NovelToon NovelToon

MENGEJAR CINTA PAK GURU

Bab 1 Perjodohan

Arjuna Hartono, pria berusia 25 tahun itu, sedang duduk dengan suasana tegang di ruang keluarga bersama papa, mama, dan Amanda adiknya.

Tanpa tedeng aling-aling, Pak Arman Hartono meminta putra tunggalnya menikahi putri tunggal sahabatnya.

“Mana bisa Juna menikah sama bocah, Pa ! Lagipula Juna sudah punya Luna, wanita yang akan menjadi calon isti Juna.”

Dengan tegas Arjuna terus mendebat permintaan papanya, apalagi gadis yang diminta menikah dengannya seumur dengan adiknya, Amanda. Bedanya, gadis itu sudah duduk di kelas 11 di usianya yang keenambelas, sementara Amanda masih duduk di kelas 10.

“Baru calon istri, kan ? Itu pun belum resmi. Berarti masih bisa dibatalkan,” sahut Pak Arman dengan

tegas.

“Tapi kami sudah berpacaran 2 tahun dan saling cinta, Pa. Luna minta waktu 1 tahun lagi untuk menerima lamaran Juna.”

“Papa sudah pernah bilang sama kamu kalau papa tidak setuju kalau kamu pacaran dengan perempuan itu ! Apalagi sampai menikah ? Jangan harap papa akan memberikan restu untuk kalian !”

“Luna wanita yang baik dan penuh pengertian, Pa. Dia menerima Juna apa adanya, bahkan tidak pernah komplain kalau Juna sedang sibuk dengan pekerjaan di kantor.”

“Tentu saja dia tidak pernah protes,” ejek Papa Arman dengan nada sinis. “Dia selalu mendapatkan kelimpahan materi darimu. Dasar laki-laki bodoh ! Dirayu sedikit sama perempuan model begitu, sudah menganggap mendapatkan wanita baik dan menjadikannya calon istri.”

Arjuna hanya diam tanpa membantah. Sejak pertama Arjuna memperkenalkan Luna sebagai kekasihnya, papanya langsung memasang muka perang.

Juna sendiri bertemu dengan Luna di pesta ulangtahun Mimi, pacar Boni, sahabatnya. Kedua perempuan itu merupakan teman satu jurusan plus satu angkatan di kampus yang sama dengan Arjuna dan Boni.

Juna yang dikenal sebagai pria rusuh yang belum pernah pacaran, dijodoh-jodohkan oleh Mimi, Boni dan sahabat mereka. Ketampanan seorang Arjuna Hartono memang tidak mungkin ditolak wanita. Biar sering bercanda dan sikapnya terlihat kurang serius, para sahabatnya mengetahui kalau Arjuna adalah seorang CEO yang pantas mendapatkan acungan jempol.

Dengan gayanya yang terkesan santai, Arjuna mampu menaikan omzet perusahaan papanya hingga seratus limapuluh persen di tahun pertama masa kerjanya.

“Hari Sabtu ini kita akan bertemu dengan mereka.Papa tidak menerima alasan apapun darimu untuk tidak datang !” Tegas Papa Arman kembali.

Arjuna mendongak menatap kembali wajah papa Arman. Raut mukanya terlihat kesal.

“Pokoknya Juna tetap tidak mau datang sekalipun hanya untuk bertemu dulu. Juna hanya ingin menikahi Luna ! Nggak mau menikahi anak bocah.” Suara Arjuna perlahan mulai meninggi.

Papa Arman masih menatap anaknya dengan tajam dan emosi. Mama Diva dan Amanda hanya terdiam memperhatikan keduanya yang sama-sama sedang dalam mode senggol bacok.

“Kalau hanya karena permintaan teman papa untuk menjaga anaknya, Juna akan penuhi. Tidak perlu sampai ada pernikahan, Juna akan menyayanginya sebagai adik sama seperti Amanda,” Juna melanjutkan ucapannya saat dilihat papa Arman hanya terdiam sambil menatapnya.

“Hanya dengan pernikahan kamu akan menjaganya seumur hidupmu. Lagipula, tidak baik juga kalau seorang anak gadis tinggal seatap dengan pria lajang yang tidak punya hubungan darah.” Nada suara Papa Arman tetap terdengar tegas, namun sudah tidak setinggi tadi.

