"TIDAAAAAKKK!!!!!"
"AYAAAAHH!!! IBUUUU!!!!"
Suara teriakan seorang bocah manis berusia 8 tahun, menggema di malam yang sangat gelap gulita. Suasana sangat sepi dan mencekam. Tak ada yang mendengar teriakan gadis cilik tersebut.
"SEKARANG GILIRANMU!! BUNUH GADIS KECIL ITU!! BUNUH DIA!! BIAR TIDAK ADA SAKSI MATA!!!" terdengar perintah dari seorang pria yang memakai topeng.
Seorang anak laki-laki berusia 12 tahun, yang diberi perintah itu, dengan ragu-ragu menghampiri si gadis cilik.
"TIDAK!! PERGI!! JANGAN BUNUH AKU!! TOLOONG!!" pinta sang bocah. Refleks, ia menarik topeng yang di pakai si anak laki-laki tersebut.
"K' Jeremy..??" lirih gadis itu.
"CEPAT!! BUNUH DIA, JEREMY!!" bentak sang pria dewasa.
Gadis cilik itu menggeleng.
"Aku membencimu, K' Jeremy.. Sangat membencimu.. Aaakkhh.."
BLESS...
Suara sayatan terdengar begitu sang gadis cilik selesai berbicara. Tubuhnya ambruk ke tanah dan kepalanya mengenai batu yang ada di dekatnya.
'Maafkan aku, Clea..'
*******************
13 Tahun Kemudian
Di malam yang sangat mencekam itu, Emily Hopkins dan tiga orang dewasa itu harus bersabar di tempat persembunyian mereka. Sementara di luar sana, para perampok mengobrak-abrik isi Villa itu.
Para perampok memeriksa setiap kamar, namun yang mereka cari tidak juga di temukan.
"Nona, aku sudah memberitahu Tuan Antonio. Mereka sedang dalam perjalanan ke sini." bisik Bibi Liana, pelayan setia keluarga Charlos, kepada Emily.
"Apakah kau memberitahukan kepada mereka, di mana kita bersembunyi?" tanya Emily menggunakan bahasa isyarat.
"Tidak, Nona." bisik Bibi Liana.
"Itu bagus." isyarat Emily.
Saat ini, mereka sedang bersembunyi di gudang yang ada di belakang Villa. Tadi, mereka baru saja mengunjungi sebuah panti asuhan di daerah itu, dan singgah sebentar di Villa keluarga Charlos untuk beristirahat sejenak.
The Char Villa, nama Villa tersebut, hanya di gunakan untuk keperluan keluarga, jika ada yang berkunjung ke kota T, mereka bisa menempati Villa itu. Ada Pak Dion dan Bu Milla yang bertugas menjaga kebersihan Villa.
Jujur saja, Bibi Liana masih bingung dengan tingkah Nona mudanya. Alih-alih menghubungi Tuan muda, Jeremy Charlos, suami dari Emily, nona mudanya justru menyuruhnya menghubungi Tuan Besar, Antonio Charlos.
Bahkan melarangnya untuk memberitahu di mana mereka bersembunyi.
Sementara itu, Emily justru berkutat dengan pikirannya. Ia tahu dengan jelas, apa alasan para perampok itu datang ke Villa. Siapa lagi yang menyuruh mereka kalau bukan suaminya sendiri?
Pria yang sama sekali tidak menginginkan pernikahan mereka, pria yang membencinya setengah mati, hanya karena Emily bisu, dan pria yang menginginkan kematian Emily.
Pernikahan mereka hanya karena sebuah surat wasiat yang berisi perjanjian antara para Kakek dari kedua keluarga, Marco Charlos dan Thomas Hopkins.
Kisahnya, kedua laki-laki itu awalnya ingin menjodohkan anak mereka, namun ternyata keduanya sama-sama hanya memiliki anak laki-laki, jadinya perjanjian menurun ke cucu mereka.
Emily Hopkins awalnya akan di jodohkan dengan Richard Charlos, namun Richard meninggal secara tragis pada saat ia berlibur bersama Kakek dan Neneknya ke Villa di kota L, 13 tahun yang lalu. Anehnya, sampai saat ini, tidak diketahui siapa pelakunya.
Karena itu, Emily pun akhirnya di jodohkan dengan Jeremy, karena Jeremy adalah anak dari istri kedua Antonio Charlos yang dinikahi secara siri karena terpaksa.
