Perlahan senja berganti malam, tapi orang yang ditunggu Dafi belum juga datang. Di antara keremangan lampu jalan, remaja lelaki berusia 15 tahun itu celingukan mencari sang tuan yang akan memberinya pekerjaan.
"Katanya jam enam. Ini udah jam tujuh lebih kok belum datang juga. Apa bapak itu membohongiku?" gumam Dafi kesal.
Pagi tadi, saat sedang ngamen bersama Ica, seorang pria memanggil Dafi dan mengatakan bahwa majikannya akan memberikan pekerjaan. Setelah memberitahukan tempat yang harus ia datangi, Dafi tak sempat bertanya karena pria itu bergegas pergi.
"Huft." Satu helaan napas kasar dibuang Dafi. Bersamaan dengan itu, sebuah mobil membunyikan klakson dan membuat Dafi terperanjat.
"Dasar orang kaya, mengagetkan saja," gerutunya sembari mengusap dada.
Kening Dafi berkerut dengan mata yang menyipit saat menyadari mobil itu rupanya berhenti di dekat posisinya berdiri. Karena penasaran, meski silau Dafi coba untuk memastikan siapa yang mengemudi.
"Itu 'kan bapak yang tadi pagi," batinnya. Dafi pun berjalan mendekati mobil itu.
Dari dalam mobil, sang pengemudi memberikan isyarat dengan ibu jari agar Dafi menghampiri orang yang duduk di belakangnya. Dafi menurut meski merasa heran karena seseorang itu tidak memperlihatkan wajahnya.
"Selamat malam, Tuan," sapa Dafi ramah pada seseorang dibalik kaca jendela mobil yang dibuka hanya seperempatnya saja.
Dafi terlihat bingung saat dari sela kaca ada sebuah bungkusan hitam yang panjangnya hanya sejengkal tangan, dan sebuah amplop di atasnya.
"Antarkan paket ini pada seorang pria berbaju merah di bawah jembatan S. Dia akan mengenalimu, dan terima itu sebagai imbalannya." Dari suara bariton yang didengar Dafi, jelaslah bahwa yang memberinya tugas itu adalah seorang pria dewasa.
"Baik, Tuan," angguk Dafi sembari menerima paket itu meski ia sendiri merasa ragu.
Dafi membuka amplo berwarna cokelat yang ia terima. Ia mengintip ke dalam amplop dengan sebelah mata yang picingkan.
"Waah! Uang," pekik Dafi senang di dalam hati.
Dafi tersenyum lebar dan hendak mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih, Tu-." Dafi tertegun, belum selesai ia berucap, mobil itu telah berlalu.
"B 4L DI," batin Dafi menggumamkan plat nomor mobil itu.
Dafi mengangkat sedikit pundaknya. Ia tak mau ambil pusing memikirkan siapa pria yang memberinya tugas malam ini.
Dafi kembali mengintip lembaran uang dalam amplop itu, dan kali ini merogohnya.
"Berapa ya?" gumamnya.
Kedua mata Dafi terbelalak sesaat dan langsung celingukan. Ia takut ada yang melihat dan mengambil uang itu darinya.
Dafi memasukkan amplop itu ke dalam saku jaket denim lusuh yang ia kenakan. Bagai mendapat 'durian runtuh', Dafi tersenyum lebar karena akhirnya mendapatkan uang untuk pengobatan ayahnya yang sudah sebulan ini terbaring sakit di rumah.
"Pria baju merah di bawah jembatan S. Sebaiknya aku pergi sekarang. Paket ini pasti sangat penting karena upahnya juga besar," ujarnya senang.
Tanpa pikir panjang, Dafi menghentikan sebuah angkutan kota yang melintas di sana. Jembatan S tidaklah jauh, hanya sekitar sepuluh menit dari tempatnya saat ini.
"Ayo, naik. Mau ke mana?" tanya supir angkot yang sudah familiar dengan sosok Dafi.
"Ke jembatan, Bang," sahutnya. Dafi duduk di dekat pintu keluar meskipun angkot itu tidak banyak penumpang.
"Tumben malam-malam ke sana. Mau ngapain? Mau ngamen? Kok sendirian? Kemana anak perempuan yang biasa sama kamu?" tanya supir itu lagi.
