahkan kakinya masuk, dilihatnya, Pak Husein yang sedang terbaring lemah tak berdaya diatas brangkar.
Suara kaki membuat kepala Bu Amirah dan Adiba terangkat, lalu Bu Amirah yang sedang mengaji di samping Pak Husein membuat dirinya beringsut mundur dan mempersilahkan Pak Alzam untuk berbincang dengan suaminya.
"Zam, terimakasih sudah membiayai operasi ku." cicit Pak Husein pelan sambil menggenggam tangan Pak Alzam di hadapannya.
"Sudah tidak apa-apa, jangan pikirkan itu Sen. Kamu kemana saja? Lama kita tidak bertemu lagi." tanya Pak Alzam sambil mengelus pundak Pak Husein.
"Sudah lama aku sakit seperti ini, bolak-balik rumah sakit hanya merepotkan istriku dan anakku saja." ucap Pak Husein.
"Sepertinya hidupku sudah tak lama lagi Zam, seluruh tubuhku terasa kaku sekali." imbuhnya.
"Hust, tolong jangan bilang seperti itu Sen. Sudah ada aku disini ... kamu segera pulih ya agar kita bisa bermain seperti dulu lagi." ujar Pak Alzam terkekeh, ia kembali mengingat masa kecilnya dengan Pak Husein.
"Umur kita juga sudah tidak seperti dulu lagi Zam, ada waktunya juga kita akan berpisah untuk selama-lamanya. Tolong jika aku sudah tiada, titip istri dan putriku, Adiba." ujar Pak Husein sambil mengelus tangan Pak Alzam pelan.
"Aku yakin Sen, kamu bisa melewati ini semua, jangan bicara yang tidak-tidak." ujar Pak Alzam seraya bergidik ngeri.
"Aku serius Zam, tolong titip istri dan putriku agar aku tenang jika meninggalkan mereka." ucap Pak Husein untuk kedua kali nya dengan nafas yang naik turun, tidak stabil.
"Aku janji akan menikahkan putrimu dengan putra ku, Sen. Kamu tenang saja." ujar Pak Alzam tegas.
"Aku juga akan menjamin Istri dan Putri mu akan hidup bahagia." imbuh Pak Alzam lalu memanggil Dokter menggunakan tombol di dekat ranjang pak Husein.
Bu Amirah dan Adiba melihat Pak Husein dengan nafas yang tersenggal-senggal membuat mereka menangis kembali, ada rasa takut menyeruk di tubuh mereka berdua kala melihat keadaan Pak Husein seperti itu.
"Te-terimakasih Zam, se-mo-ga kita bertemu lagi na .. Hah ... Hah ... Nanti." Pak Husein memegang tangan Pak Alzam kuat, sambil berusaha untuk bernafas.
Pak Alzam yang melihat pak Husein sedang menahan sakit nya Sakaratul maut membuat diri nya menuntun Pak Husein agar mengikuti bacaan syahadat, di iringi isak tangis dari Bu Amirah serta Adiba.
Titttt .... Titttt .... Titttt ....
Suara alat monitor menandakan bahwa detak jantung Pak Husein sudah tidak ada, Pak Husein sudah meninggal dunia.
"Pak Husein sudah meninggal dunia," ujar Dokter sambil melepaskan alat yang ada di hidung Pak Husein.
"Ayahhh ... Hiks ... Ayah bangun ... Hiks ... Hiks ..." ucap Adiba menangis histeris sambil memeluk Pak Husein yang sudah menutup mata dengan kedua tangan di lipat di atas perut nya.
"Ayah ... Ibu mohon jangan meninggalkan Ibu dan Adiba, hiks ... Hiks ..." ucap Bu Amirah juga tak kalah histeris nya dari sang anak.
Pak Alzam menelpon asisten nya yaitu Emir untuk membantu mengurusi jenazah yang akan di makam kan di tempat pemakaman keluarga Pak Alzam saja.
"Sabar Bu ... Jangan di tangisi, kasian Almarhum nanti tidak tenang di sana." Sang Suster terus menguatkan Bu Amirah serta Adiba yang masih menangis.
