NovelToon NovelToon

Dari Sekertaris Malah Jadi Selingkuhan

Calon istri untuk Raffa

Happy Reading

Di ruang tamu yang hangat meski penuh kecemasan, Waiz dan Talia duduk saling berhadapan, wajah mereka penuh keraguan. Malam itu, pembicaraan yang telah ditunda selama beberapa hari akhirnya harus dibahas. Mereka harus memutuskan masa depan putri mereka, Felly.

Waiz menghela napas berat, lalu berkata dengan suara pelan namun tegas, “Aku sudah bicara dengan Raffa. Dia setuju, tapi dia juga punya keraguan. Dia... sudah pernah gagal dalam pernikahannya. Aku takut ini bukan jalan yang mudah untuk Felly.”

Talia, yang duduk dengan tangan terlipat di depan dada, menundukkan kepalanya. Ia mengerti kekhawatiran suaminya, tapi baginya, mereka tidak punya banyak pilihan. “Tapi kita harus ingat, Mas. Felly sudah terlalu jauh tersesat. Jika kita biarkan dia begitu saja, aku khawatir masa depannya akan lebih buruk.”

Waiz menatap kosong ke luar jendela, seakan mencari jawaban di balik kegelapan malam. “Aku tahu, Lia. Tapi Raffa... Dia duda dengan masa lalu yang rumit. Mantan istrinya meninggalkannya karena merasa tidak cocok, bukan karena dia melakukan kesalahan. Aku takut kalau Raffa belum sembuh dari lukanya, pernikahan ini malah membawa masalah baru.”

Talia mendesah panjang. Ia juga memikirkan hal itu. “Aku sudah bicara dengan Raffa beberapa kali. Dia orang baik, Mas. Meskipun dia pernah gagal, bukan berarti dia tidak bisa membangun pernikahan lagi. Lagipula, dia pria yang bertanggung jawab. Dia tahu bagaimana menata ulang hidupnya setelah kegagalan itu.”

“Memang, Raffa pria baik,” sahut Waiz. “Tapi aku takut Felly tidak bisa menerima keadaan ini. Dia masih muda, sementara Raffa sudah berusia hampir sepuluh tahun lebih tua. Ditambah, apa Felly bisa menerima Bayu yang punya bayang-bayang masa lalu?”

Talia menggigit bibirnya, memikirkan nasib putri mereka. “Mas, aku tahu kita mungkin tidak memberikan kehidupan sempurna untuk Felly. Tapi kita lakukan ini demi masa depannya. Pergaulan bebas yang dia jalani sudah merusak banyak hal. Kalau kita tidak mengambil tindakan tegas, kita bisa kehilangan dia selamanya.”

Waiz mengangguk pelan, meski hatinya masih berat. “Aku hanya ingin yang terbaik untuk dia,Bu. Aku tidak mau dia merasa terpaksa menikah dengan seseorang yang dia belum kenal baik, apalagi seseorang yang pernah gagal dalam pernikahan.”

“Raffa juga memahami itu, Mas. Dia tidak ingin memaksakan apa pun. Dia setuju menikahi Felly, tapi dia juga bilang akan memberikan Felly waktu. Mereka bisa belajar saling mengenal lebih dalam, dan mungkin dari sana, bisa muncul rasa percaya.” Talia menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. “Aku tahu ini berat. Tapi bukankah pernikahan juga soal memberi kesempatan?”

Waiz kembali diam. “Kita harus bicara dengan Felly. Pastikan dia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk memperbaiki dirinya, bukan sekadar keputusan yang kita buat karena putus asa.”

Talia menatap suaminya dengan penuh harap. “Kita harus percaya bahwa Raffa bisa menjadi pendamping yang baik untuk Felly. Dan semoga Felly juga bisa melihat kesempatan ini sebagai langkah untuk memulai kembali hidupnya.”

Waiz akhirnya mengangguk setuju. “Baiklah, kita akan bicara dengan Felly. Tapi aku berharap... semoga ini benar-benar jalan terbaik untuk semuanya.”

*******

Ketika Felly mendengar keputusan orang tuanya, ia hanya bisa terdiam. Dunia seolah runtuh di hadapannya. Perasaan kecewa, marah, dan bingung bercampur dalam dadanya. Ia menatap kedua orang tuanya dengan tatapan tidak percaya.

“Ma, Pa... apa kalian serius ingin aku menikah dengan Raffa? Pria yang bahkan tidak pernah aku kenal sebelumnya, seorang duda yang pernah gagal dalam pernikahannya?” Felly bertanya dengan nada bergetar, berusaha menahan tangis.

