NovelToon NovelToon

Hijrah Cinta Mafia

Gak Mau Dijodohkan

Kata orang, menjadi wanita itu haruslah segala bisa, bisa masak, bisa mengurus anak, bisa berdandan, dan bahkan bisa bekerja. Tapi, betulkah begitu? Aku sendiri masih mencari jawabannya. Ini tentang diriku, Asiyah, wanita berusia dua puluh lima tahun yang baru saja menyelesaikan program doktornya hari ini.

Semuanya tampak normal dan baik-baik saja. Sampai di penghujung hari, menjelang maghrib, berita itu datang bak badai yang akan meporak porandakan hidupku. Entah dari arah mana, berita itu datang dengan tiba-tiba tanpa memberikan waktu jeda kepadaku terlebih dahulu.

“Ica, Abi ingin kamu menikah dengan lelaki pilihan Abi.” Mendengar perkataan itu Asiyah tiba-tiba tersedak.

“Abi tidak sedang bercanda kan?”

“Abi serius nak.”

“Tapi Ica kan baru saja lulus S3 Abi, sayang kalau langsung nikah. Bukannya Ica menolak perintah Abi, tapi setidaknya berikan Ica kesempatan untuk bekerja terlebih dahulu, agar gelar doktor Ica gak sia-sia bi. Abi juga tahu kalau Ica seneng belajar, Ica pengen ngajar, jadi dosen Abi.”

“Gelar doktormu tidak akan sia-sia nak. Dengan ilmu yang kau miliki, maka kau akan mendidik anak-anakmu kelak dengan baik. Nih, cucu-cucu Abi nanti akan dididik oleh seorang ibu dengan gelar doktor. Keren kan? Lagi pula kau masih bisa bekerja setelah menikah, asal dengan syarat suamimu ridho dan mengizinkanmu, kau juga harus memenuhi kewajibanmu dulu kepada keluargamu baru kau boleh bekerja.”

“Tapi Bi...”

“Tidak ada tapi-tapian. Ca, kamu sudah dewasa, sudah 25 tahun. Sudah cukup untuk menikah. Lagi pula kamu mau menunggu sampai kapan? Sampai kamu puas dengan duniamu sendiri? Ca, umur abi sudah tua, Abi ingin sekali menjadi wali di pernikahanmu, maka dari itu abi memilih bersegera untuk menikahkanmu. Mumpung Abi masih ada. Tidak baik menunda-nunda hal baik. Lagi pula calon suamimu itu tampan dan dari keluarga yang baik-baik. Ayahnya adalah kawan karib Abi waktu di pesantren dan Ibunya adalah seorang rektor di universitas islam ternama di Jakarta. Dia lelaki yang cocok untukmu nak.”

“Abi memang gak sayang dengan Ica, masa hanya Icha yang dijodohkan? Mbak Asya aja gak dijodohin, dan Mas Asraf juga engga. Kenapa hanya Ica yang diperlakukan seperti ini? Pokoknya Ica benci Abi!” Asiyah lalu meninggalkan meja makan dan pergi ke kamarnya dengan bersungut-sungut.

“Justru karena Abi sayang sama kamu Abi menjodohkanmu! Ica! Dengerin Abi dulu!Asiyah binti Syarifudin!” Abi mencoba menghentikan Ica.

“Biarkan saja Bi, mungkin Icha sedang butuh waktu sendiri. Lagi pula, ini juga tak mudah untuknya, dia baru saja berbahagia karena kelulusannya dan tiba-tiba Abi langsung menyuruhnya untuk menikah.” Ucap Ummi.

“Abi sangat sayang dengan dia Mi, makanya Abi menyuruhnya untuk cepat menikah. Ummi kan juga sudah tahu kalau Abi tak bisa lagi mendampinginya, dokter juga bilang kalau Abi...”

“Abi pasti sehat, jangan terlalu dikhawatirkan, soal sehat, sakit, hidup dan mati kan ada di tangan Allah Bi.”

