NovelToon NovelToon

Kelabu

1. Bahagia Bersamamu

"Nak, ayo bangun," kata Mama.

Mama Ria adalah Mama yang terbaik untuk Mika. Beliau Mika ketahui menikah dengan Papanya setelah Papa bercerai dengan istri terdahulunya. Ketika itu Mika masih berusia 2 tahun. Walaupun hanya ibu sambung, tapi buat Mika Mama Ria jauh lebih baik dibandingkan ibu kandungnya yang menceraikan Papa dengan alasan ekonomi.

Kehidupan ketiganya tidak pernah dirundung kemalangan walaupun untuk memenuhi kehidupan sehari-hari mereka harus bekerja keras. Papa Marlan adalah seorang guru musik sedangkan Mama bekerja sebagai seorang tukang jahit. Walaupun penghasilannya tidak banyak tapi sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup ketiganya bahkan mampu menyekolahkan Mika hingga lulus SMA.

Sayangnya, Mika yang terkenal begitu cerdas harus mengurungkan niatnya untuk bisa melanjutkan sekolah ke bangku kuliah akibat keterbatasan keuangan kedua orang tuanya. Papa Marlan belum lama ini dibohongi oleh sahabatnya sendiri dan membuat toko alat musik yang keduanya bangun harus gulung tikar. Papa terlilit hutang dan untuk menutupi bunganya yang terus membengkak, Mika terpaksa ikut bekerja.

Mika bekerja di sebuah cafe yang merangkap sebagai toko roti. Dia sengaja meminta shift malam karena setiap pagi dan siang dia ikut membantu ibunya menjahit pesanan ibu-ibu sekitar rumah. Apalagi ini mendekati semester baru. Banyak anak-anak yang datang untuk menjahitkan seragam barunya.

Di saat-saat seperti ini Mama akan mendapatkan penghasilan yang lumayan tapi jika untuk hidup sampai akhir tahun tetap saja mereka harus berhemat karena sejak bangkrut penghasilan Papa jadi tidak menentu. Ya kalau ada pekerjaan, kalau tidak ya Papa akan menganggur. Belum lagi mereka harus membayar hutang yang jumlahnya tidak sedikit.

Demikian sulit hidupnya tidak membuat Mika mengeluh. Dia masih mampu bersyukur karena selain memiliki keluarga yang utuh dan harmonis dia juga memiliki seorang kekasih yang baik hati. Mahadri Raka Yaksa adalah seorang mahasiswa jurusan sastra. Awalnya hubungan Mika dan Adri hanya sebatas karyawan cafe dan pelanggannya saja namun karena Adri terlalu sering datang lama kelamaan keduanya jadi saling mengenal dan bertukar nomor handphone.

Seperti biasa, Adri selalu datang di jam yang sama dan duduk di kursi yang sama. Malam ini ketika Adri datang, Mika tengah mencuci gelas bekas pelanggan barusan di wastafel. Dengan sabarnya Adri menunggu. Dia diam di depan kasir hingga Mika menyadari kehadirannya.

"Astaga kak, maaf aku nggak lihat kakak datang," kata Mika yang menghentikan kegiatan mencuci gelasnya demi mendekati Adri yang terus berdiri sembari tersenyum memandanginya.

"Selesaikan dulu saja, setelah itu buatkan aku 1 moccacino dan 1 vanilla latte. Kau bisa bergabung denganku kan mumpung tidak ada pelanggan yang datang," kata Adri.

"Ok, kakak duluan saja nanti akan kususul," kata Mika membalas senyum dari Adri.

Sebelum pergi menuju bangku pojok dekat jendela tempat biasa dia duduk, Mahadri lebih dulu mengulurkan tangannya dan dengan penuh kasih sayang dia mengacak gemas rambut sebahu Mika yang terurai indah, "semangat cantik," katanya dengan senyum yang begitu teduh menenangkan.