"Nggak ngamen, Bang. Ada perlu sebentar," sahut Dafi masih dengan raut wajahnya yang senang.
"Hati-hati, di sana nggak aman. Suka ada anak-anak geng motor yang nongkrong."
"Iya, Bang. Cuma sebentar kok," angguk Dafi.
Supir itu pun kembali fokus mencari penumpang di sepanjang jalan yang dilaluinya.
Dafi tersenyum lebar. Supir itu mengingatkannya pada Ica, anak tetangga yang selalu ikut ngamen bersamanya.
"Pulang nanti, aku akan belikan Ica gulali warna-warni besar di toko itu. Ica pasti senang," batin Dafi riang.
Tak lama kemudian ....
"Di depan, Bang." Angkot itupun berhenti. "Makasih ya, Bang," ucapnya kemudian.
"Siap. Kalau sudah selesai, cepat pulang," pesan supir itu.
Dafi mengacungkan ibu jari sambil mengangguk cepat. Setelah angkot itu berlalu, Dafi menyebrangi jalan untuk sampai di bawah jembatan S yang merupakan salah satu jembatan layang di ibukota.
Dafi menyusuri keremangan malam di bawah jembatan. Ia celingukan mencari sosok pria berbaju merah yang katanya akan mengenali dirinya sebagai pengantar paket itu.
Dafi yang terbiasa hidup di jalan tak merasa takut dengan suasana saat itu. Meski diakuinya ada beberapa pria yang terlihat tidak ramah dengan kepulan asap rokok berada di sepanjang tempat tersebut.
"Apa dia orangnya?" gumam Dafi saat tatapannya tertuju pada sosok pria berbaju merah yang sedang duduk di bawah lampu jalan sambil menyesap rokok.
Di saat yang bersamaan, pria itu menoleh. Lalu berdiri dan melangkah pelan mengarah pada Dafi sembari membuang sisa rokok dari sela jarinya.
"Pasti dia," ujar Dafi sangat yakin.
Dafi senang karena tugasnya akan selesai, dan akan segera pulang membawakan gulali yang selalu Ica khayalkan.
Dafi berjalan cepat, namun kemudian ia mendengar suara sirine mobil polisi yang semakin keras karena sepertinya akan melewati jalan itu. Dafi menghentikan langkahnya dan menatap bingung pada pria tadi yang langsung berlari.
"Bang, tunggu! Ini paketnya!" seru Dafi yang kemudian berlari mencoba untuk menyusul pria itu.
Dafi tersentak merasakan ada yang menarik kuat jaketnya dari belakang.
"Mau coba kabur kamu ya!" hardik seorang pria dengan nada tinggi.
Dafi yang belum mengerti situasinya saat itu meronta sembari memegang kuat paket berbungkus hitam karena teringat akan tugas yang diberikan tuannya.
Bugh.
Satu pukulan keras diterima Dafi di bagian tengkuknya. Dafi spontan meringis menahan sakit serta kepala yang tiba-tiba saja terasa pusing.
"Diam, dan jangan melawan!" bentak pria itu lagi. Dugaan sementara, pria itu merupakan polisi berpakaian preman. Dafi kembali meringis saat kedua tangannya ditarik paksa ke belakang punggungnya.
Dafi pun pasrah. Ia hanya bisa menatap nanar bungkusan yang terjatuh dari tangan, juga beberapa lembar uangnya tergeletak di dekat kaki. Rupanya amplop itu jatuh saat Dafi meronta tadi.
Seorang pria lain menghampiri mereka dan mengambil paket dan amplop serta uang itu. Pria itu melihat ke dalam amplop, lalu membuka paksa paket tersebut.
Dafi lagi-lagi tersentak. Pria dihadapannya itu tiba-tiba menampar wajah Dafi dengan amplo miliknya sembari berkata, "Masih kecil sudah jadi kurir narkoba. Mau jadi apa kamu nanti heh? Bawa dia! Dan lakukan pemeriksaan! Kalau kamu ternyata 'make' juga, nggak ada ampun buat kamu," tegas pria itu sembari menatap tajam pada Dafi yang terlihat bingung dengan wajah memucat.
"Narkoba? A-apa maksudnya ini? Apa aku-." Dafi merasakan lututnya seketika lemas. Pikirannya kacau seiring suara sirine yang memekakan telinga. Dan di saat itulah bayangan wajah orang tuanya menyapa.
