NovelToon NovelToon

Always Be Yours

Prolog

Sinar matahari menembus jendela kamar seorang gadis yang tengah tertidur membuat gadis itu merasa terganggu tidurnya, ia berdecak kesal sambil mengucek matanya.

"Ya ampun anak gadis masih molor?!" gemas seseorang menerobos kamar gadis itu. Ia menggeleng-geleng melihat adiknya masih bergelayut dalam selimutnya padahal hari ini adalah hari pernikahan gadis itu, Azza Kaia Azalia.

"Apa sih ganggu aja!" gerutunya kembali menaikkan selimutnya hingga keujung kepala. Sam—kakak kedua Azza geram melihat adiknya langsung menarik selimut adiknya itu. "Hei, lo mau nikah apa nggak nih?"

"Eh nikah? Oh iya gue nikah hari ini!" pekiknya teringat hari spesial ini buru-buru turun dari kasur sambil berjalan sempoyongan. Azza langsung menyambar handuk, tetapi sebelum itu ia kembali menatap kakaknya yang masih anteng duduk dikasur.

"Ngapain lo masih disini kak? Keluar!" usirnya menarik tangan kakaknya.

"Ck, tidak tau terimakasih. Masih mending gue bangunin lo. Cepetan ya jangan pakai lama, Mama daritadi bolak-balik nyuruh gue bangunin lo. Huft nyusahin aja nih bocah. Besok...besok kalau lo udah nikah, bangun sendiri!" ocehnya panjang lebar.

"Iya...iya, lagian kan hari ini gue mau nikah kak. Udah ya, keluar dulu!" usirnya mendorong kakaknya sampai keluar dan menutup pintunya dengan keras.

Braak!

"Dasar adek sialan!" umpatnya lalu berjalan meninggalkan kamar adiknya.

***

Azza mengeringkan rambutnya, senyumnya terus terpancar menghiasi wajah cantiknya. Sebentar lagi ia akan menjadi istri dari Alghaisan. Pria yang berhasil merebut hatinya.

"Aduh kok gue gugup ya," gumamnya merasakan tangannya terasa dingin. Azza menarik napas pelan lalu menghembuskan secara perlahan. "Gue yakin lo bisa Za! Yok Azza semangat!"

Braak!

Azza mengumpat pelan sambil membalikkan badannya menatap tajam pelaku yang mendobrak pintu kamarnya. "Bisa nggak sih ketuk pintu dulu?"

"Hahaha sorry, nih gue lagi semangat!" serunya berjalan mendekati Azza. "Ciee bentar lagi nikah nih," godanya sambil menoel pipi Azza.

"Cih, kak jangan gitu, malu gue."

"Hahaha iya...iya, gimana perasaan lo hm? Gugup?" tanyanya lagi duduk disamping Azza.

"Kalau itu nggak usah lo tanyain deh kak Bit, nggak nampak nih tangan gue udah gemetaran dari tadi," serunya menatap Bita—kakak ipar pertama.

"Kak Anggi mana?" tanya Azza celingak-celinguk mencari kakak iparnya yang satu lagi. Bita terkekeh pelan.

"Dia lagi debat dengan Sam, biasalah pasutri yang satu itu lagi banyak drama."

"Haduh, sekarang drama apa lagi?"

"Entahlah, sekarang lo tunggu MUA-nya datang ya. Gue turun dulu, kasian anak gue ditinggal." pamitnya berjalan keluar kamar. Sebelum itu, ia melirik kearah adik iparnya. "Selamat ya, semoga pernikahan kalian bahagia selalu sampai maut memisahkan." ucapnya tulus.

Azza tersenyum lalu mengangguk. "Aamiin," Setelah Bita keluar, kini Azza kembali menoleh kearah cermin. Ia melihat pantulannya dari cermin. "Huft, senyum dong Azza, ini hari baik lo!" serunya menyemangati, tangannya tidak sengaja menyenggol gelas didekatnya.

Praank.

Deg. Tiba-tiba ia tidak suka dengan perasaan tidak enak muncul. Azza berdecak pelan seraya menenangkan dirinya bahwa ia akan baik-baik saja dan pernikahan ini akan berjalan dengan lancar, semoga begitu. Tidak kunjung tenang juga, Azza langsung mengambil ponselnya dan menelpon calon suaminya.