Sembari menunggu Mika menyelesaikan pekerjaannya, Mahadri membuka laptop dan jari-jarinya mulai menari di atas keyboard. Pandangannya sesekali dia layangkan ke arah Mika yang sedang mencuci piring dan gelas yang menggunung di wastafel. Melihat punggung sempit Mika membuat Mahadri mendapatkan jutaan ide di benaknya.

~Mika Paramita Zetta.2020~

Dia menuliskan nama kekasih hatinya itu di akhir naskah. Segera dia menutup laptopnya agar Mika tidak membaca apa yang tengah ditulisnya. Dia menyambut Mika yang datang dengan dua gelas kopi di tangan. Satu dia berikan pada Adri dan satu lagi untuknya sendiri.

Mika tengah menyesap kopinya ketika dia melihat Adri mengernyit dan dua jarinya menyentuh pangkal hidungnya. Adri melepaskan kacamatanya kemudian meletakkannya di atas meja. Mika menghentikan kegiatannya dan mengamati kekasih hatinya itu.

"Kak, mending kakak pulang dan istirahat. Mata kakak pasti sudah lelah," kata Mika.

Dia tahu jika Adri memiliki minus yang tebal. Kemana-mana dia selalu menggunakan kacamata dan tidak pernah melepaskannya. Jika banyak orang bilang kaca mata itu membuat Mahadri terlihat tampan, tapi buat Mika melihat kaca mata itu bertengger di wajah kekasihnya membuat Mika bersedih.

"Kak, aku dengar ada sebuah operasi yang bisa menghilangkan mata minus. Kalau kakak mau aku bersedia membantu kakak menabung agar bisa menjalankan operasi itu. Aku tidak tega melihat mata kakak kelelahan begitu," kata Mika.

"Nggak perlu Mika, operasi itu terlalu mahal. Aku tidak papa, setidaknya aku masih bisa melihat dengan jelas walau harus dibantu kacamata."

"Tapi kan nggak nyaman kak."

"Nyaman-nyaman aja. Selama aku masih bisa jelas memandangimu aku tidak masalah," kata Mahadri kali ini sembari mencubit gemas hidung mungil Mika.

"Kakak bisa saja," jawab Mika malu-malu.

...***...

Seperti biasa, Mahadri pasti akan menemani Mika hingga jam shiftnya selesai. Malam inipun demikian, Mahadri masih setia duduk di tempatnya ketika Mika tengah mengepel ruangan serta membersihkan dapur dan sekitar coffe machine. Sesekali Mahadri akan tersenyum di hadapan layarnya ketika dia tengah menuliskan betapa cantiknya pemandangan malam ini.

Melihat Mika yang tengah sibuk dengan pekerjaannya, ditambah rambut yang sudah terikat asal tidak mengurangi kecantikan Mika sedikitpun. mahadri malam itu akhirnya memutuskan untuk segera melamar Mika. Dia langsung meraih handphonenya dan menghubungi seorang kenalannya yang bekerja di sebuah toko emas. Mahadri mendesign sendiri cincin pertunangannya. Dia sudah mulai menggambarnya sejak minggu lalu di buku sketsanya.

Diam-diam Mahadri mengeluarkan buku sketsanya dan memfoto hasil designnya itu kemudian dia kirimkan kepada kenalannya. Setelah menentukan bahan cincinnya, Mahadri tersenyum. Dia akhirnya mengambil keputusan yang jelas tidak akan dia sesali seumur hidup. Cita-citanya sebentar lagi akan terkabul. Dia akan memperistri Mika Paramita dan akan menjadi suami yang baik untuknya seumur hidup mereka.

"Apa itu kak?" tanya Mika yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelahnya. Mahadri gelagapan. Dia dengan segera menutup room chatnya dan sang teman juga menutup asal buku sketsanya.

"Nggak kok, nggak ada."

Mika hanya mengangguk-angguk sebagai tanggapan dari jawaban Mahadri.

"Kalau sudah selesai kita pulang yuk. Kakak antar kamu sampai rumah," kata Mahadri.