"Bu, Pak, Dafi nggak salah," batinnya lirih dengan kedua mata berkaca-kaca. Dafi membiarkan dirinya ditarik paksa masuk ke dalam mobil polisi.
_bersambung_
Dafi tak pernah menyangka, tugas yang disangka sangat mudah itu justru awal dari kehancuran masa depannya. Meski ia membantah ribuan kali pun rasanya percuma. Bahkan tak jarang ia diperlakukan kasar karena dianggap telah menutupi kebenaran dengan tidak menyebutkan nama sang Tuan pemilik obat terlarang.
"Saya benar-benar tidak tahu, Pak. Siapa nama orang itu, dan apa isi paketnya. Saya berani sumpah, Pak! Saya hanya diminta mengantarkan paket itu. Saya ingin pulang. Pak, bebaskan saya! Saya tidak bersalah!" raung Dafi di ruang interogasi.
Bukti sudah nyata ada di tempat kejadian perkara (TKP). Sebuah paket obat terlarang yang terkesan sengaja diperjualbelikan. Para petugas itu juga nampaknya sudah jengah mendengar pengakuan Dafi yang mencoba membuktikan diri, dengan kalimat yang itu-itu lagi. Mereka pun meninggalkan Dafi dengan seorang sipir untuk dikembalikan ke balik ruangan berjeruji besi.
Tapi tak lama kemudian ....
"Sebentar. Saya ingat nomor plat mobil orang yang menyuruh saya malam itu, Pak" ujar Dafi pada sipir tahanan yang mengantarnya ke sel. Raut wajahnya senang karena menganggap ingatannya itu akan membuatnya mendapatkan kebebasan.
"Kenapa nggak bilang dari tadi?" bentak sipir itu yang kemudian menarik kasar pakaian Dafi ke ruangan seorang petugas sipir lain yang kemungkinan memiliki kedudukan lebih tinggi dari petugas sipir itu.
"Ada apa lagi?" tanya petugas dengan nama Jaka itu ketus.
"Katanya dia ingat plat nomor mobil orang yang menyuruhnya, Pak," sahut petugas tadi sembari memaksa Dafi untuk terduduk di kursi, dan berhadapan langsung dengan Jaka.
Jaka celingukan, kemudian meminta rekannya tadi keluar dan menutup pintu. Dafi merasa heran, namun tak berani menanyakannya.
"Tulis di sini," titah Jaka sembari menyodorkan selembar kertas kosong pada Dafi.
Tanpa diminta dua kali, Dafi pun menuliskan plat nomor yang ia ingat. Dalam hati remaja itu merutuki diri karena sebelumnya sempat melupakan hal yang mungkin saja sangat penting tersebut. Setelah selesai, Dafi mengembalikan kertas itu pada Jaka.
Jaka sempat membelalakan mata. Dengan suara menggeram sipir itu bertanya, “Kau yakin ini plat nomornya?”
“Yakin, Pak. Yakin seratus persen,” angguk Dafi yang dibarengi ekspresi sangat yakin.
“Kau yang di luar. Kemarilah!” panggil Jaka pada rekannya.
Sipir yang tadi membawa Dafi terlihat dari balik pintu. Sembari meremas kertas itu, Jaka meminta rekannya mengembalikan Dafi ke dalam sel.
“Pak. Pak! Saya akan bebas ‘kan, Pak? Saya nggak salah,” pekik Dafi sembari menoleh pada Jaka yang menurunkan pandangan masih dengan tangan yang mengepal kuat kertas tadi.
Dafi kembali diseret menuju sel tahanan. Remaja laki-laki itu didorong untuk masuk ke dalam sel sambil menundukkan kepala. Dafi telah salah menduga. Kesaksiannya akan plat nomor itu justru membuatnya semakin terjebak dalam fitnah sebagai kurir narkoba.
Terekam jelas kesedihan di wajah ibu dan ayahnya yang memaksakan hadir di persidangan walau dalam keadaan sakit. Dafi divonis 13 tahun kurungan penjara. Setelah beberapa bulan, ia dipindahkan ke tahanan khusus bersama narapidana kasus narkoba lainnya. Dan sejak itu, Dafi melarang ibunya untuk menjenguk.
