Udara sudah mulai mendingin karena sebentar lagi akan memasuki musim gugur. Aku masih setia ke toko buku setiap seminggu sekali sejak menjejak kaki di negara ini. Dengan bahasa yang jauh dari sempurna, aku memilih untuk tidak banyak bertanya pada karyawan toko buku saat mencari buku yang kumau dan berusaha mencari sendiri.
Ponsel di saku celana bergetar tanda ada panggilan telepon masuk dan tulisan MAMA terpampang penuh di layar. Secepat yang aku bisa, aku berjalan menuju ke arah tangga dan bermaksud untuk turun. Bukan apa-apa, aku berada di lantai tiga di mana banyak pengunjung datang dan membaca buku di tempat yang sudah disediakan. Tanpa peraturan tertulis pun aku tau, tidak diperbolehkan untuk berisik di sini.
"Watashi o yurushite ( maafkan saya )," ucapku terbata disela-sela nafas yang terengah dengan sedikit membungkukkan badan tepat di depan anak tangga setelah turun ke lantai dua.
"Rikai shimasu ( tidak apa-apa, aku mengerti )," ucapnya tersenyum. Matanya terlindungi sebuah kacamata hitam yang cukup keren menurutku, namun aku bisa menangkap bayangan dua bola matanya menatap lekat. Aku kembali membungkuk dan bergegas pergi dari hadapannya.
Panggilan telepon dari mama ini membuatku terburu-buru keluar dari toko buku Kinokuniya yang terletak di kawasan Shinjuku hingga menabrak pemuda tadi. "Ya Ma?" ucapku pelan.
"Lagi di mana Dek? Kok rame banget?"
"Di toko buku tadinya, sekarang udah di luar sih. Kenapa Ma?" tanyaku.
" Ngga, cuma mau ngecek aja Adek lagi ngapain. Ya udah kalau gitu, lanjutin cari bukunya gih."
Mama langsung mematikan sambungan tanpa menunggu ucapan balasan dariku. Dengan malas, aku kembali memasukkan ponsel ke saku celana dan berjalan pelan ke arah stasiun. Keinginan untuk membaca hilanglah sudah.
Shinjuku adalah salah satu distrik yang terletak di Tokyo, Jepang. Kawasan ini merupakan pusat perniagaan dan pemerintahan sekaligus lokasi salah satu stasiun pergantian ( interchange ) transportasi terbesar di Tokyo.
Tidak mungkin tanpa alasan aku bisa berdiri di tanah Negeri Matahari Terbit ini. Semua berawal dari sebulan yang lalu.
***
"Maafin Mama sama Papa ya, Dek? Kami sama sekali ngga bermaksud untuk membuang kamu. Mudah-mudahan Adek ngerti ya?" ucap Papa lirih.
Aku sekuat tenaga menahan jatuhnya air mata. Bukan malu karena sebesar ini masih menangis, tapi karena aku tidak mau mereka merasa semakin bersalah melihatku menangis.
"Kalau Adek udah siap, kasih tau Papa ya? Biar nanti Papa urus semuanya ...." Suara Papa yang tercekat membuatku menatap beliau dan berusaha tersenyum.
"Pa, Ma. Adek ngerti kok. Adek ngga apa-apa. Papa sama Mama fokus aja sama pernikahan kakak. Paling cepat, minggu depan Adek berangkat," kataku pelan.
Kakakku akan menikah. Ia dan suaminya akan tinggal di rumah ini selepas mereka resmi menjadi sepasang suami istri. Ia, mama dan papa sepakat memintaku keluar dari rumah. Secara pribadi, aku sama sekali tidak merasa keberatan. Aku bisa pindah ke kota lain dan memulai hidup baru entah di mana.
Namun ternyata, kakak memiliki rencana lain. Ia meminta papa dan mama mengirimku ke luar negeri. Jauh dari kota ini, bahkan jauh dari negara ini. Setakut itukah kakak pada kehadiranku? Takutkah ia jika aku masih tinggal dalam satu negara dengannya? Padahal, aku sudah merelakan kekasihku, ah mantan kekasihku tepatnya yang sudah menjalin hubungan denganku selama tiga tahun untuk menjadi suaminya. Yang lebih menyakitkan, aku merasa jika aku di buang dan aku tidak bisa menolak ataupun membantah. Aku cukup tau diri dengan statusku yang hanya seorang anak angkat.