Satu juga kebiasaannya selain menemani Mika hingga selesai berberes. Dia juga akan mengantarnya pulang hingga ke rumah. Walaupun hanya berboncengan dengan menggunakan sepeda, tapi Mika tidak pernah protes. Justru dia senang diajak seperti ini. Menurutnya sepeda adalah kendaraan paling praktis di dunia. Dia bisa pergi kemana saja dengan biaya yang murah, dan tidak akan terjebak kalau ada kemacetan.

Mahadri mengerem sepedanya begitu sampai di pelataran sebuah rumah berukuran kecil berwarna oranye. Halamannya cukup luas, berisi banyak tanaman buah, apotek hidup, dan ada sederet pohon cabai yang mulai berbuah di ujung dekat pintu masuknya.

"Waw, pohon cabemu sudah hampir panen," kata Mahadri.

"Iya kak, ternyata jadi banyak sekali. Mama bilang sebagian akan dijual ke pasar besok bersama mangga-mangga yang sudah mulai masak itu," kata Mika.

"Kalau mau panen jangan sungkan hubungi aku ya. Akan kubantu," katanya.

"Tentu saja," jawab Mika.

Mahadri hanya sebentar bertemu dengan Papa Mika yang menantikan putrinya kembali bekerja. Karena malam sudah semakin larut bahkan hampir pagi, Mahadri bergegas pamit dan kembali ke rumah agar Mika dan Ayahnya juga dapat beristirahat untuk melanjutkan aktivitas mereka esok hari.

"Tunggu aku Mika, aku akan melamarmu segera," batin Mahadri sebelum dia melajukan sepedanya masuk ke dalam gang dan pulang.

2. Panen Mangga

Mahadri hari itu datang ke rumah Mika. Mumpung hari minggu dan calon mertuanya itu tengah panen mangga yang beberapa waktu lalu mereka bicarakan. Sekalian Mika dan Mamanya akan membuat puding mangga, salah satu makanan kesukaan Mahadri sejak pacaran dengan Mika. Bahkan dia tahu Mika pernah diberi pujian oleh pemilik cafe tempatnya bekerja karena puding mangga buatannya hingga saat ini puding mangga itu menjadi salah satu menu andalan cafe itu.

"Hai Dri, bagaimana kabarmu?" tanya Papa pada Mahadri.

"Sehat Pak, maaf ya baru sempat main. Kemarin ada kegiatan," jawab Mahadri.

"Nggak papa, selamat ya katanya bukumu dikontrak," kali ini Mama yang bicara.

"Iya Ma, makasih. Lumayan buat modal nikah," kata Mahadri begitu saja.

"Nikah sama siapa kak?" Bukannya malu-malu, Mika malah bertanya dengan polosnya.

"Ha?"

"Mika..., Mahadri itu pacarmu. Kalau dia sudah bilang begitu berarti sebentar lagi anak kesayangan Mama ini akan dipinang, kapan Dri?" goda Mama.

"Apaan sih Ma, jangan gitu ah malu," akhirnya Mika menyadarinya juga apalagi Mahadri bukannya mengelak malah hanya senyum-senyum dengan rona di pipi.

Ketika hari sudah mulai malam, Mahadri bersiap undur diri. Dia baru saja mandi dan mengganti pakaiannya dengan yang bersih. Saking seringnya dia kemari, Mahadri sampai punya beberapa potong baju bersih yang kemudian disimpan dalam salah satu rak lemari Mika.

"Mika..., aku pulang dulu ya," pamit Mahadri pada Mika yang mengantarnya sampai ke pagar rumahnya.

"Iya kak, hati-hati," jawab Mika.

Sebelum meninggalkan rumah kekasihnya, Mahadri menyempatkan mengacak rambut Mika dengan gemasnya sembari tersenyum, "sampai ketemu besok di cafe, sayang...," kata Mahadri langsung melajukan sepedanya meninggalkan Mika yang tersenyum dengan wajah memerah karena malu.

