NovelToon NovelToon

Gadis Mungil (I Love You)

1. Monalisa dalam pilu

Segerombolan orang berbadan kekar dengan tubuh dipenuhi tato masih mengejarnya tanpa kata lelah. Sorot mata tajam masing-masing, terus mengintai ke sekeliling area tersebut dengan raut wajah geram. Dua ke arah barat dan dua lainnya ke arah selatan.

“Kalian kesana, kita ke arah sini.”

Sementara gadis kecil dengan kacamata bundar dan lusuh itu sedang mengatur nafasnya yang ngos-ngosan di himpitan sempit antara tong sampah dan pohon serut besar. Peluhnya sudah membasahi sekujur tubuh, bahkan baunya sudah menyengat hidungnya sendiri. Ia tak peduli, yang penting pikirkan dulu cara menjauh dari kejaran mereka.

Mata bulatnya mengintip dari balik daun, mengamati pergerakan segerombol orang yang masih berkeliling disana. Kalau sampai mereka menemukannya, tamatlah sudah. Gadis itu mengelus dadanya, berdoa di dalam hati berharap Tuhan masih melindunginya.

Nafasnya masih berderu naik turun dengan cepat. Jantungnya pun semakin berdetak lebih kencang. Dalam persembunyiannya gadis mungil itu masih terngiang dengan kejadian yang telah di alami beberapa bulan ini. Kejadian yang selalu melukai hati dan tubuh mungilnya. Sampai detik ini pun Ia tak menyangka bahwa Pamam akan tega menjualnya. Padahal selama ini Mona sudah menganggap paman seperti orang tuanya sendiri, tapi kenyataannya lain, mereka tak menyayanginya. Bahkan mereka sangat membenci kehadirannya.

Di ruang tengah rumah megah bernuansa Eropa terlihat begitu menegangkan. Sorot mata tajam penuh kebencian itu mengarah padanya. “Akhirnya kau segera pergi dari sini!” Ucap lantang Widya. Seringai senyum menghiasi bibir nya.

“Sudah lelah kami merawatmu!!” sambung Widya lagi dengan tatapan sengit.

Gadis mungil itu tertunduk di samping anak tangga yang menjulang tinggi mengarah ke lantai dua. Matanya sembab memerah di hiasi beberapa titik butiran bening menempel di pipinya. “Tolong jangan buang aku, paman!” Pintanya memelas berusaha meraih pergelangan kaki pamannya. Ia sudah bersimpuh di lantai berharap pamannya akan iba.

“Cih!! Lepaskan!” Kakinya Ia kibaskan hingga gadis itu terjengkang.

“Hei!” Widya membungkuk. Tangannya mengangkat paksa dagu gadis yang masih terisak. “Kau pikir kami akan membuangmu?? Haha.” Tawa wanita itu menggelegar memenuhi ruangan mencekam itu. Menyiksa gadis ini rasanya sangatlah memuaskan. Di lepas cengkeraman di dagu nya dengan setengah menekan hingga meninggalkan bekas merah disana.

Sementara Tika, anak dari Widya itu mengikuti tawa ibunya. “Mampus kau!” imbuhnya dengan cibiran sengit di bibirnya. Rasa bencinya yang sudah lama di pendam semakin membuatnya bersemangat ikut mengusir nya.

“Kau akan kami jual! Kami tidak mau rugi!” Widya menunjuk ke arah wajah gadis itu tanpa peduli bahwa ucapannya itu telah membuatnya semakin ketakutan.

Agus sebagai kepala rumah tak merasa bersalah. Senyum di bibirnya menandakan Ia sangat mendukung ucapan Widya yang di lontarkan pada Mona. Bertahun tahun menanti, akhirnya yang di impikan pun terjadi.

“Kenapa paman dan bibi bicara seperti itu, spa salahku?” masih terisak namun berusaha berbicara. Tubuh mungilnya berusaha untuk berdiri lagi. Berdiri walaupun tulang nya sangat sakit untuk di gerakkan. Semua terasa berat dan kaku.

Widya berjalan mendekati suaminya. “Karena memang kau pantas untuk kami jual!” seringai bibir nya terlihat lagi.

“Hei kau!!” jarinya menunjuk lagi tepat ke arah kening gadis itu. “Sudah saatnya kau pergi dari kehidupan kami! Kami sudah tak membutuhkanmu!”

Malam itu sepertinya akan menjadi malam yang paling mengerikan baginya. Di sudut kamarnya yang sempit Ia masih menangis meratapi apa yang baru saja dan yang akan terjadi berikutnya. Di ruangan ini lah yang sudah satu bulan ini Ia gunakan untuk memejamkan mata kala lelah. Kamar loteng yang dulu di gunakan untuk menaruh barang yang sudah tak berguna lagi kini harus Ia huni dengan keterpaksaan. Dan benar, Mona ada di sini, itu tandanya memang dirinya sudah tak ada gunanya sama sekali. Ia kembali menangis sembari memeluk ke dua lututnya yang menggigil. Entah kedinginan ataupun ketakutan.