“Iya Mi, Abi tahu. Tapi Abi juga tak bisa untuk terus bersamanya. Ica tumbuh dengan kasih sayang yang penuh dari orang tuanya dan kakak-kakaknya, pasti sangat sulit banginya untuk terpisah dari kita. Waktu pernikahan Asya dan Asraf saja dia menangis dan tidak makan berhari-hari, dia sedih karena kehilangan sosok kakak-kakanya yang selalu menjaganya. Sekarang hanya Abi dan Ummi yang ada untuknya, tapi kita juga tidak bisa selamanya bersamanya. Dia butuh orang lain yang akan selalu ada bersamanya dan menyayanginya sebagai pengganti kita.”

“Ummi mengerti Bi, tapi apa tidak terlalu cepat?”

“Tidak Mi, kedua orang tua dari pihak laki-laki kan sudah menyampaikan niatnya kepada kita kemarin. Dan tidak baik jika kita menolak lamaran dari pria yang berasal dari kelarga yang baik.”

“Terserah Abi saja, Ummi hanya bisa iya saja..” Ummi kemudian beranjak pergi ke dapur untuk membereskan piring bekas makan.

“Mi, jangan gitu dong. Ummi gak gambek kan sama Abi?”

“Ya, gimana ya...”

“Ayolah Mi.” Rayu Abi kepada Ummi.

Sementara Itu, di kamarnya Asiyah engah menangis sambil bertelpon dengan kawan karibnya Maya. Ia menceritakan soal perjodohannya kepada Maya.

“Jadi gitu May, pokoknya aku gak mau dijodohin, apalagi sama pria yang gak aku kenal sama sekali.”

“Yaudah, kamu jangan nangis mulu apa, gini aja, gimana kalau malam ini kamu nginep di rumah aku. Abi kamu kan paling gak bisa kalau kamu jauh dari rumah. Ini sebagai tindakan kamu dalam melawan keputusannya Abi. Siapa tahu setelah itu Abi kamu akan mempertimbangkan lagi keputusannya buat jodohin kamu.”

“Wah, ide bagus tuh. Yaudah, aku siap-siap sekarang ya. Makasih banget ya May, kamu emang sahabat baik aku.”

“Iya sama-sama. Udah buruan, keburu kemaleman ntar.”

“Iya May, Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Telpon pun tertutup.

Asiyah lalu menghapus air matanya, ia kembali bersemangat. Ia lalu bergegas untuk mengemas barang-barang untuk keperluannya menginap di rumah Maya. Selesai mengemasi semua barangnya Asiyah lalu pemit ke Umminya untuk menginap di rumah Maya. Asiyah tidak berani pamit langsung ke Abi karena sudah pasti tidak diberi izin.

“Ica izin menginap di rumah Maya ya Ummi, Icha lagi butuh waktu sendiri. Icha mau menjauh dulu dari rumah ini untuk menenangkan pikiran.” Asiyah lalu mencium tangan Ummi.

“Ummi tidak bisa memberi izin sebelum Abimu yang memberi izin terlebih dahulu. Ummi tanyakan dulu ya nak.” Belum sempat Ummi pergi bertanya ke Abi, Abi tiba-tiba sudah muncul di hadapan mereka.

“Tidak boleh! Ica tidak boleh keluar malam ini.” Ucap Abi dengan tegas.

“Loh kok gitu sih Bi?” Asiyah merasa sebal.

“Karena malam ini calon suamimu dan orang tuanya akan datang untuk bersilaturahmi.”

“Apa? Secepat itu? Gak mau! Pokoknya Ica akan tetap pergi malam ini juga. Assalamualaikum.” Asiyah lalu nekat pergi.

“Asiyah! Jangan coba keluar tanpa restu dari Abi dan Ummi ya! nanti kalau..”

“Abi, jangan berkata yang tidak-tidak. Ingat, ucapan adalah doa!” Ummi mengingatkan.

“Astagfirullah, hamba tarik ucapan hamba Ya Allah.”

“Nah, gitu bi.”

“Tapi tetap saja Mi, dia memang anak yang...”

