NovelToon NovelToon

Twins But Different

Kelahiran si kembar

Disebuah kota di pinggiran Eropa, hiduplah sepasang suami istri yang hidup dalam kekayaan dan serba berkecukupan. Pasangan itu bernama Alice dan Win, yang usianya masih cukup muda.

Meskipun adalah keluarga yang kaya, namun karna tinggal dipinggiran Eropa, membuat keduanya hidup dalam keterbatasan akan pengetahuan dan kemajuan teknologi. Oleh karna itu juga, keduanya dikelilingi dengan berbagai mitos dan kepercayaan yang masih sangat kental, yang tak bisa dijelaskan nalar.

Alice, sang istri, kini tengah mengandung anak mereka yang diperkirakan akan lahir dalam waktu dekat, karna perut wanita itu terlihat semakin membesar.

"Alice, kenapa perutmu terlihat lebih besar dibandingkan dengan ukuran perut wanita hamil pada umumnya?" tanya Wim, terlihat penasaran.

"Entahlah. Tapi menurut dugaanku dan para wanita lain, kemungkinan anak yang ada di dalam kandunganku, adalah anak kembar"

"Anak kembar? Maksudmu sekarang kamu sedang mengandung dua orang orang bayi sekaligus?"

"Iya, sayang. Itu artinya, kemungkinan kita akan langsung memiliki dua orang anak dan bukan hanya satu. Bagaimana, apa kamu bahagia mendengar kabar ini?"

"Tentu saja aku bahagia! Aku berjanji akan bekerja lebih giat lagi untuk menghidupimu dan juga anak-anak kita"

"Terima kasih, sayang. Aku sangat mencintai dirimu, dan merasa berutung bisa memilikimu disisiku" ucap Alice, sambil membelai lembut wajah sang suami.

Pasangan suami istri itu pun mulai larut dalam kemesraan, hingga berlanjut dengan rintihan-rintihan kenikmatan yang berasal dari dalam mulut Alice.

Namun mengingat sang istri yang masih dalam keadaan hamil besar, Wim harus bisa menahan keinginannya untuk berakhir di atas ranjang. Karna meskipun hal itu tak dilarang, tapi dengan kondisi perut Alice yang dua kali lebih besar ukurannya, membuat hal itu menjadi sulit untuk dilakukan.

"Hah, hah, hah. Apakah kamu bisa berhenti sekarang Wim, aku merasa sangat kesulitan untuk bernafas"

"Tentu sayang. Maafkan aku karna sudah membuatmu harus berada dalam posisi yang sulit, aku janji akan lebih menahan diri lagi" jawab Wim, menghentikan aktifitasnya.

"Tapi apa kamu sudah memberitahu wanita yang ahli dalam membantu persalinan untuk bersiap membantu diriku dalam waktu dekat ini? Mintalah padanya untuk tidak menerima permintaan dari orang lain dalam seminggu ini, dan hanya fokus menanti waktuku"

"Aku sudah melakukannya Alice. Aku bahkan sudah membayar penuh wanita itu dengan bayaran dua kali lipat dari yang biasa di dapatkan olehnya"

"Kalau begitu, tampaknya semua hal telah selesai dipersiapkan. Kita hanya tinggal menunggu mereka berdua hadir saja"

"Rasanya aku sudah tidak sabar lagi untuk melihat wajah kedua anak kita Alice, apakah kamu tidak tahu pastinya kapan mereka akan segera lahir?"

"Aku tidak tahu, Wim. Mungkin saja bisa saat ini juga, karna aku mulai merasakan sakit di perutku" jawab Alice, sambil memengangi perutnya dengan ekspresi menahan sakit.

"Alice, kamu tidak sedang bercanda kan? Aku akan segera menyuruh orang untuk pergi memanggil wanita itu untuk membantumu melahirkan, tunggu sebentar yah"

"Cepatlah Wim, aku sudah tidak tahan lagi. Rasanya sangat sakit sekali"

Wim pun berlari ke arah belakang rumahnya sambil berteriak memanggil-manggil nama para pekerja yang sedang beristirahat setelah selesai bekerja.

Tak butuh waktu lama, pekerja yang diberi tugas oleh Wim, segera kembali bersama dengan seorang wanita tua paruh baya yang penampilannya terlihat sangat tenang, dan penuh wibawa.

Wanita itu pun dengan cepat memberikan arahan-arahan pada Alice untuk melancarkan proses melahirkannya. Dari gerak-geriknya, wanita itu terlihat sangat berpengalaman dalam menangani wanita melahirkan.

Disaat Alice tengah merintih kesakitan dan berusaha sekuat tenaga melahirkan anaknya, Wim berada di luar ruangan menunggu sang istri dengan perasaan cemas.

"Bayi perempuan" teriak wanita tua, setelah berhasil menggendong seorang bayi perempuan yang tampak sangat cantik di kedua tangannya.

"Ta, tapi kenapa perutku masih terasa sakit seolah masih ada yang ingin keluar?"

