...•...
...•...
...•...
Dimas hanya bisa diam, ia tidak tau harus berbuat apa lagi. Ia menoleh ke arah adik perempuannya yang hanya berdiri menatap dan tersenyum, tersenyum penuh kemenangan yang begitu membuat hatinya terasa teriris. Lelaki itu langsung berlari ke arah kedua orang tuanya dan menarik Hana yang terdiam di lantai dengan luka yang dia terima.
"DIMAS! KAMU JANGAN IKUT CAMPUR! PERGI KE KAMAR MU!" Dimas membuat Hana berdiri di belakangnya untuk melindungi adik perempuannya.
"Kali ini apa lagi? Kenapa kalian begitu senang menyiksa anak kalian sendiri? Hana itu anak perempuan kalian!"
"BERANI KAMU MENINGGIKAN NADA BICARAMU?!"
"KENAPA GAK?! AYAH KETERLALUAN! DAN BUNDA JUGA! KALIAN ANGGAP HANA ITU APA?!"
Satu ruangan yang ada, semua terdiam ketika mendengar suara Dimas yang begitu keras. Tidak ada yang berani menjawab sekali pun di sana, tatapan Dimas sudah seperti akan membunuh siapa saja yang akan menyakiti adiknya.
Sedangkan Hana yang berdiri di belakang Dimas hanya menunduk dan diam saja, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia lelah dengan keadaan yang membuatnya merasakan sakit yang teramat. Terlalu hancur, Hana tidak pantas hidup.
"Dia hanya beban di sini, dia harus membayar apa yang sudah ayah lakukan kepadanya. Apa ayah salah?" Dimas terdiam, menatap sang ayah dengan tatapan kecewa. Bukan hanya sekali saja, melainkan sudah berkali-kali.
"Ayah tidak ihklas membesarkan Hana? Berarti sama saja ayah menganggapku beban juga?"
"Tidak begitu Dimas, kamu berbeda-"
"BERBEDA APANYA BUNDA?! HANA JUGA ANAK BUNDA! INI TIDAK ADIL!"
"CUKUP DIMAS!" Anna hanya diam saja, ia marah dengan Dimas yang selalu saja melindungi Hana. Padahal Hana juga melakukan kesalahan.
Genggaman itu semakin erat membuat Dimas menoleh ke arah belakang, lelaki itu langsung menggendong Hana ke kamarnya. Ia yakin Hana tidak akan bisa tidur dengan luka sebanyak itu, ia tidak mungkin membiarkan Hana sendirian. Ini sudah cukup menyiksa Dimas meskipun Dimas tidak pernah diperlakukan separah ini.
Kedua pasangan itu menatap Dimas dengan tatapan kecewa, kenapa anak mereka begitu menentang keras kepada mereka? Apa karena Hana? Kepala mereka yang yang berisikan pikiran negatif kepada anak sendiri.
Hana diam dan bersembunyi di bahu kakaknya tanpa menatap balik ke arah semua orang. Baginya semua orang adalah jahat, kecuali Dimas.
"Maafin kakak..."
"Kakak gak salah. Hana yang salah karena tidak dapat peringkat pertama kayak Anna." Dimas terdiam, langkah kakinya berjalan ke arah kamarnya sendiri dan masuk bersama adiknya.
Mendudukkan Hana di atas kasurnya dan mengambil obat. Seperti biasa Dimas akan mengobati semua luka itu. Hana masih terlalu kecil untuk merasakan luka separah ini, tapi entah mengapa Hana anak yang kelewatan kuat.
Dimas menatap luka adiknya dengan tatapan sendu, rasanya ingin menangis kencang sekarang juga. Tangannya dengan perlahan mengolesi luka Hana dengan salep dan alkohol. Tanpa sadar air matanya menetes begitu saja mengingat ia tidak bisa melakukan hal yang lebih, membawa Hana pergi dari rumah adalah impian Dimas.
"Kakak nangis?" Dimas menunduk, menggelengkan kepalanya dan tetap mengobati luka Hana dengan pelan. Tidak mau menyakiti malaikat kecilnya.
"Kalau sakit bilang saja, jangan ditahan. Kaka tau kamu kesakitan." Hana mengangguk, tangan mungilnya mengusap pipi kakak laki-lakinya dengan perlahan, menghapus jejak air mata itu.
"Kakak gak boleh nangis, Hana sedih lihatnya." Dimas mengangguk dan semakin menunduk, suara tangisannya semakin terdengar. Hanya luka, tapi tetap saja melukai Hana dan itu juga sukses melukai Dimas secara batin.