***
Suara pekikan terdengar dari kerumunan para gadis yang berada tidak jauh di depanku. Hampir dua bulan tinggal di sini membuatku yakin jika ada orang terkenal yang membuat mereka memekik histeris. Membayangkan keadaan apartemenku yang sepi membuatku berniat membu*nuh waktu dan aku melangkah mendekati kerumunan.
Pandanganku terpaku pada satu sosok yang berjalan paling belakang. Kepalanya menengok dan tatapan mata kami bertemu. Aku menatapintens ke arah sepasang mata tanpa kacamata hitam itu yang balas menatapku dengan lekat. Beberapa saat berlalu saat sosoknya yang dilindungi oleh pengawal memasuki sebuah van hitam mewah. Satu detik, dua detik, aku masih terpaku. Aku tersentak. Ia pemuda yang kutabrak di toko buku!
"Taka!" teriak histeris para gadis ketika van hitam tersebut mulai melaju menjauh.
Aku menggosok-gosokkan kedua telapak tangan yang dingin, menunggu penghangat ruangan yang baru saja kunyalakan bekerja. Mataku nanar menatap dinding apartemen dan sembari menghembuskan nafas panjang, kakiku berjalan menuju meja di mana terdapat teko air listrik dan menekan tanda ON. Sambil menunggu air mendidih, aku merebahkan diri di sofa panjang dan menutup mata sejenak. Otakku mulai berpikir kegiatan apa yang selanjutnya akan kulakukan. Hidup menganggur seperti ini membuat waktu berjalan amat lambat dan kebosanan mulai melingkupiku. Mengesalkan!
***
Ting!
Ponselku berdenting dan aku memilih mengabaikannya. Tanpa melihat, aku tau jika itu pasti pesan dari kakak dari nada dering yang khusus kusetel untuknya.
Ingatanku kembali memutar memori saat di bandara tepat sebelum berangkat. Saat itu hanya mama yang bisa mengantarku, papa sedang keluar kota dan kakak? Seperti biasa, sibuk dengan persiapan pernikahan.
"Menghilanglah ...."
Deg! Aku tertegun mendengar ucapan mama.
"Mama mohon, menghilanglah dari kehidupan kami. Jika Mama tau akan ada hari ini, mungkin Mama tidak akan pernah mengadopsimu, Dek. Tolong menghilanglah dari kehidupan kami."
Tenggorokan yang tercekat dan wajah yang memanas membuatku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku hanya mengangguk dan berbalik meninggalkan mama yang masih berdiri.
Ucapan mama tidak main-main. Beliau mentransfer uang yang sangat banyak setibanya aku di Tokyo. Uang yang sangat banyak, sehingga sampai ma*ti pun belum tentu bisa kuhabiskan. Apa aku senang? Tidak! Perbuatan mama itu semakin meyakinkanku jika mereka yang selama ini kuanggap keluarga, benar-benar telah membuangku.
***
Aku diadopsi saat kelas empat sekolah dasar. Alasan yang kudengar adalah, mama tidak bisa memiliki anak lagi karena masalah kesehatan yang beliau derita. Tapi pada kenyataannya, aku hadir tidak lebih hanya sebagai asisten pribadi kakak. Kakak lebih tua tiga tahun dariku. Dari awal aku hadir di rumah mereka, perlakuan kakak sangat baik. Terlalu baik sehingga membuatku tidak tega untuk menolak semua permintaannya. Salah satunya melepaskan Putra, teman masa kecil kami yang selama tiga tahun menjalin hubungan kasih secara diam-diam denganku. Entah ia tau atau tidak, sama saja. Tidak ada pengaruhnya. Kakak bisa dengan terus terang mengatakan keinginannya dan seperti biasa, menuntut aku untuk mengalah.
***
[Kamu ke mana, Dek?]
[Kenapa pesan kakak ngga dibalas?]
[Dek, kamu baik-baik aja?]
Dengan malas yang teramat sangat, aku mengetik balasan.
[Baru sampai di apartemen, Kak. Habis keluar nyari buku sama nyari makan]
[Ok] Tanpa ku duga, kakak ternyata sedang online dan langsung membalas pesanku.