"Astaga! Ternyata benar dugaan kita selama ini Alice, kamu mengandung dua orang anak kembar. Tunggulah sebentar, aku akan segera membantumu mengeluarkannya"

"Cepatlah, aku sudah tidak tahan lagi dengan rasa sakit ini" mohon Alice disela-sela rintihannya.

Wanita itu pun dengan cepat membaringkan bayi dalam pelukannya yang masih penuh berlumar darah, pada sebuah ranjang kecil disamping tempat Alice berbaring.

Namun dibandingkan dengan sang kakak, bayi terakhir itu seolah tak ingin keluar dan bertahan sekuat tenaga dalam rahim ibunya, membuat Alice menjadi semakin kewalahan dibuatnya.

Alice yang semakin lemas, secara perlahan mulai kehilangan kesadarannya, meskipun namanya diteriakkan berulang kali ia tetap menutup kedua matanya. Untungnya, sesaat sebeluk kehilangan kesadarannya Alice berhasi melahirkan putri kedunya.

"Bagaimana, apakah anak-anakku sudah berhasil kamu bantu keluarkan dari rahim Alice?" tanya Wim, sambil berjalan masuk ke dalam kamar.

"Sudah tuan Wim. Tapi ada suatu kabar buruk yang harus tuan ketahui tentang salah satu anak tuan"

"Apa itu?"

"Lihatlah anak ini tuan, ia adalah anak terakhir yang dilahirkan oleh Alice sebelum pingsan"

Bayi itu adalah bayi kecil yang baru dilahirkan pada umumnya, namun tampilan tubuhnya agak sedikit berbeda. Kulit bayi itu berwarna seputih salju, hingga hampir tak ada warna kemerahannya sama sekali.

Selain itu, matanya yang berbulu mata lentik juga memilik warna senada dengan warna kulitnya, jauh berbeda dengan tampilan fisik bayi lain yang lahir lebih dulu darinya.

Wim menatap bayi itu dengan sedih, firasat buruk pun segera menghampiri dirinya. Entah apa yang harus dilakukannya sekarang, dan akan sehancur apa perasaan Alice saat melihat bayinya itu.

"Katakan pendapatmu tentang tampilan anakku Mirelda. Kamu pastinya lebih tahu apa arti dari semua itu"

"Maafkan aku tuan, tapi menurut apa yang telah ku pelajari selama ini, arti dari tampilan anak tuan saat ini, adalah sebuah bentuk kutukan dari seseorang yang ditujukan untuk tuan dan juga Alice" jawab wanita tua, yang ternyata bernama Mirelda.

"Kutukan? Kutukan apa maksudmu?"

"Kutukan Vampire tuan. Aku curiga, Alice tanpa sengaja sudah meminum air yang telah dibubui dengan kutukan itu, selama dirinya sedang mengandung. Sebab itu kutukan tersebut mengenai anak tuan"

"Tapi kenapa hanya salah seorang anakku saja yang terkena kutukan, sedang yang lain terlihat sangat sempurna seperti bayi pada umumnya?"

"Aku rasa, karna orang yang memberikan kutukan mengira kalau Alice hanya sedang mengandung seorang anak saja. Itulah yang membuatnya hanya menyiapkan minuman dengan kutukan untuk satu anak saja"

"Yang benar saja! Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang Mirelda, aku tidak mungkin bisa membuangnya begitu saja!"

"Masih ada dua cara lagi untuk membuktikan apakah benar anak ini telah terkena kutukan vampire atau tidak tuan"

"Apa itu? Aku pasti dengan senang hati akan melakukannya!" jawan Wim antusias.

"Membiarkan anak ini terkena sinar matahari, dan jika kulitnya seperti terbakar, maka apa yang kita curigai adalah benar. Selain itu, kita bisa menunggu hingga giginya tumbuh dan melihat apakah bentuknya sama seperti gigi milik vampire"

"Baiklah Mirelda, aku akan melakukan apa yang kamu katakan barusan supaya lebih memastikan lagi identitas anak ini".

"Aku pasti akan membantu tuan dengan senang hati" ucap Mirelda menunduk hormat ke arah Wim.

*****

Punggung Alice jatuh lemas setelah melihat wujud sang putri keduanya, ia tidak pernah membayangkan kalau dirinya akan terkena kutukan Vampir yang bertahun-tahun telah hilang dari tempat mereka.

"Wim, kenapa ini terjadi pada anak kita? Apa yang harus aku lakukan sekarang, apa aku harus rela membuangnya menjadi santapan hewan buas di hutan?"

"Alice tenanglah, kita tidak akan melakukan hal kejam itu pada anak kita"

"Tapi sekarang anak kita adalah perwujudan seorang vampire Wim. Dan jika orang lain sampai mengetahui hal ini, kita semua akan diusir pergi dari tempat ini"

"Kita akan berusaha menyembunyikannya, Alice. Lagipula belum tentu putri kita adalah seorang vampire, kita harus membuktikanya jauh lebih lanjut lagi"

Mirelda yang sedari tadi telah bersiap diposisi yang dekat dengan jendela, dengan cepat menyibakkan kain yang menutup disana. Ia sengaja membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam, dan mengenai langsung kulit sang bayi.