"Kakak gak bisa lindungi kamu hiks hiks... Kakak payah hiks hiks hiks." Hana menggelengkan kepalanya dan menghapus air mata Dimas lagi.
"Tidak, kakak sudah baik sama Hana."
Kenapa tuhan begitu tega kepada anak perempuan yang bahkan belum menginjak usia 10 tahun ini. Dimas tidak bisa terus melihat ini, ia tidak akan pernah sanggup akan semua yang terjadi. Dimas sakit hati.
"Kakak janji akan bawa kamu pergi, bertahan sebentar lagi hiks hiks hiks... Kakak bawa kamu pergi dari sini hiks hiks."
Hana tersenyum dan memeluk Dimas, walaupun badannya di bilang terlalu mungil. Tapi Dimas bangga karena Hana bisa bertahan sampai detik ini, ia sudah bersumpah.
"Kakak akan bawa kamu pergi dari sini, kakak janji."
Menggendong tasnya di punggung, cukup berat karena membawa banyak buku sekaligus beberapa dokumen untuk presentasi hari ini. Entah mengapa sekarang adalah waktunya untuk terus belajar tanpa henti.
Hana menuruni anak tangga dan ia melihat anggota keluarga yang lainnya tengah sarapan bersama. Hana hendak berjalan ke sana. Namun, terhenti ketika ia menyadari suatu hal di mana ia tidak pernah di anggap di sana.
Langkah gadis itu menjadi pelan dan langsung keluar dari rumah tanpa berpamitan sama sekali. Tidak melakukan apa pun, ia tetap tidak akan pernah di lihat sebagai anggota keluarga. Di anggap apa Hana di sana? Beban, itu yang pernah ayahnya katakan kepadanya.
Beban yang seharusnya memberikan sebuah bayaran yang sepadan dengan segala yang diberikan kepada Hana. Gadis itu selalu berpikir lebih, yang seharusnya anak seusianya yang bermain bersama teman-teman justru habis dengan masa remaja yang hanya berada di dalam rumah dan menatap buku sepanjang hari.
Dimas yang berada di meja makan hanya diam, menyadari jika ada yang kurang. Melihat ke segala arah, tidak menemukan tanda-tanda akan kehadiran adik perempuannya.
"Cari apa kak?" Tanya bundanya secara tiba-tiba kepadanya. Membuat Dimas seketika menatap ke arah bundanya yang tengah tersenyum ke arahnya.
"Hana belum turun?" Senyumannya itu yang berawal sangat antusias menjadi memudar berganti dengan wajahnya gusar dan malas. Tentu saja Dimas bertanya-tanya akan itu.
"Tidak tahu, tidak perlu urusi anak itu. Lagi pula Anna juga ada di sini, kenapa kamu tidak tanyain Anna sana?"
"Anna juga di sini, ngapain di tanyain. Aku mau berangkat dulu."
"Dimas, yang sopan. Ini meja makan." Ucap ayahnya penuh nada menuntut, dia hanya tidak suka dengan kelakuan Dimas yang lebih memperhatikan Hana dari pada Anna yang jelas Anna juga adik perempuan Dimas juga.
"Hanya meja makan, bukan meja sidang. Aku berangkat."
"DIMAS!" Dimas tanpa mengatakan apa pun, mengambil bekal makan yang dia siapkan sendiri dan kemudian pergi begitu saja.
Sedangkan pria paruh baya itu yang menatap penuh amarah ke arah Dimas, anak laki-lakinya yang begitu keras kepala itu. Tidak bisa di tebak bagaimana isi kepala Dimas, anak itu sulit di tebak.
"Sudah ayah, jangan seperti itu nanti darah tinggi."
"Anak itu memang benar-benar." Sedangkan Anna menatap kepergian Dimas yang mengabaikan dirinya begitu saja membuatnya kesal. Bukan kesal kepada Dimas, lebih tepatnya kesal kepada Hana.
"Selalu saja Hana, Hana, dan Hana. Kakak tidak pernah perduli kepadaku. Hana sialan, lihat saja akan aku buat kau menderita seumur hidup."
Di sisi lain, Dimas berlari keluar rumah dan memanggil nama adik perempuannya beberapa kali sampai ia menemukannya. Hana menoleh ke arah Dimas, ia bertanya-tanya kepada Dimas berlari seperti itu dan memanggil namanya.
"Ada apa kak?" Dimas tersenyum dan menarik tas Hana. Memasukkan bekal itu ke dalam tas berwarna hitam itu, tidak lupa air minum juga dia masukkan.