“Eh, ingat!”

“Astagfirullah, dia anak yang sholehah luar biasa. Semoga kelak dia akan menjadi istri yang patuh kepada suaminya.”

“Aamiin.” Timpal Ummi.

“Tapi bagaimana Mi? Malam ini calon menantu kita dan orang tuanya akan ke sini. Tuh, Abi sudah di WA kalau mereka sudah OTW ke sini Mi.”

“Ah, tenang, OTW nya orang Indonesia kan bisa berjam-jam. Santai.”

“Ah, iya. Tapi tetap saja Mi, kita harus bilang apa pada merea?”

“Bilang kalau anak kita sedang menenangkan dirinya dan sedang mempertimbangkan mengenai perjodohan itu.”

“Gak semudha itu Mi. Mereka datang jauh-jauh ke mari sengaja ingin bertemu dengan Ica, tapi yang ingin ditemuinya malah tidak ada.”

“Habis mau bagaimana lagi Bi, Ica sudah keluar.”

“ARRRRGGGHH! Allahuakbar!”

“Tenang Bi, santuuy.”

Sementara itu, Asiyah kini tengah mengendarai motor menuju rumah Maya. Sebetulnya jarak dari rumahnya ke rumah Maya tidak terlalu jauh, tetapi Asiyah sengaja menggunakan motor agar bisa kabur lebih cepat. Ia sebenarnya merasa bersalah karena telah berani keluar rumah tanpa izin dari kedua orang tuanya, tetapi mau bagaimana lagi. Jika ia tidak melakukannya maka ia akan tetap dijodohkan. Asiyah tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.

Hal buruk tiba-tiba terjadi, saat Asiyah tengah mengendarai motornya, ia terjatuh. motornya disenggol oleh sebuah mobil berwarna putih yang ada di belakangnya. Mobil itu mau menyalip motor Asiyah tetapi terlalu dekat. untunglah Asiyah hanya terluka ringan. Tetapi motonya mengalami goresan yang cukup parah karena terjatuh dan terseret.

Mobil putih yang telah menyenggol motor Asiyah akhirnya berhenti. Keluarlah seorang pria yang mengenakan kemeja putih celana hitam dengan kacamata yang terpasang di wajahnya.

“Lo kalo bawa motor yang bener dong.” Pria itu malah menyalahkan Asiyah.

“Heh, yang salah itu kamu ya. kamu yang nyalipnya terlalu mepet.” Asiyah marah dan tidak mau kalah.

“Lo yang bawa motornya pelan. Eh, pantes aja cewek ternyata.” Pria itu kemudian medelik.

“Emangnya kenapa kalo cewek hah? Aku juga bisa bawa motor yang bener kali.”

“Sok banget.”

“Kamu yang sok.”

Di tengah perdebatan itu, lalu keluar lagi seorang pria dan wanita paruh baya dari mobil. Mungkin mereka adalah orang tua dari pria menyebalkan itu, begitu pikir Asiyah.

“Askara, jangan cari ribut di sini ya. sudah jelas kamu yang salah. Ayah kan sudah bilang, kalau bawa mobil tuh jangan negbut.” Pria yang dipanggil Ayah itu mengomeli pria yang bernama Askara itu.

“Tapi dia yang bawa motornya gak bener.” Askara ngotot.

“Sudahlah, kita sudah telat nih. Nak, tangan dan kakimu terluka, lebih baik kami antarkan saja ya kamu ke rumahmu. Kalau urusan motor, biar Askara yang membawanya. Dia kan katanya bisa bawa motor lebih jago daripada kamu. tolong tunjukkan alamatnya ya.” Ucap wanita itu.

“Gak usah repot-repot Bu.” Asiyah menolak.

“Tidak papa nak, lagi pula mai juga mau ke daerah sini. biar sekalian, searah kok. Mau ya?”

“Ya sudah, terima kasih ya sebelumnya.”

“Sama-sama nak.”