Waiz dan Talia saling bertukar pandang. Mereka sudah menduga Felly tidak akan mudah menerima keputusan ini, namun tidak ada pilihan lain yang tersisa.

“Felly, kami melakukan ini bukan karena kami ingin menyakiti kamu. Kami ingin yang terbaik untukmu,” kata Waiz dengan lembut, mencoba menenangkan putrinya.

“Terbaik? Kalian pikir menikah dengan pria yang jauh lebih tua dan pernah gagal menikah adalah yang terbaik untukku?” Felly bangkit dari tempat duduknya, berjalan beberapa langkah menjauh, seakan ingin melarikan diri dari kenyataan yang tak bisa ia hadapi.

“Felly, tolong dengarkan Mama,” bujuk Talia dengan suara pelan namun tegas. “Kami sudah berpikir matang-matang tentang ini. Kamu tahu bagaimana kehidupanmu selama ini, kamu tahu apa yang sudah terjadi. Raffa... dia bisa memberikan kamu kesempatan untuk memperbaiki diri, untuk kembali ke jalan yang benar.”

Felly menoleh dengan wajah penuh kemarahan. “Jalan yang benar? Kalian pikir dengan menikahkan aku dengan pria yang tidak aku cintai, itu akan memperbaiki hidupku? Apa kalian pikir ini akan membuat aku bahagia? Aku masih muda, aku punya kehidupan yang harus aku jalani, bukan seperti ini!”

Waiz berdiri, menatap Felly dengan serius namun lembut. “Felly, kami paham bahwa kamu merasa ini tidak adil. Tapi lihat keadaanmu sekarang. Kamu terjerat dalam lingkungan yang buruk, pergaulan yang merusak. Kami tidak ingin kamu tenggelam lebih dalam. Kami ingin kamu punya kesempatan untuk memulai lagi.”

Felly menggeleng dengan keras, air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku tidak mau menikah! Aku tidak mau hidup seperti ini, Pa,Ma! Aku ingin menjalani hidupku dengan pilihanku sendiri. Aku akan berubah, aku janji, tapi bukan dengan cara ini.”

Talia berdiri mendekati Felly, mencoba memegang tangannya, namun Felly menarik tangannya dengan cepat. “Felly, dengarkan Mama. Ini bukan tentang menghukummu. Kami hanya ingin kamu selamat dari jalan yang sekarang kamu tempuh. Kami tahu kamu ingin berubah, tapi bagaimana caranya? Kami takut kamu akan kembali ke kebiasaan lama. Raffa... dia bisa menjadi suami yang baik, dia orang yang bertanggung jawab. Dia akan membimbingmu.”

“Orang yang bertanggung jawab?” Felly menyeka air matanya dengan kasar. “Dia bahkan gagal dalam pernikahannya sendiri! Apa yang membuat kalian berpikir dia akan bisa membimbing aku?”

Waiz menghela napas dalam-dalam, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. “Semua orang bisa gagal, Felly. Tapi Bayu adalah orang yang telah belajar dari kesalahannya. Dia pria yang matang, dan dia mau memberikan kamu kesempatan untuk memulai lagi.”

Felly mundur, tubuhnya gemetar dengan perasaan campur aduk. “Aku tidak mencintainya, Pa. Bagaimana aku bisa menjalani hidup bersama seseorang yang aku tidak kenal, tidak cinta, dan yang punya masa lalu yang kelam?”

“Cinta bisa tumbuh, Nak,” Talia menatap putrinya dengan penuh kasih sayang. “Cinta tidak selalu datang di awal. Kadang, cinta itu muncul dari kepercayaan dan rasa saling menghargai. Kami tahu ini bukan keputusan yang mudah, tapi kami yakin Raffa bisa menjadi pendamping yang baik untukmu.”

Felly terdiam sejenak, mencoba mencerna semua yang baru saja didengarnya. Hatinya berontak, namun di sisi lain, ia tahu ia telah mengecewakan orang tuanya berkali-kali. Namun, menikah dengan Raffa terasa seperti hukuman yang terlalu berat baginya.

“Ma,Pa, tolong beri aku waktu,” kata Felly akhirnya, suaranya bergetar karena isakan yang tertahan. “Aku tidak bisa langsung menerima keputusan ini. Aku butuh waktu untuk berpikir.”