Pada menit-menit pertama, keadaan sang bayi masih tampak baik-baik saja, namun setelah hampir 5 menit terkena cahaya matahari, sanga anak mulai menunjukan responnya.

Seolah merasakan sakit yang teramat sangat, sang bayi mulai menangis keras dan bergerak perlahan dengan gelisah. Wim yang melihat hal itu, segera mengisyaratkan pada Mirelda untuk menutup kembali jendelanya.

"Tidak, aku mohon tidak. Kamu harus bisa baik-baik saja nak, supaya kamu bisa tetap hidup bersama dengan bunda, ayah dan juga kakakmu" pinta Alice mulai terisak.

Namun takdir berkata lain, kulit anaknya yang terkena cahaya matahari barusan, langsung berubah merah dan mengeluarkan asap seolah sedang dibakar tubuhnya.

Seketika itu juga hilang lah semua harapan Alice untuk bisa hidup bahagia. Karna tidak mungkin ia bisa menjalani kehidupannya dengan baik jika ia dengan sadar harus mau membuang putrinya sendiri.

"Alice"

"Tidak Wim, aku tidak akan memberikan anak ini padamu untuk dibuang begitu saja! Aku akan tetap hidup dan merawatnya dengan baik, sebagai bukti bahwa dia sama seperti anak lain pada umumnya"

"Aku tahu kamu bisa melakukan semua itu, tapi kita tidak akan memutuskannya nasibnya saat ini juga, karna masih ada satu hal lagi yang harus kita pastikan"

"Berarti kita harus menunggu selama satu tahun lagi, sampai hari itu tiba?"

"Betul Alice. Tapi aku ingin kamu berjanji, jika terbukti dalam tubuh anak ini terdapat kutukan yang kita duga, kamu harus mau menyerahkannya untuk dibuang dan menjadi santapan para hewan buas"

"Ba_baiklah"

"Alice jangan gugup seperti itu jawabanmu. Apa kamu lebih memilih untuk melihat kalian sekeluarga diusir oleh warga dari tempat ini, dari pada mengorbankan satu nyawa untuk kebahagiaan semua orang?"

"Aku bingung Mirelda. Keduanya adalah sama-sama anakku, aku tidak mungkin tega melakukan hal kejam seperti itu!

Dengan berlinang air mata, Alice membawa anak dalam dekapannya pergi dari ruanga itu meninggalkan sosok Wim berdua dengan Mirelda. Keduanya pun hanya bisa terdiam membisu membiarkan Alice melakukan apa yang ingin dilakukannya.

"Sekarang bagaimana tuan? Tuan pasti tahu apa akibatnya jika membiarkan anak itu tetap hidup, itu hanya akan membawa bencana bagi kita semua"

"Kamu tenang saja, aku sendiri lah yang akan membujuk Alice. Tapi tunggu hingga anak itu sudah memiliki giginya, barulah kita kembali memutuskan apa yang harus dilakukan dengannya"

"Baik tuan" jawan Mirelda patuh.

Bersambung...

Alina

Alice berjalan dengan langkah tergesa-gesa, menuju ke ruangan yang menjadi kamar bayi yang oleh Wim, diberi nama Alina, dengan perasaan terbakar amarah.

Sedang bayi Alina yang masih tetap berada dalam gendongan Alice, terus saja menangis kesakitan tanpa henti.

Kulitnya yang mulus dan seputih salju, kini sudah tak mulus lagi karna tergantikan dengan sebuah luka yang mulai mengelupas, berwarna merah dan terlihat sangat sakit.

"Maafkan ibumu ini, Alina. Seharusnya sedari awal ibu tidak menyetujui rencana ayah dan Mirelda untuk membiarkan cahaya matahari mengenai tubuhmu, dan akhirnya membuat dirimu merasakan sakit yang teramat sangat. Ibu sungguh menyesali keputusan bodoh yang telah ibu ambil, Alina"

Dengan perasaan sedih dan wajah penuh berlinang air mata, Alice memeluk tubuh Alina kecil dengan erat. Seolah tak ingin seorang pun memisahkan mereka berdua.

"Kamu tenang saja, ibu tidak akan lagi membiarkan orang-orang itu melakukan hal jahat padamu. Apa pun yang terjadi, kamu harus tetap berada disamping ibu bersama dengan kakakmu"

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan membuat fokus Alice teralihka dari Alina. Perasaan waspada pun menghampiri dirinya, karna mengira yang datang adalah Wim atau malah Mirelda.

Namun ternyata hanyalah seorang pelayan yang masuk. Pelayan itu terlihat membawa beberapa botol yang berisikan obat-obatan herbal ditangannya.

Memang sebelum Alice membawa Alina ke kamar, ia sempat memerintahkan pelayan tersebut untuk membawakan obat yang bisa dipakai untuk menyembuhkan luka di tibuh Alina.

"Apa yang kamu lakukan disitu, dan kenapa tidak secepatnya kemari?" tanya Alice saat melihat pelayan itu masih berdiri diam di depan pintu masuk, dengan ekspresi yan sulit untuk dijelaskan.

