"Mau sampai kapan Gavin? kamu itu sudah berumur tiga puluh enam tahun,," ucap Ibu Gavin.
Gavin yang tadinya hendak memasukkan nasi ke dalam mulutnya itu sontak menghela nafas panjang, diletakkan kembali sendok yang berisi nasi itu ke atas piring lalu menatap ibunya dengan saksama,, Mira yang ditatap serius oleh sang Putra pun membalas tatapan anaknya itu,, hingga mereka beradu mata untuk sepersekian detik, dan kemudian Gavin lah yang mengalah dan menundukkan kepalanya.
"Karir kamu itu sudah bagus banget,, Dokter iya,, Dosen juga iya, terus kamu mau cari apa lagi sih?" tanya Mira.
Gavin hanya diam membisu,, dia tahu betul sia-sia saja berdebat dengan ibunya dalam kondisi seperti ini. Semuanya pasti akan dilibas oleh wanita paruh baya itu dengan mudah dan Gavin pasti akan kalah telak.
"Mau cari calon yang kayak gimana sih? kayak artis?" tanya Mira sambil melirik anaknya itu yang terlihat jemu.
"Kalau yang kamu bidik kayak artis harusnya kamu jadi pengusaha saja jangan jadi dokter," ucap Mira lagi.
"Bu,," ucap Gavin yang akhirnya berbicara.
"Tujuan Ibu kesini hanya untuk menekan aku, agar aku segera menikah?" ucap Gavin.
Mira langsung meletakkan pisau rotinya lalu menatap anaknya itu.
"Ya jelaslah!! kamu itu kenapa sih nggak segera cari jodoh? kamu masih mau cari apa lagi sih? rumah sudah segede ini,, mobil ada dua di garasi,, karir juga sangat cemerlang,, pasien banyak, lantas kamu mau cari apa lagi?" ucap Mira dengan suara yang sudah sangat nyaring membuat telinga Gavin auto sakit dan juga kepala Gavin ikut-ikutan sakit.
"Kamu ini nggak malu sama anak-anak kemarin sore yang udah pada nikah,, sudah punya anak? sedangkan kamu yang sudah mau kepala empat malah pacar saja tidak punya, kamu ini tidak penyimpangan seksual, kan Gavin?" tanya Mira mulai takut jika itu benar adanya.
Sontak Gavin langsung menatap ibunya dengan tatapan gemas, penyimpanan seksual? yang benar saja,, dia benar-benar masih doyan wanita,, Gavin meneguk isi gelasnya,, lalu memijit keningnya dengan perlahan-lahan. Selalu saja seperti ini setiap ibunya mengunjungi dirinya,, selalu saja terjadi keributan seperti ini, membuat Gavin sakit kepala berkepanjangan.
"Gavin ini masih sangat normal Bu, masih doyan cewek," ucap Gavin.
"Nah makanya itu,, apa kamu nggak kebelet kawin? nggak pengen ngerasain kawin itu gimana rasanya? heran ibu sama kamu,, Gavin," omel Mira yang membuat Gavin ingin rasanya segera kabur melarikan diri dari meja makan saat ini.
"Nggak sayang apa dulu kamu sunat? sampai sekarang burungnya malah kamu anggurin,, nggak kamu pakai," ucap Mira.
Gavin yang tadinya mulai fokus makan nasi tersedak seketika begitu mendengar ucapan Mamanya,, sebuah insiden yang membuat Mira malah makin mengomel panjang kali lebar.
"Nah gitu aja keselek, makanya cari bini biar kamu itu ada yang ngurusin,, kelamaan jomblo sih kamu," omel Mira sambil menyodorkan gelasnya yang masih penuh kepada Gavin.
Gavin meneguk air di dalam gelas itu hingga habis, lalu Gavin meletakkan kembali gelas itu,, dan menatap ibunya dengan mata membulat.
"Bu hubungannya keselek, jomblo sama punya istri itu apa sih? emang kalau orang keselek itu tandanya kalau orang itu harus menikah?" ucap Gavin benar-benar tidak mengerti.
