NovelToon NovelToon

Mutiara Di Desa Nelayan

Ledakan!!!

Para pria bertubuh kekar itu masih kukuh berdiri dihadapan pria yang sedari tadi menunjukan wajah bengisnya, mereka menahan jiwa yang sesungguhnya bergetar hebat terserap oleh aura mematikan serta tatapan tajam pria yang berbadan tinggi dan gagah itu.

"Tuan, kita sudah tidak punya banyak waktu lagi." Bisik seseorang pada pria tersebut.

Beberapa waktu lalu ia mendapat kabar dari rekannya yang lain, bahwa di dalam kapal mewah tersebut terdapat bahan peledak yang belum diketahui asal-usulnya.

Tak ingin semua orang panik, beberapa orang di dalam sana berusaha mencari asal benda tersebut, tanpa sepengetahuan siapapun.

"Enyahlah!! bawa semua orang-orangmu. Katakan pada Tuanmu, apapun yang dia lakukan, tidak akan merubah keputusanku. Zalara akan tetap menjadi pedesaan sebagaimana mestinya, tidak akan ada yang berubah!" terang pria itu dengan tatapan yang masih saja tajam dan dingin.

Salah satu dari pria bergerombol bertubuh gempal itu maju satu langkah ke depan sang pria. "Sepertinya keberuntungan selalu ada di pihakmu Tuan, tapi kali ini kurasa tidak. Maka bersiaplah!" Setelah mengatakan itu, kemudian ia mengkomando orang-orangnya untuk pergi.

"Nako! apa orang-orang kita sudah menyelesaikan masalah di dalam?"

"Tidak ada jawaban Tuan. Semua sambungan terputus." jawabnya sambil sesekali menekan-nekan benda kecil yang ada di telinganya.

"Sial!" desisnya tajam.

"Saya harus memeriksa keadaan di dalam Tuan."

"Hei!!! kau ingin cari maati. Ha!!?" Sentak pria berbadan tinggi itu.

Mereka sudah berada di luar kapal, bahkan di ujung pembatas. Apakah ia juga harus kembali masuk? tapi itu terlalu berbahaya.

"Saya akan segera kembali Tuan!" ia berbalik badan, dan berjalan menjauh. Namun baru beberapa langkah...

.

.

BUMMMM!!!!!!

...*****...

Ledakan dahsyat itu begitu mengguncangkan seluruh area perairan wilayah bagian timur.

Sudah di pastikan, seluruh penumpang dan para awak kapal pesiar mewah yang kini telah hancur itu tidak ada yang selamat.

Puing-puing kapal yang kini berserakan menghiasi permukaan laut itu bercampur dengan daarah segar, serta potongan-potongan bagian tubuh manusia.

"Ya Tuhan!! Apa ini pak Aris!" Seru salah seorang nelayan di wilayah tersebut. Baru saja ia mendengar suara ledakan yang begitu kerasss, menyeruak ke gendang telinga siapa saja yang mendengarnya.

Bahkan tanah yang ia pijak pun bergetar hebat menegaskan segalanya.

"Asal suaranya dari sebelah sana pak!" Seru Pak Aris membenarkan. Keduanya begitu penasaran dengan apa yang telah terjadi.

Mereka berjalan menyusuri bibir pantai, mencari asal suara. Meninggalkan kapal yang akan mereka gunakan untuk mencari ikan.

"Di sana Pak Aris!" Seru nelayan itu.

Pria paruh baya itu begitu tergesa ingin memastikan penglihatannya.

"Ya Tuhan!!!" Pekik keduanya bersamaan.

Mereka begitu terkejut, dengan mata membola begitu melihat apa yang mereka lihat. Para maayat berserakan, serta bagian badan kapal yang bercampur daarah kental itu begitu menusuk indera penciuman.

"Kita selamatkan yang masih bisa kita selamatkan pak!" Ucap Pak Aris terengah, kepalanya terasa pening buah dari keterkejutan.

"Di sini pak, sebelah sini!!!" Teriak Pak Mitri, teman Pak Aris.

Pak Aris lari tergopoh-gopoh, menghampiri Pak Mitri yang sedang berusaha menarik tubuh seseorang. Mungkin karna posisi kapal yang memang berada tidak jauh dari daratan, memungkinkan adanya bagian kapal yang terlempar ke bibir pantai. Begitu perkiraan mereka.