"Al, angkat dong!" gumamnya cemas karena Algha tidak mengangkat teleponnya. Perasaan kalut semakin menggerogotinya, ia pun berjalan keluar kamar.

"Tidak mungkin..." lirih seseorang membuat Azza yang baru turun beberapa anak tangga berhenti. Ia menelan saliva berusaha untuk tidak berpikir yang tidak-tidak saat ini.

"Ma...sabar Ma," ucap Sam mengelus punggung Mamanya, pemandangan itu membuat Azza bingung sekaligus cemas. Buru-buru ia mendekati keluarganya.

"Ada apa? Mama kenapa?" tanyanya membuat semuanya terkejut dan diam menatap Azza yang tiba-tiba berada disini. Azza semakin kesal karena tidak ada satupun kelurganya yang menjawab pertanyaannya. "Kenapa? Tolong jawab!"

"Algha, calon suami kamu...kecelakaan, tadi sempat dibawa kerumah sakit tapi nyawanya nggak tertolong lagi." jawab Papa pelan.

Jdeer!

Seketika dunia Azza runtuh, hari yang harusnya membahagiakan kini harus menelan pahitnya kenyataan. Azza tersenyum ketir memandang mereka satu persatu, memastikan apa yang ia dengar adalah bercanda. "Pasti kalian semua bercanda kan?" lirihnya berharap semua ini hanya lah candaan belaka. Namun, tidak ada satupun yang menunjukkan raut ceria membuat Azza menggigil menahan air matanya agar tidak jatuh.Lututnya membentur lantai, mencoba mencerna apa yang terjadi hari ini adalah kenyataan bukan mimpi.

Al, kamu tega pergi tanpa pamit! Harusnya kamu nggak usah buat aku jatuh cinta! Jangan seenaknya pergi setelah kamu dapat apa yang kamu mau!

Bab 1

Azza menatap dirinya di pantulan cermin, ia menghela napas pelan untuk bersiap menghadapi kegiatannya hari ini. Sudah dua tahun berlalu kepergian Algha membuat Azza kini ikhlas melepaskannya, walaupun kadang-kadang ia masih sedikit merindukan pria itu. "Awali harimu dengan senyuman Za," ucapnya menyemangati dirinya, ia langsung menyandang ranselnya dan berlari keluar kamar.

"Azza sarapan dulu!" sorak Mama dari dapur, Azza menepuk jidatnya pelan, sambil cengegesan ia menghampiri keluarganya.

"Ulululu Arfa kesayangan ante!" serunya memeluk balita menggemaskan itu. Bukannya disambut dengan senyuman seperti balita umumnya, balita itu menatapnya sinis.

"Cih, santai aja wajahnya dek!" gerutunya gemas mencubit pipi gembul Arfa.

"Azza, pakai perasaan dong nyubit anak gue!" protes Bita meringis melihat pipi anaknya memerah.

"Gue nyubitnya juga pelan loh kak, santai...santai. Tapi ya nih bocah ngeselin kayak bapaknya, nggak santai banget liat gue kak,"

"Heh, sejak kapan gue ngeselin?" tanya Alze—kakak pertama Azza.

"Dari lahir!" jawabnya asal lalu menyantap roti selai yang sudah disiapkan Mama.

"Wait, yang dua sejoli tuh kemana? Ini anaknya kok ada disini?" tanya Azza menggedong bayi kecil yang dari tadi merangkak kearahnya. Azza gemas mencubit pipi gembul Ghazea.

"Wah parah orang tua lo Zea, lo dibiarin keluar sendirian," ocehnya berjalan kearah pintu kamar kakaknya.

"Halo pasutri abstrud, anak kalian diluar!" teriaknya namun tidak ada sahutan dari luar. Azza mengernyit bingung, ia pun terus menggedor pintu kamar kakaknya.

"Haloo! Woi kak Sam, kak Anggi!" teriaknya lagi.

"Ada apa nak?" tanya Papa bingung melihat Azza pagi-pagi sudah teriak-teriak didepan pintu kamar anak keduanya. Azza berbalik menghampiri Papanya.