Sebagai anak dia tentu sangat merindukan sang Ibu apalagi sekarang mereka tinggal beda kota, tetapi kalau setiap datang ke sini selalu hal ini yang diributkan oleh ibunya,, Gavin benar-benar tidak sanggup.
"Lagian Gavin sunat itu kewajiban kan Bu? sesuai dengan ajaran agama? di dunia medis juga dianjurkan untuk menjaga kebersihan, tidak melulu orang sunat itu tujuannya cuma buat kawin," gerutu Gavin dengan wajah yang memerah.
"Ya rugi kalau sakit-sakit sunat terus burungnya tidak dipakai kawin," ucap Mira.
Gavin langsung menggelengkan kepalanya dengan gemas,, rasanya dia sudah tidak sanggup menghadapi ibunya ini.
"Bu, tapi kan...," ucap Gavin yang tidak selesai.
"Udah lebih baik gini aja, Ibu kasih kamu waktu satu bulan buat bawa calon istri kamu sama ibu, kalau sampai dalam satu bulan kamu tidak juga membawakan calon istri mu sama Ibu,, maka Ibu akan menjodohkan kamu dengan Tati," ucap Mira.
Mata Gavin langsung membelalak sempurna. Tati? Tati siapa? jangan bilang kalau Tati...
"Tari anaknya Pak Hendra yang selalu ingusan itu sampai ingusnya berwarna ijo lumut?" hampir saja Gavin berteriak,, gila aja!!!
"Sekarang dia cantik Gavin,, sudah tidak ingusan lagi," ucap Mira sambil tersenyum jahil pada anaknya.
"DIA UMUR BERAPA BU SEKARANG?" tanya Gavin berteriak karena bocah itu lahir saat dirinya lulus SMA.
"Tujuh belas tahun," jawab Mira dengan santainya.
"TUJUH BELAS TAHUN?" ucap Gavin yang jadi lemas seketika,, pria matang dan mapan seperti dia harus menikahi bocah tujuh belas tahun? astaga apakah tidak ada calon lain yang lebih potensial untuk menyandang gelar sebagai Nyonya Gavin Narendra Putra.
"Pokoknya Ibu tidak mau tahu Gavin,, bulan depan bawa calon mu ke rumah! bulan depannya biar Ibu lamarkan dia untuk kamu dan bulan depannya lagi kamu harus sudah nikah,, TITIK," ucap Mira.
"APA?" ucap Gavin yang kembali membelalakan matanya.
##########
Gavin mengendarai mobilnya dengan sedikit ketar ketir, menikahi Tati? mimpi apa Gavin semalam sehingga dia harus menikahi bocah kemarin sore macam si Tati itu? Gavin bukan hanya seorang dokter bedah, melainkan juga seorang dosen di Fakultas Kedokteran Perguruan Tinggi Negeri yang ada di kota ini, dan dia harus menikahi bocah semacam si Tati itu? ya ampun!
"Dikira cari istri itu cuma tinggal comot doang? ya ampun Bu...Bu," ucap Gavin mendesis kesal, Gavin saat ini sedang perjalanan ke kampus,, ada kuliah pagi sebelum dia harus praktik di rumah sakit.
Menikah? siapa sih yang tidak mau menikah? hanya saja berkali-kali dia gagal dalam hubungan membuat Gavin tidak ingin membuang-buang waktunya lagi dengan percuma. Hal yang membuat Gavin kembali asik sekolah dan fokus pada karirnya. Dan tahun ini dia sudah genap tiga puluh enam tahun,, sebuah angka yang membuat Mira sang Ibu kelabakan karena sampai saat ini Gavin tidak pernah bercerita tentang dekat dengan seorang wanita manapun atau suka dengan wanita manapun.
"Cari bini dimana Ya Allah?" ucap Gavin frustrasi sendiri.
Sebenarnya sangat banyak kok yang mau dengan sosok dokter bedah satu ini,, postur tinggi tegap dan rahang yang kokoh,, kulit yang sangat putih dan hidung mancung membuat pesona Gavin seperti aktor-aktor Korea,, para mahasiswi baik di kampus maupun di rumah sakit sangat bersemangat apabila dosen ini yang mengajar, tidak peduli sama sekali dengan Gavin yang begitu killer dan judes. Karena dimata mereka Gavin sangatlah tampan. Namun Gavin selalu cuek dan abai pada setiap mata yang memandang memuja dan berusaha mendekati dirinya, dia sudah kehilangan gairah untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis,, fokusnya sekarang hanya pada karir, pasien, dan juga penelitian-penelitiannya.