Hana yang melihat itu hanya tersenyum, kakaknya memang begitu perhatian kepadanya. Menganggap jika Dimas adalah ayah sekaligus ibu baginya, kedua kasih sayang yang tidak pernah Hana rasakan selama ini. Hanya kebencian yang Hana terima.
Dimas menata rambut adiknya itu agar terlihat rapih, adiknya memang cantik. Tidak salah lagi kalau Hana adalah adiknya yang sebenarnya, cantik dan manis. Bahkan semua teman-temannya mengakui akan kecantikan Hana yang begitu khas. Bentuk mata yang begitu indah, sama seperti matanya.
"Berangkatnya bareng sama kakak saja, kalau naik angkutan kakak takut kamu kenapa-napa." Hana awalnya mengangguk mengiyakan tawaran Dimas. Tapi ada seseorang yang berlari ke arah mereka berdua.
"Tidak! Kakak harus bersama aku, kak Dimas antar aku sekolah ya?" Dimas seketika menatap, ia menjadi muak dengan sandiwara ini. Jika saja kriminal diperbolehkan maka Dimas akan membunuh Anna saja.
"Kau punya mobil sendiri, digunakan. Hana tidak punya kendaraan untuk berangkat sekolah, mandiri sesekali. Jangan manja, tar gede melarat."
"Kakak! Ayo sama Anna saja. Anna maunya sama kak Dimas." Anna menarik-narik baju Dimas, membuat lelaki itu reflek menepis tangan Anna dengan kasar. Ia risih jika diperlakukan seperti itu.
"Dimas! Jangan kasar sama Anna. Berangkat bareng Anna saja apa susahnya sih? Biarkan Hana naik angkutan umum saja, manja sekali. " Hana hanya menunduk dan kemudian berjalan keluar area rumah jalan kaki.
Dimas hendak mengejar adiknya itu tapi di tahan oleh Anna yang terus merengek seperti bayi. Dimas muak, di tambah tatapan membunuh itu seolah menuntutnya melakukan sesuatu dan harus di turuti. Berakhir Dimas berangkat bersama Anna dengan penuh perasaan terpaksa.
Ia terus memikirkan Hana yang naik angkutan umum. Dimas sengaja mengikuti Hana, lewat angkutan umum yang biasanya Hana naiki. Dimas hanya memastikan jika Hana baik-baik saja sampai sekolah.
Merasa memang ada yang aneh, Anna mulai menggerutu. Dia tidak suka jika hanya Hana yang dipikirkan oleh Dimas. Anna juga mau menjadi prioritas Dimas, dia juga adiknya Dimas juga bukan hanya Hana.
"Kakak cepat! Nanti Anna telat!"
"Bacot! Masih bagus tidak aku tendang dari motor." Anna pun terdiam, ia tidak terima. Kenapa harus Hana? Harusnya dirinya yang merasakan kasih sayang dari Dimas. Secara Anna itu adalah anak kesayangan keluarga dari pada Hana yang selalu dikucilkan.
Tidak membuang waktu lama, akhirnya sampai di sekolah. Anna turun dari mobil Dimas, dan Dimas pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun lagi selain wajah malasnya yang selalu ditunjukan sepanjang perjalanan.
Anna masuk ke area sekolah dan di sambut teman-temannya. Gadis itu tersenyum berakhir bergabung dengan mereka seperti biasanya. Sampai netra hitamnya menemukan Hana yang baru saja sampai di sekolah.
Penampilan Hana memang tidak ada yang salah, tapi wajah itu membuat Anna merasa marah. Sampai sebuah ide buruk muncul di kepalanya dan kemudian memberi tau semua temannya untuk melakukan sesuatu.
Hana sampai di kelas dan masuk, tanpa ia sadari jika di atas lantai ada sabun cair yang tentu saja akan membuatnya tergelincir dan berakhir jatuh di atas lantai. Di susul sampah yang mengguyur di sekujur tubuhnya. Hana hanya diam, mematung di tempat.
"HAHAHAHA! LIHAT DIA! SEPERTI SAMPAH MASYARAKAT YANG TERBUANG!" Suara Anna yang begitu keras berhasil menerobos pendengaran Hana.
Gadis itu hanya diam, dan berbicara di dalam hati. Kenapa seperti ini? Hana mendongak, menatap ke segala arah di mana semua orang menatapnya dengan tatapan yang berbeda, ada yang menatapnya kasihan dan juga benci. Memang apa salah Hana? Hana bahkan tidak pernah melakukan apa pun.