"Ba_baik nyonya"

"Cepat obati luka bayiku dengan obat-obatan yang telah kamu bawa"

Mendengar perintah Alice, pelayan itu pun segera mengulurkan tangannya ke arah luka Alina untuk diobati. Namun tanpa sadar, tangan pelayan itu bergetar hebat dan malah membuat Alice tersinggung.

"Kenapa tanganmu terlihat gemetaran seperti itu? Apa kamu takut, ataukah kamu tidak sudi untuk menyentuh tubuh putriku?"

"Ti_tidak nyonya. Maafkan aku nyonya, kali ini akan aku lakukan dengan benar"

"Awas saja kalau kamu masih bertingkah sama seperti yang sebelumnya, aku akan mambuatmu dihukum seberat-beratnya. Aku juga akan memecat dan mengusirnu tanpa bayaran sepeser pun atas semua hasil kerjamu bulan ini!" ancam Alice kejam.

"Baik nyonya"

Pelayan itu pun kembali mengulurkan tangannya untuk mengobati luka Alina. Dan untungnya kali ini semuanya nampak berjalan sesuai dengan janji sang pelayan.

Alina pun tak lagi menangis atau bergerak, sehingga lukanya lebih leluasa diobati. Tapi saat pelayan itu akan menyentuh luka Alina untuk terakhir kalinya, bayi itu malah bergerak dan membuatnya terkejut.

Tanpa sengaja karna saking terkejutnya, pelayan malang itu malah menyentuh luka Alina dengan kukunya yang cukup panjang, dan malah membuat Alina menangis keras karna merasa sakit pada lukanya.

"Apa yang kamu lakukan pada bayiku! Apa kamu dengan sengaja ingin memperparah luka Alina?"

"Tidak nyonya, aku melakukannya tanpa sengaja karna terkejut melihat nona Alina bergerak secara tiba-tiba"

"Jangan bohong kamu! Apa kamu pikir aku bodoh, dan malah mempercayai kata-katamu yang menyalahkan bayi kecil tak berdosa ini?"

"Aku tidak berbohong nyonya. Itu semua asli aku lakukan tanpa sengaja, dan tanpa adanya niat apa pun"

"Aku tidak percaya. Atau jangan-jangan, kamu adalah salah seorang kaki tangan suruhan Mirelda, yang ditugaskan untuk mencelakai Alina? Kurang ajar, aku akan memberikan hukuman yang berat padamu!"

"Ampun nyonya, aku mohon jangan jangan hukum aku. Aku benar-benar melakukan semua itu tanpa sengaja"

Plak... Plak..

Dua buah tamparan sekaligus Alice berikan ke atas pipi pelayan tersebut tanpa ampun.

Lebih sadisnya lagi, ia menyeret tubuh wanita itu keluar dari kamar dengan cara menarik rambut panjang sang pelayan.

Alice bahkan membiarkan Alina menangis seorang diri, demi bisa memberikan hukuman yang kejam pada orang yang dianggapnya telah melakukan kesalahan fatal.

"Ada apa ini Alice?" tanya Wim terkejut.

Pria itu bersama dengan Mirelda baru saja akan membuka pintu kamar Alana, sang bayi yang lahir duluan sebelum Alina, saat mereka melihat Alice menyeret sang pelayan.

"Kamu bertanya ada apa? Harusnya aku yang bertanya padamu seperti itu! Ada apa dengan dirimu, sampai bisa-bisanya kamu malah membiarkan wanita tua jahat disampingmu itu, mengirim wanita ini untuk melukai Alina!"

"O_orang suruhan? Orang suruhan Mirelda? Apa yang kamu maksudkan dengan semua itu Alice, Mirelda tidak mungkin melakukan hal rendahan seperti yang kamu katakan barusan"

"Benarkah? Lalu mengapa wanita ini melukai Alina, kalau bukan Mirelda yang menyuruh dirinya! Aku dan kamu juga tahu kalau dialah yang paling ingin melenyapkan Alina dari muka bumi ini!"

"Aku sungguh tidak mengirim wanita ini untuk melukai nona Alina, Alice. Percayalah padaku, kamu juga bisa memastikannya langsung kepada pelayan itu"

"Yang dikatakan Mirelda benar, nyonya. Aku bukanlah orang suruhannya, dan yang aku lakukan barusan, semuanya murni tanpa di sengaja"

"Benarkan apa yang aku bilang?"

"Diam! Aku tidak akan semudah itu percaya, karna bisa saja kamu sudah mengajari hal itu terlebih dulu padanya. Aku tidak akan bisa dibodohi oleh permainan kalian berdua"

"Hentikan Alice! Aku rasa perbuatanmu saat ini, sudah sangat keterlaluan!"

"Apanya yang keterlaluan dari rasa ingin melindungi anakku sendiri, Wim?"

"Lepaskan tanganmu dari rambutnya, atau aku yang akan membantumu melepaskannya dengan kekuatanku"

Mendapat ancaman keras dari sang suami, Alice dengan terpaksa harus melepaskan genggaman tangannya dari rambut pelayan tersebut.