Baru 1 tahun mereka menikah, namun bahaya sudah sering mengintai kehidupan Emily. Semuanya berasal dari suaminya yang kejam itu.
Pada hari mereka menikah, malamnya Jeremy berangkat ke Kota S dengan alasan mengurus bisnisnya yang bermasalah di sana. Tak pernah ada kabar hingga sepuluh bulan kemudian baru ia kembali ke kota J, dengan membawa seorang gadis cantik yang baru berusia sekitar 18 tahun, Clarissa Eden.
Selama sepuluh bulan awal pernikahannya, hidup Emily aman-aman saja, namun sejak kepulangan suaminya, saat itulah hidupnya penuh dengan ancaman dan mimpi buruknya di mulai.
BRAKK!!!
Suara pintu di dobrak membuyarkan lamunan Emily. Delapan orang pria dengan pakaian dan penutup wajah hitam, masuk ke dalam gudang.
"HAHAHAHA!!! TERNYATA KALIAN BERSEMBUNYI DI SINI!!!" tawa salah seorang dari para perampok.
Refleks, Pak Dion, Bu Milla dan Bibi Liana langsung berdiri di depan Emily, berusaha melindunginya. Mereka bertiga masing-masing juga sudah memegang balok kayu, yang Emily sendiri juga tak tahu dari mana mereka mendapatkannya.
"MINGGIR KALIAN!! KAMI TIDAK ADA URUSAN DENGAN KALIAN!! YANG KAMI INGINKAN HANYA MAJIKAN KALIAN ITU!!" ujar salah seorang dari mereka sambil menunjuk Emily.
"PERGI!!! SILAHKAN AMBIL BARANG BERHARGA YANG KALIAN MAU!! TAPI JANGAN SENTUH NONA MUDA KAMI!!!" bentak Bibi Liana.
Emily berdiri dan memandang para perampok itu. Meskipun ia menguasai ilmu bela diri, namun ia yakin, jika melawan delapan orang sekaligus, tentu ia pasti kalah. Apalagi, para perampok membawa senjata tajam. Sudah pasti, mereka dikirim untuk membunuhnya. Namun, tak salahnya berusaha bukan?
Emily juga tak mungkin membiarkan para pelayannya yang baik hati terluka.
Emily kemudian memberi isyarat pada ketiga pelayannya, dan mereka berempat kemudian menyerang para perampok dengan sekuat tenaga sambil berdoa dalam hati, semoga bantuan segera datang secepatnya.
Saat mereka sudah mulai kewalahan, tiba-tiba terdengar seseorang berteriak memanggil Emily. Disusul bunyi tembakan dan seorang perampok tiba-tiba rubuh dengan darah yang mengalir dari kepalanya.
Sontak semua menoleh ke arah pintu, di sana berdiri Jeremy Charlos dan beberapa saudaranya.
"Tu...."
DORRR!!! DORR!!!DORRR!!!
Belum sempat si perampok menyelesaikan panggilannya, bunyi tembakan berulang kali kembali terdengar diikuti robohnya seluruh perampok setelah sebelumnya melemparkan pandangan tak percaya pada Jeremy.
"Kakak!! Kenapa kamu membunuh mereka semua? Harusnya kau sisakan seorang untuk di interogasi!" ucap Steven, salah satu sepupu Jeremy.
"Benar, Kakak, seharusnya kau biarkan salah seorang hidup, biar kita bisa mencari tahu, apa penyebab mereka mau membunuh Kaka Ipar dan para pelayan!" sambung Indriana Charlos, salah satu adik tiri Jeremy.
"Aku tidak bisa membiarkan mereka membunuh istriku." kata Jeremy dingin.
Bohong... Dia bohong...
Emily tahu suaminya berbohong, tapi ia sama sekali tidak dapat mengatakannya. Ia hanya menatap sendu ke arah suaminya. Tubuhnya sangat lemah, terdapat banyak sobekan pisau di mana-mana, menyebabkan pakaiannya penuh dengan noda darah.
Sedangkan Pak Dion, Bu Milla dan Bibi Liana tidak tergores sama sekali. Tepat seperti dugaan Emily, kalau hanya dia yang di targetkan.
Emily merasa pusing, perlahan ia mulai kehilangan kesadarannya, tepat sebelum ia jatuh, Jeremy segera menangkap tubuh mungilnya.
"Ayo kita bawa mereka semua ke rumah sakit. Kalian bantu mereka." ujar Jeremy kemudian menggendong istrinya keluar.
