Sudah jadi kebiasaan setiap pagi hari di rumah keluarga Ferdinand, suara cempreng asisten rumah tangga saat membangunkan tuan mudanya agar tidak terlambat datang ke sekolah.
“Good pagi, selamat morning tuan muda Langit! bangun sudah siang, nanti terlambat masuk sekolah!” Seru Nani sang asisten rumah tangga dengan suara cemprengnya sangat nyaring terdengar sampai dalam kamar yang di ketuknya. Terlihat pintu kamar dibuka dari dalam
“Berisik banget sih bik, ganggu orang tidur saja.” Suara parau seorang remaja laki-laki keluar dari kamar dengan muka bantalnya, tapi itu semua tidak mengurangi aura ketampanan yang terpancar dari wajah remaja itu.
“Namanya alarm ya harus berisik tuan, kalau tidak berisik mana tuan bisa bangun, kalau terlambat masuk sekolah bagaimana?!” lagi-lagi suara cempreng Nani memenuhi telinga remaja yang bernama Langit tersebut.
“Ini masih terlalu pagi bik, aku masih mau tidur.” Kata Langit sambil menutup pintu kamarnya kembali.
“Masih pagi apanya tuan muda? Ini sudah hampir setengah tujuh, cepat mandi jangan tidur lagi!” suara Nani kembali memenuhi seluruh ruangan dengan gemanya.
“Bodo amat!” seru Langit dari dalam kamar, tetapi ia langsung menuju kamar mandi. Dan mendengar jawaban dari tuan mudanya membuat Nani hanya membuang nafasnya dengan panjang, lalu ia segera ke bawah untuk melanjutkan menyiapkan sarapan.
Pukul enam lewat tiga puluh menit, terlihat Langit turun dari lantai atas dan langsung menuju meja makan untuk sarapan.
“Selamat pagi mom, dad!” Sapa Langit kepada kedua orang tuanya yang sudah siap sarapan setelah beberapa saat lalu kembali dari olah raga paginya.
“Selamat pagi Langit.” Balas kedua orang tuanya bersamaan. Lalu dengan cekatan Amara ibu dari Langit meletakkan roti lapis yang baru saja dibuatnya ke piring di hadapan Langit. Dan Langit langsung melahapnya dengan sangat nikmat.
“Nah, kalau begini kan kelihatan semakin tampan, enggak bau bantal lagi.” Komentar Nani melihat penampilan Langit yang sudah rapi sambil meletakkan jus jeruk pesanan Amara.
“Drama lagi?” tanya Amara sudah begitu hafal kebiasaan anak dan asisten rumah tangganya.
“Ya begitulah nyonya.” Jawab Nani mengadu.
“Hati-hati kontrol suara kamu Nan. kalau tidak, nanti saya bisa di suruh ganti rugi karena ayamnya tetangga pada mati gara-gara dengar suara kamu.” Kata Albert, ayah dari Langit dengan logat khas Eropa tapi telah fasih berbahasa Indonesia.
“Ha.. ha.. ha.. betul banget dad..!” terdengar tawa pecah dari Langit saat mendengar perkataan ayahnya, dan Albert hanya tersenyum saja melihat sang asisten rumah tangga yang berdiri di belakang istrinya mengerucutkan bibirnya karena perkataannya.
“Dad... Langit... Kalian tidak boleh begitu..” tegur Amara dengan lembut, tetapi dia pun tak bisa menahan gelinya atas perkataan suaminya, dan dia hanya memejamkan mata dan menutup mulutnya agar suaranya tak sampai keluar dan membuat Nani semakin mengambek.
“Mom, dad. Langit berangkat dulu.” Langit bangkit dari duduknya setelah menghabiskan roti lapis buatan ibunya dan segelas susu buatan Nani. Lalu diciumnya punggung tangan kedua orang tuanya dan tak lupa ia selalu mencium pipi ibunya saat akan pergi dan baru pulang.
“Boy, jangan buat daddy cemburu!” seru ayahnya setiap melihat Langit mencium pipi ibunya, sedang yang di peringatkan hanya tersenyum memperlihatkan deretan gigi rapinya, dan ibunya hanya menggelengkan kepalanya seakan dalam hatinya berkata, ‘terserah kalianlah’
“Bik Nani jangan cemberut begitu, nanti cantiknya hilang loh, ayo senyum!” Langit memperlihatkan deretan giginya kepada Nani agar mau memperlihatkan senyumnya, dan dengan spontan Nani melebarkan senyumnya karena mendengar pujian yang di lontarkan tuan mudanya.