Asiyah pun terpaksa kembali pulang ke rumahnya. Kondisinya kini baret-baret dan tidka mungkin untuk menginap di rumah sahabatnya, ia tak mampu mebawa motor sendiri. Asiyah kemudian menunjukkan jalan menuju rumahnya dan betapa kagetnya orang tua dari pria yang menyebalkan itu saat tiba di kediaman Asiyah.

“Ini rumahmu nak?” tanya wanita itu.

“Iya Bu.” Jawab Asiyah.

“Namamu siapa Nak?” tanya Ayah.

“Asiyah Pak. Asiyah Humaira binti Syarifudin.”

“MasyaAllah. Benar-benar kebetulan yang tidak disangka.” Ucap Ayah.

Tak lama Abi dan Ummi datang mendekati mobil itu. Abi menyapa Askara terlebih dahulu karena telah membawakan motor Asiyah.

“MasyaAllah, memang, kalau jodoh tidak ke mana. Allah sudah mengatur rencananya sebaik mungkin.” Ucap Abi saat melihat kedua orang tua Askara dan Asiyah turun dari mobil.

“Ada apa sih bi?” Asiyah masih tidak mengerti.

“Mereka adalah orang tua dan calon suamimu nak.” Jawab Abi.

Rasanya seperti disambar petir, Asiyah kaget bukan main saat mendengar hal itu. Jika ia tahu mereka adalah orang tua dari calon jodohnya maka Asiyah akan langsung berlari setelah melihat mereka. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, Asiyah sudah tidak bisa menghindar lagi. Pertemuan sudah terjadi.

Mau Menikah

“...Jadi begitu Pak, kami paham betul jika musibah tidak ada yang tahu, tetapi sudah kepalang jauh. WO, katering dan lain sebagainya sudah dipesan jauh-jauh hari dan beritanya sudah tersebar luas, mana mungkin kami membatalkannya dengan begitu saja.” Ucap Ayah Askara.

“Memang betul, maka dari itu, saya juga mempertimbangkannya lagi. Mungkin keputusan ini bisa menjadi solusi dari masalah yang tengah kita hadapi. Tetapi, pertanyaannya adalah, apakah nak Askara setuju jika dijodohkan kembali dengan anak saya Asiyah?” Abi kembali melayangkan pertanyaan.

“Ah, kalau soal itu dia pasti mau-mau saja. Betulkan Askara?” Ayah kemudian mencubit Askara dengan sangat keras.

“Ya.” jawab Askara dengan sangat enggan.

“Ah, baiklah. Kalau begitu saya akan panggilkan kembali anak saya untuk mendiskusikan bersama mengenai tanggal pernikahannya.” Kata Abi.

“Baik Pak.” Jawab Ayah.

“Sebentar ya. Ummi panggilkan Ica.” Abi lalu berbisik pada Ummi.

“Iya Bi.” Ummi kemudian beranjak pergi.

Ummi lalu mengetuk pintu kamar Asiyah. Tidak ada jawaban sama sekali. Ummi kembali mengetuk pintu hingga tiga kali. Tetapi masih tidak ada jawaban. Ummi kemudian mencoba membuka pintu kamar Asiyah. Ternyata pintunya tidak dikunci. Betapa kagetnya Ummi saat melihat ke kamar Asiyah.

“Astagfirullah, Ica!” Ummi mengomel.

Ternyata Asiyah tertangkap basah oleh Ummi tengah mencoba untuk kabur lewat jendela kamarnya. tetapi aksinya belum sempat ia selesaikan, Umminya keburu memergokinya. Asiyah panik bukan main, ia bingung harus menjawab apa.

“Kalau Abi tahu...”

“Jangan bilang pada Abi ya Ummi, please...”

“Oke, asal dengan satu syarat.”

“Apa Ummi?”

“Kamu harus mau menemui mereka sekarang juga.”

“yaaah, Ummi, jangan syarat yang itu dong.”

“No Way, atau Ummi lapor ke Abi sekarang ya, Abb...”

“Eh, sstt.. iya deh iya.”

“Nah, gitu dong.”