"Tuh Pa, anak Papa ngeselin banget. Nih cucu Papa ditelantarkan disini. Azza aja terkejut tadi, ada Zea dibawah kaki Azza," adunya pada Deon—Papanya.

Deon hanya memijit pelipisnya, berusaha tenang. Ia menghela napas dengan kelakuan abstrud anak dan menantunya itu. "Ya ampun mereka berdua."

"Udahlah kan mereka udah besar juga pun, mending sekarang lo makan Za. Ntar lo telat ke kampus," seru Alze membuat Azza langsung melirik jam tangannya.

"Oiya... ya, ya ampun!" gerutunya dengan cepat-cepat mengunyah sambil menggendong Ghazea. Haura—Mamanya Azza gemas dengan putrinya yang satu itu, langsung mengambil alih menggendong Ghazea.

"Sini sama Mama aja, kamu makan aja dengan tenang. Mama heran yang punya anak disini kamu atau Sam sih?" gemasnya sambil menoel pipi Ghazea.

"Tulah, orang berdua tuh emangnya kemana sih?"

"Tadi gue nggak ada liat mereka keluar, apa mungkin mereka masih tidur?" ucap Bita.

"Hmm trus nih bocah kok bisa keluar sendiri, tadi gue coba buka pintu, pintunya terkunci." serunya menunjuk Ghazea.

"Nggak ada akhlak benar tuh pasutri!"

"Ya udah, Ghazea sama Mama aja, kamu cepat sarapan nak!" seru Mama langsung dianggukan Azza. Azza dengan cepat melahap makanannya dan buru-buru menyambar ranselnya.

"Ma, Pa Azza pergi dulu!" pamitnya menyalami tangan kedua orang tuanya.

"Sama kami nggak do?" Bita mengadakan tangannya kearah Azza, Azza menyengir langsung menyalami tangan kakaknya.

"Za!" panggil Alze membuat Azza menoleh kearahnya. Tak disangka Alze melempar sesuatu kearah Azza dan menangkapnya.

"Wow ini apa kak?"

"Kunci," jawab Alze.

Azza berdecak pelan. "Iya gue tau ini kunci, tapi untuk apa?"

"Ya untuk lo, mobil baru ada didepan." serunya membuat semuanya heboh menoleh kearah Alze.

"Woaaah, makasih kakakku sayang!" pekiknya menghambur kedalam pelukan kakaknya. Alze hanya menepuk pundak adiknya pelan.

"Hati-hati bawa mobil, jangan laju!"

"Oke beres bos!"

***

Tangan pria itu sibuk memutar-mutar rubik 6x6, tanpa ada seorang pun yang berniat mendekati ataupun mengganggunya. Lelaki berpostur tinggi itu tidak memperdulikan tatapan orang-orang yang mengaguminya setiap ia melangkah keluar dari Bandara.

"Selamat datang tuan!" sapa supir keluarganya.

Pria itu mendongak, lalu mengangguk tanpa mengeluarkan suaranya. Pria itu menyerahkan koper miliknya dan langsung masuk kedalam mobil. Setelah supir itu memasukkan barang milik tuannya, ia pun langsung masuk kedalam mobil.

"Kita mau kemana tuan?" tanyanya sopan melirik tuannya dari kaca spion. Pria itu mendongak sekilas kearah kaca spion lalu melirik ponselnya tanpa berniat menjawab pertanyaan supirnya.

"Dia belum siuman juga?" tanyanya dengan sedikit meledek.

Supir itu mengangguk pelan. "Iya tuan, tuan besar saat ini masih dalam keadaan koma. Apa tuan mau mengunjungi beliau?"

Pria itu sejenak berpikir lalu mengangguk. "Ya, antarkan aku kesana, Aku ingin melihat pria tua itu!" ucapnya dingin.

"Baik tuan." Supir itu hanya bisa menuruti perintah tuannya tanpa berniat mengomentari apapun. Anak pertama keluarga ini, akhirnya kembali setelah beberapa tahun menetap diluar negeri. Pria itu ialah Khaizan Radeva Hauvanza.