“Kalau begitu Juna akan tinggal di apartemen dan hanya pulang semiggu sekali.”

“Bagaimana kamu bisa bilang menjaganya kalau kalian hanya bertemu seminggu sekali,” sindir papa Arman dengan nada sinis.

Arjuna menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Betapa sulitnya memberikan pengertian pada papa Arman.

“Kan setiap hari dia akan sekolah, Pa. Dia bisa mencari lea tambahan untuk mengisi waktu luangnya. Lagipula ada Amanda yang seumuran.” Arjuna masih berusaha mendebat permintaan papa Arman.

“Kali ini permintaan papa berlaku mutlak dan tidak bisa didebat.” Papa Arman memajukan sedkit badannya, agak condong ke Arjuna yang duduk di hadapannya.

“Kalau kamu menolak, berarti kamu sudah siap menerima semua konsekwensinya. Semua fasilitasmu papa tarik kembal, termasuk jabatan CEO di perusahaan, “ suara papa Arman lebih pelan namun penuh penekanan membuat Arjuna terkejut dan menatap papanya dengan ekspresi tidak percaya.

Bukan hanya Arjuna yang terkejut, mama Diva dan Amanda juga tercengang mendengar ucapan papa Arman. Apalagi mereka semua tahu bagaimana papa Arman selalu berkomitmen dengan keputusannya.

Pria paruh baya itu mundur dan kembali bersandar di sofa dengan kedua tangan melipat di dada. Beliau menatap putranya sengan sinis.

Papa Arman yakin kalau Arjuna akan berpikir dua kali sebelum menolaknya. Anaknya mungkin hebat menaikan omzet, tapi jangan lupa kalau Arjuna juga menikmati fasilitas lain yang diberikan sang papa sebelum dia menghasilkan sesuatu untuk perusahaan.

Belum lagi kekasihnya itu yang sudah ketahuan matere di mata papa Arman. Akan sulit bagi wanita itu tetap mendampingi Arjuna kalau sampai miskin harta.

“Kalau kamu siap melepaskan semuanya, papa akan cari jalan keluar bersama teman papa itu.” Papa Arman bangun dari tempat duduknya.

“Papa,” mama Diva pun buka suara. “Apa Papa ada hutang atau janji sesuatu sampai memaksa Arjuna harus menikahi putri temanmu itu ?”

“Tidak ada,” sahut papa Arman sambil menggeleng.

“Atau ini semua hanya pernikahan bisnis, Pa ?” Amanda yang sudah gatal mulutnya sejak tadi, ikut membuka suara.

“Tidak ada alasan khusus apalagi soal bisnis untuk perjodohan ini,” ucap Papa Arman dengan nada suara yang sudah kembali biasa.

“Dan kamu Arjuna !” Papa Arman menunjuk putranya sambil melotot. “Jangan main-main dengan ucapan Papa. Percayalah kalau putri teman papa lebih baik daripada pacarmu itu.”

Tanpa menunggu tanggapan lain dari istri dan anaknya, Papa Arman meninggalkan ruang keluarga menuju ruang kerjanya.

Arjuna menjambak rambutnya sambil mengumpat kesal. Mama Diva berpindah duduk ke sebelah Arjuna dan mengusap-usap punggung putra sulungnya.

“Ma, apa mama tidak bisa bantu bicara sama papa ?” Arjuna langsung memasang tampang memelasnya.

“Masa hanya untuk menjaga putri teman papa, Arjuna sampai harus menjadikannya istri. Belum lagi itu anak seumuran sama Amanda. Berasa kawin sama adik sendiri,” rengek Sebastian.

“Papa kamu pasti punya alasan yang kuat sampai bersikeras seperti ini. Paling tidak kamu coba turuti dulu untuk menemui teman papa dan putrinya.” Nasehat mama Diva sambil menepuk-nepuk punggung tangan putranya.

“Iya Kak, turuti dulu aja buat ketemuan sama teman papa hari Sabtu nanti. Susah banget sih.” Amanda buka suara sambil mencibir.