Setelah merasa dirinya telah terbebaskan, wanita itu pun tanpa pikir panjang lagi langsung berlari dan menjauh secepat yang ia bisa dari jangkauan Alice.

"Aku sudah melepaskan wanita itu sesuai dengan perintahmu, sekarang giliran dirimu yang harus menuruti apa yang aku inginkan!"

"Apa yang kamu inginkan?"

"Aku ingin kamu mengusir wanita itu dari rumahku sekarang juga, dan mengeluarkan larangan supaya dirinya tidak bisa lagi menginjakkan kakinya disini!" pinta Alice sambil menunjuk langsung ke arah Mirelda.

"Untuk yang satu itu, aku minta maaf karna aku tidak bisa mengabulkannya, Alice"

"Kenapa?"

"Karna aku masih membutuhkan bantuan dari Mirelda untuk membantuku menyelesaikan masalah Alina"

"Apanya yang harus diselesaikan Wim? Alina baik-baik saja, kamu tidak perlu melakukan sesuatu lagi padanya"

"Kita akan bicara berdua setelah aku selesai mengantar Mirelda pulang. Ayo Mirelda, aku akan mengantarmu sampai ke depan saja, dan nanti pekerjaku yang akan melanjutkan mengantarmu hingga ke rumahmu"

"Baik tuan Wim"

Alice menata punggung kedua orang yang menjauh dari hadapannya dengan perasaan benci yang tak terbendung.

Setelah itu, ia memilih untuk masuk kembali ke dalam kamar Alina karna suara tangisan bayi itu masih saja terdengar.

*****

Sebuah barang pecah belah terbang diudara menyambut kedatangan Wim, dan hampir saja mengenai kepala pria itu.

Wim menjadi sangat kaget, karna dirinya baru saja akan melangkah masuk ke dalam ruangan yang menjadi kamarnya bersama dengan Alice.

"Apa-apaan ini Alice?"

"Itu karna sudah merencanakan hal yang membuat anakku terluka! Lalu yang satu ini karna sudah menolak untuk menuruti apa yang aku inginkan!" ucap Alice, kembali melempar benda lainnya ke arah Wim.

Berbeda dengan yang pertama, kali ini Wim terlihat sudah siap menghadapi lemparan Alice. Dengan mudahnya ia bisa menangkap benda itu hanya dengan sebelah tangannya.

"Hentikan Alice, jangan bertingkah seperti ini. Aku tidak suka dan sangat membencinya!"

"Kalau aku tidak mau, apa yang akan kamu lakukan padaku? Harusnya aku melempar barang itu tepat mengenai kepalamu dan juga kepala Mirelda tadi"

"Bukannya kamu juga sudah mengetahui apa yang akan terjadi pada bayi itu, jika dirinya terkena cahaya matahari?"

"Aku tahu, tapi tidak tahu jika lukanya akan separah ini. Dia masih sangat kecil Wim, dan juga tak berdosa, kenapa kita harus tega memperlakukannya seperti itu?"

"Itu semua kita lakukan untuk memastikan ala dirinya adalah seorang vampire atah bukan, Alice. Tolong mengerti lah"

"Lalu kenapa kalau dia benar vampire? Apa dirimu tidak mau menerimanya sebagai anak jika dia adalah Vampire?" tanya Alice terlihat sangat tidak senang.

"Kalau dia hanya cacat biasa dan tidak dalam keadaan berbahaya bagi orang lain yang ada disekitarnya, aku pasti akan menerimanya. Karna biar bagaimana pun dia adalah darah dagingku sendiri. Tapi lain ceritanya kalau dia adalah seorang vampire, dia berbahaya!"

"Dia tidak akan menjadi berbahaya seperti vampire lainnya, jika kita membesarkannya seperti anak-anak pada umumnya Wim. Kamu mau kan melakukannya?"

"Aku tidak ingin mengambil resiko Alice. Mungkin sekarang dia tidak berbahaya karna masih kecil, tapi seiring waktu dia juga akan bertumbuh menjadi anak yang memiliki insting seperti vampire lainnya. Aku tidak bisa membiarkannya melukai dirimu dan juga kembarannya"

"Aku, aku yang akan memastikannya sendiri kalau Alina tidak akan pernah melakukan hal seperti yang kamu khawatirkan"

"Kamu tidak akan bisa mengontrol dirinya, Alice. Karna meskipun wujudnya manusia tapi instingnya sama seperti binatang yang selalu haus akan darah!"

Seolah tak ingin menyerah begitu saja, Alice maju dan mulai merayu Wim dengan tubuh seksinya, membuat Wim hampir kehilangan kendalinya.

Namun dengan cepat, ia tepis tangan Alice yang kini telah berada di area sensitif pria itu. Kemudian Wim berjalan menjauh dan duduk di kursi kerjanya.

"Kenapa? Apa sekarang kamu bahkan tidak ingin menyentuh diriku hanya karna aku melahirkan seorang anak yang dirimu anggap sebagai vampire?"