"Sama dokter internship nggak ada yang cocok,"
"Dokter residen tidak ada yang menarik,"
"Dokter definitif sudah punya anak semua yang ceweknya,"
Gavin baru sadar selama ini dia tidak punya banyak waktu untuk menatap dan memperhatikan wanita-wanita yang ada di sekelilingnya.
"Ya Allah,, jodohku kemana sih Ya Allah?" ucap Gavin.
Gavin memarkirkan mobilnya di area parkir fakultas kedokteran tempat dia mengajar, tas ranselnya sudah naik ke punggung, dia sudah melihat dirinya dan semuanya sudah rapi. Gavin melangkah dengan santai beberapa kali menyunggingkan senyum tipisnya ketika ada yang menyapa dirinya. Gavin hendak melangkah keluar dari area parkir,, namun langkahnya terhenti begitu kakinya menginjak sesuatu.
"Flashdisk?" ucap Gavin dengan alis yang berkerut,, dia menggeleng dan membawa flashdisk itu di genggamannya. Mungkin saja itu milik salah satu mahasiswanya,, dia kemudian melanjutkan langkahnya sambil menghilangkan pelan-pelan rasa dongkol di dalam hatinya efek obrolan yang membosankan dengan ibunya tadi.
#########
"Cari yang benar dong Dian," ucap Kiki.
Diandra sontak saja langsung mendengus,, memutar bola matanya dengan gemas sambil menatap Kiki yang saat ini juga tampak panik. Bagaimana mau tidak panik kalau tiga puluh lima menit lagi Diandra akan sidang skripsi, namun file skripsinya lenyap entah ke mana bersama dengan flashdisk nya,, dan lebih parahnya lagi laptopnya tadi terbentur meja sehingga membuat layar LCD laptop itu mati total. Lengkap sudah penderitaannya.
"Ini aku juga udah beneran carinya Kiki," ucap Diandra dengan mata yang sudah memerah, dia benar-benar akan mati kalau soft file presentasi untuk sidang skripsinya itu benar-benar tidak dia temukan.
"Lagian kamu sih gimana ceritanya flashdisk bisa hilang,, laptop mati pula," ucap Kiki masih dengan panik juga.
Diandra mencebikkan bibirnya memang semua ini dia mau apa? Diandra juga tidak mau ini terjadi di hari paling krusial dalam sepanjang perjalanan Pre - kliniknya. Gelar Sarjana Kedokteran itu adalah impian Diandra selama ini dan tinggal selangkah lagi dia mendapatkan gelar itu untuk lanjut pendidikan klinik dan segala macam perjuangannya untuk menjadi seorang Dokter.
"Nggak ada Ki," ucap Diandra sambil mengeluarkan semua isi tasnya.
Berbagai macam benda seperti tempat pulpen, pouch make-up dan lain sebagainya berjatuhan,, namun tidak ada flashdisk itu di sana membuat Diandra begitu frustasi,, tidak peduli dengan banyaknya mahasiswa dan mahasiswi di sana dia langsung berteriak dengan sedikit putus asa.
"AAAA SUMPAH DEMI ALLAH SIAPAPUN ORANG YANG MENEMUKAN FLASHDISK KU DAN MENGEMBALIKAN KE AKU HARI INI, KALAU PEREMPUAN AKAN AKU JADIKAN SAUDARA DAN KALAU LAKI-LAKI AKAN AKU JADIKAN SUAMI," teriak frustasi Diandra yang langsung membuat semua orang menoleh kepadanya dan menatapnya terkejut.
Belum hilang keterkejutan semua orang yang di sana karena teriakan frustasi Diandra mereka kembali dibuat terkejut dengan munculnya seseorang dengan sosok yang sangat tenang melangkah mendekati Diandra yang sedang duduk di lantai sambil terisak menundukkan wajahnya.