“Ogah Dek !” Arjuna mencebik. “Kalau sudah nurut untuk bertemu, pasti papa akan semakin memaksa untuk menikah.”

“Tapi Manda setuju sih sama pendapat papa,” Amanda kembali berbicara. “Ada baiknya Kak Juna memikirkan dua kali atau kalau perlu berkali-kali soal Kak Luna.”

“Memangnya ada apa sama Luna ? Dia kan sangat baik sama kamu !” Arjuna langsung melotot.

“Feeling perempuan,” sahut Amanda sambil tergelak. “Kak Luna itu kebanyakan dramanya. Sikap manisnya sama kakak kelihatan lebay, dibuat-buat.”

Arjuna bangun dan menoyor kening adiknya.

“Sok tahu !” Omelnya.

Amanda langsung cemberut dan mengusap keningnya.

“Ma, kakak nih main tangan,” rengek Amanda pada mama Diva.

“Dasar bocil, bisanya ngadu melulu,” Arjuna mencebik dan hendak meninggalkan ruangan.

“Manda sumpahin jadi bucin sama anak temannya papa loh !” Teriak gadis itu saat melihat kakaknya meninggalkan ruangan.

Arjuna hanya tertawa dan melambaikan tangannya tanpa menoleh.

“Amanda Hartono !” Tegur mama Diva sambil melotot.

Amanda hanya cengengesan sambil mengatupkan kedua tangannya di depan wajahnya.

.

Bab 2 Melarikan Diri

Arjuna memasuki cafe yang biasa jadi tempat nongkrongnya bersama para sahabatnya. Bonie, Theo dan Luki sudah duluan menunggunya di salah satu meja.

“Tumben ngajak ketemu mendadak begini. Kusut pula muka elo,” suara Luki menyambut Arjuna yang baru saja datang dan duduk di kursi yang kosong.

Arjuna tidak menjawab, langsung memanggil pelayan dan memesan makanan serta minuman.

“Pusing gue sama bokap,” Arjuna memulai curahan hatinya.

“Kenapa lagi ?” Boni sampai menautkan kedua alisnya. “Bukannya jabatan elo sudah mentok jadi CEO sejak setahun lalu ?”

Arjuna menarik nafas panjang dan menghelanya dengan kasar.

“Gue disuruh nikah, men.”

Ketiga temannya saling berpandangan. Cuma karena alasan itu kenapa Arjuna sampai kusut begini. Setahu mereka, Arjuna malah sudah pernah melamar Luna, kekasihnya.

“Ya kalau soal itu kan tinggal elo ngomong aja sama Luna,” Boni kembali buka suara. “Secara umur kan elo berdua udah pantas lah untuk menikah.”

“Masalahnya nggak segampang itu Bambang,” Arjuna terdengar sewot mendengar ucapan Boni.

“Justru gue disuruh nikahnya bukan sama Luna, tapi bocah,” sungut Arjuna dengan wajah kesal.

“Wah beneran, Bro ?” Theo sampai menegakkan duduknya dan mencondongkan tubuh ke arah Arjuna.

Pria yang sedang bad mood itu mengangguk.

“Anak bocil kelas 2 SMA, baru 16 tahun pula.”

Ketiga sahabatnya langsung tertawa ngakak mendengar ucapan Arjuna.

“Dasar temen laknat, bukannya menghibur malah ngetawain,” Arjuna mendengus kesal.

Pelayan mengantarkan pesanan minumannya yang langsung ditenggak hingga setengah gelas.

“Tapi elo bakalan untung banyak kalau sampai menikah sama bocil,” ledek Luki.

“Sok tahu, lo !” Theo mencebik. “Apa iya Arjuna yang menang banyak, atau Arjuna yang lempeng ini malah dikadalin sama bocah.”

“Maksud lo ?” Arjuna mengernyit menatap Theo.

“Yah elo kan tahu sendiri gimana anak jaman sekarang. Pacaran sambil pegang-pegang dan cium-cium kan udah biasa,” Theo menjelaskan.

Arjuna terdiam dan mengerutkan dahinya. Tangannya memainkan embun es yang membasahi gelas lemon mint squashnya.

