"Kita nggak bisa begini terus! Kamu cewek, sementara aku cowok nggak bisa terus berada dalam satu atap. Haram hukumnya!" Tegas Nizam.
"Meski kamu telah meniduriku?" Laela berbicara secara gamang, kepala masih menunduk menunjukkan raut malu.
Apa tadi?
Menidur!?
Siapa?
"Apa?"
"Maksud kamu?"
Pertanyaan yang menandakan ketidakpercayaan dari mereka.
Semua mata membola penuh.
Memandang ke arah Nizam yang turut membolakan mata dengan kepala mengeleng-geleng tak menerima perkataan gadis kota itu.
Pandangan beralih pada sang gadis yang terlihat menunduk seperti ketakutan.
Laela mengangkat wajah menatap satu persatu orang yang dalam forum Sederhana itu.
Semua mata tertuju padanya.
Nizam bahkan menatapnya dengan amarah.
" Apa maksudmu?" Pria itu bertanya dengan nada yang meninggi.
"Kamu meniduriku di situ," Laela dengan tangan menunjuk ke arah pintu kamar Nizam, tempat mereka jatuh semalam. Dengan cepat kembali menundukkan kepala. Nyalinya ciut seketika, tapi mau bagaimana lagi. Ia
ingin tetap bertahan di rumah ini.
Maaf, dalam hati berguman.
"Kamu bicara apa?" Lagi, Nizam dengan nada yang meninggi, pria itu telah berdiri dari duduknya menandakan emosi telah berada di ubun-ubun.
Kehadiran pada tetua tak lagi mampu menahan emosinya.
"Tadi malam. Kamu,.... " Laela kembali tertunduk dan pembicaraan yang menggantung.
"Di situ, ...." Tangan kembali menunjuk ke arah yang sama. Setelah itu wajah kembali tertunduk menunjukkan
rasa malu dan takut. Gadis itu sedang melakukan perannya dengan baik.
Sialnya, seluruh mata memandang ke arah kamar, bukan pintu kamar.
" Maksud kamu apa? Aku tidak melakukan apa-apa?" Bela Nizam.
Kini semua tatapan tertuju pada pria itu.
Ada rasa tak percaya, di saat pria yang kadang menjadi imam shalat di kampung mereka dituduh seperti itu.
Namun korban kini di depan mata, berbicara dengan rasa takut dan malu. Lantas siapa yang akan mereka percaya?
Ibu hanya bisa menggeleng menunduk. Hatinya masih besar pada Sang putra. Gadis yang telah mereka tolong ini tengah memfitnahnya.
"Buuuu, aku nggak berbuat apa-apa." Nizam Tengah memohon sebuah kepercayaan.
"Kamu bahkan telah menciumku." lagi suara itu kembali mengagetkan mereka.
"Bu, ...."
"Bu, aku nggak sengaja." Kalimat itu justru seolah membenarkan semua tuduhan gadis asing itu.
Semua orang terlihat menghembuskan napas berat. Seolah satu pertanyaan telah terjawab dengan sangat jelas.
Antara Nizam dan gadis itu, mereka telah mendapatkan kebenaran.
Bapak menghempaskan punggung ke sandaran sofa," Nikahi dia!"
Bagai sambar petir, Nizam tak mampu membantah perintah bapak. Terdiam mematung dengan mulut yang terbuka lebar
Sebagai seorang pria, pernikahan bukanlah sebuah permainan.
Ia menginginkan wanita yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak, adalah wanita baik-baik.
Yang akan mengajarkan anak-anak mereka tentang kehidupan, agama, dan segala yang baik-baik.
Bukan gadis asing, yang telah Ia tolong dan justru memfitnah dirinya seperti ini.
\=====
Roda-roda kecil bergelinding berputar, bekerja keras mengikuti medan yang dilalui. Batu kerikil, pasir, atau tanah basah yang akan menempel dan semakin memberatkan perputaran. Beruntung mereka saat mendapatkan jalanan beraspal, setidaknya beban untuk berputar sedikit ringan dan rata.
Koper besar berwarna merah muda itu tertarik mengikuti arus penariknya.
Koper yang sebenarnya ia siapkan untuk nanti, jika bepergian dengan pesawat.
