NovelToon NovelToon

Andai Ayah Tak Begitu

Prolog

Maria termenung menatap ponselnya. Panggilan telepon dan pesan singkat tak kunjung mendapat respon dari sang suami. Resah makin tak terkendali menghimpit aktivitas sehari-hari.

Senin ke Minggu hingga berputar kembali dan berakumulasi menjadi hitungan bulan, tak jua ada kabar dari Simon yang kini hidup di perantauan. Apakah dia baik-baik saja? Ataukah dia sedang berbagi hati dengan perempuan lain?

Tidak mungkin. Maria meyakini Simon tak akan mendua. Suaminya bekerja melintasi pulau untuk mencari nafkah, bukan hendak menambah persinggahan rasa yang baru. Ini hanya masalah komunikasi, kesibukan, dan kepercayaan.

Namun semakin dalam rindu terpahat, semakin tajam ketakutan menusuk keyakinan. Mengapa Simon tak berupaya mencari solusi untuk menjembatani komunikasi? Apa ini artinya ada sutera yang membalut Simon hingga ia lupa kepada keluarganya?

Sementara itu, Prada – buah cinta Maria dan Simon – masih mendekap erat janji sang ayah yang akan pulang di hari Minggu. Terlebih, Simon menjanjikan akan membawakan beragam oleh-oleh bertema Captain America yang merupakan superhero kegemaran Prada.

Hari Minggu terlewat beberapa kali, dan di depan pintu masih tak didapati Simon mengucapkan salam. Maria mulai cemas memikirkan Prada. Ia sangat takut angin surga yang Simon hembuskan kepada Prada memiliki dampak yang serius. Ia takut sang putra menyimpan amarah yang bisa menjadi bom waktu.

Ketika Maria merasa butuh teman bercerita, Nella hadir sebagai tetangga yang baik. Nella senantiasa menjadi teman yang setia mendengar dan memberi solusi konkret.

Sayangnya, aura positif yang Nella tampilkan tak seindah jalan cerita hidupnya. Dia ditalak oleh suami keduanya bernama Doni. Biduk rumah tangga yang awalnya bahagia, tercoreng akibat Doni bermain asmara dengan perempuan lain.

Maria yang miris dengan kisah hidup sahabatnya dihentakkan dengan kehidupan rumah tangganya sendiri. Sungguh tak terbayangkan jika ia mengalami nasib yang sama dengan Nella.

Perceraian bukan sekadar hilangnya rasa cinta antara dua sejoli yang dulu mengikat janji suci di atas altar. Ada anak yang tidak harus turut merasakan ketidakbahagiaan dalam bahtera keluarga.

Maria hanya seorang ibu rumah tangga yang merasa tidak memiliki banyak keahlian. Bagaimana nasib masa depan Prada jika Simon mengucap kata pisah kepadanya? Tiap malam ia pun berdoa agar segala ketakutan dalam pikirannya tak menjelma di kehidupan nyata.

Akan tetapi, perempuan bernama Vera Puspita Sari menyenandungkan elegi paling mencekam bagi Maria. Perempuan cantik dan kaya raya itu laksana rudal yang menghantam bangunan cita-cita dan harapan yang Maria rancang.

Perlahan, Prada mulai tak peduli tentang ayahya. Ia tak lagi bertanya kepada sang ibu apakah ayahnya sudah menelepon atau belum. Ia juga menegarkan hati dan menghapus hari Minggu dalam bingkai asa serta penantian.

Bulan bergulir menjadi satuan tahun. Melihat kondisi kesehatan sang ibu yang terus menurun, Prada berusaha menguatkan dengan segala cara. Ia meyakinkan ibunya jika hidup mereka akan baik-baik saja, meskipun sang ayah sudah tak ingat jalan pulang ke rumah.

Sesungguhnya Maria pun berusaha berlapang dada seandainya takdir menggariskan Simon tak akan kembali. Namun, ia ragu mampu membesarkan Prada tanpa mewariskan derita. Hidup yang semula tertata menjadi berantakan tak terduga.

“Mas, sekarang Prada sudah semakin dewasa. Dia mirip sekali denganmu!” ucap Maria sambil mengusap potret Simon. Haru, pilu, dan sendu mewarnai setiap usapan jari yang diayunkan.

Chapter 1

Setiap orang tua pasti ingin selalu ada untuk anaknya. Menemani dari bayi hingga dewasa. Menyaksikan anaknya bertumbuh dari masa ke masa. Namun, hidup bukanlah cerita fiksi yang bisa menentukan plot sesuai keinginan hati. Pun kebutuhan hidup bukan hanya cinta, melainkan ada sisi finansial yang harus dibangun sebagai jembatan harmonisasi kehidupan dan keluarga.