Setelah kepergian Ibu dan Ayahnya yang mengalami kecelakaan 2 bulan lalu, hidupnya langsung berubah seketika. Seperti sebuah bukit yang tiba tiba saja runtuh menyapu dan menyeret paksa apapun yang ada di bawahnya. Bukan saja rasa kehilangan yang menyayat hatinya, namun sifat Paman dan Bibinya yang tiba tiba berubah 180 derajat membuat gadis mungil itu semakin terpuruk. Sifat mereka yang kejam semakin membuat hidupnya seperti di neraka. Gadis itu di perlakukan layaknya seorang budak. Kehidupan yang penuh dengan tawa sudah tak di rasakannya lagi sekarang. Yang ada hanya penyiksaan yang Ia dapat dalam kesehariannya. Bahkan luka sayatan pisau masih membekas di punggung nya. Di tambah lagi dirinya akan segera di jual. Di jual kemana? kepada siapa? tak ada yang memberi jawaban.

Kebaikan mereka selama ini bukanlah atas dasar hati yang tulus. Setelah mereka berhasil menguasai seluruh kekayaan Ayahnya, mendadak sifat rubah mereka muncul.

Tepat pukul dua dini hari, gadis mungil itu terbangun karena tumpahan air yang tiba-tiba saja mengguyur tubuhnya yang tertidur meringkuk di sudut ruangan. Sontak Ia berdiri dengan nafas yang gelagapan. “A-apa yang paman lakuan padaku?” tanya gadis itu sambil mengusap wajahnya yang basah. Nafasnya masih tersengal karena air itu masuk ke dalam hidung nya.

“Bersiap-siaplah cepat! Kau akan segera di jemput!” Perintah Agus dengan keras. Ia melempar ember kosong yang di pegangnya ke arah gadis mungil itu hingga membuatnya mundur untuk menghindar.

Kedua tangannya mendekap tubuh mungilnya yang mulai kedinginan. “A-aku... ma-u dibawa kemana Paman?” tanya Ia gemetar.

Tak ada penjelasan dari Bagus. “Cepat ganti bajumu! Aku tunggu kau di bawah!”

“Ta-tapi Paman.”

“Lakukan! Atau kau mati!” Ancam Agus sambil menutup pintu dengan keras.

Deg!! Tubuh mungilnya semakin lunglai. Butiran bening mulai turun lagi dari balik kelopak matanya. Apa yang akan terjadi padaku? ada apa ini? sku takut!

“Mana gadis itu, Agus?” tanya lelaki botak yang tengah duduk di sofa ruang tamunya.

“Aku hancurkan rumah ini jika kau bohong padaku!” lelaki itu menatap tajam Agus yang masih berdiri di dekat tangga.

“Tunggulah sebentar, Tuan! Dia akan segera turun.”

“Baiklah....”

Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki menuruni anak tangga. Dengan langkah gemetar gadis itu turun dan mendekat. Ia berdiri tertunduk di samping Agus. Ia hanya memakai T-Sirt dan celana jeans pendek. Itu pun baju bekas Tika. Rambutnya yang tersiram air pun belum sempat di keringkan. Bahkan di sisir pun tidak.

“Lusuh sekali bocah ini! Kau tidak menyuruhnya mandi? Ck!” ucap Lelaki botak itu. Ia melangkah mendekati Gadis itu. Gadis itu akan mundur tapi gagal karena lengannya langsung di genggam erat oleh Agus. Ia meringis karena cengkeraman yang kuat di lengannya.

“Sakit Paman.” Keluhnya lirih.

“Hei Bocah! Siapa namamu?!” tanya Lelaki botak itu. Ia membungkuk mendekati wajah gadis itu.

Ia masih diam. Tubuhnya semakin bergetar. Peluh dingin sudah menetes. Tangisnya tak lagi berguna. Sekedar mendongak sedikit Ia pun tak berani. Matanya hanya tertuju pada jemari kakinya yang saling menghimpit saling menguatkan

“Siapa namamu? Jawab!” Suara lantang itu membuat nya semakin ketakutan.

Ia terlonjak kaget. “Mo-Mona, Tuan. Monalisa....”

“Hemmm...” Lelaki itu mengangguk. Tubuhnya sudah berdiri tegak dengan tongkat kayu mahoni hitam di tangannya. Matanya melirik 2 lelaki berbadan kekar yang sedari tadi berdiri tak jauh dari nya. “Cepat bawa masuk ke dalam mobil!” perintahnya lantang.

“Baik Bos!”

Kedua lelaki itu menarik Mona dengan paksa.

“Paman! Aku mau di bawa kemana? Paman, tolong aku.” Mona berusaha menampis tangan kekar itu. Tapi tubuh mungilnya seperti akan retak dengan sendirinya jika terus melawan.

Agus tak peduli. Ia hanya fokus berbicara dengan si botak hingga Mona sudah tak terlihat lagi.

“Terimakasih, tuan,” ucapnya setelah menerima satu tas berisi uang berjumlah dua milyar. Ada senyum puas di sudut bibirnya.

“Sekarang gadis itu milikku!” ujar nya lagi.

“Senang bekerja sama dengan anda, Tuan Baron.” Agus menjabat erat telapak tangan Baron.

“Aku pergi,” pamit Baron setelah telapak tangannya terlepas.

“Akhirnya bocah itu pergi dari sini,” ucap Widya dengan senyumnya yang jahat.

