Nadia, 1819.
Pada masa pemerintahan Rasmus Agung putra Romanus, Kekaisaran Nadia mencapai puncak kejayaannya.
Rasmus adalah Raja Diraja yang bersemayam di atas tahtanya di dalam Benteng Arsen—Rasmus the Great—Kaisar Nadia dan Arsena, raja keempat dari Dinasti Armadheus yang menguasai seratus dua puluh tujuh wilayah, mulai dari Amandus sampai ke Athena Minor.
Rasmus menyelesaikan pembangunan yang dimulai oleh ayahnya di Arsen dan Mikropolis, membangun Gerbang Segala Bangsa, dan mendirikan Balai Bertiang Seratus di Mikropolis, yang menjadi kontruksi terbesar dan termegah di istananya.
Rasmus juga merampungkan Antasena, istana raja Romanus dan gudang harta yang dimulai oleh ayahnya, juga memelihara Jalan Raya Kerajaan yang juga dibangun oleh ayahnya.
Selera Rasmus dalam arsitektur memang identik dengan ayahnya, tapi dalam segi ukuran, selera Rasmus jauh lebih tinggi.
Di Arsen, Rasmus bahkan membangun istananya sendiri dua kali lebih mulia dari istana ayahnya, kemudian melengkapinya dengan gerbang Arsen.
Pada tahun yang ketiga dalam pemerintahannya, Rasmus mengadakan perjamuan untuk memperlihatkan kemuliaan istananya kepada seluruh rakyat Nadia yang ada di Arsen, seratus delapan puluh hari lamanya.
Selain itu, Rasmus juga tengah merencanakan kampanye darat dan laut untuk merebut Alcaina---negara timur jauh Nadia.
Pasukannya bahkan telah menggali kanal di semenanjung timur Alcaina tak jauh dari Gunung Taurus, dan membangun depot persediaan secara baris berbaris, juga dua jembatan perahu di Angelous—perbatasan Alcaina.
Perjamuan itu sekalian untuk menggalang sekutu dan bala tentara guna melaksanakan penyerangan lagi ke Alcaina.
Semua pembesar dan para pegawai istana, para bangsawan dan pejabat pemerintah daerah hingga para tentara Nadia dan Arsena, dihadirkan di hadapan raja.
Setelah genap hari-hari itu, Rasmus mengadakan perjamuan lagi selama tujuh hari bagi seluruh rakyat yang berada di dalam benteng Arsen.
Tirai-mirai dari kain lenan, mori halus dan kain ungu tua, yang terikat dengan tali lenan halus dan ungu muda bergantung pada tombol-tombol perak di tiang-tiang marmar putih. Sebuah katil emas dan perak ditempatkan di atas lantai pualam, marmar putih, gewang dan pelinggam.
Rasmus tampil dengan pakaian kebesaran raja dengan segala kemegahannya. Rantai emas mendominasi tangan dan kakinya di samping perhiasan lain yang juga terbuat dari emas. Kecintaannya pada logam mulia, menjadikan sosok Rasmus terlihat seperti patung emas itu sendiri. Seperti patung naga dari emas yang dirantai oleh logam yang sama---apa lagi kalau bukan emas.
Begitu berkilau…
Begitu semarak dan sangat memukau---tapi juga terlalu arogan!
Membuat semua mata di seluruh penjuru istana tak bisa berpaling dari dirinya.
Sebagian memandang kagum, sebagian memandang segan. Beberapa orang sebenarnya merasa ngeri.
Dari orang besar sampai orang kecil, hingga orang-orang yang bertempat tinggal di pelataran yang ada di taman istana kerajaan, semuanya diundang dalam perjamuan.
Ratu Miriam---istri Rasmus juga mengadakan perjamuan khusus bagi istri-istri para petinggi dan semua perempuan yang berada di dalam istana Rasmus.