Dan satu orang menatap ke arah Hana dengan tatapan tajam yang membuat Hana seketika menunduk takut. Ia tidak bisa menatap mata lelaki itu, Hana tidak sanggup.
"Hey! Sampah seharusnya tidak di sini."
"Benar!"
"Kau itu lebih pantas memulung di tong sampah!"
"Mengenaskan sekali hidupnya itu."
Hana hanya diam saja, gadis itu mulai berdiri dan keluar dari kelas dengan perasaan campur aduk. Semua orang menertawakannya dan bahkan mengejeknya dengan kata-kata yang seharusnya tidak Hana dengar.
Sedangkan di posisi lain. Anna tersenyum senang, melipat kedua tangannya tepat di depan dadanya dan menatap saudaranya sendiri dengan tatapan penuh dendam.
"Rasakan itu."
Hana berlari ke toilet, dan masuk ke dalam toilet. Ia menahan diri agar tidak menangis, tidak bisa di duga kejadian ini akan terjadi lagi untuk sekian kalinya dan yang lebih membuatnya terluka adalah di mana semua itu adalah perlakuan dari saudaranya sendiri.
Salah apa Hana kepadanya? Hana bahkan selalu mengalah kepada Anna, apa yang dia mau Hana selalu menuruti tanpa terkecuali sama sekali. Tapi Hana sudah terlalu lama menahan perasaan sakit batinnya sendirian. Andaikan saja Dimas ada di sini, mungkin lelaki itu akan memeluknya sekarang.
Tetapi, tidak bisa. Hana juga selalu menutup mulutnya akan kejadian ini. Gadis itu tidak pernah mengadu akan apa yang Anna lakukan kepada dirinya. Ia menerima semuanya dengan lapang dada tanpa ada rasa mengeluh.
"Bagaimana sekarang? Aku bahkan malu hanya sekedar keluar toilet. Tapi aku tidak bisa meninggalkan pelajaran hari ini, ayah akan memarahiku lagi." Sedangkan di luar toilet ada seseorang yang menunggu. Bukan Anna atau pun siswa yang membullynya. Bukan mereka.
Melainkan seseorang yang bersandar di dinding, keadaan sekitar toilet memang sepi dan jarang orang yang lewat di sana. Dirinya hanya memastikan sesuatu, ia tau kejadian tadi pagi yang membuatnya tidak habis pikir.
Saudara macam apa yang selalu membuatnya saudara kandungnya sendiri hancur di depan semua orang? Tentu saja itu adalah Anna. Gadis itu tidak akan menyerah untuk menghancurkan hidup saudaranya sendiri, padahal apa yang dia mau selalu didapatkan.
Berbanding balik dengan Hana yang harus berusaha ketika ingin sesuatu. Walaupun hidup di keluarga yang sama, tidak mesti semua akan sama saja. Tidak, tidak ada kata sama di antara keduanya yang buktinya nasib yang diterima berbeda jauh.
Lelaki itu mendengar semua apa yang Hana katakan di toilet. Bahkan suara tangisan yang terkesan di tahan-tahan agar tidak ada orang yang mendengar kenyataan mampu dia dengar sekarang.
Di tangannya memegang tas yang berisikan segaram ganti. Lelaki itu masuk ke dalam toilet dan meletakan tas itu di atas meja dekat dengan wastafel toilet. Dan kemudian ia menunggu di luar. Memastikan jika Hana menerima tas itu.
Dan tidak beberapa saat Hana keluar dari toilet dan melihat tas itu. Ia tidak tau apa itu tapi terdapat kertas kecil yang bertuliskan sebuah kalimat.
^Pakai seragam itu, jika tidak mau dipermalukan di dalam kelas.
Hana tidak tau siapa yang menulis atau bahkan yang memberikannya tas itu. Gadis itu mengambil isi tas yang ternyata benar, seragam berada di sana beserta body lotion di sana. Hana menoleh ke segala arah dan tidak menemukan siapa pun, ia bahkan tidak mendengar ada orang lain masuk.
Gadis itu menunduk, ia tidak tau harus berkata apa lagi sekarang. Siapa yang memberikan ini semua kepadanya? Dia pasti tau akan kejadian tadi pagi yang Hana alami, sangat miris.
"Terima kasih seragamnya."
Lelaki itu tersenyum tipis dan kemudian pergi dari sana begitu saja tanpa mengatakan apa pun atau bahkan memperlihatkan dirinya kepada Hana. Tidak perlu, cukup tau saja jika ia yang memberikan semua itu kepada Hana.