Kakak memang sering mengirimkan pesan untukku, entah ia khawatir atau hanya ingin pamer. Sesekali tanpa memikirkan perasaanku, ia mengirim foto persiapan pernikahannya dengan Putra. Ini membuatku terganggu dan berniat untuk mengganti nomor ponsel. Jika mereka membuangku, aku sepatutnya tau diri untuk tidak akan pernah lagi berhubungan dengan mereka.
***
Mendapatkan simcard seluler di Jepang tidak semudah seperti di Indonesia. Untuk mendapatkan simcard di sini ada tiga cara yang bisa digunakan oleh pendatang.
Salah satunya, harus membuat kontrak dengan provider selular besar. Simcard ( dengan layanan pulsa dan kuota ) dijual satu paket beserta ponselnya. Sayangnya, opsi ini dikenakan biaya bulanan yang cukup mahal serta adanya biaya penalti jika membatalkan kontrak sebelum dua tahun.
Ada juga pilihan simcard murah dengan layanan masing-masing. Entah itu khusus untuk internet saja, khusus untuk berkirim pesan saja serta khusus untuk panggilan telepon saja. Biaya yang dikeluarkan tiap bulan juga cenderung rendah. Sayangnya, ponsel yang bisa menggunakan simcard ini harus bertanda 𝙏𝙚𝙘𝙝𝙣𝙞𝙘𝙖𝙡 𝘾𝙤𝙣𝙛𝙤𝙧𝙢𝙞𝙩𝙮 𝙈𝙖𝙧𝙠 dan besar kemungkinan, ponsel yang di beli di luar Jepang tidak memiliki tanda ini.
Opsi terakhir adalah dengan membeli ponsel unlock murah yang juga sudah menjadi satu dengan simcard. Pada dasarnya, ponsel terbagi menjadi dua. Factory Unlock ( FU ) yang berarti bisa digunakan dengan kartu apapun, dan Software Unlock yang hanya bisa digunakan dengan satu kartu. Ponsel FU memiliki harga yanh lebih mahal daripada ponsel SU karena kelebihannya yang bisa digunakan untuk berganti simcard murah sesuai layanan yang dibutuhkan.
Karena tidak ingin pusing, aku berniat memilih opsi pertama. Walaupun mahal, tidak masalah. Toh aku memiliki banyak uang. Daripada menyesali diri sendiri dan bersedih terus-terusan, lebih baik jika bersenang-senang dengan apa yang kupunya sekarang.
***
Aku mampir ke toko buku favoritku setelah mendapatkan ponsel berikut simcard baru.
Saat sedang membaca sekilas buku yang terlihat menarik, seseorang menyenggol bahuku dari belakang dan membuatku maju menabrak rak buku. Buku yang kupegang ikut terjatuh.
"Suimasen, ukkari butsukatte shimaimashita. Anata wa daijōbu? ( maaf, saya tidak sengaja menabrak anda. Anda tidak apa-apa?)."
Aku mengangguk pelan dengan posisi masih menunduk setelah memungut buku di lantai, "O kake-sa made genkidesu ( saya baik-baik saja, terima kasih )," jawabku lirih.
Sosok itu kembali mengatakan maaf dengan membungkukkan tubuhnya kemudian berlalu pergi membelakangiku saat aku mengangkat wajah. Apa yang kulihat membuatku tertegun kemudian. Punggung yang terlihat berjalan menjauh itu mengingatkanku akan Putra.
***
"Taka!" teriakan seorang gadis diikuti dengan suara langkah kaki yang terdengar banyak membuatku tersentak dan melirik ke samping.
'Kaya pernah denger nama itu, tapi di mana ya?' tanyaku dalam hati.
Aku berusaha mengabaikan keributan kecil yang terjadi, saat seseorang berlari ke arahku. Walaupun tertutup masker, aku bisa mengenali mata berwarna coklat terang itu. Ah, mata yang sama rupanya. Ada desir hangat yang timbul karena terus menatap mata tersebut dan tidak bisa kuartikan.
Setelah pulang dari toko buku, kegiatan selanjutnya yang kulakukan adalah memasak bahan-bahan terakhir yang ada di kulkas. Aku memang sengaja tidak sekalian membeli bahan makanan yang menipis karena berencana pindah dari apartemen ini. Kemarin, tepat sebelum mengganti nomor ponsel sekaligus ponselnya, aku sudah menghapus semua akun sosial media milikku.