Pernah bermimpi jika koper itu tengan ditariknya di atas lantai bertehel putih yang mulus dan licin, sambil menunggu panggilan terbang, bandar.
Mungkin ia lupa jika dirinya bertempat tinggal di sebuah kampung.
Mau berkunjung ke luar kota menggunakan pesawat, tapi tak tahu kerabat mana yang hendak ia tandangi
Dan kini seorang gadis berjalan tak tentu arah, hanya terus berjalan.
Blus biru langit dipadu dengan celana kulot berwarna coklat susu menyiratkan jika dirinya seorang wanita kantoran. Terlihat lebih meyakinkan dengan pantofel high heels hitam mengkilat yang ia gunakan.
Jangan tertipu dengan penampilan.
Nyatanya gadis itu baru saja menyelesaikan ujian sekolahnya di tingkat Menengah Atas. Penugmuman kelulusanpun belum ada di tangan.
Bermimpi jika suatu saat nanti ia akan bekerja di kota, di dalam gedung yang tingginya meter meter dan jumlah lantai berlapis-lapis. Dan ia harus belajar mulai dari sekarang, dengan penampilan yang seperti ini.
Mentari di ufuk Barat, sedikit lagi hendak masuk ke peraduan. Membuat suasana pegunungan semakin terasa dingin.
Gadis itu terhenti di Jembatan Kuning, memandang ke bawah arus Sungai yang lumayan deras, mungkin saja langsung menyeret tubuhnya jika nekat meloncat ke sana.
Kedua tangan kini berpegangan pada teralis, koper besar berwarna pinknya berdiri di samping tubuh.
Masih dengan pandangan yang sama, menikmati arus sungai. Otaknya kini telah berpikir ke mana lagi kaki akan melangkah.
Hari sudah menjelang malam, ia harus secepatnya mendapatkan tempat berteduh guna menghabiskan malam ini. Esok akan menjadi pemikiran baru untuknya.
Dari arah sana, seorang pria dengan motor butut melaju melambat saat memandang gadis yang berdiri menatap aliran arus sungai dengan sangat tenangnya.
Gadis itu ingin terjun ke bawah, begitu yang ada di pikirannya.
" Oi ngapain?" Tanyanya dengan suara yang sedikit kencang. Motor telah berhenti tepat di belakang sang gadis.
Gadis itu hanya menoleh sebentar, kembali meluruskan kepala lalu menunduk memandang ke arah bawah sana lagi.
"Di bawah ada buayanya. Sakit loh kalau digigit. Mau kaki kamu buntung? Cobain aja!" Ucapnya dengan nada ketus. Baginya, orang yang bunuh diri adalah orang yang ber-pemikiran d@ngk@l.
Setelahnya, motor butut kembali melaju.
Tak peduli dengan gadis yang di sana. Mungkin setelah mendengarkan ancamannya tadi, Gadis itu akan berpikir keras untuk melompat ke bawah.
Dari spion motor, melirik ke arah belakang. Gadis itu masih terdiam menikmati pemandangan arus sungai yang lumayan deras.
Bagaimana jika gadis itu tak mengindahkan ancamannya?
Separuh hati merasa cemas, jika esok ia mendengar kabar seorang gadis ditemukan di pinggir sungai tak bernyawa, maka selanjutnya ia akan menjalani hidup dan penyesalan. Menyesal karena tak berupaya menghentikan aksi gadis di sana.
Membelokkan setir motor dengan hati-hati. Sepotong papan direntangkan pada border motor. Di sisi kiri kanan diletakkan rak-rak berisikan telur dan jumlah yang sama, kedua kaki menjadi penyeimbang.
Kembali melajukan motor ke arah gadis di sana.
Memilih meninggalkan motor di tepi jalan, dengan dirinya yang mendekati gadis yang terlihat masih merenung itu.
"Kamu kenapa?" Tanyanya, kali ini suara dilembutkan sedikit, ingin bernegosiasi.
Menatap ke arah samping, koper berdiri tempat di samping sang gadis. Gadis ini mungkin dari kota, pikirnya.
"Magrib-magrib gini biasanya setan pada keliaran cari mangsa. Makanya anak-anak semua dipanggil masuk ke rumah biar nggak dimakan sama setan." Merinding sendiri saat mengucapkan kalimat itu.
Bukan merinding karena takut pada setannya.