Simon Wirayuda, 34 tahun, tengah dihadapkan pada keputusan untuk hidup berjauhan dengan istri dan anaknya yang berusia 7 tahun. Keputusan yang sangat sulit untuk dijalani. Namun demi memberikan kehidupan yang layak untuk keluarga, ia harus bisa menahan rindu sejauh ribuan kilometer.

Simon dipromosikan menjadi plant-manager di sebuah perusahaan tambang. Posisi inilah yang mengharuskannya bertugas di kantor pusat. Sebelumnya, ia menuduki jabatan sebagai kepala sales area. Sebuah lonjakan karir yang sangat signifikan.

Ia dikenal sebagai pekerja keras. Ia juga selalu memiliki ide-ide brilliant terkait pemasaran produk dalam mendongkrak kuantitas penjualan. Bahkan, perannya sangat berarti dalam membangun lingkungan kerja yang inovatif dan kompetitif. Ia dinilai memiliki pendekatan yang baik dalam memotivasi anggota atau bawahannya.

Haruskah ia menanggalkan karir yang dibangun dari nol? Ketika memilih menjadi pekerja, maka harus siap dengan aturan yang ada di perusahaan. Dimutasi atau resign. Begitulah suratan dalam struktur pekerjaan. Tak ada zona nyaman jika ingin merengkuh kesuksesan.

Surat ketetapan mutasi kerja sudah Simon terima dari sebulan yang lalu, tetapi ia masih menunggu waktu yang sesuai untuk berdiskusi dengan istrinya. Terlebih, ia dan keluarga kecilnya baru beberapa bulan pindah ke Jakarta. Ia harus berhati-hati menjadi mood sang istri.

Melihat istrinya, Maria, sedang santai menonton televisi, Simon menghampiri. Ia belai rambut istrinya terlebih dahulu sebelum memulai diskusi. Ini diskusi yang penuh mungkin akan memunculkan emosi, maka butuh penetrasi.

Maria yang sadar ada hal janggal dengan gelagat romantis suaminya langsung bertanya, “Ada apa, Mas? Apa yang mau kamu ceritakan kepadaku?”

Simon mengembangkan senyum. Ia selalu kagum dengan kepekaan partner hidupnya.

“Minggu depan aku dipindahtugaskan ke Balikpapan. Aku naik jabatan, tetapi harus bekerja di kantor pusat,” ungkap Simon dengan suara mengalun lembut.

“Untuk berapa lama?” tanya Maria masih dengan suara datar.

Simon mencium pipi Maria. Ia coba bangun afeksi, menyampaikan bahasa cinta terlebih dahulu melalui sentuhan. “Dua tahun, Sayang,” jelasnya.

Maria mendelik, menatap tajam Simon. Dia pun menghela nafas. Balas rasa yang diberikannya sungguh di luar dugaan.

Batin Maria berkecamuk. Dua tahun waktu yang lama untuk menanti pertemuan, tetapi waktu yang sebentar jika harus meniti kehidupan untuk kemudian mencari persinggahan yang lain. Baru saja menetap di Jakarta selama 3 bulan, ia dihadapkan lagi dengan pilihan yang sulit.

“Lalu, bagaimana dengan aku dan Prada? Aku tidak mau dia pindah sekolah lagi. Itu tidak bagus untuk perkembangan psikisnya,” papar Maria. Ia juga merasa lelah jika harus mengemas barang lagi dan lagi.

Sejatinya – sebagai seorang ibu – Maria lebih mengkhawatirkan mental dan psikis sang anak. Beradaptasi dengan lingkungan yang terus baru bisa menambah cerita, namun bisa juga memutus asa. Ia tak mau jika Prada nantinya trauma dengan perpisahan. Mengecap pertemanan yang hanya sesaat. Kemudian, harus mempresentasikan diri lagi di tempat yang baru.

“Haruskah aku mencari pekerjaan lain?” lirih Simon. Ia bukan tak memahami kegelisahan Maria, tetapi keadaan memang mengharuskan memilih satu dari dua.

Maria mengalihkan pandangan. Ia berupaya melobi diri sendiri. “Apa kamu tidak berencana pulang sebulan se-kali?” tanyanya getir.

“Kamu tahu kan tiket pesawat dari sini ke sana tidak murah. Aku jelas ingin pulang sebulan sekali, tapi kita juga kan harus berpikir untuk menabung buat masa depan Prada,” urai Simon. Matanya mulai memerah.

Andai mampu terbebas dari menentukan pilihan, Simon pun merasa berat untuk hidup nomaden seperti ini. Ia juga bukannya tidak memikirkan perasaan juga nasib anak dan istrinya. Namun, ini sudah menjadi aturan perusahaan. Sementara, untuk mencari pekerjaan lain juga tidak mudah.