Mereka berdua lalu berjalan menuju ruang tamu. Orang tua Aksara memperhatikan kedatangan Asiyah dengan senyum yang lebar. Sementara Aksara sendiri hanya acuh dan terdiam.

“Duduk Nak.” Ucap Abi pada Asiyah. Asiyah dan Ummi lalu duduk.

“Jadi begini nak, terkait perjodohanmu, kami dari kedua belah pihak sudah setuju. Dan kami berencana untuk menyegerakan pernikahannya. Sekarang kita akan berunding terkait penentuan tanggal pernikahannya.”

“Tapi Biii...” rengek Asiyah.

“Ssst, nurut saja Nak, insyaAllah berkah.” Ucap Ummi.

“....” Asiyah kemudian tertunduk.

“Jadi, kapan baiknya ?” Tanya Abi.

“Bagaimana kalau bulan depan saja. Kami juga sudah menghandle semuanya. Lebih cepat lebih baik juga kan?Ya kan Yah?” Ucap Ibu Askara menyarankan.

“Iya Mah.”Jawab Ayah Askara.

“Ummi, bagaimana dengan Ummi?” Tanya Abi.

“Ummi nurut saja dengan keputusan yang Abi buat.” Jawab Ummi.

“Kalau begitu kami sepakati di bulan depan saja.” Ujar Abi.

“Alhamdulillah.” Semua mengucapkan secara bersamaan.

“Tapi Bii...” Asiyah masih merengek.

Diskusi yang panjang itu akhirnya selesai. Dengan hasil yang sangat Asiyah tak bisa terima. Asiyah hanya bisa guling-guling dan menangis di kamar. Ia kini meratapi nasibnya yang sudah kepalang dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Belum lagi pernikahannya bulan depan. Asiyah hanya bisa pasrah. Hilang sudah harapannya untuk menjadi wanita karir di usia muda.

Hari-demi hari pun berlalu, pernikahan Asiyah tinggal menghitung hari. Rasanya Asiyah semakin tercekik, ia sudah kehabisan akal untuk menggagalkan rencana perjodohannya. Asiyah kini hanya bisa merenung dan menggalau sepanjang hari.

Abi yang tak tega melihat puterinya berhari-hari galau dan seperti telah kehilangan semangat hidup akhirnya turun tangan langsung. Di suatu sore yang sangat cerah, di pinggir danau dekat rumahnya, Asiyah tengah melamun. Wajahnya tampak menyiratkan kehampaan. Seakan semangat hidupnya telah direnggut. Abi lalu menghampirinya.

“Ica gemoy...” Bujuk Abi sambil duduk di dekat Asiyah.

“Gak usah sok humble deh Bi, udah jelas-jelas keputusan Abi aja memberatkan Ica.” Jawab Asiyah dengan Jutek.

“Loh, Abi memang tidak sedang sok humble. Abi justru tengah memuji anak Abi sendiri. Asiyah Humaira, anak abi yang paling imut, gemoy nan cantik paripurna, sholehah budi lagi hati.” Abi lalu mencubit hidung Asiyah.

“Ih, Abi. Asiyah gak mau dekat-dekat dengan Abi. Asiyah ngambek sama Abi.”

“Janganlah begitu, Abi tak bisa jika Abi dicuekin sama puteri kesayangan Abi. Abi gak kuat, biar Ummi saja. Eh, jangan juga deh.”

“Lagian, Abi main jodoh-jodohin anaknya segala. Emangnya Abi tahu gitu kalau misalnya Asiyah dijodohkan maka Asiyah akan bahagia? Justru sebaliknya Bi, Asiyah tersiksa.”

“Nak,....” Abi berubah serius.

“Kamu tahu, Abi begitu sayaaang sekali dengan kamu. kehadiranmu di hidup Abi, laksana permata yang menghiasi samudera. Abi sangat amat mempertimbangkan terkait kebahagiaanmu. Mana mungkin Abi mau mengorbankan kebahagiaan kamu demi ego Abi sendiri.”