Setelah ini sudah tak ada lagi penghalang atau gangguan untuk Agus selama menguasai perusahaan Joanda. Sekali berlayar dua pulau terlampaui. Agus menepuk satu tas kotak berisikan uang. Senyumnya tersungging di bibir tebalnya. Puas sekali rasanya. Inilah surga di dunia yang saat ini sedang di rasakannya.

“Lihatlah Istriku, sekarang kita menjadi orang kaya.” Tawa Agus menggelegar di ikuti Istri dan anak perempuannya.

****

Jangan lupa like dan vote nya 🙏🙏🙏

2. Pertemuan awal

Setelah merasa dirinya sudah aman, Mona keluar dari persembunyiannya. Ada sedikit perasaan lega di hatinya. Ia menatap ke sekitar, mengitari ke sekeliling tempatnya tengah berdiri sekarang. Telapak tangannya mengelus dada pelan. Mengambil nafas melepas kelegaan kemudian mengibaskan bajunya yang kotor terkena sampah. Ia tau ini belum lah berakhir. Melarikan diri dari mereka bukan perkara mudah. Ketakutan hingga tubuh bergetar sempat di rasakan tadi ketika tubuh mungilnya berada di tengah orang bertubuh kekar. Duduk dengan keringat menetes kemana mana, hingga dengan nekatnya Mona membuka pintu mobil saat salah satu dari mereka keluar untuk membeli minuman. Entah ini keajaiban atau kebodohan mereka.

“Sepertinya mereka sudah pergi jauh, aku harus pergi dari sini.”

Kakinya mulai melangkah kembali menyusuri jalanan. Kepalanya mendongak, bola matanya mengintip ke atas dari balik kacamata dan telapak tangannya yang Ia letakkan di atas keningnya. Hari ini sangat terik. Lalu di lapnya peluh yang menetes di pelipis.

“Ah, aku sangat lapar.” Diusapnya perut datar itu. Bunyinya sudah seperti kran yang mengucurkan air. “Dari kemarin aku belum makan.” Wajahnya semakin terlihat sayu dan kelelahan.

Di ujung belokan jalan, Mona melihat kembali dua tubuh lelaki kekar itu lagi. Mona mulai panik. Ia memutar badan. “Aku harus bagaimana?” Ia celingukan. “ Iya, aku harus sembunyi.”

Mona melangkah pelan, mendekati sebuah mobil hitam yang terparkir tak jauh dari hadapannya. Seorang lelaki bertubuh tinggi dengan memakai setelan jas, sepertinya tengah menelpon seseorang bersendehan pada pintu mobil. Tanpa permisi ataupun sepengetahuan lelaki itu, Mona membuka pintu belakang mobil. Ia masuk dengan perlahan. Lalu duduk meringkuk pada himpitan jok belakang dan depan. Nafasnya memburu. “Yang penting aman dulu,” Batinnya.

Saking paniknya Mona sudah tak bisa berfikir lagi dan tanpa ragu Ia langsung masuk ke dalam mobil hitam itu. Intinya sekarang menghindar dari kejaran orang itu!

“Aku pulang ke rumah dulu, tunggu saja di kantor.”

Tut..

Sambungan telpon terputus. Lelaki itu masuk ke dalam mobilnya dan mulai menstarter mobilnya melaju dengan kecepatan sedang. Apapun yang terjadi itu urusan nanti. Terpenting sekarang, mengumpat jauh dari kejaran si otot besar tadi.

Sementara di gedung tak berpenghuni empat orang kekar itu tengah mendapat bentakan dari bosnya. Tubuhnya yang gemuk dengan kepala botak membuat nyali mereka ciut. Biarpun badan mereka lebih berotot dari bosnya, tapi mereka tentu tak ada keberanian untuk melawan.

“Bodoh!!” teriaknya keras memenuhi ruangan itu. Keduanya hanya tertunduk. Sementara sekelompok temannya hanya bisa melihat tanpa membantu. Kalau bos sedang marah lebih baik tak usah ikut campur. Itu prinsip mereka.

“Menangkap bocah saja kalian tidak becus!” teriaknya lagi. Kali ini Ia memukul kedua anak buahnya dengan tongkat yang selalu Ia bawa kemana mana.

“Ma-maaf Bos, kami sudah berusaha, tapi...”

Belum selesai ucapannya si botak sudah berucap terlebih dahulu. “Aku tidak peduli! cari bocah itu sampai dapat!”

“Ba-baik Bos.” Ternyata tubuh kekar itu bisa bergetar juga. Mereka menunduk bersamaan lalu pergi.

Amarahnya sudah tak bisa di tahan lagi. Baron menggebrak meja, hingga membuat anak buahnya yang tersisa di sana terlonjak dan bergidik ngeri. Pasalnya baru semalam Ia menyerahkan uang sebanyak itu hanya untuk membeli gadis di bawah umur, dan sekarang bocah itu justru melarikan diri entah dimana.

“Brengsek!! Awas kau bocah!” gerutunya lagi.

Baron bukanlah tipe orang yang mudah marah sebenarnya. Jika bukan karena suatu alasan, membeli bocah di bawah umur bukanlah suatu pekerjaan untuk nya. Baginya bisnis di klub malam dan penginapan plus plus yang di jalani pun sudah cukup untuk menjadikannya seorang yang bergelimpangan harta.