Setelah dengan susah payah mencoba menarik tubuh itu ke tempat yang lebih aman, kini kedua pria paruh baya itu bisa melihat wujud dari orang yang mereka perkirakan satu-satunya penumpang yang Tuhan beri keajaiban.

"Laki-laki pak! Masih hidup!" Ucap Pak Mitri. Ia memeriksa salah satu denyut nadi pria malang itu. Kondisinya saat ini tidak bisa dikatakan baik, pakaian hampir tak berbentuk, sobekan di mana-mana, serta luka di beberapa bagian tubuh.

"Ayo kita bawa kerumah!" Pak Aris hampir menitikkan air matanya melihat keadaan pria yang belum diketahui identitasnya itu. Ia teringat anak laki-lakinya yang satu tahun lalu meninggal akibat kecelekaan ketika sedang berlayar hendak menangkap ikan. Bahkan sampai sekarang jenazahnya tidak pernah di ketemukan.

Dengan alat seadanya, Pak Aris dan Pak Mitri membawa tubuh penuh luka itu menuju pemukiman yang lumayan jauh dari pantai.

...****...

"Tarik pak, pelan-pelan!" para warga begitu riuh mengetahui adanya seseorang yang dibawa ke kampung mereka akibat kecelakaan. Ini pertama kalinya.

"Ya Tuhaaan, kasihan sekali pria itu."

"Apa dia masih bernafas."

"Aduuh biarpun sedang terkapar, dia tetap terlihat gagah dan tampan."

"Huss!! jaga bicaramu Han, seseorang sedang kesakitan."

Desas desus para warga mengiringi keadaan yang semakin ramai, mereka berbondong-bondong ingin melihat rupa dari pria malang itu.

"Tolong dibaringkan di dalam saja Pak." Pak Mitri dan beberapa warga lainnya membantu Pak Aris membawa tubuh tak berdaya itu ke dalam kamar yang di tunjukan Pak Aris.

"Bagaimana ini Pak?" tanya Pak Mitri panik.

"Saya dan keponakan saya akan merawatnya, yang lain tolong panggilkan Pak Sifuh, agar pemuda ini bisa segera diobati." Ucap Pak Aris.

Salah satu warga sigap membantu memanggil Pak Sifuh, ialah tetua di sana yang biasa mengobati orang sakit.

"Tolong ambilkan air bersih!" Pinta Pak Aris.

"Ini Paman, biar aku saja yang melakukannya."

Mutiara Anandita.

keponakan Pak Aris. Gadis desa biasa namun memiliki wajah yang manis, Kulitnya putih mulus, dengan rambut panjangnya yang hitam legam. Ia tampak begitu telaten membersihkan permukaan wajah serta tangan pemuda yang tengah terkapar di atas ranjang milik mendiang anak sang Paman.

Sepeninggal putra Pak Aris, kini ia hanya tinggal berdua dengan Pamannya, kedua orang tuanya sudah tiada ketika dirinya masih balita. Ayah dan Ibunya mengalami kecalakaan ketika sedang dalam perjalanan ke kota besar.

Sejak saat itu, tak ada satupun penduduk disana berani meninggalkan desa. Mereka percaya dan takut akan tertimpa kemalangan yang sama seperti yang di alami kedua orang tua Tiara.

"Tolong yang lain keluar, biar pemuda didalam di obati dan istrahat."

"Ayo! Ayo! Semua keluar."

Pak Mitri mengusir paksa para warga yang masih saja penasaran, mereka memaksa ingin masuk lantaran ingin tau perkembangan di dalam.

"Di mana yang sakit?"

"Ada di dalam Pak, mari!"

Semua warga menyingkir setelah kedatangan Pak sifuh, ia di segani semua orang hingga semuanya bubar tak lagi berkerumun.

"Sudah Tiara. Kita tunggu di luar saja, biar Pak Sifuh yang melanjutkan." Ucap Pak Aris.

"Baik Paman."

Tiara dan Pak Aris keluar, membiarkan Pemuda malang itu ditangani oleh ahlinya.

...Tbc......

Siuman

Sudah berhari-hari sejak malam nahas itu, pria tampan itu belum juga menunjukan tanda-tanda akan membuka matanya. Ia masih betah dalam tidurnya.