“Tapi kenyataanya begitu Bi, Abi justru bertindak sesuai ego Abi.”

“Tidak Nak, justru karena Abi ingin melihat kamu bahagia.”

“Usia Abi sudah sangat tua, cucu Abi saja sudah banyak. Abi dan Ummi mungkin tak bisa berlama-lama lagi bersamamu, jika kami pergi, maka siapa yang akan menjaga dan merawatmu? Kakak-kakakmu sudah memiliki kehidupannya masing-masing, tak mungkin mereka bisa terus-menerus mengurusmu. Sudah saatnya kamu emjadi tanggung jawab orang lain. Tanggung jawab suamimu.”

“Lagi pula, Nak Askara itu anak baik, Abi sering sekali memergokinya melakukan amal kebajikan yang luar biasa. Dia juga berasal dari keluarga yang baik-baik, keluarga mapan pula. Dan plus nya, dia sangat tampan. Dia cocok untukmu nak.”

“Anak baik bagaimana, waktu pertama kali kita ketemu saja dia sudah bersikap menyebalkan pada Ica, bagaimana nanti kalau Ica sudah jadi istrinya. Dia pasti akan semena-mena sama Ica.”

“InsyaAllah tidak akan, jangan dulu menilai seseorang dari waktu pertama kali bertemu, tetapi kenali lah lebih jauh, baru kita boleh menilainya, baik atau buruk seseorang tersebut.”

“....” Asiyah hanya terdiam.

“Oh ya, Asiyah, puteri Abi, kau tahu kenapa kau diberi nama Asiyah Humaira?”

“....” Asiyah menggeleng.

“Nama Asiyah diambil dari nama istri Fir’aun, Asiyah binti Muzahim. Beliau adalah satu diantara pemimpin wanita surga dan yang Allah selalu kabulkan doanya, kenapa? karena selain beliau berjasa dalam menyelamatkan Nabi Musa ketika Fir’aun membunuh semua anak laki-laki pada zamannya, beliau juga teguh dalam mempertahankan ketaatan dan keimannya kepada Allah walau memiliki suami yang ingkar kepada Allah.”

“Lalu Humaira, adalah pipi yang kemerahan. Itu juga merupakan panggilan Rasulullah kepada Istrinya Aisyah. Ketika kau lahir, pipimu memang benar-benar merah, kulitmu putih bersih dengan bola mata yang hitam lagi jernih. Abi berharap kau juga memiliki sifat seperti Humaira-nya Rasulullah yang berparas cantik, pintar, dewasa juga sangat dicintai oleh Rasulullah. Semoga kelak, pasanganmu juga akan mencintaimu seperti sang Humaira-nya Rasulullah.”

“Abi...” Asiyah lalu memeluk Abi.

“Abi sangat mencintaimu nak, jujur saja, sebenarnya Abi juga berat untuk melepasmu. Tetapi ini merupakan yang terbaik bagimu. Abi tidak bisa selamanya bersamamu, kau perlu orang lain yang akan mencintai, menjaga dan merawatmu.”

“Maafkan Asiyah Bi, Asiyah akan menuruti perintah Abi. Mungkin awalnya akan sulit, tetapi Asiyah akan mecobanya semampu Asiyah.”

“Alhamdulillah.” Abi lalu mengelus pundah anaknya dengan penuh kasih sayang.

Hari Pernikahan

Hari besar itu tiba, semua orang tampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Sementara aku sendiri, tengah melamun di depan cermin. Ku tatap wajahku lekat-lekat, sebelum wajah ini tertimpa oleh riasan, aku akan melihat wajah ini dengan penuh perhatian. Hari ini akan merubah hariku kedepannya. Aku akan memiliki kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Menjadi seorang istri dari seseorang.

Tak lama, penata riasku datang, aku kemudian dirias secantik mungkin olehnya. Aku meminta untuk tidak meriasku secara berlebihan, melainkan hanya make up natural saja. Proses merias itu akhirnya rampung dengan cepat. Ummi lalu mendatangiku. Beliau begitu kagum saat menatap wajahku. Matanya tampak berkaca-kaca.

