“Abang, ini makan siangnya?” Wanita cantik berkulit putih bersih dengan pakaian seadanya berjalan dengan rantang dan air minum di tangan kiri dan kanannya.
Langkahnya perlahan menelusuri jalan setapak yang berada di bagian sawah.
Wajah datar penuh keringat itu hanya mengangguk tanpa kata mau pun senyuman.
Ia melepas topi lebar di kepalanya dan mengipaskan di wajahnya.
“Terimakasih, Git.” ucapnya dingin.
Dia adalah Gita Rinjani, gadis yang ia persunting di usia 25 tahun.
Meski cantik, namun sudah berjalan enam bulan usia pernikahan mereka sampai saat ini pun Saguna sama sekali belum menaruh cinta di hatinya pada wanita yang berstatus istrinya itu.
“Yasudah Abang makan ini minumnya. Ada yang mau di minta lagi tidak?” Seperti biasa Gita tetap tersenyum hangat pada sang suami.
“Eh eh Gita! Sudah kamu pulang. Jangan ganggu Jupri. Sini kuenya buat Bapak saja.” Seorang pria paruh baya tampak mengambil satu kue di tangan Gita saat tahu sang anak membawakan makanan ringan.
“Pak itukan punya Bapak sudah Gita kasih, ini buat abang Jupri.” Ia cemberut melihat sikap sang bapak yang begitu ketus dan masa bodoh pada sang suami.
“Sana pulang kamu! Si Jupri kerjanya aja nggak benar kamu mau kasih makan banyak. Mau makan apa kita nanti kalo tekor?” Gita menunduk sedih.
Pernikahannya dengan Jupri alias Saguna adalah paksaan dari kedua orangtuanya.
Jupri di paksa menikah dengan kedua orang tua Gita. Pasalnya mereka lah yang menemukan Jupri dan mengatakan jika Jupri harus menikahi anak mereka untuk balas budi.
Demi mendapatkan tenaga bantuan di sawah secara cuma-cuma, ayah Gita membuat Jupri menikahi anaknya.
“Pulanglah, Git. Jangan buat ribut di sini.” usir Jupri yang malas mendengar suara teriakan sang mertua.
“Tapi Abang baik-baik saja kan? Apa kepala Abang sakit lagi?” tanya Gita cemas pada sang suami.
Jupri menggeleng dan menatap dalam wanita di depannya.
Di tengah-tengah silaunya cahaya matahari, kedua pasang mata mereka bertemu. Gita pun mengerti tatapan dingin Jupri.
“Iya Abang, Gita pulang kalau begitu.” Dengan wajah penurutnya ia pun meninggalkan sawah menuju ke rumah.
Dari kejauhan Jupri melihat tubuh mungil sang istri.
“Tubuh sekecil itu bagaimana mungkin sangat kuat?” batin Jupri bermonolog.
Bayangannya Gita yang baru pulang dari puncak memetik cengkeh segera ke rumah memasak dan mengantarkan pada suami dan juga ayah, lalu kembali lagi ke kebun melanjutkan pekerjaan.
Tak lama kemudian lamunan itu buyar saat suara teriakan terdengar.
“Eh Jupri cepat kerja. Kamu mau numpang tidur aja di rumah? Sudah kerja pun nggak beres.” omel pria bernama Haidar.
Haidar Irfan berusia 50 tahun, sikapnya selalu saja keras pada siapa pun termasuk anak dan istrinya.
“Iya, Pak.” jawab Jupri patuh dan segera melanjutkan pekerjaannya.
“Haduh punya menantu laki-laki tapi tenaga ngalahin nenek-nenek.” Haidar menggelengkan kepalanya kesal melihat bagaimana sang menantu bekerja sangat pelan dan hati-hati.
Kulit putih milik Jupri pun memerah terkena sinar matahari saat itu.
Sedangkan di perjalanan Gita melangkah sembari melamun.
“Bapak kenapa tega sekali sama Abang Jupri sih? Dia pria yang baik. Meskipun aku tidak tahu juga sampai kapan Bang Jupri mau bersamaku? Aku takut jika nanti ingatan Bang Jupri kembali dia akan pergi.” Gita begitu khawatir sekali.
Rasa lelah di tubuhnya tak pernah ia hiraukan mengingat ia akan berusaha menjadi wanita yang terbaik untuk suami.
Apa pun akan ia lakukan selama itu baik demi mencuri hati Jupri.
Perjalanan naik turun pegunungan, Gita lalui dengan lamunan cemas. Hatinya perlahan sudah mulai terpenuhi oleh nama Jupri yang entah itu dapat dari mana. Jika di lihat sungguh tidak sesuai dengan wajah blasteran milik Jupri.