Tiara dan Pak Aris masih terus berusaha memberikan pertolongan terbaik pada pria asing itu. Bahkan Pak Sifuh pun melakukan tindakan dengan keahliannya memberi obat ramuan secara berkala.

"Ughhh!!"

Pak Sifuh dan Pak Aris menoleh pada asal suara yang terdengar berat itu. "Syukurlah, anda sudah siuman Tuan." Ucap Pak Sifuh sembari mengukir senyum.

Sementara Pak Aris turut mengucap syukur dengan menangkupakn kedua tangannya. Ia mendekati ranjang. Pak Sifuh mengerti, ia bergeser memberikan ruang untuk Pak Aris.

"Apa yang Tuan rasakan, bagian mana yang sakit?" Tanya Pak Aris yang kini sudah duduk di bibir ranjang.

"Saya... Arghhh!!" Ringis pria itu menyentuh kepalanya. Ia mencoba untuk bangun, namun rasa pusing menjalar di kepalanya yang terasa berat.

"Pelan-pelan saja, Tuan...

Kalimat Pak Aris menggantung.

"Siapa nama anda, Tuan?" Tanya Pak Aris, ia sigap membantu pria itu yang bersikeras ingin duduk bersandar di kepala ranjang.

"Saya... saya tidak ingat." jawabnya lemah, pria malang itu terlihat kebingungan saat memikirkan jawaban yang harusnya begitu mudah diberikan. Tapi ia benar-benar tak mngingatnya.

Pak Aris melirik Pak Sifuh yang ada di belakangnya. "Ini, silahkan minum dulu." Pak Aris menyodorkan air putih. Berharap setelah ini mungkin saja pria itu akan mengingat namanya.

Namun nihil, pria itu tetap menggeleng. Semakin keras ia mencoba mengingat, ia tetap tak bisa mengingat apapun.

"Sepertinya, dia kehilangan ingatannya Pak Aris." Terang Pak Sifuh.

...*****...

"Bagaimana keadaannya sekarang paman?" Untuk kesekian kalinya, wanita cantik yang usianya belum genap 20 tahun itu terus saja mengkhawatirkan pria yang beberapa jam lalu terbangun dari tidur panjangnya.

Selama hampir 4 hari, pria yang kini tengah berusaha mengingat segala kejadian yang menimpanya itu masih diperiksa oleh tetua di sana.

Dengan ramuan khas yang berbahan dasar berbagai dedaunan milik penduduk setempat. Perlahan luka-luka yang berada hampir di seluruh tubuhnya itu, terus menunjukan penyembuhan.

"Aryan sudah jauh lebih baik Ra." Pak Aris menjawab dengan senyum yang sejak tadi tak memudar.

Tiara mengernyit, Aryan? apa itu nama milik pria asing tersebut? tapi terdengar sangat familiar bagi Tiara.

"Aryan?" Tanya Tiara.

"Maksud paman, pria itu. Pria itu sepertinya dia kehilangan ingatannya Tiara." Terang Pak Aris, entah dia harus bersedih, atau bahagia.

Ia turut berduka atas musibah yang menimpa pria dewasa yang berbadan tegap dan gagah itu. Tapi ia juga merasa bahagia karna ia bisa menganggap pria itu sebagai anaknya yang telah tiada. Sosoknya tak jauh berbeda dari sang anak, terlebih usia keduanya terlihat sebaya.

Tiara mengerti, pamannya sedang teringat pada mendiang anaknya yang bernama Aryan.

"Tuan, apa anda baik-baik saja?" Tiara menghampiri Aryan, ia duduk di tepian tempat tidur yang digunakan pria itu.

Pria yang kini tengah bersandar di kepala ranjang itu mengarahkan pandangannya pada suara yang mengalun lembut.

Wanita itu menatapnya. Bulu mata lentik, dengan netra coklat terang itu terlihat begitu indah di pandang mata, sorot matanya memiliki kecantikan bak bunga mawar yang sedang merekah.

"Perkenalkan, ini Tiara. Keponakan saya." Itu suara pak Aris, ia baru kembali setelah 15 menit yang lalu mengantarkan Pak Tetua kembali ke rumahnya.

"Tiara... Mutiara Anandhita." Tiara mengulurkan tangannya.

"Nama saya...

