NovelToon NovelToon

Bukan Cinderella Biasa

Bab 1

Indah, memang tepat untuk pemandangan di depan sana. Itu memang benar, tapi mungkin hati dan pikiranku yang saat ini sedang kosong hingga tak bisa menikmati keindahan itu.

Kuhela napas saat sebuah lenguhan terdengar dari arah belakang. Joan Alexander, pengusaha muda pemilik tubuh ini.

Terkejut? Santai, seperti inilah hidupku. Menjual tubuh demi segepok uang untuk memenuhi perut kami.

Tragis? Mungkin, apa aku menikmati? Tentu saja, ada kemewahan yang dulu mungkin tak pernah aku bayangkan.

Mengendarai mobil mewah, mengenakan pakaian, tas bahkan sampai pakaian dalamku pun harganya fantastis.

Bangga? Hei itu hanya simbol penutup segala kebusukan kelakuanku.

Ha ... Ha ... Jangan iri, ada harga yang harusku bayar untuk mendapatkan semua itu.

Cacian salah satunya. Perempuan malam dan wanita murahan itu salah satu panggilanku, jika kalian paham pekerjaanku.

Meski begitu bolehkan aku membela diri sedikit, tak kujual tubuh ini ke semua lelaki hidung belang, hanya dia ... Joan Alexander satu-satunya pria yang pertama mencicipi diri ini hingga sekarang.

Bolehkan aku berbangga hati jika aku wanita penghibur yang terhormat?

Aku berbalik, tersenyum, topeng yang harus terus aku pakai saat di hadapannya. Tuan muda ini tidak suka dengan wajah cemberutku, meski hati tengah dilanda sedih, dia tak akan peduli bagaimana tangisanku.

"Aku butuh uang Beib," rayuku sambil merangkak mendekatinya. Ranjang King Size ini sangat besar jika hanya untuk ditiduri kami berdua.

Namun percayalah, permainan gilanya di ranjang ini, akan membuat keadaan ranjang itu berantakan seperti terkena badai.

Dia melirik tajam? Apa aku terlalu tergesa-gesa ya?

Ah, sudahlah, toh aku memang lacur bukan? Untuk apa berbasa-basi. Dia juga lelaki yang tak suka jika aku berbasa-basi.

Kupeluk tubuhnya, menyandar pada dada bidangnya, nyaman? Tentu saja, sayangnya bukan lelaki ini yang kuinginkan untuk tetap terus bersama hingga rambut ini memutih.

Apa aku masih memiliki harapan untuk masa depan? Sepertinya tidak, masa depanku berhenti ketika umurku tepat dua puluh tahun, menyedihkan bukan?

Ulang tahun yang seharusnya menjadi momen membahagiakan untukku, tapi takdir berkata nestapalah yang harus aku rasakan.

Ya, tepat hari itu pula kurelakan mahkota berhargaku untuk sejumlah uang. Di saat para gadis menjaganya untuk pasangan halal mereka, aku justru menukarnya dengan uang.

Mau bagaimana lagi, hidup tak selamanya indah seperti dongeng di buku cerita, bukan?

Kalian tidak tahu bagaimana aku berusaha bertahan hidup dengan ketakutan dan kemalangan ini.

Beberapa kali mencoba ingin mengakhiri hidup ini, andai aku tak memikirkan kesehatan ayahku. Satu-satunya keluarga yang aku miliki meski dia sering menyakitiku.

Joan, melepaskan pelukanku dan mengecup mesra dahiku. Hemm ... Manis sekali, sayang sekali ini hanya topeng kami.

Tubuh indah itu berdiri meninggalkanku tanpa sehelai benang pun. Berjalan menuju ruang membersihkan diri yang juga sama besar.

Entahlah, orang kaya mungkin suka dengan sesuatu yang serba besar, mewah dan luas mungkin.

Aku memilih tetap merebahkan diri di ranjang, kubuka ponsel yang sejak semalam aku asingkan di nakas.

Beberapa pesan membuatku tersenyum, sedikit kegembiraan di hidupku yang suram ini.

Kuketik balasan pada Dila sahabatku. Tentu saja aku merindukan dia, kami jarang bertemu akhir-akhir ini, semenjak dia sudah memiliki sugar Dady baru.

Kalian pasti tertawa, menganggap orang sepertiku tentu saja circle pertemananku tak jauh dari wanita penghibur lainnya.

Terserah kalian, tapi kami, terutama aku dan Dila, punya masa lalu yang tak pernah kalian bayangkan, jadi baca sajalah.