Ia meyakini tak ada setan yang akan makan orang, mitos itu hanya diperuntukkan untuk anak menakuti anak-anak saja.
Tanpa ia sadari, Laela mungkin termasuk dalam golongan anak-anak yang takut setan.
Bahkan sangat hafal dengan mitos yang baru saja ia dengarkan itu. Setan akan mengganggu lebih dahsyat di waktu magrib.
Laela menoleh, menatap ke arah sang Pemuda.
Tinggi tubuhnya bagus namun tidak dengan penampilan. Dekil dan b@u, bahkan sejauh ini aroma tubuh pria itu sudah terandus oleh Indra penciumannya. Nggak banget deh, pikirnya.
Namun berbeda dengan sang pria, tak ada jalan lain untuk menyelamatkan garis itu kecuali membawanya menjauh dari Jembatan Kuning itu.
Di mana akan ia tempatkan, nanti saja pikirnya.
Terlanjur mendekati sang gadis. Bagaiman jika ada yang melihatnya? Lalu ternyata gadis itu memilih melompat ia akan menjadi saksi atau tersangka utama. Sebab dirinya menjadi orang yang terakhir kali bersama sang gadis.
"Ayo!" Membalikkan badan, siap untuk pergi.
Sang gadis kembali meluruskan kepala setelah meliriknya hanya sekilas. Tidak berpengaruh ternyata.
"Kamu mau ketemu sund3l bolong? Di sini gak ada orang lain selain kita. Aku udah mau pulang mau ikut gak?"
Lagi tak ada respon dari sang gadis.
Ck, batu benar.
Dengan perasaan kesal mulai mengambil alih koper besar sang gadis, berat juga.
Sedikit bingung akan ditaruh di mana tas besar itu. Tak ada tempat lain kecuali di jok belakang. Biarin Gadis itu sempit-sempitan dengan koper besarnya.
Sama kesalnya, Laela akhirnya mengikuti pinta pria itu.
Hari Mulai malam, Ia butuh tempat setidaknya untuk melindungi tubuh dari rasa dingin yang mulai merasuk.
Di belakang, tak hentinya gadis itu menggerutu pelan.
Tangan kiri berguna menahan kopernya agar tak melorot. Tahan kanan perpegangan pada motor agar tubuhnya yang tak melorot.
Sesekali bergerak pelan, tempat duduk yang ia dapatkan hanya bisa menampung bokongnya sebagian. Ck, sempit sekali.
Belum lagi harus menahan napas.
Aroma tubuh dengan sedekat ini semakin tercium. Bukan bau keringat, tapi, ...?
Sesekali menghadap ke belakang demi menghirup udara sebanyak-banyaknya.
Harusnya iya tak berjalan ke arah sini, daerah pegunungan. Harusnya ke arah sana, di belakang sana jalan menuju ke kota.
Dan di kota, ia akan ditolong oleh seorang CEO tampan.
Seperti mimpi wanita-wanita lainnya yang mendapatkan seorang pria dari kalangan atas, misalnya direktur atau pemilik perusahaan terbesar di kotanya.Laela pun ingin seperti itu.
Dan akan menjadikannya seorang pelayan lebih dulu sebelum mempersunting dirinya menjadi istri kesayangan.
Menggunakan mobil mewah, bukan motor butut seperti yang ia naiki sekarang.
Ah mimpi. mimpi yang sangat indah bukan?
Sebagian dari kalian pasti memimpikan itu juga kan?
Perjalanan tak terlalu panjang hingga mereka masuk ke daerah pemukiman warga.
Pria itu telah menghentikan laju motor di depan sebuah rumah. Sedikit keras saat menjatuhkan koper milik Laela dari motornya.
Sangat berbeda saat ia menurunkan telur-telurnya yang berjumlah 10 rak dan telah diikat menjadi dua bagian.
Huh, pilih kasih sekali.
Di sebelah sana ada motor keren yang terparkir di halaman rumah NMAN. Yakin jika motor besar itu salah satu milik yang punya rumah. Kenapa juga dia harus ditolong dengan motor butut ini?
"Bu, .... Ibu, ....!" Pria itu berteriak memanggil sang ibu dari teras.
yang dipanggil tergopoh-gopoh menghampiri dengan mengusap-ngusap pelan tangan pada sarung batik yang ia gunakan.