“Gita! Melamun aja sih? Awas kesandung batu loh.” Tiba-tiba Gita di kejutkan teriakan tetangganya.
Ia tersenyum menutupi kecemasan di hati. “Eh iya Bu. Cuman lagi capek aja kok nggak melamun,” jawab Gita ramah.
“Kangen sama Bang Jupri yah? Sabar bentar lagi sore kok. Kerjanya harus semangat udah dapet suami ganteng paripurna gitu kok masih ngeluh capek?” Tawa akrab tetangga itu membuat Gita tersipu malu.
Suaminya memang tampan, bahkan ia bintangnya di desa itu. Dan tentu itu serasi jika di sandingkan dengan wajah cantik Gita. Cantik alami gadis desa tentu tak ada tandingannya.
Langit cerah perlahan memudar dan berganti semakin gelap. Para pekerja di kebun teh tampak berjalan kaki keluar dari barisan pohon-pohon yang tidak begitu tinggi namun indah di lihat berjajar rapi.
Raut lelah tampak jelas di wajah mereka, tak terkecuali wanita cantik yang usianya terbilang cukup muda itu.
Ia berjalan memegang tali keranjang di bahunya sembari mengusap peluh di bagian kening dan pelipis.
“Gita, sudah mau pulang yah?” Seorang pria paruh baha menyapa, dia adalah mandor kebun teh tempat Gita bekerja.
“Iya, Pak Ramli. Saya mau pulang, Pak.” jawab Gita seperti biasa sangat sopan.
“Yasudah ini upah kamu yah? Saya potong seperti biasa jam siang kamu.” ucapnya tersenyum namun sekali ia menaikkan alisnya sebelah.
Gita tersenyum kikuk melihat ekspresi pria itu. Segera ia mengambil uang dan berjalan cepat meninggalkan Pak Ramli.
“Bapak itu kenapa sih suka sekali main alis begitu? Bikin takut aja.” Gita sepanjang jalan menggerutu. Pasalnya tingkah Pak Ramli bukanlah hal pertama kali ia lihat. Sering kali pria itu berlaku seperti itu pada Gita.
Hingga perjalanannya pun kini berakhir pada rumah sederhana milik orangtua yang ia tumpangi bersama sang suami.
“Buatkan Bapak kopi, Git.” Teriak Pak Haidar saat melihat Gita baru saja meletakkan topi kerja di pintu rumah.
Bahkan duduk pun belum sempat ia lakukan, sungguh tubuh mungil itu sangat kuat menahan rasa lelah.
“Iya, Pak.” jawab Gita tanpa ada niat protes atau meminta waktu sejenak untuk istirahat.
Rumah tampak sunyi, sepertinya sang ibu belum pulang dari jualan jamu. Sedangkan Jupri pasti sedang berada di kamar. Pikir Gita.
Beberapa saat kemudian, tampak Gita keluar teras rumahnya membawa segelas kopi. Ia tahu jika membuatkan sang suami kopi di depan sang bapak pasti akan jadi masalah lagi.
“Ini, Pak kopinya. Gita mau mandi dulu.” tutur wanita itu berjalan meninggalkan sang bapak yang diam saja.
Di kamar, Jupri tampak memijat lengan dan kakinya yang selalu pegal setiap kali pulang bekerja.
“Abang capek?” tanya Gita lembut.
Jupri yang melihat wanita itu hanya diam. Sungguh enam bulan pernikahan, Gita masih merasa seperti sangat asing bersama suaminya sendiri.
“Sini Gita pijat Abang.” ujarnya mulai memijat kaki sang suami.
Tak menolak, Jupri mulai menikmati pijatan sang istri. Lama kelamaan pria itu pun terlelap dengan rambut yang masih basah. Menandakan jika ia sudah mandi.
Gita menatap pahatan wajah yang begitu tampan, wajah yang bisa di katakan wajah kotaan. Sungguh, Gita jatuh cinta pada sang suami.
“Kasihan Bang Jupri, kenapa Bapak tega sekali dengannya? Pasti Bang Jupri tidak biasa kerja seperti ini. Maafkan Gita, Bang.” tuturnya dalam hati begitu sedih melihat keadaan pria yang irit bicara padanya.
Waktu berlalu sangat cepat, tanpa sadar Jupri telah tertidur hingga pukul setengah 8 malam. Perut yang kosong dan berbunyi terus membuatnya membuka mata perlahan.
Belum usai ia mengumpulkan nyawa, manik mata Jupri menangkap sosok yang baru saja menunaikan solatnya. Gita tersenyum padanya dengan alat solat yang masih ia pakai.