Satu lagi pesan yang ingin sekali kubuka. Namun ibu jariku mendadak kelu, kugigit bibir bawah untuk meredakan rasa gugup.

Air mata ini sungguh menyebalkan, baru melihat nama itu saja, mataku sudah berembun. Sial, tak bisa di ajak kerja sama. Saat ini aku masih bekerja, dan harus selalu tampak bahagia, bisa kacau segalanya jika aku bersedih.

Gegas kuusap kasar dan kukipas-kipas wajah ini untuk segera mengeringkan air mata.

Aroma maskulin langsung menguar ketika Joan membuka pintu kamar mandi. Wangi sekali, meski bukan kali pertama aku melihat tubuh indah itu, tetap saja pemandangan di depan mata ini selalu membuatku terdiam.

Perut yang tercetak sempurna di sertai dengan otot lengan yang aku yakin dia selalu menjaganya dengan rajin berolah raga.

Belum lagi wajah rupawan idaman kaum hawa di luaran sana dan jangan lupakan tatapan mata tajamnya. Lelaki itu tersenyum miring saat tahu aku menatapnya buas.

"Udah puas?" ledeknya.

Dilemparnya handuk kecil yang sedari tadi digunakannya untuk mengeringkan rambut ke arahku.

Sial! Andai aku bisa mengumpatnya, sayangnya aku hanya bisa tersenyum bodoh saat ini dan melakukan apa keinginannya.

Apalagi jika buka menggosok rambutnya. Menatap punggung lebar itu yang selalu mengungkungku di bawah kendalinya saat kami berbagi peluh benar-benar membuat buyar pikiranku.

Dasar murahan.

"Tiga hari ke depan, Gue ngga bisa nemuin lu! Lita balik,” ucapnya acuh.

Ada yang teriris di sebagian hati ini, meski rasanya tak pantas, kuyakinkan diri untuk sadar di mana posisiku.

Cemburu? Entahlah, aku menyebutnya iri mungkin.

Wanita yang di sebut Joan, Esterlita atau Lita biasa dia memanggilnya, adalah tunangannya. Model papan atas yang aku yakin dia juga dari keluarga kaya lainnya seperti Joan.

Aku tak begitu mengetahui peringkat orang terkaya di negara ini, bagiku sama saja. Mereka pasti pemuja kemewahan dan kehormatan.

Harusnya aku senang, karena itu berarti aku bisa menjadi manusia normal seperti pada umumnya. Bisa menunjukkan segala emosi yang ingin aku keluarkan jika sedang tak bersama dia.

Tapi nyatanya, itu menjelaskan posisiku, di mana aku hanya wanita penghangat ranjangnya.

"Syukurlah, jadi tiga hari ke depan aku ngga kamu pake 'kan?" sambil terkekeh kuucapkan kata untuk meredam ngilu di hati.

Bruk!

Tanpa aba-aba Joan berbalik dan menjatuhkanku. Mengangkat kedua tangan ini sejajar dengan kepala. Otakku mendadak berhenti seketika, tapi kucoba untuk kembali berpikir.

Apa aku tadi salah bicara? Sepertinya begitu.

Tatapan nyalang itu menghujam dadaku yang saat ini terekspos indah. Dua buah bukit kesukaannya seakan menantang.

Debaran itu tak kunjung usai, oh ayolah otak bekerja samalah, saat ini Joan seperti akan memangsamu hidup-hidup.

Aku kembali tersenyum seperti orang bodoh, meski tatapan ketakutan yang pasti dia lihat, jika dia peka.

"Hei, bukannya kamu ada rapat penting hari ini?" rayuku.

Dia memejamkan mata, meski giginya saling bergemeletuk di dalam sana. Sepertinya dia tengah menetralisir emosinya.

Bodoh, kenapa aku membuat singa jantan ini kesal. Bisa-bisa aku tak bisa berjalan dengan baik jika dia melampiaskan has*ratnya saat ini.

Tiba-tiba dia kembali membuka mata dengan bibir yang di angkat sebelah. Sungguh, itu sangat menakutkan.

Yang bisa kulalukan hanya menelan kembali salivaku.

.

.

.

Tbc.

Bab 2

Andai aku tak malu akan dosa diri, bolehkah saat ini aku menyebut nama Tuhan agar Dia bisa menolongku.

Joan merendahkan kepalanya, menyusuri leherku. Napasnya menggelitik kulit, membuatku meremang. Ada hasrat yang tiba-tiba muncul. Bagaimana pun kami biasa melakukan itu bukan? Jadi wajar aku jadi berhasrat saat ini.