“Ibu percaya sama Dafi ‘kan? Dafi nggak salah, Bu.” Kalimat itu selalu ia ucapkan sambil terisak di hadapan ibunya yang datang menjenguk.
“Ibu percaya, Nak. Meskipun hakim sudah memutuskan kamu bersalah, tapi ibu akan selalu percaya anak ibu nggak bersalah,” ucap Ayu dengan kedua mata berkaca-kaca.
“Terima kasih, Bu. Dafi janji akan bertahan di sini. Suatu hari Dafi akan keluar, lalu akan bekerja supaya ibu dan bapak bisa istirahat menikmati hari tua. Ibu jaga kesehatan ya, Bapak juga. Ibu nggak usah lagi jenguk Dafi di sini, biar Dafi kuat. Kalau ibu sering jenguk Dafi, Dafi jadi pengen ikut pulang, Bu.” Ibu dan anak itu berpelukan sambil menangis tersedu. Meski berat, Ayu mengikuti permintaan Dafi.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan pun berganti tahun. Tak pernah ada lagi yang menjenguk Dafi. Anak itu besar di lingkungan penjara yang tentunya tidak mudah.
Tak ada kasih sayang orang tua. tak ada yang memperhatikan di saat sakit melanda. Bahkan tak jarang Dafi harus bertahan dari bullyan sesama napi yang usianya lebih tua.
Dafi sering dijadikan kacung. Ia juga beberapa kali terlibat perkelahian dengan sesama napi baik itu teman satu sel atau sel lain. Dari yang awalnya diam saja, Dafi mulai melawan jika dirinya memang tak melakukan kesalahan pada napi lain, dan hanya dicari-cari kesalahan. Dari yang awalnya sering babak belur, perlahan tapi pasti seiring berjalannya waktu, Dafi tumbuh menjadi sosok yang berani dan cukup disegani. Ia juga kerap membela napi lain yang mendapat bullyan dari seniornya.
Sampai suatu hari di tahun kesepuluh hukumannya ….
“Dafi. Ada yang jenguk kamu,” ujar seorang sipir yang mendatangi sel tahanan Dafi.
“Saya, Pak? Siapa?” tanya Dafi heran sambil menghampiri petugas tersebut. Beberapa teman satu selnya juga saling menatap heran saat Dafi mengikuti langkah petugas itu.
Mereka tiba di ruang jenguk. Dafi tertegun saat petugas membukakan pintu. Ia sempat bertanya-tanya, mungkinkah yang datang itu ibunya?
Tapi ternyata bukan. Karena yang datang seorang pria. Pria itu kini tengah membelakanginya.
“Lima belas menit cukup ya,” ucap petugas.
Dafi mengangguk. Di saat yang bersamaan, pria itu berbalik dan berucap, “Terima kasih, Pak.”
Dafi menoleh. Untuk sesaat ia kembali tertegun, sampai kemudian suara pintu yang ditutup petugas menyadarkannya.
“Bagaimana kabarmu?” tanya pria itu datar.
Dafi mendekat. Semakin dekat, semakin jelas ingatannya akan sosok pria di hadapannya tersebut.
“Kau, kau supir itu ‘kan? Aku ingat, dan tidak akan pernah lupa. Kau supir bajing*an yang menjebakku.”
Brak!
Dafi menggebrak meja dan berjalan cepat, lalu menarik kerah pria paruh baya di hadapannya.
“Brengs*k. Mau apa kau ke sini, hah? Mau menertawakanku? Awas kau. Kalau aku bebas, kau orang pertama yang akan mendapatkan pembalasanku. Dasar, Anj*ng!” Dafi mendorong kasar pria itu hingga kepalanya hampir terkantuk dinding.
“Dafi. Ada apa ini? Jangan membuat keributan di sini,” tegas petugas yang tadi datang bersama Dafi dari ambang pintu.
“Maaf, Pak. Nggak ada pa-pa kok. Hanya salah paham,” ujar pria itu sembari memaksakan senyum pada petugas. Petugas itupun kembali menutup pintu.
Dafi menyeringai sinis pada pria yang belum diketahui namanya itu sambil berkata dengan mimik mengejek, “Salah paham katamu? Kau dan tuanmu itu telah menjebakku, membuatku terjebak di tempat ini bertahun-tahun, dan kau bilang ini sebuah kesalahpahaman?”