Apartemen ini milik kakak saat ia harus tinggal selama beberapa waktu di Shinjuku untuk menempuh pendidikan. Tekatku sudah bulat, aku akan benar-benar menghilang dari keluargaku, tepat seperti yang mereka inginkan.
***
Dengan berbagai pertimbangan yang cukup sulit —karena tidak ada teman tempat bertanya—, aku memutuskan untuk mendatangi sebuah apartemen di pusat kota Tokyo, tepatnya tidak jauh dari Stasiun Tokyo dengan menggunakan taksi. Walaupun dari segi harga ongkos taksi jauh lebih mahal, tapi transportasi ini memberikan jaminan untuk sampai ke tujuan dengan tepat tanpa tersesat.
Para penduduk dan pendatang yang sudah agak lama tinggal di sini kebanyakan memang menggunakan kereta api sebagai transportasi utama keseharian. Sekali waktu, aku pernah iseng mencoba datang ke stasiun dengan niat pergi ke Shibuya dan harus kembali pulang —sebelum benar-benar pergi ke sana— dengan kepala yang berdenyut karena kebingungan akan banyaknya rute, peron serta perusahaan penyedia layanan kereta api.
Jika di Indonesia perkeretaapian dipegang oleh KAI beda lagi dengan di Jepang. Di sini, perkeretaapian dipegang oleh beberapa perusahaan transportasi sekaligus. Jika belum memiliki cukup keberanian, sebaiknya tidak nekat mencoba untuk menggunakan transportasi ini. Selain berpotensi besar tersesat ke tempat lain, keterbatasan petugas stasiun —terutama yang sudah berumur— dalam memahami bahasa lain selain bahasa Jepang mendatangkan kesulitan baru jika ada pendatang yang bertanya tentang seputar rute kereta dengan menggunakan bahasa Inggris.
***
Aku kembali dari mengunjungi apartemen yang akan menjadi tempat tinggalku dengan perasaan puas. Pengurus apartemen adalah orang yang cukup fasih berbahasa Inggris. Ia dengan sangat jelas menerangkan tentang fasilitas sampai biaya yang harus aku keluarkan untuk menempati sebuah unit di lantai tiga. Setelah membereskan semua urusan administrasi, aku kembali ke Shinjuku dengan menggunakan kereta api karena pengurus apartemen tersebut juga menjelaskan bagaimana cara untuk sampai ke Shinjuku dengan menggunakan kereta api cepat. Ini adalah perjalanan perdanaku dengan kereta api.
***
Entah karena kebiasaan atau sedang melamun, kakiku melangkah pelan memasuki toko buku tanpa kusadari sekeluarnya dari stasiun. Tidak apa-apa, hitung-hitung sebagai kunjungan terakhirku di sini. Dengan gontai aku menuju ke arah lantai tiga, di mana terdapat banyak buku yang bisa kubaca secara gratis.
"Mohon maaf, sepertinya anda tidak membaca tulisan di pintu masuk. Hari ini toko sedang tidak bisa dikunjungi karena digunakan untuk keperluan syuting," sapa seorang karyawan toko buku yang sudah sering bertemu denganku.
"Baiklah kalau begitu, maafkan saya yang tidak membaca pengumuman," balasku tersenyum mengerti.
'Ya gimana mau baca, ngerti juga ngga,' ucapku dalam hati.
"Tunggu!"
Suara seseorang memasuki indera pendengaranku beberapa saat setelah aku berbalik menuju tangga untuk turun. Aku kembali berbalik dan melihat pria tinggi dengan rambut pirang seleher berdiri menghadapku.
"Anda pasti pelajar ya? Kurasa tidak masalah jika anda berada di sini untuk beberapa saat. Kami sedang rehat sejenak. Carilah apa yang anda butuhkan asal tidak menimbulkan kegaduhan."
Tadinya aku akan menolak tapi entah kenapa rasa penasaran malah membuatku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
'Jarang-jarang bisa masuk ke lokasi syuting artis Jepang,' pikirku.
***
Sesekali aku mencuri pandang ke arah sekumpulan orang-orang yang sedang membahas sesuatu. Setelah menemukan buku dalam bahasa Inggris yang membuatku tertarik, aku menuju ke tempat membaca di sudut ruangan.