"Hiks ... Sus tolong cek Ayah saya lagi, nggak mungkin kan? Pasti nggak mungkin. Ayah hiks ..." ucap Adiba kembali menangis di pelukan Ibu nya.
Bu Amirah sudah mulai meredakan tangis nya, ia juga sudah sedikit demi sedikit mulai menahan tangis nya, ia melihat Adiba yang masih menangis histeris di pelukan nya.
"Diba ... Sudah jangan menangis lagi, Diba yang ikhlas ya ... Ayah sudah tidak merasa sakit lagi di sana." ujar Bu Amirah mengelus kepala Adiba dan menyeka air mata yang berjatuhan ke pipi Adiba.
"Tapi Bu ... Hiks ..."
"Sudah jangan menangis lagi, masih ada Ibu disini ... Diba minum dulu ya." ujar Bu Amirah memberikan air minum kepada Adiba, lalu Adiba pun meminum nya hingga tandas.
"Jenazah sudah siap Pak." ujar Suster memberitahu.
"Ayo Bu Am, Adiba ... kita langsung saja mulai pemakamannya biar tidak lama, kasihan Pak Husein sudah di tunggu para malaikat di syurga."
"Ba-baik Pak Alzam." ujar Bu Amirah lalu menuntun Adiba untuk berdiri dan memasuki mobil milik Pak Alzam.
Di pemakaman sudah ada Emir, asisten Pak Alzam dan para keluarga Pak Alzam sendiri, dan ada juga beberapa tetangga dari Bu Amirah yang sudah berdiri di sana menyaksikan pemakaman Pak Husein.
Selama pemakaman berlangsung, tak henti-henti nya Bu Amirah dan Adiba menangis sambil memeluk satu sama lain, dengan di tenangi dan di rangkul oleh Bu Aisyi di belakang nya yang juga ikut terisak.
Setelah pemakaman selesai, Bu Amirah sangat berterimakasih sekali kepada Pak Alzam serta yang lain nya yang ikut turut serta mengikuti pemakaman suami nya. Bu Amirah dan Adiba di antar pulang oleh Emir menggunakan mobil Emir, sedangkan Pak Alzam sendiri pulang dengan di temani istri nya.
"Terimakasih Nak Emir, sudah mengantarkan kita kembali ke rumah dan terimakasih juga atas semua nya." ujar bu Amirah kepada Emir, memang Emir saat ini masih berumur 30 tahun, sudah mempunyai istri serta anak.
"Sama-sama Bu Amirah ... Adiba, kalau begitu saya pamit dulu, permisi." pamit Emir lalu melajukan mobil nya untuk kembali lagi menuju rumah tuan nya.
***
"Bu, rumah kita jadi sepi ... Biasanya ada Ayah yang sering duduk disini, sekarang sudah nggak ada." Adiba menghela nafasnya berat.
"Sudah takdir sayang, bagaimana pun kematian itu ada, dimana pun dan kapan pun kita juga bakal merasakan itu semua, Adiba jangan bersedih lagi ya ... Masih ada Ibu disini, kita mulai hidup dari awal lagi ya, jangan lupa untuk selalu mendoakan Ayah." nasihat Bu Amirah kepada anaknya.
"Tak lupa kita juga jangan melupakan kebaikan Pak Alzam," imbuh Bu Amirah sambil memeluk Adiba.
"Iya Bu ... Diba juga sangat merasa sangat berhutang budi kepada Pak Alzam dan Bu Aisyi." ujar Adiba melepaskan pelukan nya lalu menatap manik-manik Ibu nya.
Di kediaman Pak Alzam hanya ada sepasang suami istri beserta anaknya satu yaitu Kaira Al-Shaki yang sudah berprofesi sebagai Dokter.
"Umi, biar adek periksa dulu ya?" ujar Kaira sembari menatap sang ibu tercintanya.
"Sudah adek sarapan dulu saja, biar Umi juga ikut sarapan terus mau minum obat." ujar Bu Aisyi sambil tersenyum.
"Tapi Umi makan bubur saja ya? Nanti Kaira suapi."