Brak!
Lagi-lagi Dafi menggebrak meja dengan sangat kuat, bahkan pria itu sampai terlonjak. Dafi teramat geram dihadapkan dengan orang yang menjadi awal mula kehancuran hidupnya.
“Sa-saya memang salah. T-t-tapi saya datang ke sini bukan untuk menertawakanmu. S-saya-.”
Brugh.
Pria itu tiba-tiba berlutut di hadapan Dafi yang masih menatap nyalang padanya.
“Maafkan saya. Saya juga tidak tau akan berakhir seperti ini. Saya benar-benar minta maaf,” sesalnya dengan kepala yang tertunduk sangat dalam.
Dafi terdiam. Sikap dan ucapan pria itu membuatnya perlahan mulai bisa menguasai emosinya. Dafi menarik kursi, dan meminta pria itu untuk duduk.
“Duduklah. Yang kau lakukan itu tidak ada gunanya,” ucap Dafi datar.
Pria itupun beranjak dari posisinya, lalu menarik kursi di hadapan Dafi.
“Nama saya Pendi, Den. Seperti yang Aden tau, saya seorang supir. Tapi maaf, saya nggak bisa menyebutkan nama majikan saya,” ucapnya dengan suara pelan dengan tatapan yang ditundukkan.
Dafi menyeringai sinis. Jadi pria itu datang hanya untuk meminta maaf? Ciih.
“Namaku Dafi, bukan Aden. Kalau kau datang hanya untuk minta maaf, aku tidak bisa memaafkanmu begitu saja. Aku mengerti dalam hal ini kau tidak bersalah. Tapi karena kau yang menawariku saat itu, maka kau juga harus bertanggung jawab atas semua ini. Saat aku bebas nanti, aku akan mencarimu. Kau harus memberitahuku siapa baj*ngan itu,” geram Dafi dengan tatapan yang tajam.
“Waktumu habis. Pergilah,” ucap Dafi kemudian.
“Den Dafi, orang yang telah menjebak Den Dafi ada di Biantara Group. Carilah di sana, karena setelah ini mungkin saya tidak akan hidup lagi. Sekali lagi saya minta maaf, Den. Saya benar-benar menyesal telah menjadi penyebab Den Dafi ada di sini,” ujarnya sambil menunduk sangat dalam.
Di saat yang bersamaan, petugas membuka pintu dan memanggil Dafi untuk keluar. Kening petugas itu berkerut melihat Pendi dalam posisinya tersebut.
Dafi beranjak dari kursi dengan raut bingung. Ia tak mengerti apa maksud dari ucapan Pendi.
***
2 tahun 9 bulan kemudian …..
Dafi dinyatakan bebas setelah sebelumnya mendapatkan remisi dasawarsa, yakni mendapat pengurangan 3 bulan masa tahanan. Kini usianya hampir 28 tahun. Ia bukan lagi anak remaja polos dan juga lemah. Berbekal sebuah tekad, Dafi keluar dari rumah tahanan itu.
“Biantara Group. Apapun akan kulakukan untuk menemukan baj*ingan itu di sana. Siapapun kau, akan kubuat kau membayar kesedihan di wajah ibuku.”
_bersambung_
Berbekal uang pemberian salah satu sipir yang mengenalnya sangat baik, Dafi mencari angkutan umum menuju rumahnya. Ia juga diberitahu dari tempat itu harus tiga kali naik angkutan umum dengan jurusan berbeda untuk sampai di tujuannya.
Dafi yang sudah terlalu lama tidak melihat dunia di luar rumah tahanan tentunya merasa asing dengan sekitar. Banyak yang berubah, terutama di sekitar jalan yang dulu sering dijadikannya rute mengamen.
Deg.
Dafi menatap nanar sepanjang jalan di bawah jembatan S yang pernah jadi saksi bisu kejadian hampir 13 tahun lalu. Tempat itu kini jadi taman yang mana beberapa orang terlihat duduk santai di atas rumput sintetis sambil memainkan ponselnya.
Tak lama kemudian, Dafi bersiap untuk berhenti tepat di pertigaan menuju jalan ke rumahnya. Beruntung ia masih mengenali warung kecil di dekat pohon besar yang ada di sana.