Mukenah putih itu sangat cerah di wajah cantik Gita, untuk pertama kalinya Jupri terpesona pada sang istri setelah enam bulan mereka menikah.
“Seperti malaikat.” batin Jupri tak berkedip bahkan melebarkan sedikit lagi kedua matanya.
“Bang. Abang Jupri,” panggil Gita yang kala itu membuyarkan lamunan Jupri.
Jupri terkesiap. “Ada apa?” tanya Jupri gelagapan.
“Mau salim, Bang.” jawab Gita ramah.
Jupri kembali diam dan mengikuti pergerakan tangan sang istri.
“Abang mau makan? Biar Gita siapkan makannya.” Lagi Gita berucap dan Jupri hanya mampu mengangguk.
Rasanya jantungnya tiba-tiba berdetak tak karuan melihat senyuman cantik Gita dengan balutan mukena putih. Tanpa make up, itu sungguh cantik yang natural.
Di dapur Gita tampak menyendokkan nasi dan lauk sederhana. Sayur asam dan juga sambal tomat teri. Segelas air pun ia tuang di gelas lalu menata di meja makan.
Usai memastikan semua siap, ia kembali ke kamar dan hendak memanggil Jupri. Sayangnya langkahnya terhenti kala tubuhnya bertabrakan dengan tubuh tinggi sang suami.
“Astaga!” pekiknya kaget saat bertabrakan dengan sang suami karena terhalang gorden pintu kamar.
“Gita,” Jupri pun reflek memeluknya.
Bukan saling tatap, Gita justru memberontak dalam pelukan Jupri karena terlalu gugup. Tangannya tampak gemetar memperbaiki tatanan rambut di wajahnya.
“E-em i-tu Bang. Ma-kannya s-sudah siap.” ujar Gita tergugup.
Jupri hampir tertawa melihat tingkah istrinya yang seperti melihat hantu.
Ia pun melepaskan pelukannya dan menggenggam tangan sang istri.
“Abang?” Gita berusaha menegur suaminya agar melepaskan tangannya.
“Temani Abang makan, kamu juga harus makan. Lihat badanmu makin hari makin kurus.” Untuk pertama kalinya Jupri berucap sedikit panjang pada Gita.
Tak mampu menolak, Gita hanya patuh berjalan ke dapur mengikut sang suami. Hatinya tersentuh, Jupri orang kedua yang perduli padanya.
“Bang, makanlah. Gita masih kenyang…” Jupri tanpa bicara sudah menyuapkan nasi pada sang istri.
Bibir Gita yang bicara sampai harus terhenti karena syok.
“Tidak seharusnya aku dingin pada Gita. Dia sudah jadi istriku, meski aku merasa asing pada mereka semua tapi Gita sudah berusaha baik untukku. Sepertinya aku harus belajar menerimanya.” batin Jupri bermonolog.
Entah angin apa yang membawanya sehangat sekarang, yang jelas hatinya terasa begitu tersentuh saat melihat wajah Gita kala ia membuka mata bangun dari tidurnya.
Segala perlakuan lembut Gita selama enam bulan membuat Jupri sangat tersentuh. Sering kali ia kasihan pada Gita yang bertubuh mungil harus sibuk bekerja dan mengurus dirinya dan sang ayah mertua di sawah, namun Jupri sadar itu hanya sebatas prihatin, bukan cinta.
Tetapi malam ini, Cinta itu seperti sebuah hidayah yang tiba-tiba jatuh dan mengetuk pintu hati Jupri.
Derasnya hujan mengguyur desa Sumber Angin malam itu, banyak rumah yang mulai basah hingga ke teras akibat hujan dan angin yang bertiup kesana kemari.
Bahkan di sini, seorang wanita sudah sibuk berlari ke samping rumah dimana banyak pakaian yang ia gantung setengah kering harus ia selamatkan dari tiupan hujan deras malam itu.
“Abang, mau ngapain?” Sembari sibuk mengambil pakaian di hanger, Gita berteriak pada Jupri yang ikut turun berlari mendekat padanya.
Suara hujan begitu keras membuatnya harus berteriak pada sang suami.
“Sudah masuklah, Git. Biar Abang saja yang ambil pakaiannya.” pintah Jupri.
Gita tak patuh kali ini, bagaimana ia tega membiarkan suaminya basah sedangkan ia masuk ke rumah.
“Tidak, Bang. Biar Gita saja.” sahutnya terus mengambil pakaian. Hingga satu pakaian pun menjadi target akhir untuk Jupri.