Belum pernah sebelumnya Mahadri memanggilnya "sayang" seperti tadi. Itulah kenapa Mika bisa begitu malu-malu. Habis sudah dirinya dibuat melayang-layang di atas awan seharian ini. Selain Mahadri semakin memperlihatkan niat seriusnya pada keluarga Mika, Mahadri juga memperlihatkan bagaimana dia begitu menyayangi Mika dan kasih sayang itu tidak pernah Mika rasakan berkurang apalagi meluntur.

"Kuharap kakak akan menepati janji. Datanglah kak, sampai kapanpun akan kutunggu," gumam Mika sembari menatap punggung Mahadri yang semakin menjauh dari rumahnya.

...***...

"Terus kapan anda mau membayar?!" teriak dept collector itu ketika datang ke rumah pagi-pagi sekali.

Mika mendengarnya dari dalam kamar. Sudah biasa dia mendapati Papanya diteror untuk segera melunasi hutang-hutangnya. Tapi mau bagaimana lagi, mereka belum memiliki cukup uang untuk membayarnya. Mika bahkan tidak sempat mengganti baju tidurnya langsung keluar dan membantu Papa dan Mama yang tengah diancam.

"Pak tenang dulu, ini saya bayar 30 juta, sisanya akan saya lunasi nanti. Tapi saya mohon jangan sampai main fisik pada kedua orang tua saya. Apalagi Bapak berani menyentuh Mama saya," kata Mika memberikan sebuah amplop coklat berisi uang yang cukup tebal.

Papa jelas kaget ketika melihat anak gadisnya mengeluarkan uang tabungannya selama ini guna membayar hutang kedua orang tuanya. Papa tahu uang tabungan itu akan Mika pakai untuknya mendaftar ke perguruan tinggi namun karena kondisi keluarganya saat ini memaksa Mika menggunakan uang itu untuk membantu kedua orang tuanya.

"Halah cuma segini bisa buat apa?! Lunasi sekarang atau kalian akan saya seret ke hadapan bos saya," kata seorang yang berdiri di belakang.

"Pak tolong lah, saya akan lunasi lagi minggu depan. Tapi tolong jangan sakiti kedua orang tua saya," jawab Mika kali ini dengan memohon dan berlutut di hadapan kedua laki-laki berbadan kekar berjas hitam itu.

Keduanya saling pandang sebelum memutuskan untuk melepaskan kedua orang tua Mika, "Ok, minggu depan. Kalian harus siapkan uang 200 juta untuk melunasi semua hutang-hutang kalian," katanya sebelum pergi begitu saja dari rumah Mika.

Kali ini bukan hanya Mamanya yang menangis, tapi juga Papanya Mika ikut menangis. Mau dapat uang dari mana 200 juta? Mereka bahkan sudah tidak punya aset karena terjual habis untuk menyicil hutang yang semakin bengkak setiap harinya. Bahkan rumah yang mereka tempati saat ini saja sudah digadaikan oleh Papa demi melunasi bunga pinjamannya.

"Mika, kamu akan dapat uang dari mana nak? Dalam waktu seminggu bisa dapat sebegitu banyak dari mana?" tanya Mama.

"Mika juga tidak tahu Ma, tapi Mika nggak sanggup lihat Papa sama Mama disakiti kayak gini," kata Mika yang menangis tidak kalah kerasnya.

...***...

Yang membuat Mika lebih terpuruk lagi adalah kepergian Mahadri yang tiba-tiba. Sudah 3 malam terlewat tanpa kehadirannya di cafe. Ketika dia mencoba menghubunginya pun laki-laki itu tidak menyahut sama sekali. Malam ini pun demikian, Jam di dinding sudah melewati angka 9. 2 jam lagi Mika akan menutup cafe namun tidak peduli selama apa Mika menunggu laki-laki itu tidak juga datang.

"Sepertinya aku harus berhenti menunggu. Hhhh..., padahal aku lagi butuh banget kehadiranmu kak. Kak Adri kemana sih?" gumam Mika.