“Jangan didengerin omongan Theo, Bro,” gantian Luki yang berbicara. “Kalau sampai bokap elo berani menjodohkannya sama elo, gue yakin kalau screening bibit, bebet dan bobotnya sudah lolos uji.”

“Elo kira apaan perlu screening segala,” ledek Theo.

Arjuna kembali terdiam dan mulai menikmati pesanan makanan yang baru saja diantar.

“Cakep nggak Bro ?” tanya Theo dengan nada menggoda Arjuna.

“Belum pernah ketemu,” Arjuna hanya menggeleng. Satu sendok nasi goreng sudah masuk ke dalam mulutnya.

“Ketemu dulu, Bro,” saran Luki. “Siapa tahu cakep dan siapa tahu memang jodoh buat elo.”

“Gue pria setia ya,” tatapan Arjuna menajam melihat satu persatu sahabatnya.

“Memangnya elo udah yakin tetap akan melamar Luna tahun depan ?” tanya Boni sambil memicingkan matanya.

“Iya pasti lah,” Arjuna mengangguk mantap.

Theo dan Luki saling memandang sambil tersenyum tipis. Sebetulnya mereka bertiga kurang setuju kalau Arjuna sampai lanjut menikah dengan Luna. Apalagi Boni yang masih berstatus pacarnya Mimi, mendapat sedikit bocoran soal kelakuan Luna di luar sana.

Luna yang sadar dirinya cantik dan mudah memikat laki-laki dengan kondisi fisiknya, sering tebar pesona pada pria-pria mapan di belakang Arjuna. Apalagi profesinya sebagai Public Relation Officer di salah satu produk rokok ternama, membuat Luna selalu mempunyai peluang untuk bertemu dengan kaum pria daripada wanita.

Yang menjadi masalah buat ketiga sahabat Arjuna, dengan mudahnya sahabat mereka dengan status CEO-nya dibodohi oleh kecantikan dan bujuk rayu Luna. Begitu mudahnya Arjuna memberikan Luna semua fasilitas berbau materi tanpa mengontrolnya.

Tapi mereka susah melarang. Luna belum pernah terbukti selingkuh dengan pria lain apalagi sampai check-in di hotel. Lagipula selama Arjuna tidak merasa keberatan diporoti hartanya, ketiganya tidak bisa bilang apa-apa.

“Gue setuju sama saran Luki, Bro. Ada baiknya elo ketemuin dulu bocil yang mau dijodohkan sama elo,” ujar Theo.

“Iya gue setuju juga,” timpal Boni.

“Dan guenya ogah !” Tukas Arjuna cepat. “Bokap pasti akan menuntut lebih lagi kalau sampai gue turuti perintahnya.”

“Kadang orangtua lebih bisa melihat ke depan, Bro,” Luki menepuk bahu sahabatnya.

“Yang bikin gue pusing, kalau sampai gue nolak perjodohan ini, semua fasilitas gue dicabut bahkan gue dikeluarkan dari perusahaan.”

“What ?” Ketiga pria di depannya kompak bersuara dengan mata membelalak menatap Arjuna.

🍀🍀🍀

Arjuna masih berusaha membujuk papa Arman untuk merubah ultimatumnya menjodohkannya dengan anak bocah 16 tahun itu.

Segala cara Arjuna lakukan supaya luluh hati papanya. Tidak lupa rayuan gombal seorang Arjuna supaya mama Diva membantunya. Namun usaha Arjuna sia-sia, papa Arman tidak merubah keputusannya.

Bahkan tepat di hari Sabtu, papa Arman melarang anaknya keluar rumah dengan alasan apapun. Pria paruh baya itu sudah hafal trik anaknya yang pintar merayu dan memanipulasi orang. Dengan kemmapuaj itu jugalah, Arjuna dengan mudah mendapatkan surat kontrak dari para kliennya.

Jam setengah enam sore, kedua orangtua Arjuna bersiap-siap di kamar, begitu juga dengan Amanda yang akan diajak bertemu.

Arjuna sendiri sudah berpakaian lengkap yang menambah ketampanannya. Dia berjalan bolak balik sambil berpikir dan sesekali memijat pelipisnya.

Entah setan mana yang lewat, muncuk ide buruk di dalam kepala Arjuna. Dia pun mengambil handphone dan mengeksekusi rencananya.