"Ini bu, ada cewek nyasar." Ucapnya sedikit menoleh menunjukkan gadis asing yang baru saja ia temui.
" Astagfirullah!" Pelan ibu dengan tangan yang diletakkan di atas dada.
Tak pernah terpikirkan olehnya, Nizam, putra yang ia kenal paling soleh dalam keluarganya. Tak pernah ada cerita miring orang-orang tentang putranya itu. Putra kebanggaan keluarga, yang sempat ia titipkan dalam pondok pesantren guna meniti ilmu agama lebih dalam.
Yang Ibu tahu tentang putranya ini, Nizam tak pernah mau berdekatan dengan wanita yang bukan mahramnya. Kecuali itu dalam keadaan darurat, mengingat pekerjaan putranya itu yang masuk team penyelamat.
Tapi kini, Putra kebanggaannya itu membawa seorang wanita yang ia pun tak tahu siapa.
"Siapa?" Dengan berbisik pelan setelah menahan pergelangan tangan Sang putra.
Tetap menjaga perasaan tamunya.
"Nggak tahu Bu, tadi ketemu di jembatan kayaknya mau bunuh diri." Nizam turut berbisik, sebelum bergegas ke dalam. sepertinya pria itu sedang tergesa-gesa. urusan Gadis itu ia serahkan pada ibu.
"Astagfirullaaah."
"Ayo masuk Nak!" Ajak ibu pada tamunya yang berdiam diri di depan pintu rumah.
Cantik, dengan baju yang menurutnya turut menampilkan kemampuan finansial gadis ini.
Laela masih terdiam, ragu untuk melangkah. Ibu menarik tangannya membawa ke dalam ruang tamu, tahu jika tamunya ini pasti sungkan.
"Namanya siapa?" Mulai sesi perkenalan.
"Laela bu." Jawab Laela dengan lirih, pandangan menunduk masih malu.
Ia sempat menebak percakapan singkat antara ibu dan pria tadi. Inginnya tadi hendak protes jika ia tak ada niat untuk bunuh diri di jembatan itu hanya menikmati pemandangan arus sungai saja. Namun keberanian untuk berucappun tak ada.
Tempat ini asing buatnya, pun dengan orang-orangnya. Ia tak tahu apalagi yang akan terjadi setelah ini.
Sementara ibu hanya mangut-mangut, tangan masih mengenggam tangan sang gadis.
Tak berapa lama, seorang pria keluar dari dalam rumah dengan berlari kecil menandakan Iya tergesa-gesa. Tangan masih sibuk mengancing baju kokonya. Sarung tenun terlilit di pinggang lengkap dengan peci hitam, semakin menampilkan aura ketampanannya.
"Bu Nizam pergi." Tutur kata pun turut tergesa.
Eh tunggu dulu, pria itu seperti pria yang tadi menolongnya di jembatan. Tapi mengapa terlihat jauh berbeda.
Pria yang baru saja lewat terlihat lebih tampan daripada pria yang dekil itu.
Apakah mereka kembar?
Laela melongok dengan pemikirannya sendiri.
"Ya udah, kita juga magrib-an dulu ya. sambil tunggu Nizam." Tepukan di punggung tangan menyadarkan Laela dari ilusinya.
Nizam. Nizam. Nizam
Nama Pria tadi adalah Nizam.
Tapi pria yang mana?
Pria yang dekil? Atau pria yang tampan?
Mengikuti segala instruksi ibu, sang pemilik rumah. Magrib hanya berdua di rumah ini. Kembali duduk ke ruang tamu, ya katanya menunggu si Nizam tadi.
Hingga pintu rumah terbuka perlahan, menampilkan pria tampan tadi. Pria yang menggunakan baju koko sarung dan peci. Ini kan yang namanya Nizam?
Disusul pria paruh baya di belakangnya.
"Silakan masuk Pak!" Pria yang namnya Nizam itu mempersilahkan pria di belakangnya untuk masuk.
Laela menegakkan tubuh, anggaplah ia tengah menyambut orang-orang ini.
"Silakan duduk pak RT!" Ucap Nizam lagi.
"Terima kasih, terima kasih!" Yang disebut Pak RT duduk dengan tersenyum.