Kecupan-kecupan kecil ia berikan, seakan kurang memenuhi tubuh ini. Padahal di bagian dadaku sudah di penuhi oleh tanda kepemilikan miliknya. Bahkan ada yang sudah berwarna keungu-unguan.

Hasrat itu kembali hilang tergantikan kesal. Jika boleh, ingin sekali aku membanting tubuh itu, aku ingin bertemu Adam kekasihku. Bagaimana jika dia melihat tanda itu, meski aku bisa menutupinya dengan alas bedak, tapi hal itu sungguh merepotkan.

Dalam kelengahan tiba-tiba dia sudah bergerak di atasku, perih sudah pasti itu yang kurasakan. Tanpa aba-aba dia menghujamku yang belum siap. Aku diperlakukan layaknya binatang.

Ingin sekali aku menangis dan meminta tolong. Namun tak bisa, yang aku bisa lakukan adalah berpura-pura menikmati dengan hasrat palsu, agar dia segera menuntaskan hasratnya.

Nada dering di ponselnya membuat Joan seketika menoleh, lelaki di atasku menggeram kesal, hingga tak lama lahar panas aku rasakan. Dia sudah mencapai klimaksnya, meski terlihat itu tak membuatnya puas.

Segera dia lepas pergumulan kami, dan berjalan cepat menuju tempat membersihkan diri lagi.

Vangsat! sumpah serapah kuucapkan untuk lelaki itu. Sepertinya semua hewan yang ada di kebun binatang aku absen satu-satu.

Kucoba menurunkan satu demi satu kakiku.

"Ishhh," rintihan lolos begitu saja, ini benar-benar sakit.

Dia kembali keluar dari kamar mandi, tapi tak memintaku untuk mengeringkan rambutnya. Sepertinya dia terlambat. Salah sendiri.

Aku masih duduk dengan selimut tipis melilit diri ini, menatap lelakiku yang mondar-mandir mengacak-ngacak isi lemari.

Hingga tak lama dia melempar dasi tepat ke wajahku lagi. Tentu saja mau tak mau aku harus bangkit.

"Shhh," kembali aku tak dapat menahan rintihan itu. Saking takutnya aku menatapnya, dia hanya melirik sekilas dan tak peduli.

Kami seperti pasangan suami istri jika orang melihatnya, di mana aku mungkin terlihat seperti seorang istri yang tengah memakaikan dasi suamiku.

Lucu memang, tapi inilah kebiasaanku saat bersamanya. Bahkan aku sampai harus kursus agar bisa memasangkan dasi dengan rapi.

"Aku akan tetap mencari waktu untuk menemuimu, jadi jangan merasa bebas."

Dingin, kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah sebuah ancaman yang mengikat kebebasanku.

Tapi apa yang bisa aku lakukan? Tentu saja tersenyum bodoh seperti biasa, seolah-olah aku senang dengan perkataannya.

"Sure, tapi aku tetap harus pulang, bolehkan?" pintaku manja.

Terkadang aku tertawa dalam hati saat mendengar ucapanku sendiri yang tengah merayunya. Dengan nada yang dibuat manja, aku sendiri merasa jijik, entah bagaimana dia. Tapi sepertinya dia menyukai sikap manjaku. Jadilah aku jadikan itu sebagai senjata pamungkas untuk merayunya.

Benar saja, tatapan mata itu melembut, meruntuhkan sikap tiraninya, dia memelukku, mengusap punggung ini dengan lembut.

"Gue transfer nanti, kalo Lu ngga nyaman, buruan balik, jangan sampe mabok di club," titahnya. Aku hanya bisa mengangguk tanda setuju.

Dia melepaskan pelukannya dan mengecup singkat dahi ini lantas berlalu pergi.

Setelah kepergian lelaki itu, kujatuhkan kembali tubuh ini di ranjang, memeriksa aset berhargaku yang semakin perih.

Nada pesan di ponselku masuk, gegas kusambar dan tersenyum kecut. Kenapa aku terburu-buru melihat pesan itu, karena aku tau siapa yang tengah mengirim pesan padaku.

Sengaja memang aku memberikan nada panggilan khusus agar aku tak membuatnya menunggu lama.

Dia mengingatkan aku di mana obat oles yang biasa aku gunakan ketika aku kesakitan seperti ini.

Bahagia? Tentu saja tidak, dia yang membuatku seperti ini.