Arjuna sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya sudah tidak kusut lagi seperti beberapa terakhir, membuat papa Arman justru jadi curiga.

Dipandangi wajah putranya yang sedang memainkan handphone di tangannya. Terlihat santai dan biasa saja.

“Sudah siap nih, Pa,” mama Diva dan Amanda muncul bersamaan dalam keadaan rapi dan cantik.

Papa Arman hanya mengangguk dan berjalan keluar rumah. Arjuna yang jalan paling belakang terlihat senyum-senyum sendiri.

Butuh waktu 40 menit untuk sampai di tempat yang dijanjikan. Jalanan di Jakarta saat malam minggu cukup ramai hingga tidak bisa cepat sampai ke suatu tempat.

“Mereka sudah datang,” ujar papa Arman saat berjalan dari parkiran mobil.

“Papa sudah dihubungi ?” Tanya mama Diva.

“Nggak,” papa Arman menggeleng. “Tapi itu mobilnya Rudi,” papa Arman menunjuk salah satu mobil sedan berwarna hitam.

Dengan alasan ingin merapikan diri sebelum bertemu calon istrinya, Arjuna ijin ke toilet sebelum masuk ke ruangan.

“Awas kalau sampai kamu kabur, ya !” Ancam papa Arman.

“Aman, Pa.” Arjuna memberi isyarat oke dengan tangannya dan berbelok menuju toilet.

Setelah dua langkah, papa Arman sempat berhenti. Hatinya meragukan Arjuna akan menepati ucapannya.

“Coba percayalah pada anak sendiri, Pa,” mama Diva menyentuh lengan suaminya. “Dia sudah bukan anak-anak lagi.”

Mendengar ucapan istrinya, papa Arman yang semula ingin mengikuti Arjuna, membatalkan niatnya dan melanjutkan langkah menuju ruangan yang sudah dipesan.

Arjuna yang mengintip dari balik salah satu pilar, langsung tersenyum puas saat melihat mama Diva berhasil membujuk papa Arman untuk menunggu si ruangan. Mamanya memang paling pengertian sekalipun Arjuna tidak bicara apa-apa.

Bergegas dia keluar dari restoran dan memghampiri taksi yang sudah dipesannya secara online.

Dengan wajah puas dan penuh kemenangan, Arjuna meminta sopir taksi membawanya ke rumah Theo. Para sahabatnya sedang berkumpul di sana. Malam minggunya akan kelabu kalau hanya sendiri di rumah. Apalagi Luna sudah mengabarkan kalau ada event kantor yang harus diurusnya malam ini.

Arjuna mengambil handphone dari saku celananya dan menulis pesan untuk papa Arman sebelum mematikan handphonenya.

“Maaf Pa, Juna benar-benar tidak bisa menuruti permintaan Papa malam ini. Biarkan Juna belajar untuk memutuskan masa depan Juna.”

Bab 3 Konsekuensi Bukan Hukuman

Arjuna berjalan mengendap memasuki rumah keluarganya melewati pintu belakang. Dia sudah mengirim pesan pada Ujang, salah satu pekerja di rumahnya, untuk menunggunya pulang.

Jam 11.15. Terlalu asyik ngobrol dengan kedua sahabat dan beberapa teman SMA nya membuat Arjuna lupa waktu. Boni tidak datang karena sedang ada acara keluarga dengan Mimi, kekasihnya.

Ujang sudah siap dengan pintu terbuka dekat dapur.

Setelah mengucapkan terima kasih, Arjuna langsung naik ke kamarnya dengan sikap waspada.

Namun sempat menanyakan pada Ujang keberadaan papa Arman, Arjuna boleh menarik nafas lega karena kedua orangtuanya sudah masuk kamar dan tidak keluar lagi saat Ujang mulai menunggu anak majikannya.

Arjuna merenggangkan otot-ototnya. Cahaya mentari lagi mengintip dari balik tirai yang tidak tertutup rapat dan masuk dari celah-celah ventilasi kamar mandi yang sedikit terbuka pintunya.

Arjuna mengerjapkan mata sambil duduk di atas tempat tidurnya. Setelah melakukan peregangan singkat, Arjuna berjalan menuju kamar mandi.