Waiz dan Talia saling memandang dengan rasa bersalah yang mendalam. Mereka tahu permintaan Felly masuk akal, tapi di balik rasa sayang itu, ada ketakutan bahwa waktu hanya akan memperburuk keadaan.

“Baik, Nak. Kami akan memberikan kamu waktu untuk berpikir,” kata Waiz dengan suara lembut. “Tapi ingat, keputusan ini bukan hanya untuk kami, ini untuk masa depanmu.”

Felly mengangguk pelan, air matanya terus mengalir. Dia tahu bahwa apa pun yang terjadi, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

******

Di tengah heningnya malam, Gus Raffa duduk sendiri di teras pondok pesantren Al Hikmah. Suara angin sepoi-sepoi dan bintang-bintang yang berkelip di langit menjadi teman setianya. Namun, hatinya dipenuhi keraguan. Beberapa bulan lalu, keluarganya mengumumkan bahwa mereka telah menjodohkannya dengan Felly, gadis yang dianggap cocok untuk mengisi kekosongan dalam hidupnya setelah perceraian yang menyakitkan.

"Apakah ini yang terbaik?" gumamnya, mengingat kembali masa lalu. Perceraian itu seperti bayangan gelap yang selalu mengikutinya, menimbulkan rasa takut akan kegagalan lagi. Gus Raffa pernah merasakan kebahagiaan, tetapi kini ia terjebak dalam trauma, meragukan kemampuannya untuk membangun kembali sebuah hubungan.

“Dia mungkin bisa menjadi sosok yang baik untukku,” bisiknya, mencoba meyakinkan diri. Felly dikenal sebagai gadis yang ceria, penuh semangat, dan memiliki pandangan hidup yang positif. Namun, apakah itu cukup untuk menutupi luka yang masih menganga di hatinya?

Gus Raffa teringat pada adiknya, Ning Syakira, yang selalu menasihatinya untuk memberi kesempatan pada diri sendiri. "Kak, hidup harus terus berjalan. Jangan biarkan masa lalu menahanmu," kata Syakira beberapa waktu lalu.

Namun, saat itu, Raffa masih merasa terjebak dalam keraguannya. Dia ingin berusaha, tetapi rasa sakit yang tertinggal masih terlalu kuat. Dengan pikiran penuh, ia menatap langit malam, berharap menemukan jawaban atas kebingungannya. Akankah Felly bisa menjadi cahaya dalam kegelapan yang menyelimutinya?

Jalan menuju kesempatan

Hari-hari berlalu setelah pembicaraan tegang antara Alesha dan orang tuanya. Alesha merasa terjebak dalam pusaran emosi, antara harapan dan ketidakpastian. Dia sering menghabiskan waktu di kamarnya, merenungi keputusan yang diambil orang tuanya. Perasaannya campur aduk, dan setiap kali memikirkan Rey, hatinya dipenuhi keraguan.

Suatu malam, setelah sekian lama berdiam diri, Alesha memutuskan untuk keluar sejenak. Ia berjalan menyusuri taman belakang rumah, tempat di mana ia sering bermain saat kecil. Di sana, aroma bunga melati yang mekar menambah suasana nostalgia, mengingatkan pada masa-masa bahagia yang tak terganggu oleh masalah.

“Alesha!” Suara Talia memanggil dari belakang. Alesha menoleh dan melihat ibunya berjalan mendekat, wajahnya tampak lembut meski ada kecemasan di mata Talia.

“Ma,” jawab Alesha, berusaha tersenyum.

“Bagaimana perasaanmu? Sudahkah kamu memikirkan tentang Rey?” Talia bertanya pelan.

Alesha menggigit bibirnya. “Aku... aku tidak tahu, Ma. Semua ini terasa terlalu cepat. Bagaimana aku bisa mencintai seseorang yang bahkan tidak aku kenal?”

Talia menghela napas. “Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Alesha. Kami percaya bahwa Rey bisa membantumu menemukan jalan kembali. Dia orang yang baik, dan dia berusaha untuk berubah.”

“Dia mungkin baik, tapi dia juga punya masa lalu yang menyakitkan. Apa yang bisa dia ajarkan padaku?” Alesha mengungkapkan kekhawatirannya.

“Cinta dan pengertian tidak selalu datang dari pengalaman yang sempurna, Nak. Kadang-kadang, kita harus memberi kesempatan pada orang lain, dan pada diri kita sendiri,” jawab Talia, menyentuh bahu Alesha.