Tapi masih ada pria paruh baya yang lain yang turut bergabung dengan mereka di ruang tamu.
H. Muhidin, pria paruh baya yang dijadikan imam di kampung mereka.
Laela kini bingung hendak ke mana, saat di ruangan ini hanya ada ia sendiri yang perempuan.
"Oh ini yang nak Nizam bicarakan?" Pandangan Pak RT kini mengarah padanya masih dengan senyum di wajah.
Laela menatap satu persatu anggota forum dadakan itu. Ia menikmati satu wajah saja, wajah Nizam, namun kebingungan turut melanda hati. Apa yang Nizam bicarakan tentang dirinya pada orang-orang ini?
"Jadi kenapa, Nak?" Pertanyaan itu khusus untuk Laela yang masih dilontarkan dengan raut wajah yang tersenyum. Pak rt-nya Ramah banget. " Adek Alamatnya di mana?"
Adik-adik? Adik kepalamu. Laela memberanggut, ia lebih cocok menjadi anak daripada adik Pak RT dari pada adik.
Dan rasanya sapaan itu terdengar menggelikan di telinga Laela.
Laela tak menjawab, lebih memilih menundukkan wajah saat Pak RT masih memandangnya dengan senyuman, padahal tak ada niat apapun dari pria paruh baya itu. Hanya menunjukkan sifat ramah pada tamu yang berkunjung ke daerahnya. Laela saja yang terlalu merasa.
" Nama kamu siapa? Kita kan memang belum kenalan!" Pria yang katanya memiliki nama Nizam itu ternyata lebih ramah.
"Laela." Ucapnya lagi menunduk, nyalinya benar-benar terasa ciut berada dalam situasi ini.
Hingga akhirnya ibu datang dengan nampan di tangan.
Ah lega rasanya, setidaknya ada yang menemaninya, sesama perempuan.
"Alamat kamu di mana?" Kembali Nizam melontarkan tanya. Keyakinan masih besar jika gadis ini berasal dari kota, itu yang dia nilai dari penampilan.
Gadis itu menunduk, tak hendak menjawab. Karena memang ia tak ingin pulang ke rumahnya saat ini. Mereka menanyakan alamat pasti ingin mengantarkannya pulang.
" Siapa tahu keluargamu nyariin." Lanjut Nizam.
"Stttt,..." Tepukan ringan menyentuh tangan Nizam, menghentikan introgasi pria itu.
"Jadi gimana Pak RT?" Pria yang tadi menepuk tangan Nizam.
"Ya kita tanya dia dulu maunya bagaimana?" Pak RT.
"Kamu maunya gimana. Ini sudah malam, kamu juga nggak mau ngomong apa-apa." Nizam, meski telah berupaya menyembunyikan kekesalannya namun masih sedikit nampak saja. Kesal karena gadis itu terus diam meski dihujani pertanyaan.
Ia sengaja memberi tahu pada Pak RT dan imam kampungnya. Tak ingin jika fitnah terjadi karena ia membawa seorang gadis ke rumahnya malam-malam.
Juga hendak meminta saran gadis itu akan ditampung di mana malam ini.
"Ya udah nggak apa-apa," Ibu. "
Pak RT, saya mohon izin, biar tamu saya ini nginap semalam di rumah saya." Spekulasi negatif pada gadis ini telah tergambar di otak sang ibu. Tak ingin terjadi apa-apa, gadis ini terlihat tak ingin pulang ke rumahnya. Nampak dengan tak inginnya Ia membahas tentang rumah.
"Nggak bisa gitu Bu!" pria yang bernama Nizam.
"Aku sama dia bukan mahram, nggak bisa seatap." Lanjutnya.
" Ya udah nggak apa-apa," Ibu. " Pak RT, saya mohon izin, biar tamu saya ini nginap semalam di rumah saya." Spekulasi negatif pada gadis ini telah tergambar di otak sang ibu. Tak ingin terjadi apa-apa, gadis ini terlihat tak ingin pulang ke rumahnya. Nampak dengan tak inginnya Iya membahas tentang rumah.
"Nggak bisa gitu Bu!" Pria yang bernama Nizam.
"Aku sama dia bukan mahram, nggak bisa seatap." Lanjutnya.
Cih, sok suci.
Seatap belum tentu sekamar. Memangnya mau ngapain?