****

“Akhirnya, kita bebas dari tanggung jawab bocah itu.” ucap Widya seraya merangkul suaminya yang tengah menghitung uang dari hasil penjualan ponakannya sendiri. Sungguh jahat!

Widya memang haus akan kekayaan, begitu juga suaminya. Di samping Agus, Ia ikut menjereng lembaran uang itu. Bibir nya tak lepas dari senyum kepuasan. Kalau bukan karena dulu Kakaknya hanya menjadikan suaminya seorang sekertaris, mungkin Ia tak akan seserakah ini. Meminta naik jabatan pun tak pernah di kabul kan, dan ini lah balasannya. Widya kembali tertawa di balik dadanya yang berdegup.

“Betul istriku, sekarang kita jauh dari bocah tengil itu.” Senyum puas di bibir Agus melebar.

“Dan kita tambah kaya,” tawa keduanya puas.

“Wah! Bagi dong Ayah!” Tika langsung menyodorkan tangan kanannya.

“Tentu saja, sayang. Kau bisa membeli apapun yang kau mau.”

“Terimakasih....” Tika sudah duduk di samping Ibunya dengan 30 lembar uang ratusan ribu.

Ketiganya tersenyum puas tanpa memikirkan keadaan Mona yang entah seperti apa sekarang ini. Entah bagaimana kondisinya. Kalau nasib buruk yang terjadi mungkin Ia sudah tak ada di kota ini.

“Lihatlah Tika! Sekarang Ayahmu sudah menjadi pemilik sah di perusahaan Joanda Group. Bukankah kita Kaya?” ucap Widya tanpa berpaling dari uang yang masih berserakan di atas meja.

“Tentu saja Ibu, Ayah memang hebat.” Tika mengibaskan uang yang di pegangnya untuk mengipasi wajahnya.

Senyum Agus semakin melebar mendengar percakapan istri dan anaknya. Seperti inilah yang sejak dulu Ia ingin kan.

17.30 WIB

Mobil hitam itu akan segera memasuki gerbang utama rumah. Sesaat sebelum mobil itu berhenti terdengar teriakan kecil dari kursi belakang. Lelaki itu terdiam. Sementara Mona menutup mulutnya. Wajahnya mulai panik.

“Siapa itu??” tanya lelaki pemilik mobil. Ia memutar badan bersiku di atas jok. Membungkukkan badannya melihat siapa yang ada di jok belakang mobilnya. Ia menunduk ke bawah pada sela jok belakang. Matanya bertemu kala gadis itu mendongak ke atas.

“Aa!! Siapa kau!!”

Lelaki itu langsung bergegas turun dari mobil dan membuka pintu belakang. Mona yang sudah merasa panik dan kebingungan hanya bisa menunduk setelah pintu mobil terbuka.

“Siapa kau! Turun cepat!”

Mona yang kaget langsung bergegas turun dari mobil. Wajahnya masih tertunduk dengan kedua tangan mendekap tubuhnya sendiri. Jemari kaki nya saling menindih bergantian. Ke dua bola matanya hanya bisa melihat lurus di mana ke dua kakinya sedang saling menguatkan.

“Uh bau!!” Lelaki itu menatap dari ujung kaki hingga ujung kepala Mona, tangannya ikut mengibas di depan hidung.

“Ma-Maaf Tuan, Saya...”

“Sttt!! Pergi dari sini! Dasar orang gila!” bentak Lelaki itu. Ia merasa jijik melihat penampilan Mona yang terlihat tak jauh beda dengan seorang gembel yang hidup di jalanan. Bahkan Ia lupa memakai alas kaki.

“Cepat pergi!!!” perintahnya lagi.

Mona tak bergeming. Pikirnya kalau harus pergi, harus pergi kemana? Tak ada siapapun yang di kenalnya saat ini. Lelaki Itu ingin mendorong nya, tapi melihat lusuh nya bocah ini untuk menyentuhnya saja rasanya jijik. Ia hanya mengibaskan telapak tangan untuk mengusirnya.

Mendengar ada keributan di luar, orang yang ada di dalam rumah pun keluar menghampiri suara teriakan itu.

“Arga, ada apa?” Santi berdiri di teras rumah dengan buku majalah di tangan kiri nya.

Sebelum pertanyaannya di jawab, Santi langsung melirik gadis yang masih berdiri dengan kepala menunduk. “Siapa kau?” Santi melangkah mendekat. Santi memiringkan kepala berusaha melihat jelas wajah Mona.

“Apa yang Ibu lakukan? Jangan dekati dia!” teriak Arga dan langsung menarik lengan Santi. “Kalau Ibu di gigit bagaiana?!” serunya lagi. Kita tidak akan tahu bagaimana bocah ini nanti bertindak. Bisa saja Dia itu orang gila atau psikopat kan?

“Kamu ini, sudah diam!” ucap Santi melepas tangan Arga. Bibirnya tersenyum memandang Mona.

“Masuk yuk, bersihkan dirimu...” ajak Santi tanpa peduli siapa gadis ini.

“Ibu!! Apa yang kau...”