“Nah! Begitu lebih baik.” Puji Langit sambil mengacungkan kedua jempol tangannya, lalu segera menuju garasi untuk mengambil motor kesayangannya dan di kendarainya menuju sekolah.
Sementara kedua orang tua Langit juga berlalu menuju kamarnya untuk bersiap memulai kesibukan masing-masing. Keluarga Ferdinand yaitu keluarga Langit begitu dekat dengan semua pekerja di rumahnya, jadi tidak heran kalau Nani tidak begitu sungkan bersenda gurau dengan para majikannya.
**
Langit Harry Ferdinand, remaja laki-laki berusia tujuh belas tahun, anak satu-satunya nyonya Sofia Haryadi dan lelaki asli Inggris yang lama berdomisili di Indonesia bernama tuan Albert Jacob Ferdinand.
Langit bukanlah tipe anak yang ingin dikenal, tetapi karena paras tampannya dan karena kepiawaiannya dalam berbagai hal yang membuatnya sangat dikenal oleh satu penghuni sekolah yaitu SMA MANDIRI, salah satu SMA swasta yang sangat terkenal di kota tempat tinggalnya.
Untuk itulah dia cenderung pendiam saat di sekolah, bahkan terkesan dingin, padahal ia adalah pribadi yang hangat bila bersama orang-orang yang mengenalnya sangat baik.
Langit mempunyai empat orang sahabat yang selalu bersama sejak mereka masih di sekolah menengah pertama. Mereka adalah Damar, Rifki, Marco, dan David.
Keempat sahabat Langit juga termasuk cowok populer di sekolahnya, karena paras mereka tidak beda jauh dengan Langit, tetapi mereka tidak tertutup seperti Langit, dan mereka pun selalu menjaga kepercayaan Langit dengan tidak mengumbar jati dirinya yang sebenarnya.
Bahkan bila keempat sahabatnya saat datang ke sekolah selalu mengendarai motor sport besar mereka, Langit hanya mengendarai motor matic satu dua lima kesayangannya.
...****************...
Hai pembaca semua yang sudah mampir.
Ini adalah karya ketigaku, dan aku ingin bercerita tentang kehidupan remaja di sekolah maupun lingkungan tempat tinggalnya.
Semoga para pembaca semua tertarik dengan ceritaku ini.
Salam dari author yang masih perlu banyak belajar 🥰
Langit tergesa mengendarai motor matiknya saat dilihatnya penjaga sekolah hendak menutup pintu gerbang sekolahnya karena bel tanda masuk baru saja berdentang.
Tin! Tiiiinn...!
Langit membunyikan klakson motornya untuk mengalihkan perhatian penjaga sekolah agar menghentikan sementara apa yang dikerjakannya yaitu menutup pintu gerbang utama.
"Mas Langit." sapa sang penjaga pintu saat melihay siapa pengendara motor di depannya.
"Iya pak, maaf kalau saya terlambat lagi, ijinkan saya masuk ya pak." Pinta Langit dengan sangat sopan dan tak lupa menyunggingkan senyum manis di bibirnya.
"Silahkan masuk mas Langit, lain kali berangkatnya lebih pagi lagi ya, soalnya kalau ini gerbang sudah terlanjur tertutup mau tidak mau mas Langit harus kembali ke sini lagi besok, itupun kalau tidak terlambat lagi." nasihat yang sama setiap Langit hampir terlambat masuk gerbang utama sekolah.
Langit berjalan dengan langkah lebar menuju kelasnya yaitu kelas XI IPS 1, para sahabatnya telah menunggu kedatangannya di dekat pintu masuk sebelum guru pengampu mata pelajaran pertama memasuki ruang kelas mereka.
"Buruan bro!" Seru Marco sambil melambaikan tangannya, dan Langit mempercepat langkahnya dengan sedikit berlari agar tak kedahuluan guru jam pertama.
"Telat lagi kamu Lang?!" tanya Damar sambil melakukan handshake, dilanjutkan dengan Marco, lalu kepada David dan terakhir Rifki. Lalu ketiganya segera masuk kelas sebelum guru mereka masuk.