Minuman dihidangkan dalam piala emas yang beraneka warna, dan anggurnya ialah anggur minuman raja yang berlimpah-limpah, sebagaimana layak bagi raja.
Kegembiraan terpancar dari wajah setiap orang.
Tidak terkecuali sang raja.
Dan…
Pada hari yang ketujuh, ketika raja riang gembira hatinya karena minum anggur, bertitahlah ia kepada ketujuh royal guard yang bertugas di hadapan raja, Isaac, Lexath, Felix, Cain, Eleazar, Janus dan Xairus, supaya mereka membawa Miriam dengan pakaian kebesaran ratu dan mahkota kerajaan, menghadap raja untuk memperlihatkan kecantikannya kepada sekalian rakyat dan para pembesar, karena sang ratu sangat elok rupanya.
Tetapi Ratu Miriam menolak untuk menghadap dan menentang titah raja yang disampaikan oleh ketujuh royal guard itu, sehingga sangat geramlah raja dan berapi-apilah murkanya.
Berdirilah Rasmus di depan singgasananya, di hadapan seluruh rakyat, dengan aura raja yang begitu sadis, merentangkan kedua tangannya dan berteriak lantang meluapkan emosinya seperti seekor naga, "I AM RASMUS THE GREAT…!"
"Rasmus the Great!"
"Rasmus the Great!"
Seluruh rakyat menyambut orasinya seraya mengacung-acungkan tinju mereka ke udara.
"KING OF KINGS…" Rasmus melanjutkan orasinya dengan suara yang makin meninggi.
Disambut dukungan rakyat yang semakin gencar—mengangkat tangan lagi, kemudian berteriak lagi.
"Rasmus the Great!"
"Rasmus the Great!"
"GOD OF GODS!!!" Rasmus mengakhiri orasinya dengan suara yang menggelegar.
"Rasmus the Great!"
"Rasmus the Great!"
Demikian diulangi rakyatnya dengan penghormatan yang sama hingga tiga kali. Mengangkat tangan dan menyerukan pujian yang sama—RASMUS THE GREAT.
Sementara semua orang di sana-sini masih memberi penghormatan pada raja dengan antusias, Rasmus meninggalkan singgasananya dengan langkah-langkah lebar, diikuti ketujuh pembesar Nadia—Jeremiah, Dorian, Farouk, Dimitri, Claudius, Lazareth dan Bernadus. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi dalam kerajaan yang boleh memandang wajah baginda---orang-orang terdekat Rasmus, para ahli hukum dan undang-undang, orang-orang arif bijaksana yang mengetahui kebiasaan zaman, para petinggi pasukan abadi.
Bertanyalah Rasmus kepada mereka, ”Apakah yang harus diperbuat atas Ratu Miriam menurut undang-undang?"
Maka sembah Lazareth di hadapan raja dan para pembesar, ”Ratu Miriam tidak hanya bersalah kepada kaisar, tapi juga kepada semua pembesar dan segala bangsa di seluruh wilayah. Karena perilaku sang ratu itu akan merata kepada semua perempuan di setiap daerah, sehingga mereka tidak menghiraukan suaminya."
Seisi ruangan bergeming. Rasmus membuka mulutnya, tapi tak mengatakan apa-apa.
Lazareth melanjutkan, "Jika orang-orang menceritakan bahwa Ratu Miriam menentang titah Kaisar dan menolak panggilan untuk menghadap, pada hari ini juga isteri para pembesar dan raja-raja di Nadia dan Arsena yang mendengar tentang perilaku sang ratu akan berbicara tentang hal itu kepada suaminya, sehingga berlarut-larutlah penghinaan dan kegusaran."
Rasmus menghela napas berat dan tercenung.