Maria meninggikan suara, “Apa ini sudah keputusan akhir dari kantor? Tidak bisakah bernegosiasi lagi?”

Simon mengatur nafas. Ia tak mau menghanyutkan diskusi, dan kemudian mengundang perdebatan. “Satu-satunya solusi yang bisa aku tawarkan yaitu kamu dan Prada ikut pindah ke sana,” ucap Simon sambil mendekap mesra sang istri.

Maria bangkit dari kursi dan mengelak pelukan sang suami. “Aku capek Mas jika harus berpindah-pindah tempat tinggal terus. Beradaptasi lagi dengan lingkungan yang baru, cari lagi sekolah untuk Prada. Selama kita menikah, kita sudah 6 kali pindah dari satu kota ke kota yang lain,” keluhnya.

Simon sudah memprediksi jika istrinya akan menolak diajak pindah. Ya, karena memang hanya ada dua pilihan; Maria dan Prada ikut bersamanya atau menetap menanti masa tugasnya berakhir. Di lain sisi, Simon pun tak bisa menjanjikan jika ini akan menjadi mutasi terakhir yang ia emban.

Simon ikut berdiri. “Jadi, kamu siap jika jarak merenda rindu di antara kita?”

“Daripada harus memulai lagi bertetangga di tempat lain, aku rela menunggu hingga dua tahun. Asal kamu juga rutin memberi kabar. Jangan sampai membuatku dan Prada terbelenggu rindu,” ucap Maria melagukan haru.

Simon mengecup kening istrinya. “Itu pasti. Tak ada yang perlu kamu risaukan tentang itu. Kamu dan Prada itu prioritas hidupku. Semua ini supaya kita nantinya bisa menyusun rencana hidup bersama setiap hari.”

Kalimat Simon mampu meredam gundah yang dirasakan Maria. Hati wanita memang mudah luluh ketika disusupi ungkapan cinta.

Tak disangka, ternyata ada yang menguping percakapan mereka bedua. Dengan wajah pilu, Prada muncul dan langsung memeluk sang ayah.

“Aku nggak mau pindah lagi. Nanti di sekolah aku harus maju lagi ke depan untuk memperkenalkan diri. Aku malu, Yah,” ujarnya sembari menahan tangis.

Simon mengusap pipi Prada. “Iya, kamu tetap sekolah di sini.”

“Tapi, aku juga nggak mau Ayah pergi,” imbuh Prada.

Maria mencoba menengahi. Ia mengerti jika Simon kebingungan mencari kata-kata penenang untuk sang anak. Prada memang masih polos, tetapi memorinya rentan untuk disisipi lara dan pilu. Jangan sampai ia menyimpan emosi tersebut hingga berubah menjadi trauma.

“Prada… Ayah kan harus cari uang untuk biaya sekolah kamu hingga nanti kamu masuk perguruan tinggi,” terang Simon mencoba memberi pengertian.

“Emang kerjaan Ayah di sini kenapa? Apa mereka membenci Ayah sehingga terus membuang Ayah ke tempat yang jauh? Ayah kan hebat, kalau mereka tidak suka sama Ayah, kan Ayah bisa cari pekerjaan yang lain,” balas Prada.

Simon menarik kedua pipi Prada secara perlahan agar terkembang senyum. “Nak, ini sudah resiko pekerjaan. Nanti kalau kamu sudah dewasa, kamu akan mengerti.”

Prada melemparkan tinju-tinju kecil kepada sang ayah. Ia tak bisa mencerna penjelasan yang diberikan. “Pokoknya aku nggak mau Ayah pergi.”

“Nak, nanti seminggu sekali Ayah pulang. Kita bisa jalan-jalan ke Monas, Ancol, terus ke …”

Maria memotong asa yang diberikan Simon, “Mas….”

Simon tak bermaksud memberikan harapan palsu. Ia hanya ingin menghapus tangis yang melukis wajah sangat anak. Lagi pula, Prada akan lupa dengan ucapan tersebut kala sibuk bermain dengan teman-temannya. Itulah yang terbersit dalam benak Simon.

“Ayah janji, kan?” Prada menyodorkan jari kelingking kepada ayahnya. Ia pun mampu tersenyum lega.

Saat Simon hendak menautkan jari kelingkingnya juga, Maria segera menghalangi. Nalurinya tak rela jika suaminya bermain-main dengan janji yang akan sulit ditepati. Ia tak mau nanti Prada merengek karena merasa dibohongi.

Maria mengangkat tubuh anaknya. “Prada, ini sudah malam. Ayo tidur lagi. Besok pagi kan sekolah.”

Prada berontak, “Aku pengen tidurnya ditemani sama Ayah.”