Damar dan Rifki duduk bersebelahan, lalu Marco dan David juga bersebelahan, sementara Langit yang duduk di antara depan dan belakang para sahabatnya hanya bersebelahan dengan bangku kosong.
Guru pengampu jam pelajaran pertama masuk, suasana yang semula riuh mendadak senyap, ketua kelas memersiapkan semua murid untuk segera berdoa mulai pelajaran, setelah berdoa selesai mereka pun segera menyiapkan buku dan alat tulis.
Tok! Tok!
Pintu di ketuk dari luar, tampak kepala sekolah berdiri di depan kelas tersebut.
Kepala sekolah dan guru mata pelajaran pertama terlihat berbincang sebentar, kemudian mereka berdua masuk ke dalam kelas.
"Selamat pagi anak-anak!" sapa bapak kepala sekolah.
"Selamat pagi pak!" jawab siswa siswi dengan serentak.
"Bapak akan menyampaikan kalau kelas kalian akan bertambah murid baru mulai hari ini." kepala sekolah mengumumkan akan ada murid baru, lalu riuhlah suasana kelas tersebut.
Yang berada di dekat jendeila langsung menengok keluar karena rasa penasaran mereka.
"Tenang anak-anak!" seru kepala sekolah dengan tegas, lalu keriuhan pun mereda.
Kepala sekolah keluar untuk memanggil murid baru tersebut, setelah murid baru tersebut masuk, kepala sekolah berbincang sebentar kepada guru mata pelajaran, lalu meninggalkan kelas tersebut
Para siswa yang semula antusias terlihat kurang bersemangat melihat penampilan murid baru tersebut.
"Selamat datang di kelas ini nak, sekarang perkenalkan diri kamu kepada teman-teman!" begitu lembut namun tegas bu guru menyapa dan menyuruh murid baru itu memperkenalkan diri. Anak baru itupun membungkukkan badannya sopan kepada ibu guru.
"Selamat pagi teman-teman!" sapanya kepada seluruh penghuni kelas.
"Pagiii...!" jawab mereka semua dengan beragam ekspresi. Ada yang antusias, ada yang biasa saja, tapi ada yang terkesan merendahkan.
"Perkenalkan nama saya Batari Jingga Sudiro, panggil saja Jingga." kata mirid baru menyebutkan namanya. Lalu terdengar kasak kusuk membicarakan dan menertawakan nama Jingga, ada yang memplesetkannya dengan bahasa yang kurang pantas, tetapi Jingga tidak ambil hati dan tetap menebar senyum manisnya.
"Kamu pindahan dari mana?" seru seorang murid ingin tahu.
"Aku pindah dari Kotabaru Kalimantan Selatan, tetapi aku asli Jawa."Jingga memberitahukan dari mana ia pindah.
"Ooh, kamu transmigran yang enggak betah di sana ya?!" seru suara siswa yang lain. Tapi Jingga hanya menjawabnya dengan senyuman.
"Ya sudah Jingga, silahkan kamu duduk di bangku kosong itu, dan kita segera mulai pelajaran." perintah bu guru dan segera dilaksanakan oleh Jingga, dan gadis itu dengan ragu melangkah ke bangku di sebelah Langit.
Beberapa menatap tidak suka kepada Jingga, tampaknya kelompok gadis populer di sekolah itu bila dilihat dari penampilannya.
Ada dua bangku yang masih kosong di kelas itu, tetapi Jingga memilih yang dekat dengan Langit karena berada di barisan tengah. Langit hanya diam saat Jingga duduk di sebelahnya.
"Heh, cewek jelek! Itu tempat duduk Clara, sana kamu duduk di belakang yang satu komunitas sama kamu, sama-sama culun!" seru seorang dari siswa populer yang dimaksud Jingga.
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Jingga berjalan ke belakang menuju bangku yang di tunjuk siswi galak tersebut.
Disebelah kursi kosong yang Jingga duduki nampak seorang siswa dengan kaca mata sedikit tebal dan perawakan sedang tersenyum ramah kepada Jingga, dan gadis itupun hanya mengangguk sopan kepada siswa berkaca mata, dan dibalas anggukan sopan dari si kaca mata tersebut. Lalu mereka pun mulai pelajaran dengan tertib dan tenang.