Alesha menatap ibunya, merasakan kasih sayang yang tulus. Namun, benaknya dipenuhi dengan keraguan. “Tapi, Ma, aku ingin hidup dengan pilihanku sendiri. Aku tidak ingin merasa terpaksa.”

Talia mengangguk, memahami. “Aku mengerti, Alesha. Kami tidak ingin memaksamu, tapi ingatlah bahwa keputusan ini bisa menjadi titik balik dalam hidupmu.”

Alesha menunduk, berusaha menahan air mata. “Aku akan mencoba berpikir lebih jauh, Ma. Tapi aku butuh waktu.”

Talia memeluk Alesha erat, memberikan dukungan yang dibutuhkan. “Kami akan selalu ada di sisimu, Nak.”

Di ruang tamu yang nyaman dengan nuansa warna-warna lembut, Alesha duduk di sofa sambil mengatur napas. Di sampingnya, Talia dan Waiz duduk dengan tenang, siap menyambut tamu yang dijodohkan untuk Alesha. Ruangan itu penuh dengan ketenangan dan kesabaran menunggu kedatangan calon suami.

Pintu rumah terbuka dan Rey, pria yang dijodohkan, memasuki ruangan dengan sikap hormat. Meskipun berpakaian formal, wajahnya menunjukkan sedikit keraguan, mencerminkan masa lalunya yang penuh tantangan. Rey diikuti oleh orang tuanya, yang juga membawa aura ketenangan.

Rey tersenyum dan menunduk. “Assalamu’alaikum, Bapak, Ibu. Terima kasih telah menerima kedatangan kami.”

Waiz tersenyum dan membalas. “Wa’alaikumsalam, Gus Rey. Selamat datang. Silakan duduk.”

Rey: mendekat dan duduk dengan hati-hati.

Talia menyajikan teh hangat kepada Rey.

“Ini teh hangat. Semoga kalian menikmatinya.”

“Terima kasih, Ibu.” Rey meminumnya dengan sopan.

Suasana terasa agak tegang, namun Rey berusaha untuk mencairkan suasana dengan berbicara lebih banyak.

“Pak Waiz, saya merasa terhormat bisa bertemu dengan keluarga Bapak. Saya bekerja sebagai pengajar di pesantren milik Abi saya dan selalu berusaha untuk memperdalam ilmu agama saya.” Ujar Rey membuka pembicaraan.

Waiz mengangguk. “Kami menghargai itu, Rey. Kami tahu bahwa kamu memiliki latar belakang yang baik dalam agama. Namun, kami juga mendengar tentang pengalaman kamu sebelumnya. Apakah kamu ingin berbagi tentang hal itu?” tanya Waiz, sebelumnya ia menatap kedua orang tua Rey terlebih dahulu kemudian setelah dipersilahkan ia menanyakan tentang masa lalu Rey.

Rey menatap dengan serius “Tentu, Pak. Saya pernah menikah sebelumnya, dan sayangnya, pernikahan tersebut tidak berlanjut seperti yang kami harapkan. Banyak pelajaran berharga yang saya ambil dari pengalaman itu, dan saya telah berusaha untuk memperbaiki diri dan belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut.”

Talia dengan perhatian menatap putra temannya itu.

“Kami memahami bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidup masing-masing. Bagaimana Rey melihat pengalaman tersebut berpengaruh pada rencana masa depan?”

Rey menunduk dengan penuh penyesalan.

“Pengalaman tersebut telah mengajarkan saya banyak hal tentang pentingnya komunikasi, pengertian, dan kesabaran dalam sebuah hubungan. Saya berkomitmen untuk menerapkan semua pelajaran tersebut dalam hubungan yang akan datang, termasuk dalam rumah tangga ini.”

Alesha meremas kedua tangannya sedikit cemas. “Apakah kamu merasa sudah siap untuk memulai lembaran baru?”

Rey menatap Alesha dengan lembut.”Saya percaya bahwa dengan persiapan dan doa yang baik, serta dukungan dari keluarga, kita bisa menghadapi tantangan bersama. Saya ingin membangun hubungan yang sehat dan penuh kasih, dan saya berusaha untuk siap menghadapi segala kemungkinan.”

Waiz menarik sudut bibirnya. “Itu adalah pandangan yang matang. Kami menghargai keterbukaan Rey mengenai hal ini. Kami percaya bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua. Saya salut dengan putra kamu Arka.” Ujar Waiz.

