NovelToon NovelToon

Pengacara Dan Bos Miras

Tanpa Alas Kaki

Jay Parker adalah seorang Asia bernama asli Cho Jin Ryuk. Pada saat usianya baru menginjak lima belas tahun, ia terseret sebuah gelombang imigrasi ketiga oleh bangsa Asia ke Amerika yang dimulai pada tahun 1965 akibat penjajahan. Kedua orang tuanya meninggal dan sesampainya di Amerika, Jay dirawat oleh seorang keturunan asli bernama Bill Parker. Memiliki pengetahuan tentang miras fermentasi yang khas dari negara asalnya, Jay kemudian mendirikan sebuah perusahaan miras pada usia dua puluh lima tahun. Usahanya berkembang pesat dalam waktu yang singkat, tanpa Jay tahu bahwa Bill (sang ayah angkat) rupanya melakukan monopoli harga bahan pokok. Di tengah demo besar-besaran yang dilakukan oleh pekerjanya, Jay kemudian mencoba menyelidiki apakah hal yang sebenarnya terjadi. Pria yang kini berusia tiga puluh lima tahun itu berpura-pura menjadi tuna wisma dan mulai berbaur dengan lingkungan para pekerja.

Di tengah misi itu, Jay bertemu dengan seorang wanita bernama Alexandra Meggie. Wanita yang akrab dipanggil Dara itu adalah seorang pengacara yang tengah membela nasib buruh yang menjadi korban monopoli harga oleh perusahaan miras milik Jay. Ia adalah wanita yang ambisius dan berjanji akan memenangkan kasus itu meski lawannya adalah seorang konglomerat. Keteguhannya itu dikarenakan ia harus mencari nafkah untuk merawat putranya yang berusia satu tahun setelah ditinggalkan oleh sang suami untuk selamanya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Los Angles, 1985.

Sebuah bus berhenti di halte terakhir sebelum menuju Asia Town. Seorang wanita bersepatu pantofel hitam masuk sembari menenteng sekantung penuh sayuran hadiah dari kliennya. Ia terdiam sesaat setelah memasuki bus. Bus itu begitu penuh dan hanya menyisakan sebuah bangku kosong. Langkah wanita itu ragu, di sebelah bangku itu duduk seorang pria Asia yang tengah tertidur. Bus yang menuju ke Asia Town memang hanya mengangkut orang-orang Asia saja. Wanita itu harusnya merasa aman karena di sekitarnya hanya ada orang-orang dengan ras yang sama dengannya. Tapi, pria itu nampak lain. Ia nampak seperti berandalan yang berbahaya.

Pria Asia itu hanya mengenakan sebuah kaos dalam tanpa lengan yang mengekspos bahu sebelah kirinya yang bertato penuh. Penampilan itu lengkap dengan celana jeans robek dan sepatu lusuh yang melindungi kakinya. Ditambah dengan aroma miras yang menyeruak di sekitar tempat duduk, membuat wanita itu pikir-pikir untuk duduk di sana.

"Nona, sebaiknya anda duduk. Bus akan segera berjalan!" pinta salah seorang penumpang.

Wanita itu tahu maksud dari pria separuh baya yang menegurnya adalah baik, sehingga ia memutuskan untuk duduk meski sedikit was-was. Di sepanjang jalan jantungnya berdebar-debar, takut jika sewaktu-waktu pria itu akan bangun dan menodongnya dengan senjata tajam.

Situasi di sana memang sulit untuk dijelaskan. Kentalnya isu rasisme membuat para imigran ketakutan setiap saat. Bahkan sulit rasanya membedakan mana yang baik dan buruk meski mereka berasal dari ras yang sama.

Wanita itu tak sedikit pun berani melirik pria muda di sampingnya, ia hanya sibuk memandang ke luar jendela. Hatinya semakin was-was ketika langit mulai gelap. Ia memang agak terlambat pulang karena harus melayani kliennya. Sang bibi sudah mengingatkannya untuk tidak kembali terlalu malam, karena situasi di tempatnya sangat berbahaya.

Orang-orang tak mau beraktifitas di hari gelap, kecuali jika mereka sudah memasuki wilayah Asia Town yang mana bagi orang Asia seperti mereka tempat itu adalah yang paling aman.