...****************...
Selamat membaca readers semua. Semoga kalian suka dan memfavoritkan cerita ini yaa. Kalau sudah baca, jangan lupa like komen dan votenya yaa
Terima kasih 🥰
Hari pertama kepindahan Jingga ke sekolah yang baru, setelah sebelumnya ia bersekolah di Kalimantan. Jingga yang seorang anak abdi negara harus ikut kemanapun sang ayah bertugas.
Setelah cukup lama berdinas di Kalimantan Selatan, kini ayah Jingga sudah di pindah tetapkan di daerah asalnya, dan itu yang membuat Jingga harus berpindah sekolah.
Saat azan subuh terdengar dari pengeras suara masjid yang tidak begitu jauh dari rumahnya, Jingga bergegas bangun. Dan itu sudah menjadi rutinitas hariannya kalau ia harus bangun di waktu subuh, aturan yang ayahnya terapkan dan harus dilaksanakan seluruh anggota rumah tanpa kecuali.
Selesai melaksanakan ibadah jamaah subuh, Jingga harus ikut joging bersama ayah ibunya, karena di keluarga itu gerak badan di pagi hari adalah keharusan, kurang lebih satu jam mereka keliling komplek perumahan, akhirnya mereka pulang untuk mempersiapkan diri memulai aktifitas masing-masing.
Jingga telah rapi memakai seragam putih abu-abunya dan segera bergabung dengan ayah ibunya di meja makan untuk sarapan.
"Siap untuk masuk sekolah yang baru kan nak?" tanya Widya, ibunda dari Jingga.
"Anak ayah harus siap dong." kata Indra bersemangat dan Jingga hanya memamerkan deretan gigi rapinya.
Nanti siapa yang antar Jingga ke sekolah bun?" tanya Jingga pada ibunya.
"Bagaimana yah? Ayah atau bunda yang antar Jingga?" Widya bertanya balik pada suaminya.
"Bunda saja, soalnya ayah ada pertemuan pagi ini, khawatir terlambat." kata Indra sambil bangkit dari duduknya karena telah selesai sarapan.
"Baiklah kalau begitu. Ayah sudah mau berangkat?" tanya Widya saat melihat suaminya bersiap.
"Iya. Ayah berangkat duluan, nanti kalian hati-hati kalau berangkat." pesan Indra sambil bersalaman dan mencium kening istri dan anaknya. Setelah mengucap salam, Indra segera berangkat.
"Ayo nak kita berangkat, jangan sampai terlambat di hari pertama kamu masuk!" ajak Widya sambil membereskan piring dan gelas kotor untuk dibawa ke dapur, dan sisanya di bereskan oleh asisten rumah tangga mereka.
Tak berapa lama, Jingga telah dibonceng ibunya menuju sekolahnya yang baru. Sekitar lima belas menit perjalanan, mereka kini telah sampai dihalaman sekolah, setelah memarkir motornya, ibu dan anak itu bergegas menuju ruang kepala sekolah.
Setelah beberapa saat menyerahkan berkas dan juga memasrahkan anak gadisnya, Widya pun pulang dan kini tinggallah Jingga sendiri di ruang kepala sekolah menunggu alarm tanda masuk berbunyi dan kemudian akan diantar ke kelas yang akan dihuninya.
***
Kini Jingga telah berada di kelas barunya, setelah sesi perkenalan, ia duduk di bangku yang masih kosong. Tadinya Jingga ingin duduk di bangku kosong yang di tengah karena tidak terlalu jauh dari papan tulus, tetapi karena ia mendapat hardikan dari teman si pemilik bangku, ia pun duduk di bangku paling belakang berdekatan dengan kutu buku di kelas itu.
Jingga mengikuti pelajaran pertamanya tanpa menemui kesulitan hingga kini tiba saatnya waktu istirahat, dan Jingga hanya memilih duduk tidak keluar kelas karena tidak ada teman untuk ke kantin, untung ia membawa bekal yang sudah disiapkan ibundanya, jadi dia tidak harus merasa haus dan lapar karena tidak jajan di kantin.
"Loh, kamu tidak ke kantin buat makan? Kalau begitu ini aku ada kue buat kamu." si cowok kacamata yang duduk di sebelahnya menyodorkan kue untuk Jingga.