"Jikalau baik pada pemandangan raja," Lazareth menambahkan. "Hendaklah dikeluarkan suatu titah kerajaan dari hadapan Baginda dan dituliskan dalam undang-undang Nadia dan Arsena, sehingga tidak dapat dicabut kembali, bahwa Ratu Miriam tidak diperbolehkan lagi menghadap Raja, dan bahwa Raja akan mengaruniakan kedudukannya sebagai ratu kepada orang lain yang lebih baik dari padanya. Bila keputusan yang diambil kaisar tersebar ke seluruh kerajaan, maka semua perempuan akan memberi hormat kepada suami mereka, dari pada orang besar sampai kepada orang kecil."
Rasmus berpikir keras dan menimang-nimang, sementara Lazareth masih tersungkur di lantai.
Usul itu dipandang baik oleh kaisar dan juga para pembesar, jadi bertindaklah Rasmus sesuai dengan usul Lazareth.
Dikirimkanlah oleh baginda surat-surat ke seluruh wilayah kerajaan, kepada tiap-tiap daerah menurut tulisannya dan kepada tiap-tiap bangsa menurut bahasanya. Bahwa, ”Setiap laki-laki harus menjadi kepala dalam rumah tangganya dan berbicara menurut bahasa bangsanya.”
Demikian isi surat itu.
Dan Miriam—sang ratu, menjalani sisa hidupnya dalam pengasingan, jauh tersembunyi dalam kastil tua di sebuah benua kecil yang terpencil dan tersembunyi.
Pulau itu dulunya merupakan pusat peribadatan bangsa Arsena atau kota suci penyembahan berhala Dewi Ababil---dewi perang bangsa Arsena.
Namanya Athena Minor.
Ukurannya tidak lebih besar dari sebuah kota. Dan letaknya tersembunyi di laut Rhapsodus.
Begitu tersembunyi, hingga semua orang meyakini Athena Minor sebagai Surga Yang Hilang.
Keberadaannya tidak terdata dalam atlas dunia, karena benua Athena Minor hanya lokasi fiktif ciptaan Penulis Keparat—begitu pun tempat-tempat lainnya.
.
.
.
Beberapa bulan kemudian…
Miriam melahirkan seorang bayi perempuan---keturunan sempurna yang mewarisi rupa Miriam dengan tabiat Rasmus, yang kemudian diberi nama Leazah Bernadeta.
Seiring berjalannya waktu…
"Leazah!" Miriam berteriak dari jendela tinggi kastilnya ketika ia memergoki putrinya menyelinap keluar dan mengendap-endap menuju istal, mengenakan pakaian seperti laki-laki---baju pemburu favoritnya, kemudian melarikan diri ke hutan dengan menunggangi kuda putih kesayangannya---Philipus.
Miriam berusaha melakukan yang terbaik untuk menyembunyikan putrinya dari dunia.
Namun…
Leazah tumbuh sebagai pembangkang, berpakaian seperti laki-laki, berperilaku seperti anak laki-laki dan menjadi pemburu yang gagah perkasa.
Membuat cemas ibunya yang overprotektif.
Bunga melati merambati dinding hijau labirin taman dan menebarkan aroma yang wangi ketika Leazah melewatinya.
Langkah-langkah Philipus ringan dan gesit di atas rumput yang dingin dan lembut bagaikan sutra.
Dalam beberapa detik, Leazah sudah melesat melintasi kebun bunga ibunya, melewati bak-bak bunga, pepohonan dan rumpun-rumpun anak nakal—duranta erecta, kemudian memasuki hutan, bersembunyi dalam kegelapan belantara, menenggelamkan diri ke dalam kesunyian dan keheningan alam liar.
Gemerisik halus dedaunan tersapu desir angin, terdengar lirih mengucapkan selamat pagi.
Leazah menyelinap melewati bayang-bayang pepohonan. Matanya meneropong jauh ke dalam semak belukar, mencari sesuatu untuk diburu.
Langit berwarna biru cerah di atas kepalanya, dipenuhi oleh awan-awan putih. Cahaya matahari menerobos tipis melalui celah-celah ranting pohon dan dedaunan.