Di sepanjang jalan, wanita itu berdoa agar laju bus segera membawanya ke halte terakhir. Kakinya saat ini gemetar ketakutan, wanita itu merasa semakin resah ketika memasuki plang bertuliskan "Anda Memasuki Kawasan Asia Town".

Senang, tapi takut juga. Beberapa lampu yang terpasang sepanjang jalan juga mati, sebagian bahkan dicuri dan dirusak oleh pihak tak bertanggung jawab. Ketika bus berhenti, wanita itu segera beranjak dari tempat duduknya. Ia segera berjalan keluar.

Dua orang petugas bus menghampiri pria Asia yang masih tidur dan tak bergerak dari tempat duduknya. Sepertinya pria itu belum membayar.

"I have no money," lenguhnya. "MONEY EOBSEO!!" ucapnya lagi dengan nada meninggi. Sepertinya pria itu berasal dari Korea.

Wanita yang ketakutan itu turun tanpa menghiraukan hingga ia melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika pria Asia itu didorong keluar dengan sangat kasar oleh petugas bus. Untuk sesaat ia merasa iba melihat pria yang nampak menyedihkan itu. Hingga ketika bus mulai berjalan menjauh, wanita itu tiba-tiba teringat. Ia meninggalkan sayuran pemberian kliennya di bus.

"SAYURANKU!" Ia memukul kepalanya kesal, dengan tergopoh-gopoh wanita itu mencoba mengejar bus.

"HEY!!! BERHENTI!!!" teriaknya yang langsung ditanggapi dengan tawa oleh si pria Asia.

"Mau teriak sekeras apapun mereka tidak akan mau kembali jika sudah berada di kawasan ini," ucap pria itu.

Wanita yang sejak awal sudah was-was itu kemudian berlari secepatnya agar segera menjauh dari pria itu. Tak apa sayurannya dibawa kabur oleh bus itu, yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan diri.

Setelah merasa sudah jauh, wanita itu kemudian memperlambat langkahnya. Ia terengah-engah, olah raga malam menggunakan pantofel bukanlah ide yang bagus. Ketika melangkah menaiki sebuah trotoar, ia tersandung dan tersadar bahwa sepatunya robek.

"Sial!" umpatnya. Wanita itu kemudiam mumutuskan untuk melepas sepatunya dan memasukkannya ke dalam tas yang ia tenteng.

Selanjutnya ia berhenti di sebuah rumah penitipan, di sanalah ia menitipkan sang putra seharian.

"Nona Dara, mengapa anda baru datang?" sang pengasuh kini mengamati Dara, didapatinya sepasang kaki Dara yang telanjang tak beralas. "Anda baik-baik saja 'kan?" tanyanya khawatir.

"Oh, ini...sepatuku robek jadi aku memutuskan untuk tidak memakainya. Aku minta maaf karena telah membuat Noah menunggu lama," balas wanita bernama Dara itu.

"Noah sampai tertidur, untung dia tidak menangis." Sang pengasuh mengambil Noah dari tempat tidurnya dan menyerahkannya pada Dara.

"Terima kasih sudah menjaga Noah seharian ini," ucap Dara sambil menyodorkan uang sebesar lima dollar.

"Sama-sama, Nona. Sebaiknya anda segera pulang, hari sudah semakin gelap."

"Iya. Sampai jumpa besok pagi," pamit Dara yang kemudian meninggalkan rumah itu. Ia menggendong Noah di depan. Di sepanjang jalan ia memandangi wajah sang putra yang terlelap. Saat itu Dara merasa sedih. Ia sedih karena tak bisa memberikan waktunya untuk menjaga Noah dan harus sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Ketika melihat jalanan yang sangat sepi, Dara semakin mempercepat langkahnya. Kira-kira jarak rumahnya dari tempatnya berdiri adalah satu mil. Langkahnya yang semula cepat kini terhenti melihat dua orang pria keturunan asli bertubuh besar yang menghadang di depannya. Tanpa pikir panjang Dara segera berbalik dan memutuskan lewat tempat lain.

Namun, rupanya dua pria Amerika itu mengikutinya. Salah seorang menghadangnya tepat di depan, satunya lagi bediri di belakang Dara sehingga wanita itu merasa terkepung dan tak tahu harus kabur lewat mana.

