Hasil akhir dari jatuh cinta adalah memilih untuk mengikat janji dalam mahligai nan suci yang di sebut pernikahan.
Menikah itu tidak seperti di arena balapan kuda, jika kau lebih dulu menikah maka kau pemenangnya, dan jika kau terlambat menikah maka kau telah kalah. Konsepnya tidak seperti itu, karena sejatinya menikah itu di butuhkan banyak persiapan, di butuhkan Ilmu untuk menjalaninya sehingga sakinah, mawaddah, dan warahmah akan selalu menyertai hubungan dua Insan yang telah di persatukan Tuhan, Allah.
"Ya Tuhan, aku tidak percaya ini? Aku sudah menikah dan sekarang aku tinggal di Thailand." Ucap Yuna sambil mengeluarkan pakaian dari kopernya.
Iya, dia tiba semalam pukul 20.19 waktu Thailand. Sungguh, Yuna merasakan nyeri di seluruh tubuhnya. Namun Ia bahagia, setidaknya ia sampai dengan selamat di negara asing ini, negara suaminya, Zain De Lucca.
Tok.Tok.Tok.
"Nona, apa saya boleh masuk?"
"Iya, silahkan." Jawab Yuna cepat sambil menutup pintu lemari empat pintu.
Begitu daun pintu terbuka, tampak Art separuh baya masuk sambil menenteng nampan berisi kopi dan makanan ringan di tangannya.
"Apa anda baik-baik saja?"
"Iya, aku baik." Balas Yuna lagi. Ia merasa nyaman dengan sikap ramah Art separuh baya itu. Bagaimanapun, ia hanya orang baru di tempat asing ini, mendapat sambutan hangat membuatnya merasa lega.
"Nyonya besar mengirim kopi ini untuk Nona, anda bisa menikmati waktu anda dengan bersantai. Anda tidak perlu keluar kamar, saya akan memanggil anda jika waktu makan siang tiba." Ucap Art itu lagi, Yuna hanya mengangguk pasrah, campuran antara bahasa Inggris dan Thailand yang dia gunakan membuat Yuna bingung untuk menanggapinya. Jadilah Ia bersikap bodoh dengan menganggukkan kepala pelan.
"Iya, baiklah." Ujar Yuna sambil tersenyum tipis.
Sedetik kemudian tinggallah ia sendirian di kamar yang luasnya bisa Ia gunakan untuk bersepeda.
"Prof.Zain tidak pernah cerita kalau Ia berasal dari keluarga luar biasa. Kami sudah menikah tapi buruknya Ia masih saja bersikap layaknya novel misteri."
"Dan buruknya, aku bahkan tidak bisa menebak jalan pikirannya. Harus ku apakan orang itu agar dia tidak bertingkah misterius lagi. Setelah kami tiba di tempat ini dia mulai bersikap dingin, dia tidak sadar dia itu manusia bukannya ice." Celoteh Yuna sambil mendengus. Ia berjalan mondar-mandir sambil melipat kedua lengan di depan dada.
"Tunggu sebentar! Kemana dia pergi setelah sarapan? Dia bahkan tidak mengatakan apapun. Lihat saja nanti, aku pasti akan memarahinya."
Setelah bosan bicara sendiri, Yuna kembali memasukkan bajunya kedalam lemari. Ia bahkan lupa memberi kabar kepada keluarganya yang ada di Ibu Kota kalau dia dan suaminya telah sampai di Thailand dalam keadaan sempurna.
"Tidak perlu memasukkan bajumu kedalam lemari. Kita tidak akan tinggal di rumah ini." Ucap Zain begitu Ia memasuki kamar tempat Yuna berada. Wajah tampannya terlihat kesal. Aura yang di tunjukkannya bukan aura suami yang bucin pada istrinya, melainkan aura seorang Mafia.
"Ap-apa maksud Prof.Zain? Kita tidak akan tinggal disini? Lalu di mana kita akan tinggal?"
"Tidak perlu bertanya, kau cukup mengikuti apa yang ku katakan. Aku benci menjelaskan apa pun, pada siapa pun. Termasuk dirimu." Ujar Zain ketus. Ia bahkan tidak menghiraukan Yuna yang terlihat mulai bosan.
Yuna dan Zain saling menatap, mereka saling mengunci dalam tatapan masing-masing. Namun buruknya, Yuna tidak akan menemukan cinta dalam tatapan seorang Zain De Lucca. Apakah cintanya telah menguap keangkasa? Entahlah, Yuna sendiri tidak tahu jawabannya, yang Ia tahu Ia telah menikah dengan Profesor tampan itu dengan cinta dan keyakinan penuh.