Simon mengambil alih tubuh Prada. “Oke, jagoan Ayah. Kita meluncur ke kamar Captain America,” ajaknya dengan tawa. Bahasanya – seketika – mampu melenyapkan kegusaran Prada.

Melihat kemesraan ayah dan anak membuat Maria meneteskan air mata. Ia begitu tersentuh, karena keceriaan itu sebentar lagi akan dijeda oleh lautan yang merentang di antara dua pulau. Ia juga sudah mulai memutar otak untuk menyiapkan kata-kata penghiburan ketika Prada menagih janji sang ayah.

***

Hari-hari berlalu dengan cepat. Tibalah hari di mana Simon harus berpindah tempat. Maria dan Prada pun ikut mengantar hingga bandara. Namun, hati Maria seketika merasa pilu. Ia merasakan hawa ketakutan suaminya akan ingkar dengan janji yang diikrakan.

Ia coba menguatkan diri dan mengusir keresahan yang menghinggapi. Prasangka merupakan bagian dari doa. Ia tak boleh larut memikirkan ketakutan yang belum tentu terjadi.

Menyadari wajah istrinya yang sendu, Simon lekas memeluknya. Berat rasanya harus merekam kesedihan sang istri sebagai bekal di perantauan. Padahal, ia sudah mengerahkan sisa waktu selama seminggu untuk lebih intim bersama Maria dan Prada.

“Jangan menangis lagi ya, Sayang! Aku tahu ini berat untuk keluarga kecil kita, tetapi semalam kan kita sudah janji untuk saling menguatkan. Jaga dirimu baik-baik ya! Aku tak mau pergi dengan melihat wajahmu yang sedih,” tutur Simon dengan suara yang halus. Hanya itu yang bisa ia lakukan agar istrinya bisa tenang.

“Mas, di sana kamu tidak akan tergoda perempuan lain kan?” tanya Maria. Ia tak mampu membendung kekhawatirannya.

“Jadi, kamu lebih mengkhawatirkan itu?” Simon balik bertanya dengan heran.

“Iya, Mas.”

Simon peluk sang istri dengan erat. Kemudian, dia bisikkan keyakinan, “Sayang, apa selama ini aku pernah tidak setia kepadamu dari awal kita pacaran hingga menikah?”

Maria merespon dengan menyandarkan kepala di bahu Simon.

“Aku selalu mencintaimu tanpa kehilangan satu persen pun dari rasa itu,” tegas Simon.

Akan tetapi, Maria belum puas dengan kalimat yang menyergap telinganya. Ia lemparkan pernyataan meminta penegasan, “Sekarang kan kondisinya berbeda. Kamu akan jauh dari jangkauan mataku. Aku takut kamu mencari pelampiasan rindu.”

Simon mengusap air yang keluar dari sudut mata Maria dengan mesra. Tangannya meliuk sesaat menikmati lekuk wajah sang istri.

“Lihat mataku!” perintahnya. “Aku bahkan tak pernah terpikir untuk menatap perempuan lain selain kamu. Tak ada terlintas untuk menitip rindu kepada hati yang ******. Kamu percaya aku, kan? Itulah yang akan menjaga cinta kita.”

Kata-kata Simon membuat Maria terenyuh. Ia bisa membaca ketulusan lisan suaminya melalui pancaran mata.

Perpisahan ini hanya sementara. Tak seharusnya menitipkan beban kepada suami yang sedang berjuang untuk masa depan keluarganya. Begitu ucapnya dalam hati.

Simon pun melangkah menuju gate keberangkatan. Prada yang semula hanya diam mengamati percakapan orang tuanya, tiba-tiba berlari dan memeluk kaki sang ayah. Anak kecil itu sekuat tenaga menghentikan kepergian ayahnya.

“Ayah, jangan pergi! Aku mohon, Ayah. Ayah pindah kerja aja. Nanti aku bantu carikan pekerjaan untuk Ayah. Atau kita berjualan makanan. Aku nggak mau Ayah pergi,” mohon Prada dengan polos.

Simon angkat tubuh Prada. Ia dekapkan ke tubuhnya sebelum pergi. “Nak, ini kan hanya untuk sementara. Ayah kumpulkan dulu modalnya. Nanti kalau sudah cukup kita buka warung makanan ya. Kita kelola bersama”, ucapnya bergetar.

Maria menarik Prada dengan lembut, karena pesawat yang akan ditumpangi Simon diumumkan sudah akan melakukan boarding. Prada menangis histeris sembari menjulurkan kedua tangan kepada sang ayah.

Prada mengeluarkan seluruh tenaganya agar bisa lepas dari dekapan ibunya. Maria sampai kewalahan menahan amukan sang anak.