Rencananya hanya ingin sikat gigi dan membasuh wajah sebelum turun sarapan. Tapi melihat jam dinding sudah di angka 10 lewat 15, Arjuna memutuskan untuk langsung mandi saja.

Perlahan Arjuna melangkah menuruni anak tangga setelah menghabiskan waktu 30 menit untuk mandi dan bersiap.

Didapatinya ruang keluarga kosong tanpa penghuni. Arjuna meneruskan langkah menuju ruang makan dan sempat melongok ke teras belakang rumahnya.

“Bapak sedang keluar main golf sejak pagi, Den. Ibu dan Non Manda sedang pergi ke pasar.”

Bik Sumi yang baru saja memasuki ruang makan langsung menjelaskan karena melihat Arjuna melongok sana-sini seperti sedang mencari orang.

“Semalam papa sama mama pulang jam berapa, Bik ?” Arjuna menarik kursi dan melihat makanan yang terhidang setelah Bik Sumi membuka tudung saji.

“Jam sepuluh kurang, Den.”

Bik Sumi meletakan piring dan peralatannya di depan Arjuna. Setelah beberapa saat, wanita baya itu membawa segelas es jeruk untuk Arjuna. Sudah menjadi kebiasaan anak majikannya kalau sarapan nasi goreng, Arjuna pasti memilih es jeruk sebagai minumannya.

“Apa papa marah-marah semalam atau pagi ini, Bik ?”

Bik Sumi tersenyum. Dia sempat mendengar semalam kasus kaburnya Arjuna meninggalkan restoran. Pria yang sudah diasuhnya sejak berusia 2 tahun ini memang memiliki otak yang cerdik dan selalu banyak akalnya.

“Bapak nggak sampai marah-marah banget kok, Den. Tadi pagi juga terlihat biasa saja.”

Arjuna mengangguk-anggukan kepalanya sambil menikmati nasi goreng.

Setelah selesai sarapan menjelang makan siang, Arjuna duduk di ruang keluarga sambil memainkan handphonenya. Dia juga sempat mengecek email yang masuk berkaitan dengan pekerjaannya.

Tidak lama terdengar gaduhnya suara Amanda memasuki rumah lewat pintu dapur. Arjuna mengabaikannya dan tetap fokus pada handphonenya.

“Siap-siap loh, Kak,” ujar Amanda setengah berbisik saat melewati ruang keluarga dan mendapati kakaknya sedang duduk selonjoran di sana.

Arjuna mendongak sekilas dan memberikan isyarat tangan oke pada adiknya.

Ternyata bukan hanya mama Diva dan Amanda yang pulang dari pasar, papa Arman ikut pulang bersama dengan satu mobil.

Lokasi pasar modern dengan lapangan golf ternyata tidak terlalu jauh hingga cukup satu mobil untuk memgantar dan menjemput kedua orangtua Arjuna.

Tigapuluh menit kemudian, Bik Sumi memanggil Arjuna untuk makan siang karena orangtua dan adiknya sudah menunggu di ruang makan.

Mulanya Arjuna hendak menolak acara makan siang bersama. Selain karena masih kenyang, degup jantungnya belum bisa ditenangkan karena membayangkan reaksi papa Arman atas tindakannya semalam.

Berharap bisa memadamkan kemarahan papa Arman, akhirnya Arjuna memberanikan diri ikut makan siang bersama.

Di luar dugaan, papa Arman tidak menyinggung apapun atau bertanya pada Arjuna masalah semalam. Tapi jangan berharap papa Arman mengajaknya berbicara, menoleh padanya pun terlihat enggan.

Selesai makan siang di hari Sabtu, seperti biasa mereka berkumpul lagi di ruang keluarga. Mama Diva duduk satu sofa dengan papa Arman sambil memotong buah.

Arjuna duduk di sofa panjang lainnya yang berseberangan dengan kedua orengtuanya, dan Amanda duduk di sofa tunggal yang berada di antara kedua sofa panjang.

“Mana dompetmu,” dengan suara datar papa Arman mengulurkan tangan dan meminta dompet milik Arjuna.