"Nona, kenapa berjalan sendirian?" tanya pria itu.

Dia Temanku

"Ada teman yang sedang saya tunggu," jawab Dara bohong. Kali saja setelah mendengar itu mereka akan pergi. Kedua pria itu celingukan dan memastikan bahwa tidak ada orang yang datang.

"Sepertinya temanmu tidak datang. Atau kau berusaha membohongi kami?"

"Ma-maaf, saya harus segera pulang," jawab Dara. Salah seorang pria itu mengulurkan tangannya.

"Anda dikenakan biaya tiket masuk, pfffttt..." ujarnya mengejek.

"Maaf, saya tidak punya uang."

Satu orang yang lain merebut tas yang ditenteng oleh Dara dan membongkarnya. Tubuh Dara yang gemetaran tak bisa melakukan perlawanan, ditambah ia harus melindungi sang putra yang masih tertidur di gendongannya.

"Apa ini? lima dollar?" protes pria Amerika itu. Memang hanya itu yang tersisa. Uang itu pun sebenarnya akan digunakan Dara untuk membeli bahan makanan karena sayurannya yang tertinggal di bus.

"Sudah kuduga, orang Asia ini miskin."

"Kalau begitu ambil saja anaknya untuk dijual ke orang Asia yang kaya." Pria bertubuh besar itu merebut paksa Noah dari gendongan Dara.

"Ja-jangann....saya mohon, jangannn," mohon Dara. Wanita itu meneteskan air mata, sang putra yang tidurnya terganggu kini memekik menangis di gendongan pria itu.

"Itu salahmu karna tak punya uang, jadi kami ambil saja anakmu!"

"Kembalikan!" Dara berusaha merebut Noah tapi apa daya, tubuhnya yang kecil tak bisa melawan pria besar itu. Ia didorong hingga jatuh tersungkur, sedangkan tangisan Noah makin keras memecah heningnya malam.

"Hentikan itu!" Seorang pria Asia tiba-tiba sudah ada di sana dan berusaha merebut anak itu dari tangan pria Amerika di depannya. Tapi pria Amerika itu tak mau menyerahkannya.

Saat itu terlintas di pikiran Dara, apakah mereka bekerja sama?

"Hey...hey...kau ini siapa? Mengapa mengganggu kami?" sungut pria Amerika itu.

"Aku temannya, yang dia tunggu," jawab pria Asia itu.

Dara terkesiap, apa pria itu sudah mengamati mereka sejak tadi.

"Ya, kau ambil wanita itu. Kami ambil anaknya," balas pria Amerika satunya sambil tertawa angkuh.

"Berikan anaknya," pinta pria Asia itu. Saat itu Dara merasa tersulut emosi.

"Apa yang kalian lakukan! Kembalikan anakku!!" wanita itu histeris.

"Hoho, tenang Nona. Si sipit ini sudah memutuskan untuk membawa anakmu, jadi kami akan membawamu."

"Tidak! Aku butuh wanita itu."

Dara menoleh, bisa-bisanya orang-orang itu mempermainkannya.

"Hooo, begitu ya...sesama orang Asia pasti punya ketertarikan satu sama lain."

"Berisik," ucap pria Asia itu yang kemudian melayangkan sebuah pukulan di wajah pria di depannya.

"ARGHHH!!! b4jingan ini tak bisa bicara baik-baik ya!" pria itu membalas pukulannya hingga memuat pria Asia itu tersungkur.

"Aaaaaa!!!" pekik Dara histeris, ia tak tahu harus bagaimana sekarang. Mungkin setelah ini mereka akan mati di tangan dua pria Amerika ini.

"TOLONG!!! TOLONG!!!" pekik Dara mencoba mencari bantuan.

Pria Asia itu tak ingin kalah, ia kembali memukul pria di depannya dan pria yang satunya. Satu pria yang sebelumnya menggendong Noah terpaksa harus menurunkan anak itu untuk membalas pukulan si pria Asia. Tapi rupanya pria Asia itu begitu lihai menghindar. Dengan gerakan yang cepat, pria itu menyambar Noah dan menarik tangan Dara.