Konsentrasiku terpecah saat beberapa orang mulai menempati posisi tertentu dan bersiap merekam. Jangan bayangkan kamera besar dengan banyak kabel yang berserak. Kamera yang digunakan untuk merekam berasal dari jenis 𝙢𝙞𝙧𝙧𝙤𝙧𝙡𝙚𝙨𝙨 dan memiliki fitur diatas rata-rata. Aku bisa mengenalinya dari strap kamera yang bertuliskan 𝘾𝘼𝙉𝙊𝙉 𝙀𝙊𝙎 𝙍.
Suara instrumen akustik mengalun dan sejenak membuatku terpana. Keinginan membaca pupuslah sudah, aku lebih tertarik menikmati tontonan di hadapanku. Selama setengah jam, aku menikmati pertunjukan dengan iringan lagu berbahasa Inggris - Jepang yang tidak terlalu kumengerti karena dinyanyikan secara cepat.
Saat melihat rombongan syuting menyudahi kegiatan mereka dan mulai mengemas beberapa peralatan, aku pun bangkit berdiri untuk mengembalikan buku.
***
"Kon'nichiwa, mata aimashō ( hai, kita bertemu lagi )," sapa seseorang dari balik punggung membuatku membalikkan badan saat sedang menaruh buku di rak.
Mataku terbelalak menatap sosok itu. "Kon'nichiwa, genkidesuka? ( hai, apa kabar? )," tanyaku terbata. Sosok di depanku hanya tersenyum dan mengangguk.
"Maaf sudah mengganggu, kami sedang syuting untuk keperluan video klip," ia berkata lagi dengan menggunakan bahasa Inggris. Rupanya, ia menyadari jika kemampuan bahasa Jepangku kacau sekali.
"Sama sekali tidak mengganggu, saya justru merasa senang bisa melihat syuting di depan mata langsung," jawabku cepat.
"Kamu pelajar?" tanyanya
"Bukan, karena suatu hal saya terdampar di negara ini." Mata coklat yang menatap lekat itu membuatku tanpa sadar tersenyum.
"Baiklah kalau begitu, selamat berlibur di negara kami," sahutnya ramah. "Kamu berasal dari negara mana?"
"Indonesia," jawabku pendek. Keheningan tercipta selama beberapa saat. "Maaf, apakah terdengar tidak sopan jika saya menanyakan namamu?" Lagi-lagi dengan tanpa alasan, kata-kata itu meluncur cepat dari bibirku.
"Hahaha, kenapa kamu bisa bertanya seperti itu?"
"Yang saya dengar, penduduk Jepang menjunjung tinggi sopan santun. Maafkan saya jika terdengar tidak sopan," jelasku.
Ia menggeleng perlahan, "Memang benar jika orang Jepang menjunjung tinggi sopan santun, tapi tidak sekaku itu. Tentu saja kamu boleh memgetahui nama saya. Nama saya Taka." Tanpa diduga pemuda itu menyodorkan tangannya.
"Dan namaku Rinai," aku menyambut uluran tangannya dan mengenggam erat. Ada rasa hangat yang perlahan merambat.
"Rinnai?" tanyanya berkerut ketika genggaman tangan kami sudah terlepas.
Sudah kuduga, pemuda itu pasti mengira namaku sama seperti nama sebuah perusahaan di Jepang yang memproduksi kompor gas.
"Bukan. Rinai, dari rinai hujan," jelasku.
"Ah, hujan!" serunya mengerti. "Senang berkenalan denganmu Rinai-chan."
"Senang juga berkenalan denganmu, Taka-chan." Kami tersenyum dan keheningan yang kembali tercipta selama sesaat membuat otakku lumpuh. Di satu sisi, aku ingin terus berbicara dengannya, tapi di sisi lain aku bingung mencari topik pembicaraan.
"Taka!" Pria berambut pirang yang mengijinkanku masuk ke toko buku ini memanggil.
Seolah mengerti, Taka mengangguk pelan dan kembali menghadapku. "Saya harus pergi sekarang. Semoga kita bisa ketemu lagi ya?"
"Sampai jumpa lagi, Taka-chan," aku mengangguk tersenyum. Ada rasa aneh saat melihat sosoknya berjalan menjauh. Dengan menghembuskan nafas panjang, aku berjalan menuju tangga bermaksud untuk pulang ke apartemen.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!