Sesampai dirumah sakit, Khaizan berjalan malas menuju ruangan Papanya. Ia menghela napas kasar sambil membuka pintu tersebut. Kaki jenjangnya melangkah mendekati ranjang Papanya. Khaizan hanya menatap datar melihat kondisi Papanya yang penuh terpasang alat bantu yang ia sendiri tidak peduli nama alatnya.

"Nggak berani siuman huh? Udah setahun loh enak-enak baring disini, takut bertanggung jawab huh?" cercanya menatap benci kearah Papanya.

"Kalau aku lepas salah satu alat nih, Papa pasti bakalan langsung mati,"

Khaizan berjalan mendekati jendela besar dan mengusap wajahnya kasar. "Ingat nggak sih Pa, waktu tuh Papa berani selingkuh sama si jala** tuh, Papa dengan mudahnya menghancurkan perasaan pasangan Papa demi seonggok sampah. Aku nggak habis pikir, Mama yang lebih cantik dan menggemaskan itu malah Papa sia-siakan. Heran, tapi udah berlalu ya...Nggak ada gunanya menyesal ya kan Pa?" tanya sinis melirik Papanya.

"Sekarang Mama udah nggak ada lagi, Papa pasti menyesal sekarang kan? Tapi udah ngga guna lagi penyesalan Pa, karena sampai kapanpun rasa bersalah itu akan terus menghantui Papa," gumamnya lalu memegang selang infus, lalu ia memencet tombol untuk memanggil tenaga medis ke ruangan ini. Tak beberapa lama kemudian, muncullah perawat yang menghampiri mereka.

"Maaf tuan, ada apa?" tanyanya sopan. Khaizan melirik kearah perawat itu.

"Dokternya siapa?"

"Oh Dokter Deasy, tuan ada perlu apa dengan beliau, biar saya sampaikan."

"Panggil dia!" pintanya membuat perawat itu terkejut, namun ia mengembalikan ekspresinya untuk tetap profesional.

Khaizan berdecak kesal, melihat perawat itu tak kunjung bergerak dari tempatnya. "Apa telinga lo tuli? Cepat panggilkan dia!" sentaknya membuat perawat itu langsung berlari keluar.

Pria itu berjalan kembali mendekati jendela besar sambil memakan kacang-kacangan dengan santai. Lalu ia melirik kearah pintu saat seseorang menggedor pintu kamarnya. "Anda memanggil saya tuan?"

Khaizan mengangguk lalu menatap dokter itu dengan tatapan datar. "Kalau istilah dalam bahasa medis kalian euthanasia kan? Aku ingin Papaku ini disuntik mati!" pintanya membuat dokter itu terkejut.

"Tuan, maaf tapi itu melanggar kode etik kami. Kami tidak dibenarkan mengakhiri hidup pasien secara sengaja,"

"Itu bukan urusan gue, yang jelas lakukan apa yang gue minta. Jangan buat gue ngomong dua kali!" ancamnya lalu dengan sengaja melempar vas bunga yang ada diatas nakas tepat disamping dokter itu dan pecah setelah membentur dinding.

Dokter itu syok bukan main, tidak menyangka ia menghadapi orang yang berhati dingin dan menakutkan ini. "A-kan saya usahakan." ucapnya gugup lalu menyuruh perawat untuk membawakan cairan suntik yang ia minta.

"Dasar perempuan menyusahkan aja, harus banget ya gue ngomong dua kali." kesalnya mengacak-acak rambutnya. Khaizan kembali melirik Papanya sambil tersenyum remeh tanpa menunjukkan ekspresi penyesalan.

"Sayang sekali, pertemuan kita cukup sampai disini. Aku udah muak liatnya semua ini. Papa berhasil merenggut dua nyawa orang yang aku sayangi, daripada buang-buang uang mending langsung dibuat mati aja ya kan?" serunya sambil tertawa renyah membuat dokter wanita itu merinding.

Bab 2

Dokter wanita tadi tampak ragu dengan keputusan yang dibuat Khaizan. Namun, ia tidak bisa berbuat banyak, tidak menuruti perintah pria itu rumah sakit ini akan dalam bermasalah mengingat donatur rumah sakit terbesar adalah keluarga ini.

"Apa yang lo tunggu?! Apa perlu gue sendiri yang menyuntiknya huh?!" sentaknya membuat dokter itu menggeleng pelan.