•••
Sedangkan di sisi lain, Dimas yang berkumpul bersama teman-temannya di sebuah tempat tongkrongan biasanya dirinya berkumpul di sana setiap beberapa minggu sekali.
Mungkin karena kesibukan yang membuatnya jarang berada di sana. Tapi semua temannya mengerti akan posisi yang Dimas alami, anak pertama yang harus dituntut untuk menjadi nomor satu oleh keluarganya dan lagi, melindungi adiknya dari kejahatan keluarganya sendiri.
"Lama gak ketemu ya." Rangga menepuk bahu Dimas, temannya itu memang sudah lama tidak kelihatan karena tugas kuliah yang bagaikan belenggu hidup.
"Kau tahu dosen sialan itu memberikan banyak beban hidup."
"Aku tau, dia memang sudah tua tapi tidak ingat umur. Menyuruh banyak orang berpikir sedangkan dia bersantai di ruangan ber-AC." Ucap Rehan tanpa beban sama sekali. Ia benci harus sekolah karena banyak menggunakan pikiran, sedangkan dirinya yang benci berpikir.
Mereka adalah sebuah geng, yang berbentuk dari beberapa anggota. Tidak sebanyak yang dibayangkan memang, tapi mereka semua begitu kompak dan saling mendukung satu sama lain. Tidak heran jika pertemanan mereka bisa bertahan sejauh ini.
"Gimana keadaan Hana? Lama aku tidak melihat adikmu yang manis itu. Dia pasti bertambah cantik bukan?" Dimas tersenyum. Ia selalu bahagia jika kenyataan Hana begitu banyak yang sayang.
Meskipun adiknya itu selalu merasa sendirian. Tapi Dimas yakin akan ada kebahagiaan yang menunggu di kehidupan yang akan datang, tinggal berusaha dan menunggu kapan waktu itu akan datang.
"Iya, adikku memang cantik." Dimas menatap ke arah wallpaper ponselnya yang terdapat foto Hana ketika adiknya itu masuk masuk taman kanak-kanak. Sangat menggemaskan, hanya Dimas mempunyai semua foto Hana.
Mereka mana perduli dengan foto itu? Keluarga berantakan dan hanya bersandiwara itu berat. Yang mereka perdulikan hanyalah Anna, anak mereka yang tanpa mereka sadari lebih buruk dari Hana.
Bagaimana Dimas bisa tau? Bagaimana bisa? Di posisi lain Dimas paling jauh. Jangan kira jika Dimas diam maka dia tidak perduli, itu salah besar. Dimas perduli hanya saja tidak ia perlihatkan dan ia pikir Anna akan hidup dengan baik karena dia mendapatkan segalanya.
Namun, ia salah besar akan itu. Anna justru tumbuh menjadi anak yang begitu nakal dan pembangkang, suka menindas orang lain sesuka hati membuat Dimas semakin kecewa.
"Itu bukannya Johan ya?" Dimas menoleh ke arah kemana semua temannya melihat. Johan, anggota paling muda di sana dan dia seumuran dengan Hana.
"Wow, tumben sekali kau kemari? Ada apa?" Johan duduk di salah satu kursi dan menatap malas ke arah semua orang. Moodnya sedang kacau sejak pagi, ia malas harus menjelaskan atau bahkan berbicara panjang.
"Memangnya kenapa?"
"Wajahmu seperti terbebani akan duniawi." Johan hanya diam. Entah apa yang dia pikirkan sekarang, Dimas melirik ke arah Johan dan ternyata remaja itu sudah sadar sejak tadi.
Ia mengambil ponselnya dan membuka galerinya, entah apa yang akan dia tunjukan nanti, tapi sepertinya membuat mood Johan menjadi tambah turun. Suara rusuh dari ponsel Johan mengundang perhatian yang lain.
Dimas menatap dengan tatapan tajam, ia bahkan sudah menduga akan apa yang terjadi. Semuanya begitu terkejut, bahkan ada yang kasihan kepada gadis itu.
"Kapan?"
"Tadi pagi, yang aku lihat Anna menyuruh teman gengnya." Johan menatap datar ke arah Dimas, ia hanya kesal dengan apa yang dia lihat saja. Hanya itu saja dan tidak ada yang lain.
"Anna? Anak itu kenapa makin ke sini makin ke sana?" Johan bahkan menunjukan isi update akun twitter sekolahan yang menunjukkan foto Hana yang di bully, badannya penuh dengan sampah. Dan yang membuat Dimas semakin benci adalah, senyuman Anna.
"Dimas? Kau tidak akan-"
"Ini sudah keterlaluan."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!