Gemericik air sungai di kedalaman hutan semakin terdengar seiring dia mendekat.
Di tepian sungai yang ditumbuhi alang-alang, tampak seekor centropus bengalensis yang anggun tengah tersuruk mematuki tanah mencari seekor cacing.
Di sebelah kanannya, Leazah menangkap bayangan seekor rusa di balik tanaman perdu.
Leazah menghela pelan kudanya melewati rerumputan. Ranting kering berkeresak terinjak kaki Philipus.
"Ssssttt…!" Leazah mendesis pelan memperingatkan Philipus.
Kuda itu menghentikan langkahnya di bawah pohon beringin raksasa berusia ratusan tahun.
Leazah membidikkan panahnya, merentangkan busur, dan…
SLASH!
Sebuah anak panah melesat secepat kilat dan menembus tubuh sang rusa sebelum Leazah melepaskan anak panahnya.
BRUK!
Rusa itu tersentak dan jatuh terguling.
Leazah mengerjap dan menurunkan kembali perangkat panahannya. Lalu menoleh ke belakang untuk mencari tahu siapa yang telah lebih dulu mendapatkan buruannya.
Seorang penunggang kuda keluar dari semak-semak di belakang Leazah, seorang pria berambut sebahu seusia ibunya dengan pakaian berburu—kemeja katun berlapis rompi kulit binatang yang dipadu dengan celana dan sepatu tentara, sama seperti Leazah. Bedanya rompi kulit yang dikenakan pria itu jauh lebih licin dan tampak mengkilap seperti hasil olahan khusus bagi para penghuni kerajaan.
Sementara itu, rompi Leazah masih berbulu dan diikat seadanya dengan sisa kulit dari binatang yang sama—puma. Rompi itu didapatkannya sendiri ketika usianya tiga belas tahun, momen pertamanya menaklukkan binatang buas.
Terlepas dari semua itu, di tempat ini tidak ada penduduk lain kecuali dirinya, ibunya dan para biarawati.
"Dari mana Anda datang?" tanya Leazah seraya menatap pria itu penuh selidik.
"Tak jauh dari sini," jawab ringan pria itu seraya balas menatap Leazah.
"Anda pembohong yang payah," cemooh Leazah. "Tidak ada laki-laki yang tinggal di pulau ini."
Pria itu menaikkan alisnya, menatap Leazah dengan tatapan geli. Pandangannya menelisik dari ujung rambut hingga ujung kaki gadis itu.
Dalam balutan pakaian pemburu, Leazah sama sekali tidak terlihat seperti perempuan.
"Apa kau merasa tersaingi, Anak Muda?" Pria itu balas mencemooh.
Leazah mendelik ke arah pria itu. "Kau merebut buruanku," dengusnya.
Pria itu terkekeh. "Siapa cepat dia dapat," katanya.
"Aku menemukannya lebih dulu," sergah Leazah. "Anda datang belakangan."
"Tidak," bantah pria itu datar. "Kau yang datang belakangan."
"Omong kosong!"
"Kau tidak melihatku, tapi aku melihatmu." Pria itu mengarahkan ibu jarinya ke belakang, sementara matanya mengerling pada Leazah.
Leazah menoleh sekilas ke belakang, kemudian menatap pria itu sekali lagi. "Anda pengawal bayangan kerajaan," terka Leazah.
"Pemuda cerdas!" Pria itu tersenyum lebar seraya melompat turun dari kudanya, kemudian berjalan pelan menghampiri hasil buruannya. "Untuk ukuran pria muda sepertimu, kau lumayan pintar," ia menambahkan, menoleh sekilas sebelum tenggelam ke dalam semak-semak.
Dan itu artinya di tempat ini ada aset kaisar, terka Leazah dalam hati.
Tebakannya tidak meleset.
Ada aset kaisar di Athena Minor, dan itu adalah dirinya.