Siapa yang tidak kenal dengan sosok itu? Dokter Gavin Narendra Putra seorang dokter bedah yang merupakan salah satu dosen juga di kampus mereka, dengan tubuh tinggi tegap dan atletis itu,, sungguh dia sama sekali tidak cocok menjadi Dokter jika dilihat dari visualnya, terlalu ganteng parah sampai nggak ada obat. Semuanya langsung diam membisu kecuali Diandra yang masih terisak dengan nasib yang menimpanya,, laptopnya rusak,, flashdisk nya hilang di saat hendak sidang skripsi? hal buruk memang apalagi yang akan terjadi selain dua hal yang saat ini dia alami?
"Ini flashdisk yang kamu maksud?" tanya sosok yang sangat tampan itu,, yang lagi-lagi membuat semua orang yang ada di sana langsung tertegun tidak berkutik sama sekali.
Diandra tersentak kaget,, suara itu.... Diandra segera mengangkat wajahnya,, sosok itu sedang berdiri di depan Diandra sambil menyodorkan benda yang dicari oleh Diandra sejak tadi. Ya flashdisk itu ada di tangan Dokter Gavin! Bagaimana bisa? Ah tidak perduli lah masalah itu yang penting flashdisk nya kembali dan dia siap untuk sidang skripsi. Kebahagiaan dan rasa syukur yang hendak keluar dari bibir Diandra sontak terhenti. Karena samar-samar Diandra mengingat sumpahnya tadi itu,, yang itu berarti....
"Tadi saya menemukan itu di area parkir," ucap Dokter Gavin sambil memberikan benda itu ke tangan Diandra yang masih tertegun di tempatnya duduk.
"Setelah sidang saya tunggu di ruangan saya untuk membahas kapan bisa saya datang ke rumahmu untuk melamar mu. Kebetulan saya lagi butuh istri," ucap sosok tampan itu dengan begitu santainya.
Semua yang ada disana sontak membelalakan matanya dengan sempurna,, termasuk Kiki dan tentunya Diandra. Sosok itu hanya tersenyum tampak dia hendak melangkah namun dia urungkan dan kembali menatap Diandra yang terlihat masih shock berat.
"Semangat untuk sidang hari ini yah,, saya tunggu di ruangan saya," ucapnya lalu melangkah dengan begitu santainya dan sangat percaya diri menuju ruangan dosen.
Diandra tertegun,, dia menoleh menatap Kiki yang masih sangat terkejut dan melongo itu dengan apa yang barusan terjadi di depan matanya sendiri.
"Diandra,, please ini cuma mimpikan Dian?" ucap Kiki dengan ekspresi terkejutnya itu.
Diandra menoleh perlahan sambil menatap di sekelilingnya yang tengah memperhatikannya itu. Flashdisk di tangan Diandra langsung terjatuh, dan sekali lagi Diandra berteriak histeris sambil mengacak rambutnya dengan sangat frustasi.
"Ttttiiiiddaaaaaakkkkkkkk," teriak Diandra.
Gavin mendengar teriakan histeris itu dan Gavin hanya tersenyum simpul saja lantas melangkahkan kakinya menuju ke ruangannya,, bayangan gadis itu terlintas dalam benak Gavin,, dia adalah salah satu mahasiswi yang sedikit menyebalkan menurut Gavin pribadi, namun Gavin akui kalau Diandra cukup menarik,, wajahnya cantik dan bibir tipis yang selalu diolesi lipcream.
Sejak dulu Gavin selalu memperhatikan gadis itu,, bukan karena naksir tapi karena sikap yang menyebalkan dari gadis itu,, agak lemot dan ngeyel setengah mati membuat Gavin sangat gemas pada sosok wanita itu.
"Huh,, daripada aku di suruh nikah sama si Tati itu,, sama Diandra tentu lebih mendingan, bukan?" ucap Gavin,, dan Gavin sendiri tidak mengerti kenapa hidupnya gini amat sih?
Ada untungnya juga tadi dia memungut benda itu,, dan mendengar teriakan frustasi dari pemilik si flashdisk,, rasanya kebuntuan Gavin mengenai tekad sang Ibu yang sudah ngebet meminta menantu langsung menemukan solusi seketika.