Laela memberenggut, melirik Nizam dengan pandangan kesalnya.
"Lalu mau bagaimana? Ini udah malam, dia juga nggak mau pulang. Mungkin ingin menenangkan diri dulu. Nggak pa-pa yah cuma semalam ini saja." Pinta sang Ibu lembut, merasa tak enak dengan tamunya.
"Ayo ayo istirahat dulu," Tangannya langsung meraih tangan Laela guna dibawa masuk ke rumah.
Mengidahkan pangangn para pria yang sebenarnya masih ingin bermusyawarah. Ibu mengambil keputusan sendiri.
Menempatkan Laela di sebuah kamar milik Salsabilla, sang anak bontot yang yang kini menjalani pendidikan di pondok pesantren, mengikuti jejak sang kakak, Nizam.
Memastikan Laela beristirahat dengan tenang. Kemudian kembali ke ruang tamu ingin berbicara dengan yang lain tanpa melibatkan sang tamu.
"Ibu takut dia mencoba bunuh diri lagi! Masalah gadis itu kita bahas besok saja." Alasan yang Ibu ucapkan pada mereka yang ikut sidang tanpa Laela.
Yang lain setuju, termasuk Bapak dan Pak RT kecuali Nizam tentunya. Mendapatkan keputusan akhir yang seperti itu, mau bagaimana lagi. Forum malam itupun berakhir begitu saja.
Nizam berjalan menuju kamar milik adik bungsunya. Ia telah diberi tahu jika di dalam sana ada gadis asing itu, Laela.
"Makan!" Ucapnya singkat setelah mengetuk pintu kamar. Tak ada sahutan dari dalam.
Laela tengah tenggelam dalam pikirannya, besok akan ke mana lagi? Malam ini ia beruntung, bertemu dengan keluarga yang baik hati menolongnya tanpa pamrih.
"Ditungguin Ibu, makan malam." Suara teriak dibalik pintu, lengkap dengan ketukan yang hampir mirip dengan gedoran pintu.
Berjalan lunglai membuka pintu, di hadapannya telah berdiri seorang pria yang masih berpakaian sama Koko dan sarung. Masih ganteng, parfumnya pun masih tercium. Eemmm, wangi.
Mengikuti arah langkah Nizam menuju ke ruang makan.
Di sana hanya ada mereka berempat, ibu dengan seorang pria pendiam yang ditaksirnya adalah suami ibu. Nizam dan dirinya.
Pertanyaannya saat ini, ke mana pria yang tadi sore menolongnya. Apakah pria itu sama dengan pria yang berada sekarang? Suaranya memang sama, namun penampilan jelas beda.
Laela membantu ibu membereskan bekas makan mereka,
"Udah biar Ibu aja, Kamu pasti capek!" Ibu menghentikan tangan Laela yang hendak mencuci piring.
"Nggak papa Bu, cuma sedikit bantu-bantu." Dengan senyum sungkan. Ia telah ditampung di rumah ini, setidaknya membantu mencuci piring sebagai ucapan terima kasih.
"Udah nggak apa-apa, ke kamar aja. Ibu bisa marah juga loh!" Ancaman yang terdengar lucu hadir dari wajah teduh itu.
"Nggak papa Bu?" Laela kembali bertanya memastikan.
" Iya nggak papa, Cepetan ah!" Ibu.
"Aku ke kamar ya Bu!" Mesti masih sungkan,Laela akhirnya pergi dari sana.
"Bu, Gadis itu hanya bisa tinggal malam ini saja ya." Entah Nizam sedang bernegosiasi atau sedang mengambil keputusan. Terdengar lembut namun tegas, Ibu hanya mengangguk menyetujui.
Nizam kembali melangkah ke kamar setelah menyiapkan air putih sebelum masuk ke kamar.
Entah siapa yang salah, Nizam yang selalu jalan tergesa-gesa atau Laela yang berjalan sambil menunduk.
Tubuh keduanaya saling bertubrukan tepat di depan kamar sang adik yang kini ditempati Laela.
Membuat keseimbangan tubuh hilang hingga terjatuh.
Bug.
Mendarat nan indah dengan Nizam yang menimpa tubuh Laela.