"Aryan kan? Paman Aris sudah cerita semuanya, tidak apa-apa Tuan, pelan-pelan saja mengingatnya." Tiara segera menyela, ia menampilkan senyumnya. Senyum yang bagaikan sinar matahari di musim semi.

"Mutiara.." gumamnya pelan. Ya, dia secantik mutiara. Sangat indah.

...*****...

Tiara dengan telaten membantu Aryan memakai kembali pakaiannya. Keadaan pria itu masih sedikit lemah namun karna usianya yang terbilang muda, membuat pemulihannya tergolong cepat.

Setelah hampir beberapa minggu ke belakang Pak Aris lah yang selalu membantunya jika ingin ke kamar mandi. Namun akhir-akhir ini Aryan sudah bisa membersihkan tubuhnya sendiri, makan dengan tangannya sendiri, dan berjalan perlahan sekedar untuk keluar kamar.

"Terimakasaih, saya bisa sendiri!" cegah Aryan menahan tangan Tiara yang hendak membantu mengancingkan celananya.

Ah. Ini memalukan!.

Tiara hanya melakukan tugasnya seperti biasa, ia sama sekali tidak bermaksud berbuat kurang ajar terhadap pria yang belum lama ia kenal. Tapi sepertinya Aryan mulai tidak nyaman dengan bantuannya. Ini membuat Tiara dan Aryan menjadi sedikit canggung.

"Maaf. Aku hanya ingin kembali terbiasa menggunakan seluruh indera penggeraku, agar tidak lagi terasa kaku." Ujar Aryan lembut, ia tak enak hati setelah melihat raut wajah sang wanita tampak merasa bersalah.

"A...iya, aku mengerti. Kalau begitu aku tinggal sebentar." Tiara tersenyum kecil, malu karna sebelumnya ia sempat berfikir yang tidak-tidak. Apa sekarang pipinya terlihat memerah? jangan sampa Aryan melihatnya, ia harus segera keluar.

"Tunggu!" cegah Aryan mencekal lembut pergelangan tangan Tiara.

Perasaan apa ini? kenapa tubuh Tiara rasanya panas dingin. Jantungnya berdebar lebih kencang, sentuhan lembut pria itu merubah laju darah Tiara mengalir tak beraturan.

"Terimakasih Tiara, aku berhutang banyak padamu dan Pak Aris. Aku tidak tau apa yang akan terjadi padaku jika mereka tak menemukanku. Kau tau, aku sangat beruntung dipertemukan dengan orang-orang baik seperti kalian." tutur Aryan, ucapannya begitu tulus menyentuh hati Tiara.

Aryan sendiri tak bisa memungkiri, Tuhan begitu baik padanya hingga bisa bertemu dengan gadis sebaik dan secantik Tiara. Wanita itu sudah seperti seorang istri yang senantiasa mengurus keperluan suaminya. Hingga Aryan nyaman dibuatnya.

Tiara tersenyum lembut, ia kembali duduk di samping Aryan yang kini duduk dengan kaki menjuntai ke lantai.

"Tuan, apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Tiara hati-hati. Ia tak ingin mengejutkan sang pria hingga dianggap tidak sopan.

Aryan bergumam pelan, ia siap mendengar hal apa yang akan ditanyakan Tiara.

"Kau yakin tidak ingat apapun Tuan, apa... apa kau tidak ingat dimana kau tinggal sebelumnya?"

Pria itu menggeleng lemah. Kemudian meraih tangan Tiara dan menggenggamnya.

"Bisakah kau tidak bersikap sesungkan ini padaku? buat dirimu senyaman mungkin. Hm?"

Ya, apa salahnya jika mereka mengakrabkan diri. Aryan tak ingin lagi ada kecanggungan antara dirinya dan Tiara. Itu membuatnya tak nyaman.

Tiara mengangguk malu-malu, haruskah Aryan menggenggam tangannya ketika sedang berbicara?ini terlalu dekat.

"Haruskah aku memelukmu, agar kau lebih rileks?" tanya Aryan setengah menggoda wanita yang sejak tadi menundukan pandangannya.

Mendengar hal itu, sontak Tiara menatap Aryan yang kini tengah menyunggingkan bibirnya, pria itu tersenyum manis.

Aryan bisa merasakan sedingin apa tangan Tiara saat ini, Tiara selalu segugup itu ketika berhadapan dengannya.