"Diandra Safaluna," ucap Gavin secara tidak sadar menyebutkan nama lengkap gadis itu,, membayangkan visual gadis itu dalam otaknya,, apa tanggapan Ibunya nanti ketika dia membawa Diandra pulang dan memperkenalkan Diandra sebagai calon istrinya? apakah Mira akan menerima? atau akan tetap menjodohkan dirinya dengan Tati?
Mampus lah kalau dia di jodohkan dengan Tati! daripada anak Pak Hendra tentu saja Diandra lebih menarik. Namun kembali pada pasal yang membuat Gavin sedikit ragu adalah sikap gadis itu yang selalu membuat dia hipertensi. Gadis itu agak menyebalkan sering sekali dia berselisih dengan gadis itu di dalam kelas,, seperti waktu itu.....
"Tugas makalah yang saya berikan kemarin,, sudah selesai bukan?" tanya Gavin sambil menatap mahasiswanya satu persatu dan mereka pun langsung mengangguk kompak,, terlihat mereka langsung mengambil sesuatu dari dalam tas mereka masing-masing. Beberapa dari mereka bahkan sudah menyiapkan makalah itu di atas meja.
Gavin meraih makalah dari meja paling depan membukanya dan hendak membaca makalah itu ketika pintu ruangan terbuka, nampak sosok itu muncul dengan nafas yang terengah-engah, membuat Gavin sontak menutup kembali makalah itu dan melihat ke arah pintu dengan tatapan tajam.
"Jam berapa ini?" tanya Gavin dingin dengan suara yang sangat tidak ramah.
Gadis itu sontak berlari ke arah Gavin menundukkan wajahnya dengan nafas yang masih terengah-engah sambil mencoba menetralkan nafasnya.
"Maaf Dok, tadi ban motor saya boc...," ucap Diandra yang tidak selesai.
"Tidak ada alasan! kamu telat dikelas saya dan peraturannya kalau telat tidak boleh masuk kelas!" ucap Gavin tegas.
Diandra langsung mengangkat wajahnya menatap Gavin dengan mata yang terbelalak.
"Loh,, tapi kan saya hanya terlambat satu menit saja Dok,," ucap Diandra protes.
"Saya tidak mau tahu dan tidak peduli,, itu sudah menjadi peraturan di kelas saya," ucap Gavin yang tetap bersikukuh tidak mau menerima gadis itu di kelasnya.
"Ini sangat tidak adil!!!" ucap Diandra.
Gavin langsung memandang gadis itu dengan tajam dan ruangan menjadi sangat sunyi, pandangan mereka langsung fokus pada dua orang yang berada di depan kelas yang sedang bersitegang.
"Tidak adil? di bagian mananya sampai kamu bilang tidak adil, Dian?" ucap Gavin.
Dan di sinilah Gavin berada sekarang,, duduk di sebelah Diandra,, mahasiswi yang paling menyebalkan dalam sepanjang karir Gavin menjadi dosen. Meskipun baru dua tahun ini dia menjadi tenaga pengajar di universitas, tetapi sungguh baru kali ini dia bertemu dengan makhluk semenyebalkan Diandra.
"Jadi bagaimana, Diandra?" tanya Profesor Ali dekan Fakultas Kedokteran itu sambil menatap Diandra dan Gavin bergantian.
"Saya mau mengajukan protes,, Prof!" ucap Diandra tanpa rasa takut sedikitpun, yang sontak membuat Gavin terlonjak kaget, Edan! berani benar rupanya makhluk satu ini!
"Protes yang seperti apa?" tanya Profesor Ali sambil menatap Gavin yang terkejut itu,, dia masih mencoba tenang dan hendak menyimak apa yang hendak mahasiswi itu keluhkan.
"Saya keberatan dengan para dosen yang seenaknya memberi aturan tidak mengizinkan mahasiswa masuk kelas ketika mahasiswa terlambat! itu tentu sangat merugikan bagi kami sebagai mahasiswa, karena kami di sini bayar SPP juga Prof, uang pangkal juga bayar dan lain-lain, terus seenaknya saja, saya tidak boleh ikut kelas terus,," cerocos Diandra tanpa rasa takut sedikitpun.