Yang bisa dia lakukan hanya bicara saja pada sebuah foto kecil yang sengaja dia cetak. Foto pertamanya dengan sang kekasih yang dia ambil beberapa bulan lalu di cafe ini. Hujan di luar semakin deras dan gemuruh petir semakin kerap ia dengar. Mika semakin ketakutan karena cafe juga sudah tidak berpengunjung sejak setengah jam yang lalu.

Mika memutuskan untuk mulai membersihkan area dapur dan coffe machine untuk membantunya membunuh rasa takut yang tiba-tiba datang menyerang. Dia beberapa kali menilik ke arah jam yang bertengger di dinding. Mika mulai bertanya-tanya kenapa pula waktunya berjalan dengan begitu lambat. Tidak seperti biasanya, malam ini terasa begitu mencekam dan menakutkan.

Hampir saja Mika kembali melamun, jika bukan karena beberapa mobil berwarna hitam terparkir rapi di depan cafe dan sukses membuat Mika kembali ketakutan. Beberapa laki-laki kekar berjas hitam keluar dari dalam mobil dan langsung masuk ke dalam cafe. Terakhir seorang laki-laki yang terlihat masih cukup muda berjalan masuk.

"Mika Paramita?" tanyanya.

"Ya?" jawabnya ragu.

"Keluar dari sana sekarang," katanya lagi.

"Kenapa? Anda siapa? Kalau anda datang untuk menagih hutang saya kan sudah bilang akan membayarnya lusa. Kenapa anda harus datang sekarang?" tanya Mika yang mulai ketakutan.

Laki-laki itu mendengus kemudian sekali lagi meminta Mika untuk keluar dari area kasir, "keluar kubilang," katanya.

Mika merasakan sorot dingin dari beberapa laki-laki berjas itu. Apalagi melihat ada alat komunikasi yang menempel di telinga mereka membuat Mika semakin yakin dia tidak akan baik-baik saja. Dia bingung, haruskah dia mengikuti perintah pemuda ini atau dia harus berdiam diri saja membela diri.

"Mika Paramita keluar cepat!" bentak pemuda itu membuat Mika mulai menangis.

Mika memutuskan untuk keluar dengan perlahan, dia juga takut akan diapa-apakan itulah kenapa dia memilih untuk mengikuti permintaannya sembari memikirkan bagaimana cara untuk bisa kabur dan pergi dari jeratnya.

3. Dinikahkan

Begitu Mika keluar dari area kasir, pemuda itu langsung menyeretnya keluar. Mika segera di bawa masuk ke dalam salah satu mobil hitam yang terparkir tepat di depan pintu cafe. Dia dipaksa masuk kemudian pemuda yang tadi menyeretnya ikut masuk dan duduk di sebelahnya.

"Bereskan semuanya," kata pemuda itu.

"Baik, tuan."

Mika semakin yakin jika dia saat ini menjadi korban penculikan. Namun gadis pemberani bernama Mika ini tidak begitu saja tinggal diam. Dia berusaha membuka pintu mobil di sebelahnya namun gagal.

"Percuma, kau tidak akan bisa lari," kata pemuda itu dengan nada yang sedikit lebih tenang.

Mobil mulai melaju kencang dan Mika tidak akan mungkin berani mengambil resiko untuk keluar dari mobil yang berjalan dengan kecepatan tinggi semacam ini. Mika akhirnya hanya bisa pasrah, duduk diam dan berusaha sejauh mungkin dari pemuda di sebelahnya yang terlihat sibuk dengan telepon genggamnya dan membicarakan banyak hal yang tidak Mika ketahui.

"Aku benar-benar diculik? Akan dibawa kemana aku?" tanya Mika.

"Nona, kami tidak sedang menculik anda. Kami hanya akan membawa anda kembali ke kediaman tuan kami. beliau yang duduk di sebelah anda, tuan Pramudya," kata yang duduk di sebelah pengemudi.