"Kau menggodaku Tuan." ucap Tiara, keduanya tertawa pelan. Kecanggungan itu pun perlahan memudar begitu saja.

...Tbc......

kekhawatiran

Satu bulan berlalu, keadaan Aryan sudah jauh lebih baik, ia merasa lebih segar dan tenaganya sudah kembali. Meski belum seratus persen, tapi pria pemilik dada bidang itu sudah tak betah berlama-lama di tempat tidur, dan seputaran rumah saja.

"Mau kemana Kak? jangan terlalu banyak bergerak dulu, kalau tidak nanti kakak pusing lagi."

Ah, suara lembut itu lagi.

Tiara, wanita yang selalu ada di sisnya. Merawatnya dengan sangat baik dan begitu telaten, Tiara yang selalu menyiapkan makanannya, mengurus pakaiannya, mengatur jadwal minum obat ramuannya.

Wanita cantik itu begitu menumpahkan segala bentuk perhatiannya. Perasaan Aryan saat ini tidak mudah untuk di jelaskan. Yang pasti, segala sesuatu yang dilakukan Tiara, mampu menggetarkan hati terdalamnya.

Sejak Tiara dan Aryan memutuskan untuk mengakrabkan diri, pria itu meminta Tiara untuk mengubah panggilannya.

Sebenarnya, Aryan meminta Tiara untuk memanggil langsung namanya saja, namun Tiara adalah Tiara, ia merasa itu kurang sopan hingga mau tak mau Aryan menyetujui usulan Tiara yang memanggilnya dengan sebutan 'Kakak'.

"Aku ingin melihat-lihat keluar, kalau kau begitu khawatir, kau boleh menemaniku Ara."

"Boleh aku memanggilmu seperti itu?" Aryan bertanya dengan sorot mata tak lepas menatap wajah Tiara yang selalu tampak cantik.

Terlihat Tiara yang berpikir sejenak, kemudian mengangguk setuju. "Kedengarannya bagus, baiklah. Hanya kau yang boleh memanggilku seperti itu Tuan." Ujar Tiara.

"Tuan?" Aryan mengernyit, namun sudut bibirnya berkedut menahan senyum.

"Maksudku, Kak... maaf, aku belum terbiasa." Cicit Tiara. Padahal ia sendiri yang mengusulkannya, tapi tetap saja lidah Tiara masih terasa kaku.

"Sudah ku katakan, panggil namaku saja Ara."

"Akan ku usahakan."

Tiara berdiri, kemudian mengikuti Aryan yang sudah lebih dulu berjalan. Mereka berjalan-jalan menyusuri perkampungan yang hampir keseluruhannya berprofesi sebagai nelayan, karna hanya itu yang jadi matapencaharian mereka.

"Berjalanlah di sampingku, jangan di belakangku." pinta Aryan, ia menghentikan langkahnya sebentar, kemudian menarik tangan Tiara pelan.

"Seperti ini?" Tiara mensejajarkan diri di samping Aryan, bahkan ia membalas tautan tangan pria yang jauh lebih tinggi darinya itu. Tinggi Tiara hanya sedadanya saja.

Mereka berdua saling melempar senyum, kemudian segera melanjutkan perjalanan.

Terlihat anak-anak yang sedang bermain kejar-kerjaran. Para orang tua yang baru berangkat ataupun pulang mencari ikan.

Di atas pasir pantai yang tampak seperti butiran-butiran emas lembut berkilauan lantaran diterpa sinar matahari. Aryan dan Tiara duduk berdampingan, memandangi riak gelombang ombak yang menenangkan.

Aryan mengulurkan tangannya ke arah Tiara. "Berikan tanganmu."

Wanita itu menurut.

Tiara yang hanya mengenakan kaus lengan pendek,dipadu rok di bawah lutut tampak mengelus kedua lengannya.

Aryan menarik dan memasukkan tangan kiri Tiara kedalam kantong mantelnya. "Mendekatlah." Pintanya.

Tiara merangsek, mendekatkan tubuhnya pada Aryan. "Apa kau pernah berpikir, selama kau disini. Ada seseorang jauh disana sedang meratapi kerinduannya padamu. Menunggu kabar darimu, atau bahkan kepulanganmu."