"Jangan salah paham Alice, aku masih sangat menginginkan dirimu sama seperti pertama kali aku melihatmu. Tapi bukan berarti kamu bisa melakukan hal itu untuk meraih apa yang menjadi keinginanmu"

"Kenapa kamu keras kepala seperti ini Wim. Turuti saja keinginanku, dan semuanya akan berakhir dengan baik"

"Tidak bisa Alice"

Melihat tidak ada yang bisa dilakukannya lagi, Alice pun menjatuhkan dirinya ke lantai dan berlutut dihadapan Wim dengan kedua tangan terkatup di dadanya.

"Wim, aku mohon padamu. Jangan ambil dia dariku, aku tidak akan bisa hidup tanpanya" mohon Alice, terlihat seperti orang yang sudah hampir putus asa.

"Keputusanku sudah bulat dan tidak akan pernah bisa dirubah. Waktumu dengannya hanya sampai dirinya telah memiliki gigi, dan jika giginya itu adalah gigi yang sama seperti vampire, maka aku akan membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri"

Setelah berkata seperti itu, Wim pun berbalik dan berjalan keluar dari kamar meninggalkan Alice yang mulai menangis pilu seorang diri, sambil berteriak-teriak tanpa henti.

Bersambung...

Rencana kabur

Hari berganti hari, bulan pun berganti bulan, dan hari dimana akan menjadi penentu bagi bayi kecil Alina pun tiba. Hari dimana bayi itu memiliki gigi pertamanya, menjadi hari yang menyakitkan bagi Alice.

Seperti dugaan Mirelda, gigi pertama Alina yang tumbuh adalah gigi taringnya. Berbeda dengan milik Alana yang tumbuh sesuai dengan pertumbuhan bayi manusia pada umumnya.

Sejak hari itu, Alice tak pernah mau keluar dari dalam kamar Alina, ia bahkan dengan teganya mengabaikan Alana yang juga masih membutuhkan asupan asi darinya.

Itu semua dilakukan Alice untuk memastikan tidak ada seorang pun yang bisa masuk dan melakukan hal buruk pada Alina. Bahkan untuk keluar makan saja, Alice enggan pergi.

Karna hal itu, tubuh Alice yang awalnya sangat bagus dan mempesona, perlahan mulai terlihat semakin dan tak terawat. Tak hanya itu, wajahnya yang dulunya cantik dan putih bersih, kini semakin tirus dengan warna kulit yang pucat.

Tok...Tok... Tok..

Terdengar ketukan di pintu kamar Alina, membuat Alice yang sedang dalam posisi berbaring disamping bayinya, segera duduk tegap dengan posisi siaga memeluk Alina.

"Siapa?!" tanya Alice dengan suaranya yang terdengar sangat parau.

"Ini aku suamimu, Alice. Apa tidak bisa kamu membiarkan aku masuk ke dalam, atau kamu saja yang keluar dari sana"

"Harus berapa kali aku katakan padamu Wim, aku tidak akan pernah meninggalkan kamar putriku dan membiarkan kalian membawanya pergi dari pelukanku!"

"Lalu sampai kapan kamu akan terus seperti ini, melindungi anak yang kamu tahu pasti keberadaannya berbahaya untuk dirimu dan juga orang sekitar?"

"Aku akan terus melindunginya hingga aku mati, jadi jika kalian berniat mengambilnya dariku, maka lakukan saat aku sudah menjadi mayat!" tegas Alice bersikeras.

Wim yang mendengar jawaban Alice, hanya bisa menghela nafas frustrasi. Pria itu tak bisa lagi memikirkan cara untuk membujuk istrinya supaya mau menyerahkan Alina.

Alice yang lemah lembut dan selalu patuh kepada Wim, kini telah berubah menjadi pribadi yang keras dan tak bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Wim.

"Baiklah jika kamu tidak ingin memberikan Alina kepadaku dan Mirelda, tapi setidaknya kamu harus keluar dan memberikan asimu kepada Alana, dia juga membutuhkannya"

"Meskipun aku tidak mengurus dan merawat Alana, kamu dan para pelayanmu pasti akan dengan senang hati melakukannya. Sedang Alina, kalau bukan aku maka tidak akan ada yang mau melakukan semua itu untuknya. Itulah mengapa aku memilih mengabaikan Alana dan berada di dalam sini bersama Alina!" jelas Alice panjang lebar.

"Kami memang mengurusnya, tapi semua itu tidak sama dengan kamu yanv mengurusnya sendiri. Berat badannya semakin turun, dan di menjadi semakin rewel sepanjang hari. Apa kamu tidak merasa kasihan padanya? Dia juga anakmu, Alice!"

"Pergilah Wim. Apa pun yang kamu katakan, dan mau seberapa lama kamu membujuk diriku untik keluar dari sini, jawabanku akan tetap sama"

"Baiklah jika itu maumu. Tapi jika sampai ada sesuatu yang buruk menimpa Alana, maka semua itu adalah salahmu!" marah Wim, kemudian berlalu pergi dari sana.

Setelah kepergian Wim, suasana kembali menjadi tenang dan sangat sunyi. Di dalam kamar, Alice terlihat sedang memikirkan apa yang dikatakan oleh suaminya barusan.