"Terima kasih, tapi aku baru selesai makan, aku bawa bekal dari rumah." Jingga tak bermaksud menolak
"Benar sudah makan?" tanya si kacamata lagi.
"Iya benar aku enggak bohong." Jingga meyakinkan.
"Ooh! Syukurlah kalau sudah makan, aku takutnya kamu lapar." terlihat raut khawatir di mata cowok tersebut, dan Jingga hanya tersenyum sambil memainkan ponselnya.
"Oh iya kenalkan, aku Dion." si cowok berkacamata mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan dirinya.
"Jingga." menyambut uluran tangan Dion.
"Semoga kamu betah di kelas ini ya, teman kita begini-begini." Dion mengacungkan dua jempolnya saat menceritakan tentang keseluruhan teman sekelasnya, entah maksud Dion apa, antara benar pujian atau kebalikannya.
"Wah! Sepertinya kalian sangat cocok ya, saling melengkapi, sama-sama culunnya." komentar salah satu cewek populer di kelas Jingga.
"Enggak usah sok merendahkan teman sendiri!" sahut seseorang lagi di belakang cewek-cewek populer tersebut.
"Teman? Ogah punya teman kaya mereka." sahutnya seolah merasa jijik atau bagaimana dengan perkataan teman yang membela Jingga dan Dion lalu segera membalikkan badan dengan cepat keluar kelas lagi.
"Hai Jingga, kenalkan namaku Citra." Cewek yang menasihati para cewek populer tadi memperkenalkan diri pada Jingga, dan Jingga pun menyambutnya dengan gembira, karena masih ada yang mau bersikap baik padanya.
Setelah Citra memperkenalkan diri pada Jingga, selanjutnya ada Jihan, April dan Diah yang ikut memperkenalkan diri mereka.
"Jangan sungkan sama kami ya Ga, kamu gabung main sama kami saja." kata Diah dan diiyakan oleh ketiga temannya, dan Jingga dengan ragu menganggukkan kepalanya.
"Jangan khawatir Ga, mereka teman yang baik-baik kok, enggak kaya mereka yang keluar tadi." Dion meyakinkan Jingga agar tidak ragu untuk berteman dengan Citra cs.
"Terima kasih ya buat kalian, mau menjadi teman aku saat sendirian begini." kata Jingga sangat bersyukur.
"Tidak usah sungkan Ga sama kami." Jihan menimpali, dan Jingga hanya bisa menebar senyum manisnya pada teman-teman barunya.
Bel alarm berbunyi tanda jam istirahat telah habis, terlihat para cewek yang merasa populer tadi sedang sok akrab dengan gengnya Langit saat mereka memasuki kelas, walau para cowok populer tersebut hanya menanggapi mereka sekedarnya saja.
Tak lama guru mata pelajaran selanjutnya memasuki ruang kelas, dan mereka semua memperhatikan pelajaran dengan tenang.
***
Batari Jingga Sudiro anak tunggal dari pasangan bapak Indra Sudiro dan ibu Widyawati Salim. Indra Sudiro adalah seorang perwira menengah abdi negara baret hijau yang sudah ditetapkan mengabdi di daerah asalnya, jadi bisa dipastikan ini adalah perpindahan terakhirnya setelah berkali-kali pindah tugas dari masih muda sampai sekarang anaknya telah menjadi remaja.
Jingga yang berpenampilan sederhana dengan kulit sawo matang dan rambut ikalnya sebenarnya seorang gadis yang tumbuh menjadi sosok yang begitu manis, tetapi bagi yang tidak suka padanya, menganggapnya culun dan dekil, tapi itu semua tidak menjadikannya menjadi gadis yang minder.
Apalah arti sebuah ejekan, karena bagi Jingga itu adalah sebuah cambukan penyemangat baginya untuk lebih berprestasi, agar bisa membungkam mereka yang bermulut besar agar berhati-hati dengan ucapan dan pemikiran dangkalnya.
...****************...
Happy reading para pembaca semuaaa....
Entah berapapun pembaca yang mampir di ceritaku ini, aku sangat berterima kasih, semoga kalian semua suka dan tak lupa pencet like syukur-syukur berikan komen juga gift serta vote-nya. Terima kasih 🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!