Saudara-saudaranya yang lain pun membantu membopong Pak Dion, Bu Milla dan Bibi Liana keluar dari gudang.
Jeremy menatap Emily yang wajahnya terlihat sangat pucat pasi dengan rasa kecewa yang amat sangat besar.
Jeremy sangat berharap, istri yang sama sekali tak diinginkannya itu, lebih baik tidak usah bangun lagi untuk selamanya.
Namun, meskipun ia tidak menyukai istrinya, di depan orang lain terutama keluarganya, ia harus menjaga martabatnya sebagai seorang suami yang baik.
Rencananya kali ini gagal lagi dan sekarang ia harus memikirkan rencana baru untuk menyingkirkan wanita yang kini terbaring di brankas rumah sakit itu. Ia bahkan heran, istrinya itu seperti mempunyai banyak nyawa, sehingga selalu selamat dalam setiap rencana pembunuhannya.
*****
Emily terbangun dan menemukan dirinya berada dalam sebuah ruangan serba putih, tak ada seorangpun di sampingnya.
Saat mengingat kejadian berdarah semalam, ia mendadak ingin memuntahkan isi perutnya.
Bergegas ia bangun ingin berlari ke kamar mandi, namun karena gerakannya yang mendadak membuat tiang infus terjatuh, dan bunyinya menarik perhatian orang-orang yang berada di luar ruangan.
Mereka yang di luar segera masuk, dan melihat Emily menutup mulutnya menggunakan tangannya.
Steven berlari mengangkat tiang infus yang terjatuh. Sedangkan Indriana langsung paham keinginan Emily, refleks ia mengambil baskom yang ada di nakas di samping brankas, lalu memberikannya pada Emily yang segera memuntahkan isi perutnya. Setelah selesai, Indriana dan Fernando, sepupu Jeremy yang lain, membantu Emily berbaring.
Jeremy mengerutkan keningnya menatap Emily yang baru selesai muntah, ia menatap tidak senang karena menurutnya gadis lemah itu hanya ingin mencari perhatian orang lain saja.
Gadis... Ya, walaupun sudah setahun lebih mereka menikah, Emily masih tetap gadis perawan, karena Jeremy sama sekali tak ingin menyentuhnya.
"Kak Emily, apa kau baik-baik saja?" tanya Adriana, saudara kembar Indriana.
Sementara itu, Indriana mengelus punggung Emily, ia tak merasa jijik dengan muntahan Emily di depannya.
Meskipun kepalanya berdenyut karena rasa sakit, Emily berusaha mengendalikan dirinya, dan karena ia bisu, ia melambaikan tangannya, menyampaikan bahwa ia baik-baik saja.
"Lebih baik Kakak Emily makan lalu beristirahat, agar Kakak Ipar lekas sembuh dan cepat kembali ke rumah." ujar Steven.
Emily mengembangkan senyum tipisnya, memberi isyarat bahwa ia berterima kasih atas perhatian yang diberikan oleh pria muda itu.
Tidak seperti Kakak Sepupunya yang gila harta dan tahta, Steven lebih senang bersenang-senang dengan dunia lukis. Ia juga memiliki kepribadian yang baik dan hati yang lembut.
Emily diam-diam melirik ke arah Jeremy. Pria itu berdiri agak sedikit menjauh, enggan berdekatan dengan mereka, dan sepertinya ia sekali tidak memiliki minat untuk membantu istrinya yang sedang sakit.
Emily menghela nafasnya. Memangnya apa yang ia harapkan dari orang yang bahkan menganggapnya musuh? Emily akhirnya menyandarkan tubuhnya di bantal yang sudah di susun Fernando, kemudian perlahan menerima makanan yang di berikan Indriana.
"Habiskan makananmu agar kau cepat pulih." akhirnya pria dingin itu bersuara juga, suaranya berat dan rendah. Sesuai dengan perawakannya yang gagah.
Emily hanya menganggukkan kepalanya, tanpa ingin mengucapkan terima kasih, karena ia tahu, pria itu hanya sekedar basa-basi. Bahkan Emily yakin, pria itu justru senang kalau Emily kelaparan.
Jeremy berkata demikian hanya karena ada saudara-saudaranya. Benar saja! Selesai berkata, ia langsung pergi dengan dingin.
Ingin sekali Emily melemparnya dengan mangkuk bubur yang ia pegang, mengingat semua perilaku kejam Jeremy yang berusaha menghilangkan nyawanya.