Mika kembali terdiam ketika pemuda bernama Pramudya itu menoleh ke arahnya. Dia hanya diam, melirik, dan kembali fokus dengan dunianya sendiri, kembali mengabaikan Mika yang duduk dengan kikuk di kursinya. Mika hanya menatap ke luar jendela berharap dia bisa mengingat jalanan yang dia lalui sehingga dia akan mampu menelinap keluar dan kembali ke rumah kedua orang tuanya.

Mika sekali lagi dibuat kaget ketika dia memasuki sebuah rumah yang bak istana. Dari gerbang menuju ke pintu depan saja mereka masih harus berjalan melewati halaman yang begitu luas juga sebuah air mancur berukuran sedang. Yang membuat Mika semakin terheran-heran adalah kedua orang tuanya yang kini berdiri di pintu depan di temani dua orang laki-laki yang berpakaian senada seperti yang dipakai oleh orang-orang yang mengawal pemuda di sebelahnya ini.

Bahkan salah satunya kini berjalan mendekat dan dengan senang hati membukakan pintu untuk Mika. Mika langsung turun dari mobil dan mendekap Mamanya yang mulai menangis.

"Mama, ini ada apa?" tanya Mika.

"Nak, maafin Mama. Maafin Papa. Kami gagal jadi orang tuamu," kata Mama dalam sela tangisannya.

"Papa...," tuntut Mika pada Papanya kali ini.

"Mika anak kesayangan Papa, maafin Papa ya sudah memperlakukanmu dengan begini tidak adilnya," kata Papa yang ikut menangis.

Pemuda yang tadi membawanya kemari hanya berjalan acuh melewati Mika dan kedua orang tuanya. Mika yang tidak tahu menahu geram melihat pemuda itu seperti tidak melihat apapun di hadapannya.

"Heh cowok kurang ajar! Lo apain Papa Mama gue ha?!" bentak Mika membuat pengawal yang sejak tadi berdiri tenang hampir memarahinya andai bukan pemuda itu yang menahan mereka hanya dengan mengangkat tangannya.

"Bi, bawa Mika ke kamar," perintahnya tidak mengindahkan bentakan Mika.

Bibi yang dia maksud kemudian mendekati Mika dan mulai menggandeng Mika bersama kedua orang tua Mika ke sebuah kamar. Mika tentu saja memberontak, namun dia tidak berdaya karena yang menariknya bukan hanya bibi itu tetapi juga Mama dan Papanya sendiri.

Sesampainya di kamar, Mika kembali menuntut penjelasan. Apalagi saat ini dia melihat kamar yang dia masuki ini dihias bak menyambut pengantin baru. Mika juga bisa melihat sebuah gaun yang indah berwarna putih tepat di sebelah lemari berkaca besar. Di atas meja rias juga sudah tertata rapi banyak sekali peralatan make up dan tidak jauh darinya berjejer aksesoris dan sepatu.

"Ma, Mama jelasin sama aku ini ada apa?"

"Mika..., dengerin Mama nak, kamu boleh benci sama Mama sebanyak yang kamu mau. Tapi Mama mohon dimanapun dan kapanpun kamu berada kamu harus menjaga dirimu. Jaga kesehatan dan keselamatanmu sendiri. Kamu harus bisa menjadi gadis yang mandiri dan dewasa ya sayang," kata Mama kembali menangis.

"Mama apa-apaan sih, Mama kaya mau melepas Mika buat dikorbankan tahu nggak. Mama bikin Mika takut," kata Mika.

"Mika, setelah ini kamu akan menikah. Jadi kamu harus bisa belajar menjadi istri yang baik buat suamimu, ya?" minta Papa membuat Mika sangat-sangat tercengang.

"Menikah?! Menikah sama siapa Papa jangan mengada-ada," kata Mika yang masih belum percaya dengan apa yang dikatakan oleh Papanya.

"Dengan tuan muda Pramudya. Orang yang membawamu kemari tadi," kata Mama.

"Tapi kenapa Pa? Ma?"