"Nanti adek kerepotan, biar Umi makan sendiri." kata Bu Aisyi sambil mulai memakan buburnya walaupun tangannya masih lemas.
"Nggak apa- apa, Mi. Biar Kaira suapi." Kaira mengambil bubur yang ada di tangan Bu Aisyi lalu menyuapinya.
Malam hari, Kaira baru saja datang dari Turkey karena memang Kaira bekerja sebagai Dokter disana, Kaira jarang sekali bertemu dengan kedua orang tuanya, bahkan setahun hanya beberapa hari saja, selebihnya Kaira sibuk dengan dunia kerjanya di Turki.
Anak Pak Alzam tak hanya Kaira saja tetapi ada satu lagi anaknya yaitu Muhammad Fabian Al-Shaki, anak pertama dari Pak Alzam & Bu Aisyi. Saat ini Fabian masih bekerja di Kairo dan mungkin akan pulang di tahun ini, jika Pak Alzam tidak menyuruhnya pulang maka dengan senang hati Fabian tidak akan pulang.
Fabian lulusan Ilmu Agama dari Kairo. Dosennya menyuruh Fabian untuk bekerja di Pondokan Kairo saja karena Fabian merupakan anak yang pintar dan sangat berbakat, juga lihai dalam menjelaskan pelajaran yang sangat rumit jika di jelaskan.
Pak Alzam dan Bu Aisyi sebenarnya tidak ingin putra sulungnya jauh darinya, namun takdir memang takdir. Kini, Fabian yang sudah lulus berkuliah dan dengan seiring waktu ia sudah mulai mengajar di salah satu Pondok yang ada di Kairo. Pak Alzam dan Bu Aisyi hanya bisa merelakan anaknya bekerja disana, dan berdoa agar suatu saat anaknya mau di bujuk agar bekerja di Indonesia saja.
Muhammad Fabian Al-Shaki biasa di panggil Fabian berusia 30 tahun tapi belum saja menikah padahal sudah mapan dan matang, mungkin ia yang akan dijodohkan oleh kedua orangtua nya dengan Adiba Afsheen Myesha yang merupakan perjanjian antara Pak Alzam dan Almarhum Pak Husein kemarin.
"Dek ... Sudah ah, Umi sudah kenyang."
"Iya Umi." sahut Kaira sambil menaruh mangkuk bubur, lalu Kaira segera menyantap makanan untuk dirinya Sendiri. Hari ini Pak Alzam sedang ada tausiyah di pondoknya.
Ya, Pak Alzam mempunyai pondokan yang dekat dengan rumah nya, pondokan itu memang milik Almarhum Ayah nya Pak Alzam, tetapi Pak Alzam dengan kedua adiknya yang mengurus pondok tersebut.
"Umi biar Adek periksa dulu." Bu Aisyi pun mengangguk lalu Kaira memeriksa Bu Aisyi dengan Stetoskop yang di lilitkan di lehernya kemudian menempelkan pada dada Bu Aisyi agar bisa mendengar detak jantung nya.
"Umi masih lemas ya? Umi di impus saja bagaimana?" ujar Kaira sambil menensi tangan Bu Aisyi.
"Boleh deh sayang, Umi juga merasa sangat lemas sekali, mengangkat tangan saja rasanya berat." ujar Bu Aisyi, Kaira pun mengeluarkan alat impus dan mulai memasangkan jarum kemudian di arahkan selang impus agar cairan masuk kedalam tubuh Bu Aisyi.
"Nah sudah Umi diam ya, nanti kalau sudah habis Kaira cek lagi badan Umi masih lemas atau tidak kalau masih lemas nanti tambah satu labu lagi."
"Iya sayang."
"Assalamualaikum ..." seru Pak Alzam yang masih memakai jubah dengan sorban yang masih setia di kepalanya.
"Waalaikumsalam." sahut Bu Aisyi dan Kaira bebarengan.
"Loh Umi di impus? Umi bisa sakit juga ya ternyata hehehe..." canda Pak Alzam sambil duduk di samping Bu Aisyi.
"Umi juga manusia Bi." ujar Kaira sengit dan menatap Abi nya.