“Sudah diam!” Santi melotot pada Arga.

Santi menuntun Mona dan membawanya masuk ke dalam rumahnya. Mona menurut saja, karena mungkin ini lah tempat aman untuk saat ini. Setelah masuk ruang utama, Mona mulai mendongak dan melirik ke sekeliling ruangan. Ia masih mendekap tubuhnya yang kotor. Kaki putihnya yang tak memakai alas kaki terlihat memerah dan berdebu.

Santi merasakan hal aneh ketika sentuhan pertama mendarat di pundak gadis ini, Ia seperti bisa merasakan beratnya masalah yang sedang di hadapi. Kalau di pikir secara nalar, Memasukkan orang asing itu akan sangat berbahaya. Tapi Santi tidak. Ia buang jauh pikiran buruk itu.

“Mandi lah dulu!” Perintah Santi dengan senyuman.

“Minah! Antar gadis ini ke kamar mandi. Ambilkan pakaian di lemari.” perintahnya pada seorang pembantu.

Minah mengangguk saja, walaupun sebenarnya Ia sendiri kebingungan. Siapa gadis ini? Lalu menuntunnya menuju kamar mandi.

“Ibu, apa yang Ibu lakukan? kenapa membawanya masuk?” tanya Arga yang bingung dengan sifat Ibunya. Kenapa dengan mudahnya membawa orang asing masuk ke dalam rumah?

“Sudahlah! kau masuk kamar, mandi lalu makan! Biar dia, Ibu yang urus.”

“Terserah Ibu saja.”

Arga berlalu meninggalkan Santi. Santi hanya tersenyum dengan menggelengkan kepala. Lalu terbesit senyum mencurigakan di ujung bibirnya. Bahkan gigi putihnya pun sedikit terlihat. “Ah dimana gadis itu, apakah belum selesai?”

“Apa maksudnya Ibu...” Arga membanting tubuhnya di atas kasur. Ia mendesah berat. Lelah bekerja hari ini serasa lebih berat setelah tibanya di rumah.

Arga orang yang paling benci dengan sesuatu hal yang tiba tiba. Mengejutkan dengan sesuatu hal aneh misalnya. Memikirkan pekerjaan di kantor saja sudah sangat melelahkan. Sampai rumah bukannya bisa tenang tapi justru semakin lelah.

Santi masih duduk di sofa ruang keluarga menunggu Mona selesai mandi. Bibir tipisnya masih menyembunyikan senyum dengan arti sesuatu.

“Sudah, Nyonya,” ucap Minah dari arah belakang. Mona berdiri di sampingnya, wajahnya masih menunduk.

“Duduklah sini!”

“Silahkan Nona,” ucap Minah menuntun Mona duduk kemudian pergi ke belakang meninggalkan Nyonya besarnya berbicara dengan Mona.

Setelah Mona duduk. Santi memandangnya dengan senyuman. “Siapa nama mu, sayang?”

“Mona, Nyonya...” jawabnya lirih.

“Nama lengkapmu?”

“Monalisa Aghata Joanda.”

Santi sedikit tersentak mendengar nama gadis yang tengah duduk di hadapannya.

“Aghata Joanda?” ucapnya lirih. “Bukankah itu nama pemilik perusahaan yang 2 bulan lalu mengalami kecelakaan?” batin santi.

“Nama yang bagus. Dimana kau tinggal?”

Mona hanya diam. Tertunduk dan bingung. Ia meremas kesepuluh jari tangannya tanda gelisah. Bahkan Mona tidak tahu rumah nya dimana sekarang. Karena rumah orang tuanya sudah di ambil orang lain.

“Dimana keluargamu, sayang?”

“Gembel mana punya keluarga, Ibu.” timbruk Arga yang baru saja turun dari tangga. Jari telunjuknya memainkan kunci mobil. Memutarnya perlahan hingga menghasilkan suara.

“Arga! Hati hati bicaramu!” Bentak Santi. Siapa pula yang mengajarkan mu bicara seperti itu?

Arga hanya melengos. “ Aku pamit ke kantor lagi.”

“Iya.” jawab Santi singkat.

“Jangan salahkan aku jika bocah itu menggigit Ibu.”

“Ck! Arga! sudahlah sana berangkat!” Santi menggeleng mendengar ucapan Arga yang ngawur.

“Maafkan ucapan Anakku.”

Mona menggeleng “Tak apa nyonya.”

“Berapa umurmu?”

“15 tahun, Nyonya.”

“Oh...” ucap Santi lirih. Telapak tangannya menyentuh dadanya. “Kasihan gadis ini.”

Klekuk!

Suara itu terdengar dari perut Mona. Membuatnya tertunduk malu. “Maaf Nyonya.”

Santi tersenyum. “Sepertinya kau lapar?”

Santi berdiri menuntun Mona menuju meja makan. Di sana sudah ada beberapa macam lauk dan sayur yang tertata rapi di atas meja.

“Silahkan sayang.” Santi menarik kursi, memegang pundak Mona lalu menekan perlahan hingga Mona duduk.

“Terimakasih Nyonya.” Mona yang sudah duduk langsung mengambil beberapa lauk tanpa memperdulikan Santi yang sedang menatapnya.