Ia segera memikul pakaian itu, lalu sebelah tangannya menggenggam tangan sang istri.
Kilatan petir di saat itu tanpa sadar membuat keduanya berteriak.
“Aaaaa!” Gita reflek berlari ketakutan dan menaiki tangga rumah dari arah belakang.
“Gita jangan berlari!”
Brakkk!!
Suara teriakan Jupri serentak bersama suara sesuatu yang jatuh menghantam tangga kayu yang tidak tinggi.
Gita kaget dan menoleh.
Byarr!! Suara petir menggelegar, sayangnya kali ini Gita bahkan seolah tak mendengar suara itu sama sekali.
Ia justru berteriak panik. “Abang!!” Mata Gita membulat sempurna.
Pakaian yang menjadi tujuan utama wanita itu ia jatuhkan begitu saja di tangga. Ia berlari turun tak perduli dengan derasnya hujan.
Jupri terjatuh hingga tidak sadarkan diri. Guyuran hujan di wajah Jupri sama sekali tidak bisa menyadarkan dirinya dari pingsannya.
Gita menangis ketakutan, ia panik dan terus berteriak meminta pertolongan.
“Bapak! Ibu!” Teriaknya bahkan tetangga di samping rumah turut berlari menghampiri Gita.
“Tolongin Bang Jupri!” Gita kembali berteriak.
Hingga tak lama kemudian tetangga dan orangtua Gita berlari dan melihat Jupri sudah berada di pangkuan Gita kepalanya.
“Ayo ayo cepat bantu saya!” Bapak Gita mengajak para tetangga untuk membawa sang menantu ke dalam rumah.
Semua malam itu terpaksa harus berbasah-basah demi menolong Jupri.
“Abang, bangun Bang.” Gita menangis sembari berusaha memberikan minyak kayu putih di hidung Jupri.
Sungguh Gita sangat takut jika Jupri kenapa-kenapa.
“Gita, tenang. Suamimu pasti akan sadar. Ibu sudah minta tolong panggilkan Mbok Sum.” Sang Ibu memberi tahu Gita jika mereka telah memanggil salah satu ahli urut.
Melihat Jupri yang pingsan usai jatuh, ada kemungkinan ada sesuatu yang terbentur di tubuh pria itu.
“Bu, panggil Pak mantri juga. Gita takut kalau Bang Jupri sakit akibat jatuh tadi.” tuturnya memohon.
Sang Ibu segera mengangguk dan meminta salah satu tetangga agar bisa di mintai tolong.
Sangat menyedihkan memang, dokter tak ada di desa itu. Bahkan untuk ke rumah sakit butuh waktu menempuh perjalanan hingga 7 jam. Tidak mungkin jika malam ini Gita membawa Jupri ke rumah sakit. Apalagi perjalanan pasti membutuhkan uang, dan ia sama sekali tidak memiliki uang lebih.
Bisa makan saja rasanya sudah cukup bersyukur untuknya dan sang suami. Sebab upah Jupri harus sang bapak yang pegang. Karena mereka menumpang di rumah orangtua Gita.
“Bagaimana keadaan suami saya, Pak Mantri?” tanya Gita usai melihat Pak Mantri memeriksa sang suami.
Di sana juga ada Mbok Sum yang memijat beberapa bagian tubuh Jupri.
“Tidak ada yang salah dengan tekanan darah, detak jantung dan lainnya. Sepertinya ini ada kaitannya dengan kecelakaan saat itu.” Gita terisak mendengar ucapan Pak Mantri.
Ia sangat takut jika Jupri mengalami sakit yang serius. Hatinya benar gelisah ingin membawa sang suami ke rumah sakit. Tapi apa yang harus ia bawa untuk membayar semua biayanya.
“Apa ada hal buruk yang terjadi kemungkinan, Dok?” Ibu angkat bicara melihat Gita yang sudah menangis di pelukannya.
“Saya tidak bisa memprediksikan, Bu Dewi. Karena kecelakaan suami Gita ini sangat parah. Saya perkirakan ada beberapa anggota tubuhnya yang mengalami benturan dan luka dalam. Sayangnya alat di sini tidak ada. Jadi seperti yang saya sarankan waktu itu. Harus ke rumah sakit dan melakukan pemeriksaan menyeluruh. Terutama bagian kepala.” Panjang lebar sang mantri menjelaskan.
“Kalau begitu saya permisi dulu, Bu Dewi. Semuanya saya pamit pulang.”
Kepergian Pak Mantri akhirnya di ikuti satu persatu tetangga untuk pulang begitu juga dengan Mbok Sum.