Pengawal bayangan itu ditempatkan di sisinya sejak ia masih dalam kandungan. Begitu pun para biarawati yang tinggal di kastil tua yang ditinggalinya bersama Miriam.
Pria itu muncul kembali dengan membawa rusa di pundaknya, kemudian menurunkannya tak jauh di depan Leazah. "Mau bergabung untuk makan siang?"
Leazah mengerjap, wajahnya berbinar-binar senang.
Tahulah pengawal itu bahwa Leazah takkan menolak undangannya.
Setelah menambatkan kudanya, pria itu mengulurkan tangannya pada Leazah, menawarkan bantuan untuk gadis itu turun dari kudanya dan bergabung dengan dirinya.
Leazah menyambut uluran tangannya dengan antusias, lalu melompat turun.
Philipus meringkik dan mendengus.
"Carilah makan siangmu sendiri, Philipus!" Leazah menginstruksikan.
Dan serta-merta kuda itu meninggalkan mereka dengan semangat.
Pengawal bayangan itu tersenyum tipis, mengamati Philipus dan Leazah secara bergantian. Lalu mulai bergerak untuk mengumpulkan kayu bakar. "Kau tunggulah di sini," katanya pada Leazah. "Jangan biarkan leopard mencuri makan siang kita." Ia menambahkan, hanya sekadar mencoba menakut-nakuti Leazah untuk menguji keberaniannya.
"Well---yeah, kedengarannya leopard lumayan lezat untuk menu penutup," sahut Leazah tanpa beban. Lalu menarik sebilah pisau yang terselip pada ikat pinggangnya. Bersiap untuk menguliti rusa di bawah kakinya.
Pengawal itu kembali tersenyum, kebanggaan dan kekaguman terpancar dari mata cokelatnya.
Akhirnya akan ada kabar bagus, pikirnya.
Selepas kebersamaan mereka, pengawal bayangan itu mengirimkan pesan kepada kaisar dengan sayap merpati pos kerajaan.
Sementara itu…
Di Nadia, Rasmus baru saja kembali membawa kemenangan dari perang mahal yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.
"Pasukan kita telah bertempur dengan kemampuan luar biasa dan penuh keberanian," deklarasi Rasmus di gerbang Arsen ketika rakyat menyambut kepulangannya dengan spektakuler. "Ini kehormatan besar bagiku, untuk berdiri di antara kalian."
"Rasmus the Great!"
"Rasmus the Great!"
Puji-pujian itu menggelegar seperti deru mesin raksasa, yang terapu angin dan menggaung di udara.
Tapi seruan meriah itu seketika berubah menjadi pekik jerit kengerian tatkala seseorang tiba-tiba melesatkan anak panah dari tengah kerumunan dan mengenai bahu kaisar.
Nadia sepertinya masih memiliki musuh!
Rasmus terjungkal dari kudanya, sementara si penyerang segera disergap massa, dan diamankan oleh para tentara.
"Yang mulia!" seorang panglima muda paling terkemuka yang paling dekat dengan raja, Jenderal Jeremiah melompat turun dari kudanya menghampiri kaisar.
Petang itu, Rasmus the Great yang juga dikenal sebagai Dewa Matahari, menyadari bahwa dirinya takkan hidup abadi.
Ia berusaha bangkit dan mengabaikan rasa sakitnya. Kembali ke atas kudanya dengan dibantu Jeremiah dan seorang pendeta. Kemudian berdeham, "Sampai di mana tadi?" katanya seraya menegakkan bahunya, membusungkan dada, mendongakkan rahang dan memaksakan senyum untuk menunjukkan kepada seluruh rakyat bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Seluruh rakyat kembali bersorak dan memujanya.
"Rasmus the Great!"
"Matahari Nadia!"
"King of Kings!"
"God of Gods!"
.
.
.
"Seberapa sering kau diperingatkan untuk tidak berperilaku seperti laki-laki?" Miriam menghardik putrinya seraya mengetatkan rahang namun tetap memunggungi putrinya.