"Bi-biar saya saja tuan."

"Ya udah cepat! Gue udah lelah daritadi!" gerutunya lalu duduk disamping Papanya. Ia memperhatikan dokter itu melakukan pekerjaannya yang ia suruh tadi. Senyumannya menyungging sempurna saat melihat garis lurus dimonitor Papanya, itu artinya nyawa pria tua itu sudah tidak ada lagi di dunia ini.

"Baguslah, beban sudah hilang." ucapnya sambil merenggangkan ototnya. Ia melangkah santai berjalan keluar.

Khaizan dengan santai berjalan melewati koridor tanpa terbesit rasa bersalah telah membunuh Papanya secara tidak langsung. Ia sudah tidak peduli lagi, yang jelas hari ini adalah hari yang cukup melelahkan buatnya. "Antarkan aku Kerumah!" pintanya dengan supirnya. Supir itu mengangguk lalu melajukan mobilnya.

Namun, bukannya sampai rumah ia bisa istirahat dengan tenang, justru ia disuguhkan pemandangan pesta miras dirumahnya. Dentuman lagu memekak telinganya, bahkan banyak orang-orang berjoget-joget ria menikmati pesta mereka.

"S**t! Apa mereka sudah gila?!" umpatnya kasar melangkah lebar kearah tempat asal musik itu berada. Khaizan langsung menghancurkan kaset itu hingga berkeping-keping. Semuanya langsung terdiam dan memusatkan perhatiannya pada Khaizan.

Tidak sampai situ saja, Khaizan pun menendang meja tempat berjejerannya minuman keras hingga semuanya pecah tanpa tersisa. Pria itu langsung menoleh kearah mereka dengan tatapan tajam.

"Siapa yang mengizinkan kalian berpesta disini huh?!" sentaknya namun tidak ada satupun yang menyautnya.

Ia tersenyum miring, lalu menghampiri wanita paruh baya yang tengah menatapnya takut berada diantara para pria disampingnya. "Wah ternyata wanita sampah makin liar ya," hinanya membuat wanita itu menatapnya marah.

Khaizan langsung menarik rambut wanita itu kuat hingga ia merintih kesakitan. "Cih, udah tua nggak tau malu. Lo disini cuma benalu nyonya Miya, lo hanya simpanan, oh lebih tepatnya orang ketiga dalam keluarga gue." ucapnya dingin membuat siapapun tidak berani mendekatinya.

"Oh ya, gue mau ngasih tau lo sesuatu, barusan gue bunuh tuh pria tua sialan tuh. Jadi, semua warisannya jatuh ke tangan gue. Gue nggak bakalan ngasih sepersen pun uang tuh!" tegasnya lalu melepas kasar jeratannya. Wanita itu terdiam dan mendongak menatap anak tirinya.

"Ka-kamu membunuh Papa kamu sendiri?"

Khaizan tersenyum miring. "Iya, kenapa? Lo takut huh?" Ia langsung melirik kearah yang lain. "Bersihkan tempat ini sampai bersih, jangan sampai ada yang pergi atau gue..." ucapnya sengaja menggantung perkataannya, ia memegang pisau dapur sambil tersenyum penuh makna kearah mereka. Semuanya bergidik ngeri, tidak ada yang berani berkutik membantah ucapan pria itu.

Diantara orang-orang itu, keluarlah gadis seksi berjalan angkuh kearahnya. Ia dengan berani mendekati Khaizan. Saat tangannya hendak menyentuh Khaizan, pria itu melintir tangannya tanpa perasaan. Gadis itu sontak menjerit kesakitan meminta ampun untuk dilepas.

"Aaaakh, tolong lepas!"

"Apa peduli gue? Lo ngapain sok-sok dekati gue huh? Lo pikir gue sama kayak wanita sampah nih yang mudah terayu?!" kesalnya mencampakkan gadis itu hingga tersungkur ke lantai.

"Bersihkan semua ini!" titahnya langsung dikerjakan mereka. Khaizan berdecak pelan melangkah kakinya menaiki tangga menuju kamarnya.

"Gila, tuh orang mengerikan!"

"Sumpah iya, tapi dia tampan!"

"Gue lebih baik mundur deh, walaupun tampan tapi kasar!"