Namun, Emily menahan amarahnya. Ia tahu penyebab Jeremy memiliki sifat dingin itu. Emily mendengar semua kisah Jeremy, selama sepuluh bulan ia tinggal di rumah mertuanya, karena setelah menikah, Jeremy ke luar kota, sehingga mertuanya meminta Emily untuk tinggal di Mansion utama Charlos.
Kisahnya, Jeremy adalah anak dari seorang pelayan bernama Margaretha yang berambisi menjadi istri dari Antonio Charlos, ayah kandung Jeremy, lalu ia melakukan berbagai cara, sampai ia bisa hamil anaknya Antonio.
Ketika hamil, ia meminta pertanggungjawaban, namun Antonio hanya mau menikahinya secara siri, lalu mengirimkannya ke desa di pinggiran kota, agar tidak menggangu hubungan Antonio dan istri sahnya, Rose Esmeralda.
Antonio dan Rose sendiri saat itu sudah memiliki seorang putra berusia dua tahun, Richay Charlos. Waktu itu, Alex Charlos, adik kandung Antonio, menawarkan diri untuk mengawasi Margaretha di desa tersebut, dan Antonio langsung mengiyakan tanpa bertanya dan tanpa mencari tahu,apa tujuan sebenarnya dari Alex.
Ternyata setelah anak Margaretha dan Antonio lahir, yang di beri nama Jeremy Charlos, Alex langsung membawanya pergi, membiarkan Margaretha stress dan akhirnya gila.
Rupanya Alex yang iri karena merasa ia lebih bisa menjadi pemimpin Klan Charlos dan juga merasa bahwa warisan yang di dapat oleh kakaknya lebih banyak, membawa Jeremy dan mendidiknya secara keras, menjadikannya seorang mafia yang berhati dingin dan kejam. Ia juga menanamkan kebencian di hati Jeremy terhadap ayah kandungnya dan keluarganya yang lain, dengan cerita-cerita bohongan yang di karang Alex.
Lalu, saat Richard berumur 14 tahun, ia terbunuh secara tragis bersama dengan kakek neneknya, Marco Charlos dan Chaterine, dan Rose dinyatakan tak bisa hamil lagi, Antonio pun pergi menjemput Jeremy dan membawanya ke Mansion keluarga Charlos.
Karena didikan dari Alex, menyebabkan Jeremy tumbuh menjadi anak yang pembangkang dan biang onar, akhirnya Antonio memasukkan Jeremy ke sekolah asrama. Setelah lulus, tanpa bertanya apa keinginan Jeremy, Antonio memasukkannya ke akademi militer.
Ketika pendidikan militernya selesai, begitu Jeremy pulang ke rumah, ia langsung di hadapkan pada kenyataan bahwa ia telah di jodohkan dengan gadis dari keluarga Hopkins. Dan siapa yang menduga kalau gadis itu ternyata bisu? Walaupun ia sangat cantik, tetap tidak menutupi kekurangan-kekurangannya.
Jeremy marah! Di tambah hasutan dari Pamanya, Alex, yang berbohong kalau semua itu adalah rencana dari istri sah Antonio agar Jeremy tidak mendapat posisi ketua Klan, membuat Jeremy semakin meradang.
Jeremy bersumpah akan membunuh Antonio dan Rose dengan tangannya sendiri. Apalagi selama ini, ia dan Alex diam-diam sudah bekerja sama dengan para pengkhianat Klan Charlos yang tidak menyukai posisi Antonio sebagai ketua.
Dengan terpaksa dan berat hati, Jeremy menyetujui perjodohan tersebut. Namun, saat malamnya, Jeremy tidak hadir saat resepsi yang megah itu, membuat Emily dan Antonio serta keluarganya sama-sama malu.
Kembali ke rumah sakit, Emily sedang memikirkan cara untuk meminta cerai dari Jeremy. Benar!! Kalau ia tidak menginginkannya sebagai istri, mengapa tidak menceraikannya saja? Kecuali kalau ia memiliki tujuan lain.
'Apa ia psikopat yang senang melihat penderitaan orang lain?' pikir Emily.
Apapun alasannya itu, menurut Emily, ia harus mencoba mengutarakan niatnya. Ia tak ingin mati dengan mudah di tangan pria itu. Ia hanya ingin hidup dengan damai.
Sudah empat hari Emily menginap di rumah sakit, dan ia mulai merasa jenuh. Untungnya hari ini dokter sudah mengijinkannya untuk pulang.