“Pelan-pelan, nanti kau tersedak.” Santi duduk memandang Mona dengan kepala tersangga tangan kanannya.

"Maaf Nyonya.” Mona mengelap mulutnya yang belepotan.

“Sepertinya kau sangat lapar?”

“Iya Nyonya, dari kemarin aku belum makan.”

Jawaban itu membuat Santi teriris. Kasihan sekali. “Aku akan bertanya lagi padamu nanti. “ ucap Santi dalam hati.

***

3. Tiara vs Arga

Di kantor.

Sesampainya di ruangan kerja lagi, Arga langsung menghempaskan tubuhnya bersendehan pada kursi. Melihat itu sahabat sekaligus sekertarisnya mengangkat alis heran.

“Ada apa denganmu, putus?”

“Brengsek kau!” Arga melempar buku tepat mengenai wajah sahabatnya.

“Terus kenapa?” Dion menaruh buku kembali pada tempatnya. Mengusap pelipisnya yang tertimpuk benda itu.

“Aku baru saja bertemu kucing lusuh jalanan!”

Dion mengeryit tak paham. “Maksudnya?”

“Malas aku membicarakannya,” desah Arga. Kursinya memutar ke kanan ke kiri.

“Kenapa kau menyuruhku ke kantor lagi? ada yang penting?”

“Ada berkas yang harus kau tandatangani.”

“Tak bisa besok?”

“Kenapa harus besok? kau sudah ada disini sekarang.” Dion nyengir membuat wajah Arga terlihat semakin jengkel.

“Sialan!!” Arga berpindah ke sofa.

Di luar ruangannya sepertinya terdengar keributan. Suara nya tak terlalu jelas jika di dengarkan dari ruangan Arga.

“Biarkan aku masuk! Bukankah aku sering kesini?” ucap Tiara tanpa peduli larangan beberapa karyawan. Bahkan ada yang melentangkan ke dua tangan untuk menghalangi jalan Tiara.

“Tapi Nona, tuan Arga sedang berbicara dengan Tuan Dion.”

“Halah! Cuma Dion.” Tiara menampis tangan ke udara.

Tiara berlalu dan masuk ke dalam begitu saja.

“Halo sayang...” sapa Tiara sesampainya di dalam. Ia langsung berjalan menghampiri Arga. Bahkan kedua tangannya langsung merangkul Arga tanpa memperdulikan lirikan Dion.

Arga mendengus kesal. “Apaan sih, kenapa kau kesini?”

“Aku merindukanmu, sayang.” jawab Tiara manja. Tiara duduk dengan kepala menyender di pundak Arga. Bukan Tiara namanya kalau tak seperti itu.

Melihat saja sudah membuat Arga malas. Arga sudah sering kali menolaknya, tetapi seperti nya wanita itu terlalu tuli atau tak tahu diri. Menolaknya saja masih membuat nya tak menyerah, Apa lagi sampai Arga berbaik hati. Huh! Bisa bisa bergeser ke samping saja sudah tak bisa di lakukan.

“Awas dulu! Aku gerah.” Arga mendorong Tiara yang bergelayut pada dirinya.

Melihat itu, Dion terkekeh hingga Membuat Tiara jengkel. “Apa kau?!”

“Apa? Aku tak melakukan apa-apa.” Dion angkat bahu, lalu bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan mereka berdua.

“Putuskan saja lah! Wanita menyebalkan!” ucap Dion lirih.

Lihat! Dion saja malas dengan wanita ini. Cantik boleh, tapi sifatnya membuat siapa saja yang berada di sampingnya seringkali membuat jengkel. Entah juga yang lain bagaimana. Tapi ke dua pria yang berada di ruangan ini selalu tak nyaman jika wanita ini datang kemari.

“Sayang...” Tiara mengguncang lengan Arga. Mata nya sendu seakan memohon untuk segera mendapat balasan dari Arga.

“Sayang... temani aku jalan, hari ini aku belum pergi ke salon.”

“Pergi saja sendiri! aku malas.”

Ke salon, kau kira aku tidak ada kerjaan ya?

“Sayang, kenapa begitu?” Tiara meraih tangan Arga namun langsung di lepaskan oleh Arga.

“Aku lelah, lebih baik kau pergi dari sini sebelum aku memarahimu.”

“Arga, aku merindukanmu.” berusaha meraih tangan Arga lagi. Memohon dengan lembut mungkin Arga akan berubah pikiran.

“Pergilah Tiara! Aku sedang lelah.” Arga sudah berdiri. Menoleh pun tidak pada Tiara yang masih memohon.

“Tapi...”

“Cepat lah!!”

Suaranya mengeras. Membuat Tiara yang semula hendak merangkul sontak berdiri karena terkejut. Kenapa kau ini? Biasanya tak semarah ini?

“Oke aku pergi. Tapi nanti malam aku ke rumahmu.”

“Terserah.”

Arga mendesah setelah Tiara sudah tak terlihat. Wanita itu sebenarnya membuatnya risih. Sifatnya yang manja sungguh ingin selalu menjauh darinya. Kalau bukan karena Nenek yang terus mendesak menjodohkan nya, tentu saja Arga tak akan pernah mau berpacaran dengan nya. Pacaran hanya membuat nya pusing dan repot.