"LARI!" pintanya. Mereka pun lari sekuat tenaga. Kedua pria Amerika yang bertubuh besar itu kewalahan mengejar karena terasa berat mengangkat tubuh sendiri.

Di sepanjang jalanan sepi, tangan pria Asia itu menggandeng tangan Dara sembari menggendong Noah. Titik-titik air mulai turun membuat kaki-kaki mereka makin cepat berlari agar terselamatkan dari rinai hujan. Di saat itu juga Dara merasa bersalah karena telah mencurigainya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Dara membawa sebuah baskom berisi air hangat dan juga sebuah kain untuk kompres. Noah sudah tidur di kamarnya bersama dengan sang bibi yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Sesampainya di rumah, Dara segera memanggil sang bibi untuk mengurus Noah karena Dara harus mengurus pria Asia yang telah menyelamatkannya. Wajah pria itu babak belur. Ujung bibirnya terluka, dahinya dan pipinya lebam akibat perkelahian tadi.

"Maaf, aku menyentuh wajahmu," ucap Dara meminta ijin ketika ia mulai menempelkan kompres ke wajah pria di depannya.

Pria itu mengangguk, ia hanya menunduk dan tak banyak bicara. Sekarang pria itu memberikan kesan lain di mata Dara. Harusnya wanita itu tak menilai kebaikan seseorang dari penampilannya.

"Namaku Alexandra Meggie, kau bisa memanggilku Dara."

Pria itu mengangguk, tanpa mengeluarkan sepatah kata.

"Siapa namamu?" tanya Dara.

"J..."

"J?"

"J.A.Y, Jay," jawab pria itu. Ia tak memberi tahu nama panjangnya.

"Maafkan aku Jay. Aku tak bisa memberikan imbalan apapun untukmu." Selain sayurannya yang tertinggal di bus, tasnya yang berisi uang lima dollar dan sepatu robek pun sudah raib diambil pria Amerika tadi.

"Tidak apa, aku tahu kau tidak punya apa-apa," jawab Jay. Cukup konyol tapi getir juga di saat bersamaan.

Dara tersenyum tipis, setidaknya ia masih punya roti dan selai yang juga adalah hadiah dari kliennya yang lain.

"Aku masih punya makanan," ucap Dara

"Aku tidak lapar." Jay menghentikan aktifitas Dara. " Aku akan pergi setelah ini," lanjutnya.

"Kau tinggal di mana?" tanya Dara.

"Aku tuna wisma," jawab Jay. Pria itu beranjak dari duduknya dan berjalan keluar dari gubuk sederhana milik Dara.

"Tunggu, di luar hujan. Di mana kau akan tidur?"

"Aku bisa tidur di mana pun. Tak perlu khawatir, aku sudah terbiasa."

"Tapi kau masih terluka." Dara menggigit bibir bawahnya, "kau bisa tinggal di sini semalam," ucap Dara menawarkan kebaikannya.

"Serius? Kau tidak takut atau curiga padaku?" tanya Jay memastikan.

Dara menggeleng. "Kau sudah tahu aku tak punya apapun di sini. Jika kau berniat jahat, aku bisa berteriak dan meminta pertolongan dari tetangga. Lingkungan rumah kami berdekatan, berbisik-bisik saja sudah bisa terdengar oleh mereka."

"Terima kasih." Jay menunduk malu. Baru kali ini ia mendapatkan tawaran kebaikan dari orang lain.

"Kau bisa tidur di ruangan depan," ucap Dara yang kemudian masuk ke kamarnya.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa kau membiarkannya menginap?" protes sang Bibi.

"Dia sudah menolongku dan Noah, aku sudah berhutang nyawa padanya. Lagi pula di luar juga sedang hujan."

"Tapi dia orang asing, lihat tatonya yang menyeramkan itu!"

"Bibi Kim, jangan menilai orang dari penampilannya."

"Okay, bibi anggap kau membantunya karna dia adalah salah satu orang Asia seperti kita." Wanita separuh baya itu beranjak dari tempat tidur. "Bibi harus pulang sekarang. Berhati-hatilah dengan pria itu," pintanya.

"Baik, bi. Selamat malam," jawab Dara.

Bibi Kim keluar dari kamar Dara melewati Jay yang sebelumnya berbaring. Ia bangun ketika Bibi Kim lewat karena merasa tidak enak. Sebuah lirikan sinis mengarah padanya, sehingga membuat Jay tak enak hati.