“Semoga pertemuan ini bisa menjadi awal yang baik untuk semua pihak. Kami berharap agar hubungan ini bisa berjalan dengan penuh pengertian dan kasih sayang.” Sahut Kyai Abdullah yang sejak tadi hanya membiarkan putranya menjawab pertanyaan-pertanyaan keluarga calonnya.

Percakapan terus berlanjut dengan lebih banyak diskusi mengenai harapan dan impian masing-masing. Meskipun awalnya terasa canggung, suasana mulai menghangat seiring dengan saling berbagi pandangan dan pengalaman.

Ketika pertemuan itu berakhir, Rey dan orang tuanya berpamitan dengan rasa hormat.

Pulang bersama

Freya sungguh malas masuk ke dalam ruangan bagas itu, hadiah dari bagas tidak Freya pakai, ia rencana akan memberikan untuk Alana saja. Namun kali ini Freya datang untuk mengantar laporan keuangan yang telah di buatnya, Freya juga tidak enak karena terkesan terus menghindari atasan nya. Akhirnya Freya pun mengetuk pintu ruangan itu.

"Masuk"

Freya akhirnya masuk sambil memeluk map coklat berisi laporan yang telah di buat. Bagas tersenyum melihat kehadiran Freya, ia sungguh serius tertarik pada karyawan nya itu.

"Freya akhirnya kamu datang juga" ujar Bagas tersenyum senang.

Freya tersenyum dan meletakkan map nya di atas meja Bagas.

"Pak Bagas ini laporan yang anda suruh selesaikan, silahkan di tanda tangan."

Bagas tersenyum sambil memandang wajah Freya, hal itu tentu saja membuat Freya malu, pria itu terlalu terang-terangan.

"Bagaimana ini, aku memiliki syarat agar menandatangi laporan mu."

"Maksudnya Pak Bagas apa?" tanya Freya tidak mengerti.

"Temani aku makan siang, maka aku akan menandatangi nya sekarang."

Freya terlihat bingung, jika laporan nya tidak di tanda tangani maka gaji nya akan di tahan, jika ia ikut makan siang bersama bagaimana dengan Reza? Ia takut jika Reza bisa marah.

"Bagaimana? Kamu terlihat berfikir dengan keras" tanya Bagas lagi.

"Maaf, tapi saya tidak bisa."

Bagas menatap Freya dengan tatapan datar. "Kenapa? Apa kamu takut suami mu akan marah?"

Freya menggelengkan kepalanya pelan sepertinya ia harus memberikan pernyataan tegas.

"Maaf sebelumnya Pak, saya hanya ingin mengatakan jangan memberikan barang-barang seperti itu lagi, dan saya juga sudah punya suami, hal itu sebenarnya membuat saya tidak enak hati di lihat oleh karyawan lain."

Bagas diam dan tidak menjawab pertanyaan Freya namun kemudian pria itu tersenyum. Bagas mengerti maksud perkataan gadis itu, mendekati Freya memang sangat sulit.

"Aku tau, dan aku hanya ingin memberikan mu hadiah, maaf membuat mu tidak nyaman, lain kali akan ku berikan secara diam-diam." jawab Bagas, dan Freya  menganggukkan kepala nya.

"Baiklah saya permisi dulu." ujar Freya.

"Tunggu, jika kamu menolak makan siang setidaknya biar aku mengantar mu pulang, jika kamu menghormati atasan mu maka jangan menolak." ujar Bagas sebelum Freya meninggalkan ruangannya.

Freya memejamkan matanya sejenak, sepertinya yang kali ini ia tidak bisa menolak.

"Baiklah Pak."

Bagas tersenyum lalu menandatangani laporan Freya, alasan ia bertahan menjadi manager bagian keuangan agar selalu bisa mendekati bawahan nya itu. Padahal Bagas sendiri sudah mendapat promosi menjadi manager utama, namun pria itu bersikeras berada di departemen keuangan.

*****

Freya akhirnya pulang bersama Bagas, hal itu cukup menjadi tontonan karyawan kantor karena Freya masuk ke dalam mobil sport hitam itu tepat di depan gedung kantor, jangan salahkan dirinya salahkan lah Bagas yang bersikap seenaknya. Freya harus siap-siap akan menjadi bahan gunjingan karyawati seisi kantor besok. Apalagi Bagas Barnabas adalah manager departemen keuangan yang sangat populer seisi kantor, tidak hanya wajah nya yang menawan pria itu juga memiliki attitude yang lembut, murah senyum dan idaman.

Freya merasa malu, lebih tepatnya khawatir. Bagas tersenyum saat Freya sudah berada di dalam mobil nya.