“Sebentar Juna ambil dulu, ada di kamar, Pa.” Arjuna pun bangun dan bergegas naik ke kamarnya.

Tidak lama dia sudah kembali dan meletakan dompet hitam miliknya.

“Handphone,” papa Arman memberi isyarat supaya Arjuna meletakan handphonenya juga. “Keluarkan SIM cardnya.”

Kedua alis Arjuna saling bertaut. Perasaannya semakin tidak karuan. Juna menuruti perintah papa Arman.

Mama Diva sempat berhenti memotong buah dan menatap suaminya dengan dahi berkerut. Amanda pun menghentikan kesibukannya berselancar di media sosial. Buat Amanda, drama papa Arman dan kakaknya lebih seru dintonton, apalagi secara LIVE !

Arjuna mengeluarkan SIM cardnya dan papa Arman mengeluarkan semua isi dompet anaknya.

Tindakan papa Arman yang langsung membagi dua kartu kredit dari dompet Arjuna, membuat tiga orang yang ada di dekatnya tercengang.

Tanpa memberikan penjelasan apa-apa, papa Arman menarik handphone Arjuna berlogo buah yang nilainya puluhah juta dan memberikan dus handphone baru yang terlihat standard.

“Semua tagihan kartu kreditmu akan papa selesaikan dan anggap saja sebagai pesangon kerjamu. Rekening, deposito dan apartemen sudah papa tarik kembali dan diblokir. Ini uang untuk modal hidupmu mendapatkan masa depan yang kamu inginkan.”

Papa Arman menyodorkan uang tunai senilai 2 juta yang diambilnya dari dompet Arjuna.

Belum sampai Arjuna buka suara ingin protes karena merasa sebagian uang yang ada di rekeningnya adalah hasil gajinya selama menjadi CEO, papa Arman kembali berbicara dengan nada datar.

“Uang di rekening dan depositomu bahkan tidak cukup untuk melunasi 3 kartu kredit milikmu. Terutama yang ini,” papa Arman menunjuk salah satu kartu berwarna abu-abu tua dan mengkilap namun sudah terbelah dua.

Arjuna terkejut saat papa Arman memperlihatkan kartu yang dimaksud. Selama ini dia tidak pernah menggunakan kartu itu untuk dirinya sendiri, tetapi Arjuna membuat kartu tambahan di situ atas nama Luna.

Arjuna menghela nafasnya. Tagihan kartu kredit itu memang tidak sampai over limit, tapi cukup memcengangkan saat menerima laporan pemakaian setiap bulannya. Ada sedikit penyesalan dalam hati Arjuna karena sudah memberikan kebebasan untuk kekasihnya yang kurang bertanggungjawab. Bahkan Arjuna tidak pernah menegur Luna yang seenaknya berbelanja barang-barang mewah.

“Kamu masih punya waktu satu minggu untuk mencari tempat tinggal baru dan tetap datang ke kantor untuk melakukan serah terima dengan Tino dan Pak Hasan.”

“Pa,” lirih mama Diva memanggil suaminya. Hati keibuannya ingin melawan tindakan suaminya pada putra sulung mereka.

Namun memgingat penjelasan papa Arman dan permintaannya semalam saat mereka masih di mobil dalam perjalanan pulang, mama Diva tidak mampu berkata banyak. Hanya saja, tidak terpikirkan kalau Arjuna hanya diberi uang dua juta untuk memulai hidup di luar sana.

“Papa sudah menuruti permintaanmu semalam untuk membiarkan dirimu menentukan masa depanmu sendiri. Papa tidak akan memaksakan kehendak papa lagi.”

“Iya Pa,” ujar Arjuna pelan sambil menunduk.

Memang masih harus bersyukur karena Arjuna tidak diminta keluar hanya dengan baju yang menempel di badannya.

“Ini bukan hukuman dari papa karena kamu membantah permintaan papa. Ini semua adalah permintaanmu sendiri. Konsekuensi yang harus kamu jalani atas keputusanmu sendiri.”

Mama Diva mengalihkan tatapannya dan menahan air mata yang ingin keluar dari sudut matanya. Dia berharap bahwa Arjuna akan mendapatkan pelajaran berharga dari kejadian ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!