Selama di Rumah Sakit, Emily sudah memikirkan baik-baik tentang rencananya untuk bercerai dari Jeremy. Menurut Emily, jika mereka tidak bercerai, suaminya itu pasti akan mencari cara untuk membunuhnya lagi.
Emily tidak menginginkan hal itu. Ia masih ingin hidup lebih bahagia dan tenang. Keasyikan berpikir membuat Emily tak sengaja tertidur.
Jeremy masuk bersama dengan sepupunya, Fernando. Mereka mendapati Emily sedang tertidur.
"Kakak,, ayo bangunkan kak Emily." ujar Fernando.
Jeremy mendelik tak suka.
"Kenapa harus aku?" tanyanya kesal.
"Kakak kan suaminya, kakak seharusnya lebih perhatian padanya." sahut Fernando santai.
Jeremy meliriknya, lalu menghela nafas,
"Kau sudah dewasa. Kau pasti tahu betul mengapa aku tidak bisa bersikap terlalu baik padanya." ujarnya.
"Apa karena Kakak tidak mencintainya?" terka Fernando.
"Jika kau sudah paham, mengapa kau bertanya lagi?" tanya Jeremy ketus.
"Mengapa kakak tidak bisa mencintainya? Kak Emily tidak menarik? Krena kalian di jodohkan? Atau karena kak Emily bisu?" cecar Fernando.
Jeremy memandang sesaat ke sepupunya, kemudian membuang wajahnya ke arah lain.
"Aku hanya tidak menyukainya." ucapnya.
"Tapi dia sekarang adalah istrimu, Kak. Kakak harus memperhatikan dan memperlakukannya dengan baik. Lagipula, banyak pernikahan yang awalnya dijodohkan, tapi akhirnya mereka bahagia dan bisa membina keluarga yang harmonis, bahkan memiliki anak." jelas Fernando.
Jeremy tersenyum masam mendengar hal itu. Memiliki anak dengan si gadis bisu itu? Mustahil.. Melihatnya saja, Jeremy sudah merasa jijik, apalagi menyentuhnya.
Tempo hari saja ia harus mandi berkali-kali karena menggendong Emily.
Melihat kakak sepupunya hanya diam dan tidak menanggapi perkataannya, Fernando menghela nafas lalu berkata,
"Setidaknya, cobalah untuk menerimanya. Sejak kalian menikah, kalian tidak pernah bersama. Kakak hanya belum mengenal kak Emily dengan baik. Kalau kakak sudah mengenalnya, mungkin kakak akan menyukai bahkan jatuh cinta padanya."
Jeremy mengernyit, ia tidak akan menyukai orang yang hanya menjadi beban baginya. Menurutnya, orang yang tidak berguna seperti Emily harus disingkirkan dari hidupnya. Lagipula, ia mempunyai rencana sendiri. Ia harus menikahi Clarissa agar kekuatan pendukungnya bertambah.
Fernando yang melihat Jeremy hanya diam, akhirnya memilih menghampiri brankas tempat Emily berbaring. Belum sempat ia membangunkan Emily, si kembar Adriana dan Indriana, beserta Steven masuk ke dalam ruangan.
*******
Emily terdiam di antara para iparnya yang datang untuk menjemputnya.
"Syukurlah keadaan kak Emily sudah membaik." ujar Adriana.
"Orang-orang yang melakukan penyerangan itu, apakah tidak ada informasi apapun untuk mengungkap motif mereka?" tanyanya.
Fernando menggeleng.
"Semua mati terbunuh. Tidak ada satupun petunjuk yang bisa kami temukan pada tubuh mereka." ujarnya.
Mereka menghela nafas, kecuali Jeremy yang wajahnya tetap dingin dan tenang. Sementara Emily merasa tidak nyaman.
Ia berharap mereka berhenti membicarakan hal ini. Karena ia tahu, pelaku dari penyerangan itu ada di depan mata mereka. Ia khawatir, jika mereka terus membahas hal itu, bisa saja sang pelaku langsung membunuhnya di tempat.
"Kak Emily, apa kau baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat." tanya Indriana yang melihat perubahan ekspresi Emily.
Emily tersenyum, ia melambaikan tangannya, mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja.
"Kakak terlihat tidak baik. Maafkan aku, seharusnya aku tidak menanyakan hal ini. Kak Emily pasti masih merasa takut mengingat apa yang terjadi malam itu." ujar Adriana sambil meraih tangan Emily.