"Yang jadi dosen saya, saya yang mengajar dan selama jam pelajaran saya,, otomatis saya yang memegang kendali buat peraturan dan itu sudah sangat mutlak!"ucap Gavin yang akhirnya bersuara, Gavin tidak suka diinterupsi seperti ini, memangnya gadis ini siapa?
"Tapi disini yang dibuat pihak kampus bayar jasa Dokter sebagai pengajar itu adalah uang saya juga,, Dokter! dan Dokter dengan seenaknya saja melarang saya untuk ikut kelas,, itu sama saja merugikan saya Dokter!" ucap Diandra.
Gavin mengeram kesal,, rasanya dia ingin sekali menggebrak meja itu seketika, namun dia sungkan pada seseorang yang duduk di depan mereka. Gavin menatap Diandra dengan sorot mata sangat tajam, begitupun sebaliknya Diandra juga seperti itu. Sungguh Gavin sampai tidak mengerti,, mengapa ada makhluk yang sangat menyebalkan seperti ini?
"Tapi itu kelas saya,, jadi saya berhak membuat peraturan di kelasku, dan selama kamu ikut dalam kelas saya,, maka kamu harus patuh dengan segala aturan di kelas saya," ucap Gavin lagi tidak mau dibantah.
Tampak gadis itu ikut mengeram kesal,, membuat Gavin rasanya ingin....Ah tentu saja tidak! karena dia wanita tentu saja akan sangat cemen jika baku hantam dengan seorang wanita,, dimana martabatnya sebagai seorang laki-laki?
"Kalau hukuman yang Dokter berikan sesuai dengan kesalahan dan tidak merugikan saya dalam jangka panjang seperti ini, tentu saya akan terima Dokter, tapi hukuman Dokter itu sama saja merugikan saya dalam jangka panjang, jadi mana mungkin saya akan terima! saya kuliah disini bayar,, bukan Dokter yang bayar biaya kuliah saya," ucap Diandra lagi.
Dasar anak ini... Gavin terus mengeram dalam hatinya, berani sekali bocah itu melawan dirinya? mana di depan dekan pula. Astaga... kepala Gavin langsung pusing seketika, rasanya sia-sia saja berdebat dengan bocah satu ini.
"Jadi mau mu,, kamu mau dihukum apa?" tanya Gavin.
Seketika Diandra tergagap membuat Gavin sontak menghela nafas panjang. Dasar menyebalkan!
"Jadi intinya Ananda Diandra ini keberatan dengan hukuman yang diberikan oleh Dokter Gavin?" tanya Profesor Ali yang kembali bersuara, sudah saatnya dia melerai pertikaian dihadapannya saat ini, Gavin menghela nafasnya panjang, yang jelas Gavin ingin segera menyelesaikan urusannya dengan anak menyebalkan ini tanpa diperpanjang,, Gavin sudah sangat malas.
"Tentu saja Prof,, karena hukumannya sangat tidak manusiawi sekali dan juga merugikan saya Prof," ucap Diandra.
Gavin seketika terbelalak,, tidak manusiawi kata bocah itu? memang Gavin sudah melakukan apa? meminta bocah itu membangun jalan dari Anyer ke Panarukan? bikin jembatan Suramadu? atau apa? dimana letak tidak manusiawi nya dirinya?
"Dokter Gavin, saya rasa pendapat Ananda Diandra ada benarnya juga, lebih baik diberi hukuman lain yang memberi efek jera, mereka akan ketinggalan materi jika tidak diizinkan masuk kelas,, bukan?" ucap Profesor Ali.
"Ta...tapi Prof,, sa...,"
"Dokter Gavin please! apa perlu saya bawa teman-teman untuk demo di depan Fakultas?" ucap Diandra.
Entah sudah ke berapa kalinya Gavin membelalakan matanya pagi ini karena kesal pada mahasiswi nya yang sangat bandel ini. Sungguh rasanya Gavin sudah gemas setengah mati, Bapaknya praktik di mana sih? Dokter apa? sampai anaknya bisa seberani ini pada dosennya sendiri.