Aryan diam mendengarkan, ia tak bisa menjawab apapun. Tidak ada yang dapat ia perkirakan hingga saat ini, ingatannya masih belum kembali. Meski begitu, samar-samar ia mengingat kejadian mengerikan yang terus mengganggunya.

Mungkin Tiara benar, ada seseorang... entah itu keluarga, orang tua, atau siapapun yang kini menunggunya.

Ia mengelus lembut kepala Tiara yang kini bersandar di bahunya. "Aku mengerti apa yang kau khawatirkan Ara. Berjanjilah padaku, apapun yang terjadi kau akan tetap ada di sisiku." Ucap Aryan serius, ia tak lagi menatap lautan luas, karna wajah Tiara mampu mengalihkan segalanya.

Tiara tersenyum lembut, rambut panjangnya yang tergerai indah diterpa angin pantai. Cantik.

"Mungkin kaulah yang akan meninggalkanku, jika ingatanmu telah kembali."

Aryan terkekeh, entah sadar atau tidak keduanya kini sudah berpelukan dengan erat. Tiara tampak nyaman di rengkuhan bahu kekar Aryan.

"Itu tak akan terjadi Ara."

...*****...

Seorang wanita muda masih setia duduk di ujung kamar mewahnya, di atas kursi empuk yang terletak dekat jendela besar hingga terlihatlah suasana perkotaan dengan segala aktifitasnya.

Ia tak bisa menampik, bahwa ia mencintai pria itu. Sampai saat ini ia masih merasa kehilangan. Beberapa kali ia mencari petunjuk melalui orang-orang suruhannya, tapi belum juga membuahkan hasil.

"Kau sudah terlalu lama melamun sayang." bisik seorang pria di telinganya, kedua tangan pria itu sudah melilit di tubuh sang wanita. Ia mendekapnya dari belakang, memberi kenyamanan serta ketenangan.

"Aku hanya penasaran sayang. Jangan salah paham." Ia mengelus pipi sang Pria yang kini menempel di bahu kanannya.

"Yeah, I know." Ucapnya serak, ia menelusupkan wajahnya di ceruk leher sang wanita, menggodanya, dan memberikan tanda kemerahan di sana.

...*****...

"Kau sudah lebih baik Tuan? mampirlah sebentar. Ayahku dapat ikan besar, kita makan bersama."

"Tidak usah Hanna, kami harus segera pulang. Paman Aris sudah menunggu." Tiara menjawab sopan pada anak tetangga yang seusianya.

Sejak Hanna tau bahwa Aryan sudah sadarkan diri, hampir setiap hari wanita itu mengunjungi rumah Pak Aris. Membawakan ikan segar, membawa dedaunan kering, atau hanya sekedar berbasa-basi menanyakan kabar Tiara.

Padahal sebelumnya mereka tidak begitu dekat.

"Aku bertanya padanya, bukan padamu." Ketus Hanna tak suka. Ia sangat mengharapkan bisa lebih dekat dengan pria tampan itu, kenapa lagi-lagi Tiara selalu lebih beruntung darinya.

Bahkan Hanna pernah ditolak pria yang sudah lama ia sukai, hanya karna pria itu telah lebih dulu menyukai wanita lain, dan itu adalah Tiara.

Padahal apa kurangnya? ia selalu memakai pakaian pendek seperti yang disukai para Pria. Tapi kenapa usahanya terus sia-sia.

Hanna berdecak sebal saat bayangan itu kembali melintas di pikirannya.

"Terimakasih Nona, tapi Tiara benar. Kami harus segera kembali, Pak Aris pasti sudah menunggu."

Aryan dan Tiara mengangguk ramah, kemudian pergi meninggalkan Hanna yang masih menggerutu kesal di tempatnya.

"Sudahlah Hanna, trikmu itu sudah tidak mempan. Berapa pria yang kau rayu dengan cara yang sama, tapi semuanya gagal bukan!" Ujar seorang ibu paruh baya bertubuh gemuk yang sejak tadi memperhatikan obrolan ketiganya.

"Ini salahmu Bu, harusnya aku terlahir dari bibit yang jauh lebih baik!" ia menghentakkan kakinya kemudian masuk kedalam rumah.

Sang ibu hanya bisa menggeleng melihat tingkah anak perempuannya.

...Tbc......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!