"Iya, benar, maafkan kami. Seharusnya kami tidak membicarakan hal ini di depan kak Emily." kata Fernando menyesal.
Emily hanya menggelengkan kepalanya untuk membuat mereka berhenti.
Jeremy merasa terganggu melihat saudara-saudaranya terlihat akrab dengan gadis bisu itu.
'Apa baiknya gadis ini? Kenapa mereka begitu perhatian padanya?' tanya Jeremy dalam hatinya.
'Bahkan Fernando sampai berani menasehatiku. Apakah gadis ini diam-diam merayu sepupuku? Dasar gadis sialan! Tak tahu diri!' marah Jeremy dalam hatinya.
Dengan kemarahan karena pikiran yang di buatnya sendiri, Jeremy maju dan meraih tangan Emily. Membuat para saudaranya terkejut.
"Ayo pulang." ucapnya dingin.
Begitu kaki Emily menginjak lantai, Jeremy langsung menariknya keluar, tanpa mempedulikan yang lain.
"Ada apa dengannya?" tanya Steven heran sambil menatap kepergian Jeremy yang menyeret Emily bersamanya.
"Mungkin dia cemburu karena kita terlalu dekat dengan kak Emily." ucap Fernando dengan tersenyum.
"Cemburu? Apa Kak Jeremy akhirnya menyukai kak Emily?" kali ini Adriana yang bertanya.
"Mungkin.."
*****
Sebenarnya hari ini sangat cerah dan indah, langit berwarna biru tanpa ada satupun awan yang menghalanginya. Namun, wajah suram Jeremy membuat suasana hati Emily menjadi mendung.
Pria yang duduk di depan kemudi itu sedang kesal dan masih sibuk memikirkan cara untuk membunuh Emily.
Tuk!Tuk!
Emily mengetuk bahu Jeremy, membuat pria itu menoleh dan menatapnya dengan ekspresi kesal.
"Ada apa?" tanyanya dengan suara yang dingin dan menusuk. Hanya sekejap ia menoleh, lalu ia kembali memalingkan wajahnya untuk fokus ke jalanan.
Tepat saat itu, mereka tiba di persimpangan dan lampu lalu lintas menunjukkan warna merah, membuat Jeremy menghentikan laju mobilnya. Ia pun kembali menengok ke arah Emily.
"Cepat katakan ada apa!" bentaknya.
Emily menggerakkan tangannya untuk memberitahu kalau ia ingin mereka bercerai.
Sayangnya Jeremy sama sekali tidak mengerti bahasa isyarat. Ia mengangkat sebelah alisnya, membuat Emily menghela nafas gusar.
Emily melihat-lihat namun ia tidak menemukan sesuatu yang bisa dipakainya untuk menulis. Akhirnya ia mencoba meraih tangan Jeremy, hendak menulis kata-katanya dengan jari di telapak tangan pria itu.
Akan tetapi, belum sempat ia menyentuhnya, Jeremy langsung menepis tangannya dengan kasar.
"Jangan coba-coba menyentuhku dengan tangan kotormu itu!! Jangan berani berpikir kamu dapat menyentuhku hanya karena statusmu adalah istriku!!" bentaknya dengan penuh penekanan.
Emily terkejut dengan perbuatan kasarnya, tapi Jeremy tak peduli. Ia justru berkata lagi, "Status kita memang suami istri. Tapi asal kau tahu saja, aku tidak pernah sudi menjadi suamimu!! Hubungan kita hanya sekedar coretan di atas kertas!! Kalau kamu berani menyentuhku, aku tidak akan segan untuk melukaimu!! Camkan itu!!"
Emily menghembuskan nafasnya. Ia buru-buru menggelengkan kepalanya serta melambaikan tangannya, bermaksud memberi tahu kalau ia tak berniat membuat Jeremy marah.
Lampu berubah hijau dan Jeremy kembali melakukan kendaraanya, sedangkan Emily berpikir cara yang gampang di mengerti oleh Jeremy.
Ia menyesal karena lidahnya terpotong, membuat ia sulit berbicara dengan jelas, sehingga mengharuskan ia memakai bahasa isyarat dalam berinteraksi, sedangkan tak semua orang paham bahasa isyarat.
Ya,, lidah Emily memang terpotong. Ia juga tak tahu apa penyebabnya. Entah dari lahir atau bukan, Emily tak pernah mencari tahu penyebabnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!