Simon kembali melangkah sambil menyeka air mata. Ia bukan tak meredakan tangisan anaknya. Ia memilih untuk tidak membalikkan badan, karena tak ingin melihat istri dan anaknya hanyut dalam banjir air mata.

Dalam hati, Simon pun tak kuasa menahan kesedihan. Namun, inilah hidup. Manusia harus selalu membuat keputusan, meskipun itu acapkali pilihan yang sulit.

Maria menggendong Prada dan terus menenangkannya. Orang-orang yang melihat pun terbawa haru menyaksikan pemandangan perpisahan tersebut. Bahkan, ada yang menghampiri Maria dan Prada untuk menawarkan tisu dan sebotol air minum.

Dari masuk ke dalam pesawat hingga berada di angkasa, Simon terus menundukkan kepala. Dalam hatinya berharap dua tahun segera berlalu. Namun di balik semua itu, ia yakin jika pilihannya sudah ada dalam koridor ketentuan Tuhan yang terbaik.

Sementara itu – sepanjang jalan dari bandara menuju rumah – Maria terus berupaya menguatkan batin. Prada yang lelah menangis pun tertidur di pangkuannya. Bukan pertama kali ia ditinggal pergi bertugas ke luar kota oleh suami, tetapi sebelumnya tak pernah lebih dari 10 hari. Hati kecilnya berharap semoga ini bukan awal dari ujian kesetiaan.

Chapter 2

Maria terus menatap layar ponselnya. Ia resah karena sang suami belum juga membalas pesan singkat yang ia kirim. Ketika ditelepon pun justru suara dari operator yang mengabarkan jika nomor yang dituju sedang di luar jangkauan.

Baru sehari ditinggal, perasaan Maria sudah tak karuan. Rindu bercampur gelisah menjadikan pikirannya gundah gulana. Itu karena ia sudah memikirkan terlauh jauh rentang waktu dua tahun yang harus dilalui. Dengan siapa suaminya tinggal, bagaimana lingkungan kerja suaminya, dan bagaimana suaminya mengurus diri menjadi pertanyaan yang memecut batinnya.

Waktu menunjukkan pukul 20.30 malam di Jakarta, dan pukul 21.30 di Balikpapan. Maria masih menggenggam erat ponselnya sambil dipukulkan sedikit ke keningnya.

Apa aku sudah berlebihan ya? Baru sehari Mas Simon pergi, tetapi aku sudah curiga begini. Ah, tak seharusnya menyiksa diri dengan sikap seperti ini. Ucap Maria dalam hati.

Tiba-tiba Prada terbangun. Ia berjalan ke ruang tengah karena mendengar televisi yang masih menyala. Ia pun mendapati ibunya tengah duduk termenung dengan ponsel di tangan kanannya.

“Bu, apa Ayah sudah menelepon?” tanya Prada menghentakkan lamunan sang Ibu.

“Sepertinya Ayah sedang sibuk, Sayang,” jawab Maria.

“Coba ditelepon lagi, Bu. Aku pengen dengar suara Ayah,” pinta Prada sambil duduk di samping ibunya.

Maria mengikuti permintaan Prada. Namun, hasilnya masih sama.

“Nomor Ayah sedang tidak aktif. Mungkin Ayah masih bekerja,” jelas Maria.

Prada memasang wajah sedih. “Tapi ini kan udah malam, Bu. Masa Ayah masih harus bekerja juga. Ayah kan perlu tidur, Bu.”

“Iya, mungkin Ayah lembur,” terangnya seraya memandang layar ponselnya lagi.

“Lembur itu apa, Bu?”

Maria mengusap rambut anaknya. “Menambah jam kerja dikarenakan ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.”

Jawaban sang ibu justru menimbulkan pertanyaan baru di kepala Prada. Ia merasa belum tenang. Ia khawatir sang Ayah menjadi sakit karena terlalu keras dalam bekerja.

“Kenapa tidak dilanjut besok aja, Bu? Emangnya Ayah nggak capek kalau kerjanya dari pagi sampai malam? Kalau Ayah sakit gimana, Bu? Apa di sana teman-teman Ayah baik sama Ayah? Ayo Bu, coba telepon Ayah lagi.”

Celotehan Prada membuat Maria tersentuh. Benar juga yang dikatakan anaknya. Siapa yang akan mengingatkan suaminya untuk makan dan beristirahat di perantauan sana? Apa mungkin hari pertama kerja suaminya sudah langsung lembur hingga larut malam?

Kegusaran pun semakin menyerang pikiran Maria. Hah! Kata yang dia ucapkan untuk membuat Prada mengerti justru berbalik menjadi pertanyaan yang menghujam sanubari.

“Sayang, anak ibu yang pintar, kamu tidur lagi ya,” bujuk Maria. Ia tak mau Prada hanyut dalam lara seperti dirinya.