"Hehehe canda sayang, ya Allah Kaira nak ... Pakai bajumu yang betul jangan seperti ini Abi tidak suka, pakai juga jilbab mu." ucap Pak Alzam melihat anaknya yang masih memakai kolor dan baju pendek serta rambut nya yang di gerai.
"Maaf Abi ... Kaira lupa pakai hehehe." ujar Kaira cecengesan dan berlalu memasuki kamarnya.
"Sudah Bi, jangan marah-marah itu juga Kaira masih didalam rumah." sahut Bu Aisyi lemah.
"Iya tapi harusnya memakai baju yang panjang jangan seperti itu." elak Pak Alzam.
"Iya-iya Bi, sudah sarapan dulu sana."
"Abi sudah makan Mi tadi di pondok makan bareng-bareng, Abi pengen ngomong sesuatu sama Umi."
"Abi mau ngomong apa?" Bu Aisyi menatap serius.
"Rencana nya Abi mau menikahkan anak kita."
"Siapa? Kaira? Fabian?" Bu Aisyi memotong pembicaraan Pak Alzam.
"Fabian."
"Abi mau menjodohkan dengan siapa? Bukannya Fabian sudah punya kriteria nya sendiri ya?" ujar Bu Aisyi.
"Dengan Adiba, Bagaimana Umi setuju tidak? Ya kalau urusan kriteria mah gampang, lama-lama Fabian juga pasti mencintai Adiba." jelas Pak Alzam.
"Umi sih setuju-setuju saja kalau anak kita sama-sama saling suka nya."
"Kalau menurut Abi sih, suka mah belum tentu, bisa dilihat dari Fabian yang sikapnya begitu acuh kepada perempuan." Pak Alzam menghela nafanya berat.
"Tapi it's oke kalau Umi setuju nanti biar Abi yang bicara dengan Fabian, suruh Fabian pulang lusa dan melangsungkan tunangan dulu saja." ujar Pak Alzam membuat Bu Aisyi heran.
"Apa itu tidak terlalu cepat Bi?" tanya Bu Aisyi.
"Kalau terlalu lama jadi nya anak kita tua duluan."
"Hustt Abi tidak boleh begitu, nanti kalau ada Fabian bisa-bisa ngamuk dia."
"Kenyataan Mi, anak kita dari dulu susah sekali hanya untuk menikah saja sampai umur kepala 3 masih saja menolak dengan alasan masih ingin fokus kepada pembelajarannya, padahal kita sudah ingin menggendong cucu yakan Mi?" Bu Aisyi menganggukkan kepalanya.
"Ya sudah nanti siang Abi mau ke rumah Bu Amirah dan Adiba."
"Umi ikut Bi."
"Umi yakin? Hanya-"
"Yakin, Umi sekarang sudah tidak lemas lagi." Pak Alzam hanya tersenyum menanggapi.
"Ya sudah kalau begitu Abi mau ganti baju dulu, ingatkan anak kita agar selalu menjaga pakaiannya begitu juga pandangannya, jika bukan kita sebagai orangtuanya yang mengingatkan terus siapa lagi?" Pak Alzam memberikan nasihat kepada istrinya.
"Iya Abi, maafkan Umi yang masih belajar mengurus anak-anak kita dan akan berusaha melakukan yang terbaik untuk mereka."
"Kita mengurus bersama-sama Mi, masih ada Abi disini." Bu Aisyi menganggukkan kepalanya.
Memang Bu Aisyi hanya lulusan SMK dan tidak mengerti mengenai pelajaran agama sedangkan Pak Alzam lulusan Universitas Mesir dengan nilai yang cukup memuaskan, tetapi perbedaan yang cukup jauh tak membuat Pak Alzam mencari jodohnya yang sepadan dengannya.
Dari awal Pak Alzam memang sudah mempunyai rasa kepada Bu Aisyi sejak duduk di Sekolah Menengah membuat dirinya menikahi Bu Aisyi hingga memiliki dua anak yang hebat dan sukses, hingga sekarang cinta mereka tidak pernah berubah walaupun sudah berumur Pak Alzam juga tingkat kebucinannya masih tinggi tidak kalah dengan para Pemuda di luaran sana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!