Kini tinggallah Gita, Jupri yang tidak sadar, kedua orangtuanya dan juga Shani, sang adik yang hanya diam mendengarkan.
“Pak, Ibu, kasihan Kak Gita. Apa sebaiknya kita bawa Kak Jupri ke kota?” Usulnya setelah cukup lama Shani bungkam.
Sayangnya usul itu tak di terima dengan baik. Dan justru mendapatkan sentakan kasar sang bapak.
“Diam kamu, Shani! Tau apa kamu soal itu.” Semua terperanjat kaget.
Gita yang menangis bahkan terisak tak bersuara lagi. Nasibnya benar-benar menyedihkan. Bekerja dimana uangnya hanya cukup untuk membeli biaya makan di dapur sehari-sehari. Peluh sang suami dimana hasilnya akan di serahkan pada sang bapak.
Tak ada pegangan sama sekali, dan kini suaminya harus di periksa.
“Pak, Bu, Gita mau ke rumah Pak Malik dulu.” pamitnya menekatkan diri untuk keluar rumah malam-malam.
Tentu hal itu membuat kedua orangtua Gita sangat terkejut.
“Gita, mau apa kamu kesana, Nak?” tanya sang ibu yang menahan tangan sang anak untuk beranjak dari duduknya.
“Jangan bodoh kamu, Gita! Mau pinjam sama Pak Malik itu? Iya! Mau bayar pake apa kamu? Hah ada-ada saja. Tidak boleh!” Bapak berdiri dan masuk ke kamar dengan perasaan kesal.
Gita hanya bisa menunduk terisak di depan sang ibu.
Shani ikut meneteskan air mata melihat keadaan kakak dan kakak iparnya.
Di ruangan tamu, kini hanya ada Ibu, Shani, Gita dan juga Jupri yang masih memejamkan matanya.
“Gita, sudah jangan menangis. Ibu akan bantu, tapi jangan bilang dengan Bapak.” tutur sang Ibu setengah berbisik.
Segera Gita mengusap air matanya, secercah harapan bisa ia lihat dari ucapan sang ibu barusan.
Shani ikut bernapas lega juga. “Akhirnya,” ujar Shani dalam hati.
“Besok pagi kamu siap-siap berangkat sama Jupri. Ibu akan siapkan uangnya. Nanti tunggu Bapak berangkat kerja kita urus kendaraannya yah?” Sang Ibu mengelus rambut sang anak dengan senyuman pilu.
Gita berhambur memeluk sang ibu karena sangat bersyukur memiliki ibu di sampingnya. “Terimakasih banyak, Bi. Gita bersyukur punya Ibu. Gita tidak tahu lagi harus bagaimana jika tidak ada Ibu.” tuturnya mengeratkan pelukan pada sang ibu.
“Yang sabar yah, Kak Gita. Semoga Bapak tidak akan selamanya sekeras ini sama Kak Jupri.” Shani ikut menghambur memeluk kakak dan adiknya.
***
Mentari kini sudah turun kembali menyinari desa yang tampak masih beberapa bagian lembab karena hujan deras dan panjang semalam. Bahkan pagi ini banyak para warga yang berusaha melawan kantuk dan dingin untuk kembali bekerja.
Rasanya sungguh tak rela untuk bangun dari tempat tidur.
“Pak, bangun Pak.” Dewi beberapa kali membangunkan sang suami yang tidur.
“Masih ngantuk, Bu.” sahut Haidar memutar posisi tidurnya untuk kembali mencari posisi tidur yang nyaman.
“Sudah jam tujuh loh, Pak.” Dewi berusaha membangunkan sang suami. Ia gelisah karena harus cepat membawa sang menantu ke rumah sakit.
Segera setelah mendengar jam yang di sebutkan, Haidar terpaksa bangun dan mempersiapkan diri bekerja.
“Belum sadar juga itu?” tanya Haidar saat sudah siap bekerja dan melihat Gita memijat tangan suaminya.
“Belum, Pak.” jawab Gita.
Tak ada pertanyaan lagi, Haidar berlalu dan menuju sawah.
Dewi yang melihat suaminya sudah pergi, segera meminta Gita untuk bersiap.
“Bu, mobilnya sudah datang.” Shani berlari ke rumah dengan napas yang memburu.
Pagi-pagi sekali ia mendatangi salah satu tetangga yang menyediakan sewa mobil.
Gita dengan jantung yang berdegup kencang takut jika bapak akan tahu ia ke kota, berusaha berani demi sang suami.
“Shani, kamu cepat bantu kakakmu memeriksa barang bawaan. Ibu akan ambil uangnya dulu.”
Semua bergerak cepat di rumah sederhana itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!