"Well---yeah, sering kali," jawab Leazah tanpa rasa bersalah, mengamati punggung ibunya yang mengenakan pakaian biarawati.
Sejumlah biarawati yang menggelandangnya ke ruangan Miriam tertunduk ketakutan menyaksikan reaksi Leazah yang begitu santai.
"Apa hukumanmu sebelumnya?" Miriam akhirnya berbalik menghadap ke arah Leazah.
"Mencabut hak istimewaku menunggangi kuda, membakar celo kesukaanku—"
"Masih tak cukup mengekangmu?" potong Miriam setengah menghardik.
Seisi ruangan menahan napas kecuali Leazah.
Bersamaan dengan itu, merpati pos kerajaan telah sampai di benteng Arsen.
Seorang pengawal yang berjaga di menara istana Rasmus mengambil pesannya dan menyampaikannya kepada Eleazar, salah satu petinggi royal guard yang bertugas di hadapan raja. Kemudian Eleazar bergegas menuju istana untuk menyampaikan pesan itu kepada Rasmus.
"Satu inci ke kanan akan mengenai jantung Anda," jelas Dokter Farouk, tabib kerajaan kepercayaan Rasmus. "Jika Nadia kehilangan Anda…" Ia menyelesaikan jahitan terakhirnya dan memotong ujung benang yang mencuat. "Akan menjadi bencana," ia menambahkan seraya membersihkan tangan dan peralatan medisnya, kemudian merapikannya.
"Aku juga akan merasa kesepian," timpal pendeta Bernadus dengan wajah muram.
"Berita fantastis, Yang Mulia!" seru Eleazar antusias yang sontak tergagap begitu menyadari situasinya. Ia belum tahu mengenai insiden penembakan itu.
Seisi ruangan menoleh serentak pada pria itu dan membeku dengan ekspresi tegang.
Semua pegawai raja serta penduduk daerah-daerah kerajaan mengetahui bahwa bagi setiap laki-laki atau perempuan, yang menghadap raja di pelataran dalam keadaan tiada dipanggil, hanya berlaku satu undang-undang, yakni hukuman mati. Hanya orang yang kepadanya raja mengulurkan tongkat emas, yang akan tetap hidup.
Ketika raja melihat pesan di tangan Eleazar, berkenanlah raja kepadanya, sehingga raja mengulurkan tongkat emas di tangannya ke arah Eleazar, lalu mendekatlah Eleazar dan menyentuh ujung tongkat itu dengan berlutut.
Tanya raja kepadanya: ”Apa yang membawamu kemari, Anakku?"
Eleazar menjawabnya dengan menyerahkan pesan itu ke tangan raja tanpa berani mengangkat wajah.
Raja menerima pesan itu dan membacanya. "Pesan ini datang tepat waktu seperti kehendak takdir," katanya seraya tersenyum tipis dan mendongak menatap si pendeta, lalu mengedarkan pandang.
Seisi ruangan bertukar pandang satu sama lain.
"Jeremiah! Siapkan armada terbaik untuk menjemput putra mahkota!" Rasmus memerintahkan disertai senyuman bangga.
"Putra?" Pendeta Bernadus tergagap. Terakhir kali ia menerima kabar dari biara, mereka mengatakan bayi yang dilahirkan Miriam adalah perempuan. Ia membuka mulutnya, bersiap untuk menginterupsi. Tapi wajah raja yang berbinar-binar membuatnya tak sampai hati untuk merusaknya.
.
.
.
"Putra?" Miriam tersentak setelah membaca dekret kaisar mengenai "Misi Penjemputan Putra Mahkota." Sepasang mata birunya membulat menatap Jeremiah dengan wajah terguncang, lalu bertukar pandang dengan pendeta Bernadus. Rahangnya bergemeretak ketika ia melirik putrinya dan mendapati gadis itu membekap mulutnya menahan tawa.