"Maafkan Papa nak, sore tadi dept collector itu datang kembali ke rumah membawa sebuah pistol. Tuan Pramudya datang setelahnya dan menyelamatkan Papa dan Mama. Tuan muda Pramudya melunasi semua hutang-hutang Papa dengan syarat Papa harus mau menikahkanmu dengannya. Maafkan Papa nak, kamu sudah Papa perlakukan begini," kata Papa.

"Itukah alasan dibalik luka di sudut bibir Papa dan lebam di lengan Mama? Karena Papa dan Mama berontak kemudian orang bernama Pramudya ini tiba-tiba datang melunasi hutang-hutang Papa dan Mama? Tapi dia siapa Ma? Pa? Apakah dia bukan orang jahat juga?" tanya Mika.

"Terserah kau akan berkata apa. Tapi bisakah kau lebih cepat sedikit? Kau membuang-buang waktuku yang berharga," kata Pramudya yang baru saja masuk ke dalam kamar.

Mika semakin geram. Dia marah dan kecewa tapi tidak tahu harus dia lampiaskan kepada siapa emosi yang dia rasakan ini. Kepada kedua orang tuanya juga tidak akan mungkin karena Mika tahu situasi yang dialami oleh kedua orang tuanya. Mereka juga pasti tidak sengaja melakukan ini. Tapi dia juga tidak bisa menerima pernikahan ini begitu saja sedangkan dia tengah menunggu kekasih hatinya, Mahadri untuk datang melamarnya. Dia sudah berjanji akan menunggu pemuda itu hingga kapanpun.

"Pa..., Ma..., aku akan menikah jika memang ini jalan satu-satunya untuk menyelamatkan keluarga kita. Papa dan Mama tidak perlu khawatir, akan kucari cara untuk bisa kembali dan membalas budi pada pemuda sombong itu Tunggu aku pulang Pa, Ma," kata Mika pada akhirnya.

"Drama...," katanya kemudian meninggalkan kamar Mika.

Mika langsung didandani, sapuan make up yang halus ditambah gaun dan aksesoris yang sederhana mampu membuat Mika terlihat begitu berbeda dengan dia yang biasanya. Mika terlihat begitu anggun dan manis walau hanya memakai gaun tanpa hiasan. Hanya ada mahkota kecil di atas kepalanya menghias gulungan rambutnya.

Setelah siap Mika langsung digiring untuk keluar menuju ke ruang tengah. Di sana sudah ada Pramudya yang menunggu dengan tenang, duduk di depan penghulu dan beberapa saksi. Pandangan Mika dia layangkan pada seorang wanita paruh baya cantik yang berdiri menyambut kedatangannya. Wanita itu bahkan tidak segan berjalan ke arahnya dan ikut menggandeng Mika untuk duduk di samping Pramudya.

Pernikahannya selesai begitu saja. Setelah menyematkan cincin di jari manis Mika yang terus saja bergetar sejak tadi, laki-laki itu pergi begitu saja diikuti oleh beberapa orang yang lainnya sedangkan para saksi ikut membubarkan diri setelahnya. Hanya tersisa Mika, bibi, dan wanita cantik yang ternyata adalah ibunya Pramudya di ruangan ini sedangkan kedua orang tuanya sudah diminta kembali ke rumah dengan diantar oleh seorang supir.

"Nak..., kau tidak perlu takut. Kenalkan, nama Bunda adalah Nana, panggil saja Buna. Jangan sungkan untuk menceritakan semuanya pada Buna ya, Buna ini ibunya Pram tapi Buna janji Buna akan menjaga rahasiamu dengan baik," kata wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai "buna" ini.

Buna sekali lagi tersenyum, kemudian tangannya mengangkat dagu Mika yang sejak tadi tertunduk mencoba menutupi kemalangannya. Begitu mata Mika dan Buna bertemu, Buna langsung menggeleng dan menyeka air mata Mika, "jangan menangis. Menantu Buna dilarang menangis," kata Buna sembari tersenyum dengan begitu lembutnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!