“Aku mau telepon Ayah dulu, Bu. Aku pengen tahu Ayah sudah makan atau belum. Terus aku juga pengen tahu Ayah sekarang langi ngapain, Bu?” rengek Prada.

Jika hanya ia yang merindu, ia mampu menahannya. Namun, ini telah merenggut pikiran Prada. Ia tak sanggup melihat anaknya harus sampai menangis.

“Nanti kalau Ayah menelepon Ibu bangunkan kamu ya,” ucap Maria.

Prada pun mengusap air mata. Sesungguhnya, ia juga mengamati ibunya sedang bersedih hati. “Janji ya, Bu?”

“Iya. Ayo cepat masuk kamar, nanti kamu kesiangan,” pungkas Maria.

Ia mencoba menelepon lagi suaminya. Ternyata masih tetap sama, di luar jangkauan. Sudah puluhan kali ia menekan tombol dial di nomor sang suami dari siang hingga ke malam.

Dua malam tanpa kehadiran sang suami, gairah Maria seperti memuai. Kecemasan telah membuatnya kaku dalam beraktivitas.

Jarum jam terus berputar. Lelah pun menyergap hingga membuat Maria tertidur di sofa.

Keesokan harinya, Prada membangunkan sang Ibu. Maria pun kaget karena ternyata hari sudah terang. Ia lupa membuat sarapan dan bekal untuk anaknya sekolah.

Maria bergegas ke dapur dan langsung memasak telur dadar. Hanya lauk itu yang bisa dibuat dalam waktu singkat. Prada terpaku memandang heran kekalutan yang dialami ibunya di pagi hari.

Kemudian, Prada berangkat sekolah seperti biasa. Ia tak pernah mengeluh tentang makanan yang tersaji dan bekal yang dibawa. Baginya, tak ada yang lebih membahagiakan selain merasakan dekapan ayah dan ibunya. Ia memang tak hanya pintar dalam akamedik, namun juga memiliki kepekaan dan kepeduliaan tentang kehidupan sosial yang cukup baik.

Sementara bagi Maria, ini pagi pertama yang berantakan selama ia menjadi ibu rumah tangga. Semalaman menunggu balasan dari sang suami membuatnya terlambat bangun. Tentu, ia merasa berdosa karena tak bisa menyuapkan energi yang optimal untuk sang anak.

Maria menjernihkan pikiran sejenak. Ia lalu bergerak membereskan rumah, mencuci piring, dan mencuci pakaian. Ia harus banyak beraktivitas agar pikirannya tidak menyisakan banyak ruang kosong.

Saat mencuci piring, ponsel Maria berdering. Ia pun segera berlari untuk menjawab panggilan tersebut.

“Mas, kenapa ponselmu seharian kemarin tidak aktif? Apa kamu sengaja mematikannya?” Maria menyapa dengan nada kesal.

Simon menyadari kesalahannya. Ia pun mengalunkan kata-kata mesra untuk meredam mood sang istri. “Sayang, di sini susah sinyal.”

Penjelasan Simon tak begitu saja bisa diterima oleh Maria. Ia pun melakukan verifikasi, “Masa sih Mas di kota besar tidak ada sinyal?” suaranya masih sekesal yang tadi.

“Iya, Sayang. Aku tidak bohong. Ini aja pesan-pesanmu baru masuk pas Mas tiba di kantor,” ungkap Simon dengan lembut.

“Terus kamu tinggalnya di mana? Bukan di pusat kota?” cecarnya. Maria terus mengurai kegundahannya ke dalam bentuk pertanyaan hingga seolah menjadi sebuah interogasi. “Mas, kalau gitu cari tempat tinggal yang sinyalnya bagus agar kita bisa berkomunikasi setiap hari. Kamu ingat kan sama janji kita? Ini baru dua hari, tapi untuk menghubungi kamu sudah susah setengah mati.”

Simon tetap menjaga nadanya, “Sayang, di sini tidak semua operator sinyalnya bagus.”

“Memang di kantor tidak ada telepon yang bisa digunakan untuk menghubungi ke sini?” Semua pernyataan atau penjelasan Simon terus dimentahkan oleh Maria.

“Istriku tersayang, terkasih, tercantik, dan ter-segalanya, tidak semua fasilitas yang tersedia di kantor bisa aku gunakan begitu saja untuk urusan pribadi,” jelas Simon dengan kata-kata rayu nan manja.

Kalimat Simon ampuh untuk menurunkan intonasi Maria. “Lalu, solusinya bagaimana, Mas?” suaranya mulai terdengar lebih sopan di telinga.

“Solusi apa, Sayang?”

“Mas, Prada dari kemarin terus menunggu telepon dari kamu. Ini baru awal dia begitu, bagaimana kalau….”