...***...
Untuk sesaat, kamar yang Yuna dan Zain tempati berubah senyap. Itu karena mereka lebih memilih untuk saling menatap tanpa perlu menghiraukan apa pun, biarlah tatapan mereka yang menjelaskan isi hati mereka.
Tatapan Yuna sedalam samudra, Zain sendiri tidak bisa menebak jalan pikiran wanita muda yang ia nikahi kurang dari sebulan itu. Yuna pun demikian, ia menikahi Zain namun ia belum mengenal suaminya sedekat itu, apa yang di sukai dan apa yang di benci pria tampan yang saat ini menjelma sebagai suaminya itu masih menjadi misteri baginya. Jika seperti itu masalahnya, lalu apa alasan seorang Yuna Dinata memutuskan menikah dengan Prof. Zain? Yuna sendiri masih bingung kenapa dia ingin menikahi pria itu, yang jelas mereka berjodoh karena itu mereka bertemu. Akan seindah apa kisah mereka, Yuna sendiri menantikan kejutan apa yang akan di berikan kehidupan ini untuknya.
"Dimana kita akan tinggal? Dan apa alasanmu ingin pergi dari sini? Aku berhak mengetahuinya. Tapi, jika kau tidak ingin mengatakannya, maka tidak apa-apa. Aku tidak akan memaksa." Ujar Yuna memecah keheningan.
Zain yang mendengar ucapan Yuna hanya bisa menganggukkan kepala pelan.
"Baguslah."
"Kau memang harus seperti itu. Tindakan bijak kau tidak menanyakan apa pun, karena jika kau memaksakan diri untuk bertanya, aku yakin kau akan kecewa. Dan aku tidak sebaik itu sampai harus merayumu untuk meredakan amarahmu."
"Kau harus membiasakan diri. Kau juga tidak boleh cengeng. Disini, kau hanya orang asing. Kau tidak akan menemukan bahu untuk bersandar jika kau sampai terluka."
Ucapan Zain terdengar bagai tanda bahaya di indra pendengaran Yuna. Ia tidak percaya, pria yang sudah mengikat janji dengannya itu tega mengatakan dirinya tidak akan pernah ada saat Yuna dalam masalah. Untuk sesaat, Yuna kembali berpikir. Apakah janji yang Zain ucapkan di depan keluarganya hanya omong kosong belaka? Entahlah, Yuna sendiri tidak bisa menebaknya. Ekspresi yang Zain tunjukkan terlalu sempurna sampai tidak ada yang akan bisa menebak jalan pikirannya.
"Apa yang Profesor katakan? Aku ini istrimu, tentu saja aku akan selalu mengandalkanmu." Ujar Yuna menanggapi ucapan serius Zain. Ia tidak ingin menyimpan keluhan ataupun kemarahan di dalam hatinya, karena itu bukan gaya seorang Yuna Dinata. Dia gadis ceria, dan dia tidak akan pernah membiarkan keceriaan itu menghilang dari dirinya bahkan setelah dia menikah.
Belum sempat mendengar jawaban Zain, Art separuh baya itu kembali mengetuk pintu. Entah kabar apa yang dibawanya sampai berani mengalihkan perhatian Zain untuk menatap kearahnya.
"Tuan. Mobilnya sudah siap. Apa ada yang bisa saya bantu?"
"Minta orang lain membantumu membawa koper istriku. Masukkan semua pakaiannya yang ada di lemari." Pinta Zain dengan sopan.
Istriku!
Yuna tersenyum penuh kemenangan, walau Zain mengatakan hal yang tidak masuk akal saat mereka berdua, setidaknya pria itu telah mengakuinya sebagai istri, dan hal itu membuat kembang kempis dada seorang Yuna Dinata. Ia bahagia, ia tersanjung, dan ia merasa berharga.
Tidak ada balasan dari Art sepuh itu, ia hanya bisa mengangguk kemudian berjalan mundur meninggalkan Yuna dan Zain.
"Ayo kita pergi."
"Kau tidak perlu mengganti baju atau berdandan. Tidak ada orang yang akan peduli dengan penampilanmu." Celoteh Zain sambil menatap Yuna dengan tatapan yang sulit di artikan oleh gadis cantik itu.
Aku menikah bukan untuk melihat tatapan dingin suamiku. Ada apa dengan Prof.Zain? Kenapa dia berubah seperti bunglon. Di depan Mama dan Papa dia bertingkah seolah aku adalah nyawanya. Tapi disini tingkahnya membuatku tidak mengenalnya! Apa aku salah karena memilihnya? Ahh, aku tidak tahu itu. Biarkan semuanya seperti ini untuk sekarang. Batin Yuna sambil berjalan mengikuti langkah Zain yang sudah ada di depannya.