"Ingin aku pakaikan seatbelt nya?" tanya Bagas.

"Saya bisa sendiri" sahut Freya.

Freya langsung buru-buru memakai seatbelt nya. Bagas kemudian menjalankan mobil nya dengan kecepatan standar, untuk pertama kalinya Freya duduk di dalam mobil semewah ini, kursi nya sangat empuk dan nyaman, ia merasa kaku, maklum saja Freya bukan berasal dari kalangan atas.

"Kenapa hadiah yang aku berikan tidak di pakai?" tanya Bagas membuka suara.

Freya langsung menoleh ke arah Bagas saat pria itu menanyakan perihal hadiah pemberian nya.

"Saya tidak bisa memakainya, jadi lebih baik saya simpan saja." ucap Freya.

Mobil Bagas tiba di depan gang sempit, ia tidak melihat rumah kecuali di dalam gang, mobil nya tidak muat untuk masuk ke dalam sana. Melihat rupa wajah Freya, ia tidak percaya gadis itu tinggal di lingkungan yang tidak layak.

"Freya jadi kamu tinggal disini?"

"Bapak pasti terkejut, aku memang tinggal disini"

"Sebaiknya kamu pindah rumah, di dekat kantor banyak apartemen dan perumahan bagus, aku bisa membelikan nya untuk mu, gadis seperti mu tidak cocok tinggal di tempat seperti itu"

Freya tersenyum kecil, ia memang kurang mampu. "Terimakasih atas kebaikan Pak Bagas, tapi saya lebih baik tinggal di rumah jelek saya sendiri, daripada rumah mewah tapi pemberian orang lain"

Freya hanya berusaha mengangkat derajat nya sekarang. Bagas tersenyum, ia semakin menyukai Freya, terlebih karena sifat nya sekarang wanita itu sangat berbeda dengan wanita lainnya di luar sana.

"Terimakasih atas tumpangan."

Bagas mengangguk, Freya keluar dari mobil kemudian Bagas mulai menjalankan mobilnya meninggalkan kediaman Freya, wanita itu menghela nafas kasar dan mulai berjalan kaki memasuki gang kecil tersebut, Freya tinggal di sebuah perumahan yang kurang layak, karena biaya sewa per tahunnya cukup murah, Freya harus bisa berhemat karena ia berasal dari keluarga yang miskin.

Ia adalah seorang Yatim piatu yang merantau ke kota ini, Somi kuliah karena beasiswa dan lulus tepat waktu, yang membiayai sekolah nya hingga ke jenjang SMA adalah ibu nya seorang, ayahnya sudah lama meninggal. Hingga tahun lalu ibu nya juga meninggal karena sakit paru-paru, Freya hanya sebatang kara namun ia tetap bertekad hidup dengan baik.

Freya beruntung bertemu dengan Reza yang sangat baik padanya, alasan Freya tidak bisa meninggalkan Reza adalah karena ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain suaminya itu, walaupun harus hidup sulit.

Freya masuk ke dalam flat kecil nya, ia melihat ada sendal Reza disana, berarti pria itu ada di dalam. Benar saja saat Freya masuk ia melihat Reza duduk di Sofa sambil memainkan laptop nya, pria itu terlihat serius dengan pekerjaan kantornya.

"Mas Reza."

Freya tersenyum dan langsung menghampiri Reza lalu memeluk pria itu dari belakang dengan erat, hal itu membuat Reza terkejut dan menoleh, pria berkulit tan itu tersenyum dan menyentuh tangan Freya yang berada di leher nya.

"Sayang kamu sudah pulang?"

Freya mengangguk, ia turun dan beralih duduk di atas pangkuan Reza. Reza menyentuh rambut Freya dan mendaratkan kecupan di kening istrinya itu.

Reza fokus kepada Freya dan menyentuh tangan gadis itu di pipi nya dan mengecup nya pelan.

"Karena sifat manja mu ini aku jadi makin cinta sama kamu."

Reza tersenyum lalu mendaratkan ciuman di bibir Freya, kemudian Freya memejamkan matanya membalas ciuman itu dan mengalungkan tangan nya melingkar di leher Reza. Bibir tebal dan lembut itu menyesap bibir Freya secara bergantian, dan Freya sangat larut dalam ciuman tersebut, Reza adalah segalanya bagi Freya, pria itu adalah tempat nya bersandar dan berkeluh kesah selama ini, Freya tidak akan berpaling dari Reza pria yang paling di cintai nya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!