“Kemana dia?” tanya Dion yang baru saja masuk membawa secangkir kopi. Kedua bola matanya sudah tak nampak ada wanita itu lagi.

“Kau usir??” kekeh Dion. Ia menaruh kopi itu di meja. Lalu duduk di sofa yang tersedia di ruangan kerja Arga.

Masih diam. Tak ada jawaban dari mulut Arga.

“Kenapa tak kau putuskan saja wanita itu? Aku saja malas melihatnya.”

Huh! Arga mendengus kesal. Lalu berjalan dan duduk di samping Dion. “Kalau bukan karena Nenek, sudah ku suruh pergi dari dulu.” Jelasnya.

Dion sangat mengerti. Tiara memang wanita pilihan Nenek Arga, tapi perasaan kan nggak bisa di paksakan. Jarena sayang pada Neneknya, tentu terpaksa Arga harus menjalin hubungan dengan wanita itu. Kalau membayangkannya terkadang membuat Dion bergidik. Untung bukan Aku... batinnya.

“Sampai kapan kau menuruti keinginan nenekmu, Ga?” tanya Dion sambil menyeruput kopi yang di bawanya.

“Sampai aku menemukan wanita pilihanku sendiri.”

“Bahkan kau baru 26 tahun, tapi Nenekmu sudah ribut akan hubungan mu dengan wanita.”

“Entahlah, kau mau bertukar nasib denganku, Ion??” Arga terkekeh dengan ucapannya sendiri.

“Sialan kau!” tepuk lengan Dion tepat di pundak Arga. “Tukar nasib tanpa ada wanita itu Aku mau lah. Haha.”

“Brengsek!!”

***

Malam ini keluarga Hutomo sudah berkumpul di ruang keluarga. Mona duduk di samping Santi dengan perasaan canggung dan bingung. Pasalnya Dia di sini hanya orang asing yang beruntung karena bertemu keluarga baik.

“Sayang, sebenarnya siapa gadis ini?” tanya Hutomo selaku suami Santi.

“Iya Bu, siapa dia?” sambung Radit, adik Arga.

Mona masih menunduk. Jemarinya semakin dingin. Santi yang menyadari itu langsung menggenggamnya erat.

“Namanya Mona, Ia yatim piatu.”

Hutomo berkerut dahi. “Lalu?”

“Aku akan mengadopsinya sebagai anakku.”

Deg!!

Semuanya mata tertuju pada mereka berdua. Bingung bercampur heran dan tak mengerti dengan ucapan santi.

“Tolong jelaskan apa yang kau maksud, sayang!” perintah Hutomo yang bingung dengan ucapan istrinya.

“Kau kan tahu suamiku, Aku sangat menginginkan anak perempuan, mungkin ini hadiah dari Tuhan.”

“Tapi sayang, kau belum tahu asal usulnya, bahkan aku belum tahu dari pada Kau bertemu dengannya.”

“Tapi aku suka dengannya Ayah, kakak ini Imut dan menggemaskan.” Radit tersenyum, matanya menyipit dengan sedikit gelengan kepala gemas.

“Aku mau punya kakak seperti dia.” sambungnya lagi.

Santi tersenyum mendengar ucapan anak bungsunya itu. Dia masih berumur 8 tahun, pasti sangat mendambakan seorang kakak perempuan. Apalagi kakak nya si Arga hanya sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Jadi mereka jarang ngobrol bersama.

“Lihatlah sayang! Radit saja menyukainya, bukankah kau juga ingin anak perempuan?”

“Tentu saja, tapi harus jelas asal usulnya.”

Mona yang sedari tadi diam hanya bisa menatap ke sepuluh jarinya yang menempel di ke dua pahanya. “Aku harus bagaimana?” batinnya.

“Pokoknya Aku mau mengadopsinya. Titik!” ucap Santi tegas.

“Terserah kau saja, selama gadis ini berbuat baik, aku akan menerimanya pula dengan baik.”

Santi melebarkan senyuman setelah suaminya menyetujui keinginannya.

“Terimakasih suamiku.” Senyumnya Ia lempar menghadap Mona.

“Ayo kakak, mari ku antar ke kamar.” Radit berdiri menarik lengan Mona. Mona hanya menurut.

“Lihat lah suamiku! Radit begitu suka dengan kehadiran Mona.” celoteh Santi. Telapak tangannya menyatu erat menempel di pipi nya dengan memiringkan kepala.

“Iya iya... Aku pun begitu, tapi kau hutang penjelasan padaku.” jawab Hutomo.

Dari pandangan Hutomo, sepertinya Mona terlihat gadis baik baik. Kalau tidak, Santi tak akan semudah itu menerimanya disini. Dan aneh juga tiba tiba saja mengadopsi anak tanpa berunding terlebih dahulu.

“Selamat datang Kakak, ini kamar baru Kakak.” kata Radit setelah membuka pintu. Tangannya menjulur lurus ke depan mengibas pelan ke udara.

“Ayo masuk kak!“ Radit mendorong tubuh Mona dari belakang.

Mata Mona langsung mengitari setiap sudut ruangan kamar ini. Ia begitu kagum dan tak menyangka. Kamar ini jauh lebih besar dari ukuran kamar sebelumnya. Apa lagi setelah di pindahkan Paman dan Bibinya di kamar atas paling sempit. Kamar ini sangat jauh dan tidak bisa jika harus di bandingkan.