“MasyaAllah, cantik sekali puteri Ummi hari ini. Manglingi.” Celetuknya.

“Kamu sudah siap kan nak?”

Aku lalu menari nafas dalam dalam, lalu kujawab pernyataan Ummi.

“Bismillah, sudah Mi.”

“Alhamdulillah, Ummi lega mendengarnya.”

“Oh ya, Nak Ummi ingin titp pesan untumu. Nak, ketika kau kecil, kau adalah anak Ummi dan Abi yang harus kami didik dan asuh dengan baik agar kau tumbuh menjadi anak shalihah yang bisa menjaga izzah(kemuliaan, kehormatan diri) dan iffah(menahan diri), lalu kau tumbuh menjadi anak gadis yang diwajibkan untuk berbakti, menghormati dan menyayangi orang tua. Hingga kau tumbuh menjadi wanita dewasa seperti sekarang, kami dianjurkan untuk segera menikahkanmu dengan lelaki baik yang soleh yang datang baik-baik kepada kami, menyampaikan maksud dan tujuannya langsung kepada kami.”

“Lalu setelah menikah, maka kau akan menjadi penyempurna untuk separuh agama suaminya. Tanggung jawabmu beralih dari tangan Abi ke tangan suamimu. Surgamu juga berada di bawah ridho suamimu. Maka, jadilah istri yang sholehah, istri yang akan menjadi pakaian bagi suaminya, istri yang akan taat pada suaminya dan menjadi penyejuk hati suaminya. Ummi percaya kau akan mampu menjalankannya.”

“Baik Ummi.” Jawabku.

“Ya sudah, kalau begitu, mari keluar, suamimu sudah menunggu kehadiranmu di pelaminan.”

Setelah mendengar nasihat dari Ummi, rasanya keraguanku mulai hilang satu persatu. Hatiku sudah mulai tenang. Apa yang dikatakan Ummi benar. Bismillah, Ya Allah, aku mohon petunjuk, bimbingan serta rahmat dari-Mu, agar aku mampu dalam menjalani mahligai pernikahan ini.

****

Asiyah digandeng dengan Ummi dan Kak Asya berjalan menuju pelaminan. Kini statusnya sudah bukan wanita lajang lagi, melainkan istri sah dari suami yang bernama Askara. Asiyah belum pernah mengenal suaminya sebelumnya, bertemu pun belum. Tetapi ia harus menerima dan menuruti perjodohan ini.

Sementara Askara terlihat dingin dan menakutkan. Asiyah tampak ragu untuk duduk di sampingnya. Tetapi pada akhirnya ia duduk juga.

Seluruh rangkaian acara akhirnya selesai. Asiyah dan suaminya kini di bawa ke kediaman Asiyah. Kedua keluarga dari kedua mempelai ikut berkumpul di kediaman orang tua Asiyah. Mereka tengah mengadakan semacam acara kumpul keluarga sebelum melepas mempelai pengantin untuk berangkat bulan madu malam ini ke Bali.

Mereka kemudian mengadakan makan malam. Sudah menjadi adat Melayu kalau mempelai wanita yang harus masak untuk menyajikan hidangan pertama yang akan di makan oleh suaminya. Asiyah lalu menyajikan makan malam hasil masakannya kepada suaminya. Lagi-lagi Askara hanya terdiam.

“Mas, aku sendiri yang memasaknya. Semoga Mas suka dengan masakannya.” Ucap Asiyah lalu duduk di sebelah suaminya.

Mereka kemudian makan malam. Tetapi untuk mempelai, mereka harus melakukan suap menyuap di sendokan pertama. Mereka berdua tampak saling canggung. Akhirnya serangkaian proses pernikahan pun benar-benar usai.

Malam hari pun tiba, usai shalat Isya Asiyah dan Askara lalu bersiap berangkat ke Bali. Sanak keluaraga lalu mengantar mereka sampai di bandara. Tangis haru pun pecah, apalagi dari keluarga Asiyah.