"Iya, kasian banget Deya, dia udah nyerahin badannya eh malah ditolak, hihihi pasti malu banget dia tuh!"

"Hahaha iya woi, gue suka liat dia dipermalukan. Emang enak digitukan, mentang-mentang tubuhnya kayak gitar spanyol!"

Deya merasa geram dengan gosip-gosip itu, ia mengepal tangannya mengingat baik-baik wajah pria yang tadi membuatnya malu. "Akan gue buat lo berlutut, tengok aja nanti pria brengsek!"

Khaizan melirik jam dinding kamarnya menunjukkan pukul sebelas siang. Ia heran, mengapa pesta seribut itu bisa diadakan di siang hari? Apa tetangganya sudah tuli? Yang lebih tak habis pikir, wanita itu. Wanita tua itu dengan tidak tahu malunya berfoya-foya menikmati harta keluarganya. Ia bahkan tidak peduli dengan kondisi Papanya yang selama ini terbaring koma usai terpeleset di kamar mandi menurut informasi yang ia dapat. Masih menjadi misteri penyebabnya, tetapi pria itu yakin pelakunya kini berada dihadapannya sekarang, menatapnya dengan sendu seolah-olah paling menderita disini.

"Mau apa kesini huh?" tanyanya dingin sambil menghidupkan rokoknya.

Miya—Mama tiri Khaizan saat ini berdiam diri menatap anak tirinya yang sudah lama tidak ia lihat. Beberapa tahun yang lalu pria didepannya ini adalah bocah ingusan, kini menjadi pria gagah dan tampan.

"Mama kangen sama kamu, kamu akhirnya pulang Nak." lirihnya membuat Khaizan tertawa renyah sambil duduk di sofanya.

"Huh? Gue anak lo? Nggak salah dengar gue?" tanyanya remeh. Ia berjalan mendekati wanita itu dan menjambak rambutnya kuat. "Dengar gue baik-baik wanita sampah, gue nggak punya Mama kayak lo, Mama gue cuma satu. Jadi, jangan harap lo bisa bujuk gue biar harta untuk lo kebagian," ucapnya lalu melepas kasar cekalannya.

"Selagi gue ngomong baik-baik, pergi dari sini!" usirnya. Mau tak mau wanita itu menurut melangkahkan kakinya keluar kamar. Awas saja, aku tidak akan tinggal diam bocah ingusan, akan ku buat kau menderita seperti Papamu itu! gumamnya dalam hati.

Khaizan menghela napas kasar, sambil terus menghisap rokoknya, ia melirik sekeliling ruangan kamarnya. "Ck, masih sama." gumamnya berjalan lalu melihat foto keluarga yang masih terpajang diatas meja belajarnya. Ia menatap foto itu lama lalu membuangnya kedalam tong sampah. Ia mematikan puntung rokoknya dan merebahkan dirinya dikasur.

"Huft, tubuhku terasa pegal sekali. Dasar menyebalkan!" gerutunya kesal. Dalam satu hari ia melakukan kegiatan yang tidak berguna untuknya dan besok ia yakin berita kematian Papanya akan muncul. Tangannya memegang pemantik api, sambil memainkan benda itu ia termenung menatap langit kamarnya. "Melelahkan," lirihnya sebelum pandangannya terlelap.

***

Azza berlari kecil sebelum dosennya berjalan mendekati kelasnya. Hampir saja ia telat hari ini karena terlalu menikmati perjalanan dengan mobil barunya. Gadis itu mengambil tempat disebelah sahabatnya.

"Woah hampir aja lo telat Za!" bisik Lulu memandang sahabatnya.

Azza mengangguk cepat sambil mengatur napasnya. Ia melirik jam tangannya sudah menunjukkan tepat pukul sepuluh pagi. Azza mencondongkan badannya kearah Lula. "Lo ada permen nggak? Mulut gue bau nih," keluhnya.

"Oh ya ampun nih anak, bentar," Lulu merogoh ranselnya dan mengeluarkan beberapa bungkus permen ditangannya. "Lo mau rasa apa?"

"Terserah apa aja, yang penting bau mulut gue hilang."