Pakaian Bekas Suami

Gemericik air menyambut pendengaran Jay yang baru saja terbangun, mungkinkah hujan semalaman tak juga reda hingga pagi. Ia merasakan basah, ya, pakaiannya basah. Untuk beberapa detik kemudian, Jay tersadar. Pria itu terperanjat ketika mendapati seorang anak laki-laki tengah tiduran di atasnya sembari menelusuri tangan kirinya yang penuh tato dengan jemari mungil.

"Noah!" panggil Dara yang datang dari arah kamar mandi.

"Astaga, maaf Jay." Dara meraih Noah dari pangkuan Jay dan menggendongnya. "Sepertinya Noah bermain kran air dan tak menutupnya."

Jay memandangi sekitar yang sudah banjir oleh air kran hingga membuat pakaiannya basah. Di sudut ruangan terdapat kain pel yang setengah basah, sepertinya Dara meletakkan beberapa kain secara sembarang untuk menyerap air yang lari kemana-mana. Rumah itu kini terlihat layaknya kapal pecah.

"Aku tadi mengepel lantai dan tidak tahu kalau Noah mengganggumu, maaf ya."

"Tidak apa-apa," jawab Jay. Pria itu kembali mengamati sekitar, sepertinya Noah mungkin menyalakan kran air semalaman.

"Sebentar." Dara masuk ke kamar untuk mengamankan Noah, ia kembali dan membawa sebuah baju dan celana.

"Mandi lah," pinta Dara sambil menyodorkan pakaian itu pada Jay.

"Ini pakaian siapa?" tanya Jay yang masih konsisten duduk di lantai.

"Ini milik suamiku," jawab Dara.

"Kau yakin suamimu tidak akan marah kalau aku memakai pakaiannya?" tanya Jay hati-hati. Ia juga tak enak jika suami Dara mengetahui keberadaan Jay di sana, sudah pasti akan terjadi kesalah pahaman.

"Suamiku sudah meninggal," jawab Dara tersenyum getir. Saat itu Jay semakin merasa tidak enak.

"Maaf, aku tidak tahu."

"Tidak apa-apa. Aku sudah bisa menerima kenyataan sekarang." Dara kembali meraih pel yang ia letakkan di sudut ruangan dan melanjutkan aktifitasnya yang tadi.

"Kamar mandinya ada di sebelah sana." Dara menunjuk ke arah pintu yang letaknya di sudut kiri bagian dapur kecil miliknya.

Jay mengangguk dan segera beranjak dari tempatnya. Sesaat setelah Jay berlalu, Dara menitikkan air mata. Ia tiba-tiba teringat pada sang suami yang telah meninggal kurang lebih setahun yang lalu. Noah bahkan belum lahir saat itu. Tepat tiga hari setelah kematian sang suami, Noah lahir seolah memberikan sebuah obat penawar untuk hati Dara. Itulah mengapa, Dara berjanji akan memberikan dunianya untuk Noah—buah cintanya dengan mendiang suami, satu-satunya harta berharga yang ia miliki.

Setelah selesai mengepel, Dara kemudian menyiapkan sarapan. Ia masih memiliki beberapa lembar roti, ada juga tiga telur ayam yang masih bertengger di lemarinya. Entah kenapa jumlahnya pas untuk sarapan tiga orang.

Jay keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang setengah basah. Pakaian mendiang suami Dara begitu pas untuk Jay, seolah-olah ia adalah pemilik yang sebenarnya.

"Aku mencuci bajuku tadi. Boleh aku menumpang menjemur bajuku di belakang?" tanya Jay yang kini tangannya membawa baju dan celananya yang basah.

"Kau cuci pakai apa?" tanya Dara. Ia kehabisan sabun cuci.

"Aku hanya mencucinya dengan air. Tenang saja, aku tidak mengambil sabunmu," jawab Jay.

Dara tertawa pelan. "Aku kehabisan sabun cuci," ia bergumam. Kehidupannya begitu serba kekurangan, membuat Jay merasa iba dan kasihan.

"Dara... Noah...!" panggil Bibi Kim dari luar sembari mengetuk pintu.