Jenderal Jeremiah bersama Pendeta Bernadus baru saja tiba di biara setelah menempuh tujuh hari perjalanan, dan tak mau membuang waktu.
"Aku akan kembali," kata Miriam cepat-cepat, kemudian memaksakan senyum. Lalu bangkit dari tempat duduknya dan menyeret Leazah keluar dari ruang tamu.
Jeremiah melirik sekilas melalui sudut matanya dan beradu pandang dengan Leazah.
Jeremiah berambut panjang sebahu berwarna coklat madu dengan sepasang mata cokelat keemasan. Wajah pria itu terlihat seperti hasil pahatan seorang maestro, dengan struktur tulang yang kuat dan mengagumkan. Sepasang alisnya hitam dan tebal dengan bentuk yang elegan, pahatan dagu dan bibirnya dibentuk dengan menggoda di bawah hidungnya yang mancung sempurna.
Leazah tidak pernah melihat hal demikian sehingga ia tak bisa melepaskan pandangannya dari pria itu.
"Dia sangat kurus," komentar Jeremiah saat Leazah dan ibunya menghilang di balik pintu.
"Kau telah membuat kekacauan besar, Leazah!" Miriam meledak marah setelah mereka sampai di ruang pribadinya.
Dua orang biarawati terperanjat mendengar gebrakan keras di permukaan meja, sementara beberapa biarawati lainnya sedang melayani Pendeta Bernadus dan Jenderal Jeremiah di ruang tamu.
"Ini bukan main-main, Leazah." Miriam melotot tak sabar.
Leazah melipat kedua tangannya di depan dada, menyandarkan sebelah bahunya pada bingkai pintu.
"Kau—" Miriam menggeram, lalu tiba-tiba tergagap kehilangan kata-katanya.
Leazah belum tahu siapa ayahnya.
Gadis itu menaikkan alisnya, menuntut penjelasan.
"Kau akan pergi meninggalkan kami, Leazah!"
"Ke mana?"
"Ke neraka paling mewah dan berkilau, tempat di mana kau tidak diragukan akan berkembang."
"Kenapa?"
"Kau tahu, Leazah..." Miriam menurunkan nada bicaranya dan menelan ludah dengan susah payah. "Laki-laki tidak diizinkan tinggal di biara wanita," tuturnya sedikit terbata-bata, berusaha menguatkan diri untuk tidak memperlihatkan kecemasannya untuk menutupi kebohongannya. "Bukankah sudah kukatakan padamu berkali-kali untuk tidak berpakaian seperti pria?!"
"Jadi?"
"Mereka memintamu keluar dari pulau ini untuk menetap di istana," Miriam melanjutkan.
Leazah terbelalak dengan ekspresi gembira—reaksi yang sangat tidak diharapkan oleh ibunya. Ini akan menjadi awal petualangan hebatnya.
"Kau tahu apa artinya itu, Leazah?" Miriam menggertak putrinya, berusaha menakut-nakutinya. "Mereka akan menempamu sebagai tentara."
"Kedengarannya tidak terlalu buruk," sanggah Leazah.
"Tidak," hardik Miriam. "Itu benar-benar buruk, Leazah. Kau akan menjadi satu-satunya perempuan dalam kemah dan—"
"Mereka tidak tahu kalau aku perempuan, ingat?" Leazah memotong perkataan ibunya.
"Tidak, Leazah!" Miriam bersikeras. "Ganti pakaianmu sekarang!"
Leazah menatap ibunya dengan mata terpicing.
"Kita jelaskan yang sebenarnya."
"Tidak ada gunanya menjelaskan itu sekarang, Ibu!"
"Kubilang ganti pakaianmu sekarang!" Miriam menggebrak mejanya sekali lagi, membuat kedua biarawati tadi kembali terperanjat.