“Kiri, Bang,” ujarnya. Dafi turun dari mobil dan membayar ongkos.
Dafi mengulumkan senyum menatap lurus ke arah jalan yang akan ia tuju. Dengan langkah lebar ia pun bergegas ingin segera sampai di rumah untuk menemui orang tuanya.
Lima menit kemudian Dafi mulai terlihat bingung. Banyak hal yang berubah di sekitar tempat itu. Bukan lagi pemukiman kumuh dengan bau sampah yang jadi ciri khasnya. Melainkan dua gedung pencakar langit yang masih dalam proses pengerjaan.
Ya. Dafi merupakan anak seorang pemulung. Orang tuanya biasa memulung dan memilah sampah untuk kemudian dijual pada pengepul. Tidak hanya orang tuanya, tetangga dan warga sekitar juga banyak yang melakukan hal serupa. Tapi sekarang terlihat jauh berbeda. Tempat itu kini dikelilingi penghalang karena sedang ada proyek pengerjaan bangunan.
Dafi meneruskan langkahnya sambil melihat ke arah para pekerja proyek yang sedang sibuk dengan pekerjaan mereka di atas gedung. Tiba-tiba saja ia teringat akan ayah dan ibunya. Dafi berlari ke tempat yang semula merupakan tempat tinggal keluarganya, namun nihil tempat itu kini sudah rata, dan dijadikan jalan menuju proyek.
“Kemana bapak dan ibu? Kemana Ica? Kemana Bi Marni, Mang Herman … kemana teman-temanku? Ya, Tuhan! Di mana mereka sekarang?” gumam Dafi dengan tatapan nanar.
Dafi mengedarkan tatapannya, dan tak sengaja melihat sebuah nama yang dirasanya tak asing.
BIANTARA CONSTRUCTION.
Di sana juga tertera sebuah spanduk bertuliskan:
Di tempat ini sedang ada pembangunan BIANTARA TWIN TOWERS.
Rahang Dafi seketika menegang. Nama itu sama dengan nama yang disebutkan pria yang pernah menjenguknya di rumah tahanan. Apa itu artinya penjebakan dirinya ada hubungannya dengan pembangunan menara kembar itu?
Ah. Rasanya tidak mungkin. Ia hanya anak kecil yang tidak mengerti apa-apa saat itu. Lalu apa motif penjebakan dirinya?
“Ibu.” Dafi tiba-tiba terperanjat saat mengingat sosok ibunya. Dafi memutar arah kembali ke warung kecil yang dilihatnya tadi. Sesampainya di warung itu ….
“Bah. Apa kabar?” sapanya sembari duduk di samping pria tua di kursi kayu panjang yang ada di depan warung.
Pria berumur itu sesaat mengerutkan kening, lalu bertanya dengan ekspresi datar. “Kemana aja kamu? Baru keliatan.”
“Saya … dari suatu tempat, Bah,” sahut Dafi pelan sembari menundukkan pandangan. Dalam hati Dafi menduga-duga. Apa benar pria tua itu tak mengetahui kejadian yang menimpa dirinya dulu?
“Dimanapun kamu, harusnya jangan sampai lupa pulang. Apalagi lupa sama orang tua. Dosa,” ujarnya.
“Nggak mungkin saya lupa sama orang tua, Bah. Buktinya sekarang saya pulang. Saya juga ingat sama Abah. Coba, Abah ingat nggak sama saya?” tanya Dafi dengan senyuman tipis di wajahnya.
“Siapa kamu itu nggak penting. Tapi sebagai anak laki-laki, harusnya kamu ada saat ayahmu meninggal, ibumu sakit sampai meninggal juga. Kok bisa sih kamu setega itu sama mereka? Anak macam apa kamu?” ujar pria itu terdengar sarkas.
“Apa? Bapak dan ibu … meninggal?” Dafi terlihat syok mendengar ucapan pria tua pemilik warung itu. Tapi ia mencoba untuk menepisnya. Sementara itu mendengar pertanyaan Dafi, si Abah bukannya menjawab malah beranjak dari kursi.