Ada perasaan takut jika semua itu menjadi kenyataan, dan Alana harus mengalami hal buruk karna dirinya dan juga Alina. Sama seperti Alina, Alice juga tidak bisa kehilangan Alana begitu saja setelah penantian lamanya, dan juga perjuangannya untuk melahirkan mereka.

Dengan perlahan, Alice membaringkan Alina kembali ke atas tempat tidur, kemudian ia memutuskan untuk turun dan berjalan ke arah pintu. Setelah membukanya dan yakin bahwa tidak ada seorang pun disana, ia berjalan menuju ke kamar Alana.

"Alana, anak ibu yang cantik, ibu sangat rindu padamu nak. Maafkan ibu karna tidak pernah datang melihatmu, tapi itu karna adikmu lebih membutuhkan ibu dari pada dirimu" ucap Alice sedih, ketika dirinya telah berada dekat dengan tempat tidur bayi Alana.

Dengan penuh kasih sayang, Alice meraih tubuh Alana ke dalam pelukannya dan mulai memberikannya Asi.

Bayi malang itu yang telah lama tak lagi merasakan nikmatnya asi sang ibu, menjadi sangat gembira saat kembali merasakannya lagi. Dengan semangat mulut kecil itu mulai meminum asi tersebut hingga kenyang.

Setelah Alana kembali tertidur, Alice kembali membaringkannya di tempat tidur dan segera menyelimuti tubuh mungil itu.

"Selamat tidur sayang, ibu janji akan datamg mengunjungimu lagi besok. Sekarang ibu harus kambali ke kamar adikmu"

Dengan perasaan bahagian dan hati penuh kehangatan, Alice berjalan kembali ke kamar Alina. Tapi betapa terkejut dirinya saat mendapati pintu kamar bayinya telah terbuka lebar, seperti ada seseorang di dalam sana.

Tak lagi berjalan, Alice memilih untuk berlari untuk segera masuk kesana. Di dalam kamar, Alice menemukan pemandangan yang hampir membuat jantungnya berhenti berdetak.

Alina kini berada diantara kedua lutut Mirelda, dan di genggaman tangan wanita tua itu terdapat sebuah pedang panjang yang sangat berkilau. Pedang itu sedang diangkat dan diarahkan untuk jatuh tepat diatas jantung Alina berada.

"Hentikan! Apa yang sedang kamu lakukan pada Alina, Mirelda? Aku bilang hentikan sekarang juga!" teriak Alice menggila.

"Alice, ini lah satu-satunya jalan terbaik untuk hidup semua orang. Aku mohon padamu untuk tidak lagi melindungi Alina, dan kamu merelakannya pergi dari dunia ini"

"Tidak! Tidak Wim, aku tidak akan pernah merelakan hidup Alina harus berakhir seperti ini. Kalau kalian berani melukainya sedikit saja, maka aku juga akan mati bersamanya!" ancam Alice.

"Aku yakim Alice tidak akan berani melakukan apa yang baru saja dikatakannya tuan, jadi anda tidak perlu khawatir dan membiarkanku untuk melanjutkan rencana kita" bujuk Mirelda, yang masih menanti keputusan dari tuannya.

"Lanjutkan Mirelda"

"Tidak, aku mohon jangan Wim! Aku akan melakukan apa saja, asal kamu membiarkan Alina tetap hidup"

Meskipun Alice telah berulang kali memohon hingga harus berlutut memeluk kedua kaki Wim, namun pria itu tak bergeming sedikit pun dan tetap pada keputusannya.

Alice yang putus asa, tanpa sengaja melihat sebuah belati yang berada diujung ruangan. Dengan cepat ia bangkit meraih belati itu, lalu mengarahkannya ke lehernya sendiri.

"Hentikan! Atau aku akan bunuh diri dengan belati ini sekarang juga!" ancam Alice kembali bertepatan dengan pedang ditangan Mirelda hampir mengenai dada Alina.

"A_Alice, kamu tidak serius akan melakukan hal berbahaya seperti itu kan? Aku mohon tolong letakkan kembali belati itu"

"Tidak akan aku letakkan sampai kamu menyuruh wanita tua itu turun dari tempat tidur Alina, dan pergi dari rumah ini!"

"Coba saja kamu melakukannya kalau berani, karna aku yakin itu semua hanyalah ancaman belaka saja"

Merasa tertantang dan diremehkan dengan perkataan Mirelda, Alice yang telah menjadi gelap mata pun menusukkan belati itu ke lehernya hingga darah berwarna merah segar mulai mengalir keluar.

Sontak saja tindakan berani Alice tersebut langsung membuat Wim dan juga Mirelda menatapnya dengan pandangat terkejut. Bahkan Mirelda merasa bersalah atas semua yang baru saja ia ucapkan.

"Alice hentikan! Lehermu terluka dan keluar banyak darah dari sana, apa kamu benaran ingin mengakhiri hidupmu?"

"Iya, aku ingin mengakhirinya kalau kamu tetap ingin mengakhiri hidup anak kita. Jadi sekarang kamu tinggal pilih, kehilangan aku atau tetap pada keputusanmu!"