“Kak Asya bakal kangen kamu. tapi jagan lupa oleh-olehnya ya.” Kak Asya memeluk Aisyah sambil menangis.

“Huuuh, iya Kak.” Asiyah lalu melepas pelukannya. Ia bergantian untuk berpamitan kepada Abi dan Umminya.

Usai momen pelepasan, mereka berdua pun naik pesawat. Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Denpasar, mereka habiskan dengan saling terdiam. Tidak ada perbincangan ringan atau bahkan saling tegur sapa. Mereka malah saling memalingkan wajah. Bahkan hingga tiba di tanah Bali pun mereka masih saling jaim.

Asiyah tak bisa membiarkan suasana ini terus berlanjut. Akhirnya setelah sampai hotel Asiyah mencoba untuk berbincang pada suaminya. Asiyah merasa ragu dan canggung, tetapi ia harus tetap melaksanankannya. Ia terus menerus mengingatkan dirinya akan pesan dari orang tuanya bahwa ia harus menjadi istri yang baik bagi suaminya.

“Mas, aku siapkan baju tidurmu ya.” Asiyah menawarkan bantuan.

“Tidak usah sok peduli.” Jawab Askara dengan dingin.

“Tapi sudah menjadi kewajibanku untuk melayanimu dengan baik.” Jawab Asiyah.

“Halah, tidak usah sok bertindak seperti layaknya pasangan. Ingat! Kita ini hanya dijodohkan, bukan karena saling cinta. Lagian kau hanya wanita pengganti dari wanita lain yang akan dijodohkan denganku. Jika saja wanita itu tidak mati, mungkin kita tidak akan pernah bertemu.”

“Apa?” mendengar hal itu, hancurlah hati Asiyah. Ia tak mengira jika ia akan dijodohkan hanya karena ia dijadikan pasangan pengganti. Apa benar jika abi telah berbuat demikian padanya? Asiyah masih tidak percaya.

“Kau belum tahu? kasihan sekali. Nampaknya kau telah dibohongi. Perjodohan kita itu hanya karena Ayah kita bersahabat baik, bukan karena kita saling mencintai. Lagi pula bukan kau wanita yang sebenarnya akan dijodohkan denganku. Melainkan bibi termuda mu. Kasihan sekali, kau jadi tumbal perjodohan ini.”

Tumpahlah seluruh air mata Asiyah, hancur hatinya saat mengetahui kebenaran terkait pernikahaannya. Ia benar-benar bingung sekarang. Ia berada jauh dari rumah bersama pria yang masih asing baginya. Belum lagi ia harus menerima fakta bahwa ia dijodohkan karena sebagai ganti dari orang lain.

Asiyah kemudian mencari handphonenya. Ia menelpon Abinya, tak lama kemudian Abinya mengangkat telpon darinya.

“Assalamualaikum.” Sapa Asiyah sambil tersedu-sedu.

“Wa’alaikumsalam. Nak, kenapa menelpon sepagi ini?”

“Sudah, jangan banyak basa-basi Bi. Ica pengen, Abi jujur sekarang! Apa benar Asiyah dijodohkan karena sebagai ganti dari orang lain?”

“Kau dengar itu dari siapa nak?”

“Abi gak usah banyak tanya, Abi jawab saja pertanyaan dari Ica. Apa benar Ica dijodohkan karena untuk menggantikan posisi Tante Fatima?”

“Iya nak , tapi....”

“Ica kecewa dengan Abi! Ica tak mengira jika Ica akan dibohongi oleh orang tua sendiri. Ica benar-benar sakit hati bi.” Ica kini menangis sejadi-jadinya.

“Tidak begitu nak, dengarkan dulu penjelasan dari Abi.”

“Gak mau, Ica sudah muak dengan semua kebohongan dari Abi.”

“Tuuut.” Asiyah lalu mematikan telponnya. Ia lalu tersungkur menangis. Ia merasa sakit dan kecewa terhadap orang tuanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!