...***...
Perdebatan sengit!
Itulah yang terjadi lima belas menit yang lalu. Antara Prof.Zain dan Daddy-nya. Pria paruh baya itu menginginkan Zain dan Yuna tinggal di bawah atap yang sama bersama keluarga lainnya, namun Zain menolak dan beralasan tidak ingin kehidupan pribadinya di campuri oleh siapa pun termasuk kedua orang tuanya.
Puluhan detik berlalu namun Yuna masih saja menatap Zain dengan tatapan tajam. Fokus Zain terhadap jalanan berpindah pada Yuna yang terlihat mulai tak bersahabat. Bahkan, Ia terpaksa harus menepi karena bicara serius sambil menyetir mobil bisa saja mendatangkan masalah bagi dirinya.
"Apa aku setampan itu sampai kau tidak bisa berkedip saat menatapku?" Zain balas menatap Yuna, bukan dengan tatapan kagum atau cinta, namun tatapan yang mengisyaratkan kalau dia merasa tidak nyaman.
"Kau tidak setampan itu sampai aku tidak bisa berkedip! Aku hanya heran saja!" Celoteh Yuna berbohong, Ia menyipitkan mata.
"Heran? Kenapa harus heran? Aku yakin kau bukan orang bodoh yang tidak bisa membaca situasi!" Timpal Zain dengan ketus. Belangnya mulai terlihat setelah ia sampai di Negaranya, Thailand. Kalimat cinta yang ia gadang-gadangkan saat mereka masih berada di Indonesia tak lagi bergema. Dingin dan ketus, itulah gambaran seorang Zain De Lucca pada Yuna Dinata yang Ia pilih sebagai istrinya. Alasan Ia menikahi wanita berparas ayu itu benar-benar masih menjadi misteri.
"Aku tidak bisa membaca situasi karena kau berubah seperti bunglon. Di depan orang tuaku kau bicara tentang cinta, tapi disini kau mengabaikanku seperti aku hanya orang asing bagimu.
Yahh... Aku mengerti hal itu. Jika pada Mommy dan Daddy saja kau bersikap seperti singa hilang kendali, lalu bagaimana dengan diriku yang hanya orang baru?" Ujar Yuna serius. Tatapan matanya yang tadi tajam kini berubah sendu.
"Terserah kau saja, kau bisa membawaku kemanapun kau pergi. Ingat satu hal, aku bukan gadis yang lemah, aku tidak akan diam jika kau berani menyakiti jiwa dan ragaku." Sambung Yuna lagi, kali ini Ia menatap lurus kedepan.
Setelah mengungkapkan keluh kesahnya, Yuna berubah menjadi pendiam. Sementara Zain, Ia kembali melajukan mobilnya, menembus jalanan padat yang ada di Thailand.
Lima belas menit kemudian, Mobil yang Zain kendarai berhenti tepat di depan bangunan elit yang ada di pusat kota. Ia keluar dari mobil tanpa berucap sepatah kata. Walau seperti itu keadaannya, Yuna ikut keluar menyusul Zain sambil menarik dua koper dengan kedua tangannya.
Dasar suami tidak pengertian, bisa-bisanya dia memilih untuk tidak membantuku. Ku sumpahi kau jatuh. Gerutu Yuna di dalam hatinya. Baru saja Yuna berkata seperti itu, Zain tersandung oleh kakinya sendiri dan jatuh ke lantai.
"Upst!" Yuna menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tawa.
Hanya aku istri yang mendoakan suaminya celaka. Maafkan aku Tuhan. Tapi dia pantas mendapatkannya. Batin Yuna sabil menatap kearah lain, khawatir Zain akan melihatnya menahan tawa.
"Apa ini lucu bagimu? Seharusnya kau membantuku." Ujar Zain ketus, entah sudah keberapa kalinya Ia bersikap ketus pada Yuna sejak mereka tiba di Thailand.
"Profesor ku yang tampan, kau melihatku membawa dua koper, tapi buruknya kau bahkan tidak berniat untuk membantuku. Sekarang pertanyaannya, haruskah aku membantumu berdiri saat kau bisa melakukannya sendiri? Kau bahkan tidak berdarah." Yuna memberikan alasan kuatnya yang kemudian di tanggapi serius oleh Zain. Ia tahu Ia bersalah karena itu Zain lebih memilih diam dan kembali berjalan menuju Apartemennya. Apartemen yang Ia tinggali sejak ia masih berstatus lajang.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!