Simon memotong kalimat Maria, “Sekarang dia sudah berangkat sekolah atau belum?”

“Dia sudah berangkat, Mas.”

“Ya, sudah.”

Simon pandai merayu, namun tak cukup cakap mempertahankan afeksi yang ia bangun. Suasana hati sang istri kembali moody.

“Sudah apa, Mas?” Maria menaikkan lagi volume suaranya, “Aku harus bagaimana jika Prada merengek ingin menelepon kamu.”

“Nanti aku ganti nomor dengan simcard yang baru,” tegas Simon.

“Hari ini ya, Mas?” tuntutnya.

“Iya, aku usahakan.”

Namun, persetujuan Simon memantik ketidakpuasan di hati Maria. Kalimat itu tidak tegas sehingga interpretasi Maria menjadi ambigu. Ia pun mencoba mengklarifikasi, “Mas, diusahakan itu belum tentu hari ini, kan? Kamu tuh sebenarnya….”

Tiba-tiba sambungan telepon terputus. Maria langsung menghubungi kembali nomor suaminya, tetapi sudah tidak aktif lagi. Ia pun harus menahan kesal.

Maria merebahkan diri di sofa. Tutur kata yang terucap dari sang suami menguji kesabarannya.

Waktu terus beranjak. Maria menyibukkan diri dengan menonton televisi dan diselingi membaca buku. Sekali lagi, ia harus lebih aktif mencari aktivitas yang mampu mengisi ruang pikirannya. Jangan sampai disusupi oleh berbagai macam prasangka.

Prada pulang dengan senyum yang terkembang lebar. Tak nampak beban yang ia sampaikan semalam. Begitulah anak-anak. Ia terkadang terlihat lupa dengan kesedihannya, padahal mungkin ia hanya menepikan rasa itu di bagian belakang memorinya.

“Bu, hari ini aku ulangan Matematika dapat nilai 100 loh,” ungkap Prada dengan begitu sumringah.

“Kamu memang anak ibu yang cerdas,” puji Maria. Ia pun tersenyum haru melihat anaknya selalu belajar dengan maksimal.

“Kita hubungi Ayah ya, Bu. Aku mau cerita ke Ayah juga. Ayah pasti senang kan Bu mendengar aku dapat nilai sempurna lagi?” lanjut Prada, masih dengan ekspresi gembiranya.

Maria lekas memeluk sang anak. “Nanti ya, Sayang. Sekarang kan Ayah sedang kerja.”

“Dicoba aja dulu, Bu. Kalau Ayah nggak angkat, kita tunggu Ayah telepon balik,” ucap Prada dengan polos.

“Tapi nomor ayah sedang tidak aktif, Sayang,” ucapnya. Ia juga terus mendekap Prada. Ia tidak mau anaknya menatap wajahnya yang berubah sendu.

“Tidak aktif kenapa, Bu?”

“Tidak bisa dihubungi karena tidak ada sinyal.”

Prada melepaskan diri dari pelukan ibunya. “Sebenarnya yang benar yang mana, Bu? Katanya Ayah sibuk kerja, sekarang tidak ada sinyal.”

Maria mengusap tetesan air yang sempat mengalir di pipinya. Ia pasang kembali wajah ceria. “Sayang, kita makan aja dulu yuk. Sekarang Ibu sudah masak yang enak-enak buat kamu. Ada yam kecap, tempe goreng, tumis buncis, kesukaan kamu semua. Ibu juga sudah buat puding cokelat untuk cuci mulutnya. ”

Prada menjadi lesu, karena ibunya justru mengalihkan pertanyaannya. “Ayah kenapa sih, Bu?” tanyanya.

“Kita makan aja dulu yuk sambil tunggu nanti Ayah menelepon,” ajak Maria. Ia tak mau mereka alasan untuk menghibur Prada. Ia sangat menghindari untuk membuai anaknya dengan harapan semu.

Prada pun menurut. Mereka berjalan menuju meja makan.

Hingga langit berubah gelap, Simon masih tak memberi kabar. Maria cukup lelah seharian menunggu dan mengalihkan pikiran Prada.

Maria coba menengok Prada di kamarnya. Ia tampak tertidur di meja belajarnya dengan wajah bersandar ke buku dan tangan kanan mengenggam pensil. Maria pun membaringkan sang anak ke tempat tidur.

Setelah memastikan Prada tidur dengan nyaman, Maria menuju kamarnya. Lebih baik tidur daripada membelenggu diri dengan rindu, pikirnya.

Ketika mulai meraih alam mimpi, ponsel Maria berdering. Ia lihat nama di layar yaitu suaminya. Ia segera mengangkat panggilan tersebut.

“Hari ini kamu sibuk banget ya, Mas? Aku kira bakal ada nomor baru yang menelepon,” sapa Maria dengan pertanyaan satir.