"Aneh, tidak biasanya Bibi Kim datang ke sini pagi-pagi sekali," ucap Dara sembari berlalu menuju pintu masuk. Jay kemudian ke halaman belakang yang kecil untuk menjemur pakaiannya.

Bibi Kim masuk dan memeriksa Noah yang tengah asyik bermain mobil-mobilan dari kayu di dalam kamarnya. Kemudian ia masuk ke dapur. Dari dalam dapur ia melihat Jay yang tengah menjemur pakaiannya di halaman belakang.

"Dara, kau pikir apa yang kau lakukan?" raut murka segera menghiasi wajah Bibi Kim, seolah-olah Dara melakukan kesalahan besar.

"Ada apa lagi?" tanya Dara.

"Bisa-bisanya kau membiarkan berandalan itu memakai baju milik suamimu!" protesnya.

"Dia harus berganti pakaian."

"Kupikir dia harus pergi dari sini setelah bangun tidur."

Dara berdecak, baru sekali ini berseberangan dengan bibi suaminya itu.

"Bibi tidak lihat? Aku baru saja selesai mengepel. Noah membuka kran air semalaman hingga membuat seluruh rumah kebanjiran. Dan Jay yang sedang tertidur tanpa alas di ruangan depan pun juga harus kebasahan karna ulah Noah. Jadi, apa Bibi pikir aku tak boleh meminjamkannya baju?" jelas Dara.

"Tetap saja dia tidak boleh memakai benda yang bukan miliknya." Bibi Kim masih bersikukuh.

"Aku hanya mencoba membalas kebaikannya, apa itu salah?"

"Membuatnya menginap di sini semalam saja sudah cukup. Kau tak perlu berlebihan memperlakukan orang asing itu!"

"Dia punya nama. Jay."

"Aku tidak peduli mau siapa pun namanya." Bibi Kim melipat kedua tangan di depan dada. Wajahnya yang sudah keriput ditekut sejadinya.

"Kalau pun suamiku masih hidup, aku yakin dia akan melakukan hal yang sama." Dara mengigit bibir bawahnya sekilas. "Dia pasti akan memperlakukan Jay sama seperti yang aku lakukan. Dia pasti akan membalas budi pada orang yang telah menyelamatkan nyawa istri dan anaknya." Bibir Dara bergetar, lidahnya kini kelu. Terlalu berat baginya ketika mengenang ataupun membicarakan soal mendiang suaminya.

"Kalau suamimu masih hidup, kau tidak akan dicegat oleh preman-preman itu."

"Apa yang membuat Bibi seyakin itu? Kami sama-sama Asia, apa bedanya dengan Jay yang telah dihajar karena membelaku mati-matian?"

Bibi Kim kini terdiam. Sementara itu, Jay yang sudah selesai menjemur baju telah berdiri di ambang pintu dapur dan mendengar pembicaraannya Bibi Kim dan Dara.

Dara berbalik hendak memanggil Jay, tapi pria itu sudah masuk ke dapur.

"Jay," lirih Dara.

Jay menundukkan wajahnya, terlihat jelas raut sedih di wajahnya. Pria itu kemudian melangkah, meski begitu kakinya seakan ragu.

"Aku akan pergi sekarang dan akan kembali nanti sore untuk mengambil bajuku yang sudah kering, emmm...mungkin juga akan menumpang mandi dan mencuci pakaian yang kupinjam. Sekali lagi, terima kasih karna telah membiarkanku tinggal semalam di sini." Jay tersenyum, kemudian ia berlalu melewati Dara dan Bibi Kim yang mematung di tempatnya.

"Tunggu, Jay!" cegah Dara.

Jay menoleh menanggapi panggilan itu.

"Kemarin aku bilang padamu kalau aku tak bisa memberikan imbalan apapun, tapi setidaknya aku masih mempunyai makanan." Dara menahan kalimatnya. Sekarang ia sudah mulai masa bodoh, meski ada Bibi Kim di depannya.

"Ayo sarapan dengan kami," lanjut Dara.

"Cih... Aku mau pulang." Bibi Kim menggerutu, ia pergi begitu saja tanpa dihentikan oleh Dara maupun Jay.

Pria itu masih berdiri di tempatnya, ia akan menerima imbalan itu dari Dara.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!