Mona tersenyum. Ada buliran bening menetes di sudut matanya. Ini sangat indah Tuhan... terimakasih.

“Kakak suka?” tanya Radit.

Mona mengangguk. “Suka, sangat suka... Terimakasih.”

“Sama-sama, lebih baik kakak istirahat dulu, pasti lelah.”

“Iya..”

“Selamat istirahat, kak Mona.”

Radit melambaikan tangan lalu menutup pelan pintu kamar itu.

Mona melanjutkan keterpanaannya pada setiap dekorasi kamar ini. Nuansa kamarnya sesuai dengan anak seusianya. Cat dinding berwarna kuning berpadu dengan abu abu nampak terlihat begitu elegan. Susunan rak yang tertata rapi melengkapi isi ruangan.

Sementara di sebelah timur dekat ranjang, berdiri kokoh sebuah lemari besar dengan ukiran klasik yang di gunakan untuk tempat penyimpanan baju. Di sudut ruangan terdapat satu pintu yang di dalamnya terdapat kamar mandi lengkap dengan bethup dan sejenisnya.

“Apakah aku mimpi? Bahkan semua ini lebih mewah dari kamarku dulu waktu Ayah dan Ibu masih ada.” Mona terharu sendiri. Matanya masih menitik.

Sebenarnya kamar ini memang sudah di siapkan sejak Santi mengandung Radit. Tapi siapa sangka ternyata Ia melahirkan seorang anak laki laki kembali. Jadi kamar ini selalu kosong.

Akhirnya Mona menghempaskan tubuhnya di atas kasur berbalut seprei lembut bermotif frozen. Kepanikan dan lelahnya hari ini Ia hapus dalam pejaman mata. Berharap setelah terbangun nanti keindahan ini bukanlah sebuah khayalan saja.

Di kamar bawah Santi dan Hutomo masih melanjutkan pembicaraan tadi. Mereka duduk di atas ranjang. Hutomo masih penasaran dengan asal muasal gadis yang sekarang telah di adopsi Istrinya.

“Sekarang coba jelaska!"

Santi mendesah. Bibir tipisnya mulai mengumpulkan kata kata. “Gadis itu datang bersama Arga.”

“Arga?” Hutomo berkerut dahi. “ kenapa bisa?”

“Untuk hal itu aku belum tahu, nanti kita tanya Arga.”

“Lalu?”

“Jangan khawatir aku sudah menyelidiki asal usulnya, dan aku berhasil mendapatkan info.”

“Aku jadi bingung, jelaskan lebih rinci.” perintah Hutomo. Ia duduk bersila menghadap ke arah Santi.

“Mona itu adalah anak dari Joanda dan Agatha. Aku sudah memerintahkan bawahanmu untuk mencari informasi tentang nya.”

Masih belum mengerti. “Joanda? Agatha? Sepertinya tak asing?”

“Tentu saja. Mereka berdua adalah sepasang suami istri yang mengalami kecelakaan tragis 2 bulan lalu.”

Hutomo mengamati setiap inci perkataan Santi. “Ah! Aku ingat sekarang. Bahkan kabarnya kecelakaan itu masih menjadi misteri,” ucap Hutomo.

“Yang ku dengar semua aset milik mereka sekarang di kuasai oleh Adiknya Joanda yaitu Agus yang sebelumnya bekerja sebagai sekertarisnya.”

Informasi yang di dapat dari bawahan Hutomo. Pada akhirnya membuat Santi lebih bersemangat lagi untuk menjadikan Mona sebagai anak gadis nya. Santi belum bisa menjelaskan lebih detail mengenai pembicaraannya kemarin dengan bawahan suaminya itu. Untuk saat ini cukup seperti ini dulu apa yang harus di ceritakan pada Hutomo. Pikirnya.

“Bagaimana? kau sudah dapat informasi tentangnya?” tanya Santi pada Tora di telpon.

“Sudah Nyonya.”

“Sekarang ceritakan padaku, jelas dan harus tepat.”

Tora mulai menceritakan dari awal kelahiran Mona lalu kehidupannya bersama ke dua orang tuanya hingga berakhir ketika dua bulan lalu kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil. Lalu Tora juga menjelaskan bagaimana kehidupan Mona setelah itu. Kabarnya Mona sudah di jual kepada seseorang. Untuk selanjutnya Tora masih menyelidiki.

Begitulah obrolannya kemarin dengan Tora. Santi sangat percaya pada Tora. Dia sudah mengabdi pada Hutomo sekitar 10 tahun yang lalu. Dan pekerjaannya pun bagus dalam setiap bidang termasuk mencari informasi rahasia.

“Kalau menurutmu baik, silahkan kau rawat gadis itu, Aku juga tak bisa bohong, bahwa aku juga sangat menginginkan anak gadis di rumah ini.” Jelas Hutomo tang membuat Santi semringah dan langsung berhambur memeluk suaminya itu.

“Terimakasih sayang.”

“Apapun sayang.”Balas memeluk istrinya dengan belaian lembut di rambutnya.

***

Masih proses revisi

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!