Gelas masih berada dalam pegangan Nizam, meski isinya telah tumpah terlebih dahulu membasahi sarungnya.
Bibirnya sempat mendarat di pelipis Laela, halus dan lembut kulit Gadis itu ia rasakan.
Mata sama-sama membola saat pandangan mereka bertemu. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Terkejut pasti.
"Kak berat." Laela masih mampu berbicara meski dengan nafas yang setengah terpotong. Tubuh Nizam yang tinggi dan tegap lumayan berat menimpa tubuhnya.
Dengan menggerutu pelan, Nizam bangkit meninggalkan tubuh Laela.
Membuka lilitan sarung, kemudian menggemas-ngibas berharap bisa sedikit mengeringkan sarung yang basah karena tumpahan air minumnya.
"Kamu tahu kenapa perempuan dan laki-laki yang bukan mahram tidak diperbolehkan berada dalam satu ruang?" Pertanyaan tegas dan sedikit keras dari Nizam sedikit menyentil bagi Laela. Gadis itu hanya tertunduk, merasa Terusir dari rumah ini.
"Agar tidak menimbulkan fitnah, dan juga tidak terjadi hal yang seperti tadi." Nizam masih dengan suara tegasnya, kembali berjalan ke dapur meninggalkan Laela dan bibir yang mengerucut.
Kumandang azan, mendayu memecah sunyi. Selang seling sahutan ayam, menyambut fajar diufuk timur.
Laela masih sangat mengantuk, saat pintu kamar beberapa kali diketuk dari luar, bersamaan dengan suara yang menyapa.
Dengan mata memicing, memandang jam berkarakter Doraemon yang menempel di dinding. Cahaya lampu dari luar telah mengintip ke kamar.
Di luar kamar, suasana telah riuh dadahal baru pukul setengah lima subuh, masih jauh dari jam bangunnya.
"Salat subuh dulu!" Suara lembut wanita itu serasa membangunkannya dengan paksa.
Laela bergerak keluar, riuh itu membuatnya penasaran.
Rumah telah terang benderang, semua lampu kembali dinyalakan. Mata pun terbuka secara sempurna. Langkahnya menuju kamar mandi belakang terhenti saat derap langkah terdengar setelah pintu tertutup.
Berbalik, menatap Nizam yang lagi berpenampilan sama seperti semalam, baju koko, sarung dan peci, wangi parfum kembali menusuk hidungnya. Disusul suami ibu, mungkin mereka baru saja dari masjid.
"Shalat subuh dulu!" Ucapan Ibu kembali menyadarkannya, kembali melangkah ke arah tujuan sebelumnya.
Jujur ia tak pernah bangun sepagi ini. Subuhnya setengah enam hingga menjelang pukul enam, itupun bangun cepat karena takut terlambat ke sekolah.
Kembali melangkah keluar setelah menjalankan salat subuhnya. "Essst, Dingin!" Setengah menggigil gadis itu meninggalkan kamar mandi.
"Sini kita sarapan bareng!" Ibu ramah dengan senyumannya.
Mengedarkan pandangan hingga mendapatkan benda penunjuk waktu. Masih pukul 05.00, terlalu cepat untuk sarapan. Lalu setelah ini apa?
Di meja makan hanya ada Nizam dan ibu. Minus suami ibu, yang sebenarnya telah berangkat ke perkebunan, memanen sawi, kembang kol dan selada, sambil menunggu sang pembeli.
Pandangannya tertuju pada Nizam, pria itu kini berpenampilan seperti kemarin magrib saat pertemuan pertama mereka di jembatan.
Baju kaos lusuh dengan celana di bawah lutut yang juga hampir lusuh.
Fix, pria yang menolongnya kemarin adalah Nizam. Pria sama yang menggunakan baju Koko dan sarung dengan wangi tubuh semerbak. Sama dengan pria yang ia puji ganteng dan harum semalam.
Masih tak ada percakapan dirinya dengan Nizam. Sama kaku dan dingin.
"Aku pergi!" Ucap Nizam sembari melangkahkan kaki keluar rumah, dan pastinya dengan langkah yang terburu.
Di sini Ia bersama ibu membersihkan meja makan, cuci piring dilanjutkan dengan membantu ibu membersihkan rumah. Sadar diri, di sini ia menumpang setidaknya harus membantu yang punya rumah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!