Namun Gavin sudah tidak bisa berkutik lagi, oke. Hari ini dia memang kalah melawan gadis menyebalkan ini. Akan dia ganti hukuman yang dia berikan, namun suatu hari nanti Gavin sudah bertekad akan membalas gadis ini dan membuat gadis ini menyesal sudah berurusan dengan Gavin Narendra Putra, lihat saja nanti!
##########
"Loh kenapa makalah saya dikembalikan Dok?" ucap Diandra terlihat jelas dia protes keras pada Gavin yang mengembalikan makalahnya.
Gavin tersenyum sinis sambil menepuk pundak gadis itu lalu berbisik "Lain kali kalau mau ngumpulin tugas itu dibaca dulu ketentuan tugasnya itu seperti apa,, mengerti?"
Gavin melihat jelas wajah gadis itu tampak memucat, sedetik kemudian mata gadis itu kembali menatap tajam padanya, Gavin tersenyum setengah mengejek Diandra,, sebelum dia melangkah pergi dari hadapan Diandra.
Siapa suruh berani berurusan dengan dirinya? gadis itu memang benar uang pembayaran kuliahnya yang membayar jasanya di sini. Namun perlu Gavin tekankan segalanya di sini, lebih tepatnya di kelas Gavin,, bahwa Gavin yang berkuasa penuh.
Dengan langkah kaki santai Gavin masuk ke dalam ruangannya, Gavin hendak bersiap menuju rumah sakit karena jam mengajarnya telah selesai dan deretan jadwal operasi sudah menunggunya di rumah sakit, samar-samar Gavin bisa mendengar ocehan gadis itu yang tampaknya sangat protes atas tindakan yang Gavin lakukan.
"Hah.. siapa suruh berurusan dengan saya, Dian? rasakan saja sekarang," ucap Gavin yang entah mengapa sangat puas melihat wajah cemberut gadis itu tadi.
Gavin sudah menaikkan tas itu ke punggungnya, ketika tiba-tiba ponselnya berdering, dia segera merogoh saku kemejanya, yang menampilkan nama dan nomor itu. Gavin langsung menghela nafas panjang,, ibunya yang menelepon,,, bukannya tidak suka ibunya menelepon dirinya hanya saja Gavin pasti akan dibuat sakit kepala dengan permintaan ibunya yang sudah beberapa tahun lalu tidak berubah dan semakin menjadi-jadi, yaitu minta dibawakan calon mantu.
Jujur saja Gavin belum memiliki pandangan seperti apa wanita yang akan dia nikahi, dia belum berpikir sampai ke sana, tapi tahu sendiri bukan bagi warga negara Indonesia, di usia Gavin saat ini, dia ditekan harus sudah berumah tangga? padahal siapa sih yang mengharuskan itu? buat apa juga buru-buru menikah? Gavin menghirup udara sebanyak-banyaknya mempersiapkan diri untuk menghadapi sang Ibu yang sudah Gavin bisa tebak ke mana arah pembicaraan ibunya nanti.
"Assalamualaikum, Bu," ucap Gavin sambil keluar dari ruangannya,, sungguh sangat malu jika rekan-rekannya mendengar pembicaraan dia dan ibunya tentang masalah itu, ya walaupun rekan-rekan nya tidak bisa mendengar suara ibunya tapi Gavin lebih memilih keluar dari ruangan itu.
"Gavin besok Ibu mau ke sana, kamu mau dibawain apa?" tanya Mira
Mati sudah!
Jika mendapat telepon dari ibunya saja sudah seperti mimpi buruk untuk Gavin, maka dikunjungi ibunya ke rumah,, itu lebih buruk lagi dan sangat menyeramkan, Gavin akan kenyang di ceramai dari pagi sampai malam mengenai jodoh dan keinginan sang ibu agar dia segera menikah. Tapi kalau melarang sang ibu untuk datang ke rumahnya,, itu sama saja kurang ajar, durhaka,, anak tidak tahu di untung dan entah apalagi sebutan untuk dirinya. Gavin memijit pelipisnya perlahan,, dia hendak buka suara namun suara itu lebih dulu menyapanya.
"Gavin,, kamu tidak tiba-tiba menjadi tuli kan?" tanya Mira.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!