“Maaf, Sayang. Aku belum sempat.”

“Jangan bilang di sana nggak ada counter pulsa juga ya, Mas?”

“Aku lupa, Sayang.”

Jawaban Simon yang tidak konsisten memantik emosi Maria. “Jadi kamu tidak sempat atau lupa?”

Simon tidak mau meladeni emosi istrinya. “Sayang, aku pengen ngobrol dengan Prada,” ucapnya.

“Prada sudah tidur, Mas. Dia lelah menunggu suara ayahnya dari semalam, hingga pagi ke siang, siang ke sore, dan berganti malam lagi,” terang Maria dengan ketus.

“Ya, sudah. Besok pagi aku telepon lagi aja kalau dapat sinyal,” ungkap Simon.

Namun, Maria pun tak mau membuang kesempatan untuk mengobati rindu Prada terhadap ayahnya. “Aku bangunkan dia aja, Mas.”

“Jangan, Sayang. Nanti dia pusing kalau dipaksa bangun.”

Simon berusaha mencegah karena tak ingin menganggu istirahat sang anak. Masih ada hari esok untuknya menelepon kembali. Tetapi bagi Maria, menunggu esok berarti bergelut lagi dengan ketidakpastian sinyal yang mungkin akan kembali menjadi penghalang atau dijadikan alasan.

Maria langsung menuju kamar Prada dan membangunkannya dengan lembut. “Sayang, bangun dulu sebentar!”

“Ada apa, Bu?” tanya Prada sembari membuka mata.

“Ayah menelepon,” jelas Maria.

“Ayah?” Prada seketika merasa bugar mendegar penjelasan sang ibu. “Sini, Bu. Prada mau cerita sama Ayah.”

Maria pun memberikan ponselnya ke Prada.

“Ayah…. Ayah sedang apa? Apa Ayah sudah makan? Apa Ayah nyaman di sana?” sapa Prada dengan pertanyaan yang begitu antusias. Respon yang sangat bertolak belakang dengan sang ibu.

Simon pun menjaga keharuan yang seketika menyeruak. Sesungguhnya ia begitu rindu mendekap sang anak. “Jagoan Ayah sepertinya rindu sekali ya sama Ayah?”

“Yah, hari ini aku ulangan Matematika dapat nilai 100 loh. Nilaiku tertinggi di kelas,” ceritanya.

“Anak Ayah memang hebat.”

“Iya, dong. Kan Ayahnya juga hebat. Aku mau seperti Ayah,” ungkap Prada penuh kobaran semangat.

“Kamu harus bisa lebih baik dari Ayah,” suara Simon bergetar.

“Ayah, kata Ibu kenapa nomor Ayah jarang aktif,” lanjut Prada.

“Di sini susah sinyal, Nak.”

“Kenapa, Yah?”

Simon terdiam sesaat. Tak terbayang harus mengukir rindu yang baru dimulai dengan keluarganya. “Ayah minta maaf ya, Nak. Pokoknya nanti kamu tunggu aja Ayah yang menelepon ya. Kalau Ayah dapat sinyal, pasti Ayah langsung menghubungi.”

“Tapi hari Minggu Ayah pulang, kan?” Tanya Prada meminta konfirmasi. “Kita ke Ragunan ya, Yah. Soalnya aku dikasih tugas sama Bu Guru untuk mencatat nama-nama hewan yang ada di kebun binatang,” jelasnya.

“Iya, nanti kita ke sana,” ucap Simon.

Prada pun langsung kegirangan. Ia meloncat-loncat di tempat tidurnya. “Horeee. Ayah emang luar biasa.”

Memperhatikan ada yang tidak selaras, Maria mengambil alih percakapan dan keluar dari kamar Prada.

“Mas, apa kamu serius dengan yang kamu ucapkan?” todong Maria.

“Sayang, aku hanya nggak mau merusak moodnya,” kilah Simon.

“Terus kamu pikir dia nggak akan kecewa kalau ternyata hari Minggu kamu tidak jadi pulang?”

Mendapati pertanyaan tersebut, Simon hening sejenak. Kemudian, ia pun meminta sang istri untuk memberi pengertian kepada Prada.

“Sayang, tolong nanti kamu yang kasih dia pengertian ya. Sungguh, aku hanya tak ingin merusak momen kegembiraannya.”

Maria mengatur nafas. “Tapi tolong Mas jangan lagi mengangkasakan janji yang sulit untuk kamu tepati kepada Prada.”

Sambungan telepon pun Maria tutup. Inilah yang ia takuti, suaminya membuai janji dengan dalih mendamaikan hati. Kebahagiaan seharusnya tak perlu diintervensi dengan ucapan semu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!