"Tuan, aku rasa____"

"Diamlah Mirelda!" perintah Wim, membuat ucapan Mirelda terhenti.

Mirelda terlihat terkejut mendengar ucapan Wim, wanita tua itu pun tak berani untuk berkata apa-apa lagi. Dalam hati Alice mulai berani berharap Wim membatalkan rencana mereka.

"Bawa pedang itu bersamamu dan keluar daei kamar ini sekarang juga. Dan seterusnya, kamu tidak perlu menginjakkan kakimu di rumah ini lagi" putus Wim pada akhirnya.

"Apa tuan sudah yakin dengan keputusan yang baru saja tuan ucapkan? Tuan tentunya menyadari resiko apa yang akan tuan dapat setelaj membiarkanku keluar dari rumah ini, tanpa membunuh bayi itu terlebih dulu"

"Aku sangat tahu, Mirelda. Tapi ini adalah keputusanku, dan aku harap kamu berbesar hati untuk menerimanya"

"Aku akan menuruti keinginan tuan dan keluar dari kamar ini. Tapi untuk yang terakhir, aku tidak yakin akan bisa melakukannya. Bahkan mungkin nanti aku akan datang bersama dengan para warga lain, ke rumah ini"

"Aku mengerti Mirelda. Aku juga minta maaf karna telah berani membuat dirimu kecewa dan juga marah"

"Baiklah tuan, kalau begitu aku permisi" pamit Mirelda, segera berlalu pergi dari sana.

Setelah memastikan Mirelda telah pergi jauh, Wim baru berani mendekati Alice dan juga membantu wanita itu mengobati lukanya.

"Terima kasih Wim. Terima kasih banyak karna sudah mau mendengarkan apa yang menjadi keinginanku"

"Sama-sama. Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu Alice, kita tidak bisa lagi tinggal di rumah ini dan di kota ini"

"Kenapa?"

"Apa kamu pikir Mirelda dan para warga lain akan membiarkan Alina tetap hidup sesuai dengan keinginanmu? Mereka pasti akan segera datang untuk memusnahkan Alina, dan bahkan bersama dengan kita semua"

"La_lalu apa yang harus kita lakukan sekarang Wim? Kamu tidak akan membiarkan hal itu terjadi bukan?" tanya Alice cemas.

"Tentu saja tidak. Jalan satu-satunya adalah pergi dan bersembunyi sejauh mungkin dari tempat ini, selama yang bisa kita lakukan. Apa kamu tidak masalah?"

"Maksudmu kita juga akan meninggalkan semua harta yang telah kamu kumpulkan selama ini?"

"Apa kamu khawatir jika aku akan menyesal karna kehilangan semua ini?" tanya Wim, seolah bisa membaca isi pikiran Alice.

"Biar bagaimana pun juga, ini adalah hasil kerja kerasmu selama bertahun-tahun, aku tidak mungkin tega melihatmu kehilangan semuanya. Bagaimana kalau kamu tetap di rumah ini bersama dengan Alana, biar aku dan Alina yang pergi sendiri?"

"Tidak Alice, tidak. Apa pun yang terjadi, kita harus selalu bersama. Aku, kamu, Alana, dan juga Alina. Aku juga ingin minta maaf karna sudah berniat melakukan hal buruk pada anak kita, kamu mau kan memaafkanku?"

"Iya, aku mau Wim. Jadi kapan kita akan pergi dari sini, aku takut mereka akan segera datang"

Tiba-tiba diluar kamar terdengar langkah kaki beberapa orang yang sedang menuju ke arah kamar Alina, membuat tubuh Alice seketika menjadi tegang, karna mengira itu adalah Mirelda dan para warga.

Namun betapa terkejut dirinya, saat melihat sosok sang kakak prianya lah yang muncul di depan pintu. Pria itu datang bersama dengan para bawahannya dan juga beberapa orang kepercayaan Wim.

"Ka_kakak Ziel? Apa yang sedang kakak lakukan di rumah kami, dan kenapa datang bersama bawaan kakak segala?" tanya Alice bingung.

"Itu karna suamimu meminta bantuan dariku, untuk datang membantunya membawa kabur dirimu dan juga kedua keponakanku"

"Bantuan? Tapi, bukannya kakak sudah tahu kalau anak keduaku adalah seorang vampire? Kenapa kakak tetap membantu kami untuk kabur dari sini?"

"Aku memang percaya dan juga sangat membenci keberadaan vampire sama seperti suamimu Alice. Tapi biar bagaimana pun juga Alina tetaplah keponakanku, sudah pasti aku harus melindunginya" jawab Ziel tulus.

Mendengar jawaban tersebut, Alice segera berhambur ke dalam pelukan Ziel dan menangis terharu disana. Ia tida menyangka sang kakaknya lah yang akan menjadi penolong dalam keadaan genting di hidupnya.

"Terima kasih kak, terima kasih"

"Tidak perlu berterima kasih. Sebaiknya kita cepat bersiap dan segera pergi dari tempat ini, sebelum Mirelda dan warga lain datang"

"Baik kak" jawab Alice dan Wim bersamaan.

Bersambung..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!