"Baiklah," sahut Leazah. "Sekarang aku akan berganti pakaian dan kau akan menjelaskan yang sebenarnya. Lalu mereka akan mengatakan pada kaisar bahwa kepala biara telah membohongi utusan kerajaan dan memanipulasi seorang biarawati untuk menggantikan anak laki-laki yang disembunyikannya. Apa kau lupa, jika aku mengenakan pakaian yang berbeda, penampilanku juga akan berubah?"
Miriam sontak terdiam.
"Mereka takkan percaya!" Leazah menambahkan.
"Akan lebih buruk jika mereka mengetahui kebenarannya setelah kau berada di istana," gumam Miriam semakin cemas.
"Akan lebih baik jika mereka mengetahui dengan sendirinya," bantah Leazah.
"Kemah tentara tidak pernah ditinggali perempuan, sama halnya seperti biara wanita yang tidak pernah ditinggali laki-laki. Aku tak bisa membayangkan bagaimana kau akan tidur dengan laki-laki dalam satu tenda, mandi bersama dan…"
Leazah mengerang bosan seraya memutar-mutar bola matanya.
"Aku betul-betul tidak dapat membayangkan bagaimana reaksi mereka ketika mereka tahu bahwa kau perempuan, sementara mereka tidak pernah bersentuhan dengan perempuan. Itu akan seperti… menemukan air di padang yang tandus."
"Aku mengerti kekhawatiranmu, Ibu." Leazah menurunkan kedua tangannya dari dada, kemudian berjalan melintasi ruangan mendekati ibunya. "Tapi mereka tentara, bukan manusia barbar kolonial. Mereka semua dilatih untuk berperang, seperti para biarawati dilatih untuk mengendalikan keinginan daging."
Miriam kembali terdiam.
"Kalau kau berpikir para tentara dan biarawati seperti kelinci b e r a h i, biara ini sudah kacau dari tadi."
"Jaga bicaramu," hardik Miriam memperingatkan Leazah.
"Jaga hati dan pikiran Anda, Kepala Biara!" balas Leazah dengan tampang mencemooh.
Miriam mengerang dalam kekalahan, tak berdaya mendebat putrinya. Tak berdaya mengendalikan keadaan.
Lalu dengan senyum penuh kemenangan, Leazah kembali ke ruang tamu, menemui para utusan kerajaan yang masih menunggu.
Pendeta Bernadus meminta sedikit waktu pada Jeremiah untuk berbicara secara pribadi dengan Miriam.
Jeremiah hanya membungkuk sekilas.
"Laporan terakhirmu hanya memuat seorang bayi perempuan," pendeta itu membuka pembicaraan setelah mereka berada cukup jauh dari ruang tamu. "Apa kau melahirkan bayi kembar?"
"Tidak---maafkan aku," sesal Miriam.Tapi… dialah bayi perempuan itu."
Bernadus menaikkan alisnya dengan terkejut. "Dia perempuan?" ia bertanya seraya menunjuk ke arah paviliun di seberang mereka, di mana ruang tamu berada.
Miriam sontak tertunduk.
"Ini akan menjadi bencana, Miriam!"
"Aku tahu, Pendeta. Tapi dia tumbuh sebagai pembangkang. Aku sudah berusaha dengan baik untuk menyembunyikannya dari dunia luar dan memperingatkan dengan keras supaya dia tidak berperilaku seperti laki-laki dan berpakaian seperti mereka. Tapi sejak usia sepuluh tahun dia sudah suka berburu dan berkuda. Di usia tiga belas tahun, dia sudah menaklukkan seekor puma dan menjadikan kulit binatang itu sebagai pakaian kebanggaannya."
Bernadus menelan ludah.
"Aku selalu menghukumnya setiap kali dia kembali dari hutan dan hasilnya membuat dia semakin ahli dalam menyelinap," Miriam melanjutkan dengan terbata-bata.
"Kalau begitu kita akan lihat apakah bakatnya bisa disambut di istana," gumam Bernadus tak berdaya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!