“Bah. Apa maksud abah ngomong begitu? Abah nggak salah ucap ‘kan, Bah? Nggak mungkin bapak sama ibu udah meninggal. Abah pasti ngarang. Abah pasti salah orang,” ujar Dafi dengan suara bergetar dan tatapan nanar. Ia ingat saat itu ayahnya memang sedang sakit. Tapi ia tak menyangka jika ayahnya meninggal dunia. Lalu ibunya … kapan ibunya meninggal?
“Toto meninggal beberapa bulan setelah kamu pergi. Satu tahun kemudian, Ayu menyusul. Kalau kamu ingin menemui mereka, kamu tanya tuh sama petugas kebersihan di pemakaman umum Rawa Gede. Kalau dia masih ada dan kamu ingat, pasti kamu tau orangnya. Dulu dia RT di sini,” jelas abah itu dan membuat Dafi seketika terpaku.
Bagaimana tidak, Toto dan Ayu memanglah nama orang tuanya.
Langkah Dafi terlihat lunglai, namun memaksakan untuk tetap melangkah demi mendapatkan kepastian. Meskipun benar yang disebut abah itu nama orang tuanya, sepanjang jalan Dafi berdoa agar kabar itu tidaklah benar.
Hampir tiga puluh menit Dafi berjalan menuju pemakaman. Setibanya di sana, tanpa diduga seseorang menyapa.
“Kamu Dafi ya? Benar ‘kan kamu Dafi?” tanyanya.
Dafi sontak menoleh, dan tentunya mengingat wajah pria di hadapannya. “Pak RT.”
“Alhamdulillah. Kapan bebas?” tanyanya dengan raut wajah lega.
“Hari ini, Pak.”
“Syukurlah. Ke rumah bapak yuk. Bukan rumah sih, tepatnya gubuk,” ujarnya kemudian.
“Terima kasih, Pak. Tapi … Pak RT, saya mau menanyakan tentang Bapak dan Ibu saya.” Dafi terlihat ragu mengatakannya. Bagaimanapun ia tak berharap melihat nisan kedua orang tuanya di sana.
“Kamu udah tau?” Kedua alis pria itu tertaut.
“Tau apa, Pak? Saya mau menanyakan keberadaan mereka karena tadi saya lihat rumah kami yang dulu … nggak ada. Orang tua saya pindah kemana ya, Pak? Barangkali Pak RT tau,” ujar Dafi harap-harap cemas.
Pria itu menghela dalam napasnya. Tanpa berkata apapun juga, ia meminta Dafi mengikuti langkahnya. Dafi bergeming. Bagaimanapun ia berharap kedua orang tuanya masih hidup.
“Ayo. Bapak beritahukan kebenarannya. Kamu harus kuat, Dafi. Itu pesan ibumu.”
Mendengar hal itu, Dafi pun mulai melangkah dan mengikuti pria di hadapannya menyusuri celah jalan setapak yang ada diantara jejeran pusara.
Deg.
Seketika Dafi merasa hatinya terhempas ke relung yang paling dalam. Kakinya yang semula masih melangkah, tiba-tiba terhenti saat tatapannya mendapati nama kedua orang tuanya tertera di batu masing-masing pusara yang sangat sederhana dan apa adanya.
“Di sinilah mereka, Dafi. Pak Toto dan Bu Ayu sudah meninggal dunia. Nanti bapak ceritakan kejadiannya. Tapi sekarang, berdoalah untuk mereka. Bapak tinggal dulu ya. Bapak ada di tempat yang tadi,” tutur pria itu.
Dafi terpaku. Wajahnya memerah menahan tangis. Ia teringat akan janji menyenangkan orang tuanya. Tapi kini yang ia lihat justru pusara mereka. Seketika Dafi bersimpuh di sisi makam ayahnya sembari menahan tangis yang menyesakkan dada.
“Bu. Pak. Dafi udah pulang,” ucapnya dengan suara bergetar.
Dafi memejamkan kedua matanya, berusaha menenangkan hatinya yang dirasa bergelora. Sesaat kemudian Dafi pun berdoa pada Tuhan Yang Maha Esa agar menempatkan orang tuanya di tempat terbaik di sisi-Nya. Setelah agak lama Dafi berada di sana, ia beranjak dengan perasaan yang berkecamuk di dalam dada.
“Biantara. Aku bersumpah akan membalaskan ini semua,” geramnya di dalam hati.
_bersambung_
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!