"Ya udah." ucapnya menyerahkan sebungkus permen pada Azza. Gadis itu langsung memasukkan kedalam mulut sebelum dosen itu masuk. Semuanya langsung diam saat dosen itu sudah duduk di kursinya, dan memulai mengajar dikelas Azza.

"Sampai disini, ada yang ingin ditanyakan?" tanya dosen itu, Azza langsung mengangkat tangannya.

"Izin bertanya Pak, apa kami perlu mencari sponsor untuk kegiatan kami?"

"Iya, buat proposal lalu kirim ke perusahaan yang menurut kalian memang sesuai bidang yang kalian kerjakan!"

"Baik Pak!" seru mereka kompak.

"Baik, pelajaran kita selesai, kalian boleh bubar."

Semua mahasiswa pada keluar kelas. Azza memasukkan bukunya kedalam tas. Lulu mendekat kearahnya. "Za, kira-kira kita mau sponsor ke perusahaan mana?"

Azza mengedik bahu sambil tersenyum tipis. "Entah, nantilah kita cari. Gue mau cabut dulu ya, orang tua gue suruh gue pulang cepat nih!" serunya buru-buru menyandang ranselnya, Orang tuanya tiba-tiba mengabarinya lewat pesan diponselnya.

"Eh? Tumben? Emangnya mau ngapain?"

"Kurang tau juga, ya udah gue duluan ya Lu, bye!" pamitnya berlari kecil keluar kelas sambil melambaikan tangannya kearah Lulu. Lulu tersenyum tipis melambaikan tangannya juga.

"Aduh, kenapa juga disuruh pulang cepat? Emangnya ada apa sih?!" gerutunya berjalan kearah parkiran. Namun, saat ia hendak membuka pintu, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Azza langsung mengangkat telepon itu.

"Halo?"

"Jangan pulang kerumah!" seru Sam dari seberang sana.

"Hah? Emangnya kenapa?"

"Lo mau dijodohin bego. Nih calon kandidat suami lo udah ada disini, mending lo pergi kek gitu kemana aja. Nanti gue kabarin kalau situasi udah aman."

"Tapi kak, Mama tadi bilang pulang cepat."

"Udah, sesekali jadi anak durhaka. Ini demi kebaikan lo juga kok, lo nggak mau dijodohin kan? Tadi gue liat cowoknya seram njiir. Nggak cocok deh buat lo!" serunya menggebu-gebu.

"Sesat, ngajarin adeknya jadi anak durhaka. Ya udah deh, gue keliling kota dulu ya, kalau dah aman bilang aja. Oh ya, pandai-pandai ajalah ya bilang sama Mama bye." ucapnya langsung memutuskan telepon itu sepihak sebelum Sam mengeluarkan suaranya.

Azza menghela napas kasar. Sejak kematian Algha, Mama dan Papanya malah berlomba-lomba mencari pasangan untuknya. Ia akui niat orang tuanya baik, tetapi tidak dengan cara ini. Masih ada cara lain yang mungkin bisa memecahkan masalah yang ia hadapi sekarang.

Matanya langsung berbinar saat melihat Lulu hendak berjalan menuju motornya. Dengan cepat ia berlari kearah Lulu. "Duaar!"

"Anjiir! Hampir copot jantung gue. Hah, kenapa lagi nih?" tanya Lulu sambil memasang helmnya.

"Yok, jalan-jalan, biar gue traktir!" ajaknya membuat Lulu heran.

"Lah bukannya tadi ada acara keluarga lo Za?"

"Itu ada yang orang gue hindari, ya udah gitu jadinya. Lo nggak sibuk kan?" kilahnya.

"Nggak, sumpah deh lo menghindar dari perjodohan kan?" tebaknya melirik curiga kearah Azza. AZZA menyengir pelan lalu mengangguk.

"Ya mau gimana lagi, orang tua gue tetap kekeuh juga nyariin gue jodoh. Padahal gue kan masih kuliah,"

Lulu tersenyum mengerti. "Hmm, jalani aja dulu. Gue yakin maksud orang tua lo baik, tapi kalau lo belum siap ketemu ya udah kita jalan!" ajaknya sambil melepaskan helmnya.

"Bagus, yok pakai mobil gue kesana!" ajaknya menarik tangan sahabatnya menuju mobilnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!