Dengan langkah tertatih kudekati lemari penyimpanan obat. Aku harus segera mengobati lukanya agar tidak infeksi. Lagi pula aku tak ingin menjadikan alasan sakit untuk tak masuk kerja.

Ya, meski aku sudah memiliki banyak uang dan barang-barang mewah dari hasil menjual diri. Namun aku juga memiliki pekerjaan halal lainnya.

Meski banyak yang bilang pekerjaanku saat ini hanya sebuah kamuflase untuk menutupi pekerjaanku yang sebenarnya aku tak peduli.

Setidaknya hanya segelintir orang yang tau apa pekerjaan utamaku. Ya sebagai pemuas Tuan muda Joan Alexander tentunya.

Aku bangga dengan pekerjaanku, meski hanya tamatan Sekolah Menengah Atas, aku bangga bisa bekerja di kantor, meski hanya menjadi seorang resepsionis.

Meski gaji yang di dapatkan jauh dari uang yang di berikan Joan, tapi aku sangat menghargai hasil kerjaku sendiri. Aku juga tak pernah semena-mena dengan pekerjaanku, meski aku memiliki cukup uang. Pekerjaan ini juga sebagai persiapan jika suatu saat nanti Joan membuangku.

Bekerja di perusahaan ini pun atas anjuran Joan, entah bagaimana dia memasukkanku, aku tak peduli.

Yang pasti, saat kami membuat kesepakatan itu, aku hanya minta agar aku di izinkan bekerja. Dia tak menolak, meski hanya dirinya yang boleh mencarikan aku pekerjaan.

Aku tak boleh lagi bekerja di klub malam, meski hanya sebagai pelayan. Jadilah aku terdampar di sini. Meski dulu karyawan sering menatap sinis padaku yang bisa bekerja di sana hanya dengan ijazah SMA. Mereka menebak pasti aku masuk melalui orang dalam.

Entah, mungkin saja, orang seperti Joan kan punya uang dan kuasa, tentu saja mudah baginya membuatku bekerja bukan?

.

.

.

Meski masih merasa tidak nyaman, tapi ini bisa membuatku tetap bisa berjalan. Kususuri basemen di mana kendaraan para penghuni apartemen ini terparkir, salah satunya tentu miliku.

Aku sendiri memiliki 3 jenis mobil, Porsche, BMW, dan satunya Honda Jazz putih favoritku. Dua mobil mewah itu hanya sesekali kugunakan, tentu saja nyaman, hanya keadaan yang membuatku tak nyaman.

Jelas saja aku tak ingin membuat orang curiga dari mana aku memiliki mobil mewah tersebut. Aku tetap ingin bersikap biasa saja bahkan kalau pun bisa aku ingin seperti bunglon yang bisa berkamuflase di segala tempat.

Baru saja mendaratkan bokongku di mobil, dering ponselku kembali menjerit.

Terpampang nama yang membuatku refleks berdecak sebal. Nayla, adik tiri pertamaku yang usianya hanya berjarak satu tahun dariku.

"Ka —" sapanya menggantung. Aku tau ia pasti ingin meminta uang jika ucapannya ragu-ragu seperti ini.

"Kamu mau minta duit?" tebakku tanpa basa basi.

"Maaf Ka," hanya itu yang bisa gadis itu ucapkan.

"Baru kemarin kakak kasih kamu uang Nay—"

"Udah sih kasih aja! Kalo engga, pake uang pengobatan ayah kamu," itu suara ibu tiriku. Kesal sekali ucapanku dengan Nayla harus terpotong olehnya.

"Mah!" aku dengar Nayla juga membentak ibu kandungnya itu. Tak lama aku kembali mendengar suara Nayla, meski di belakang sana aku masih mendengar gerutuan ibu tiriku.

"Maaf Ka, kalo kakak ngga bisa bantu ngga papa nanti aku minta bantuan Mas Adam," cicitnya.

"NAYLA!" bentaku.

Aku benar-benar frustrasi dengan gadis itu, mungkin darah keturunan pelakor menurun padanya. Bisa-bisanya dia mengancamku dengan hal itu.

.

.

.

Tbc

Bab 3

Nayla saat ini tengah sedang melaksanakan magang di kantor Adam, kekasihku.

Aku tau ada yang tidak beres dengan tatapan adik tiriku itu pada kekasihku. Dia menyukai Adam, tebakku, meski yang kulihat Adam tak peka akan hal itu.

Cemburu? Tentu saja, aku dan Adam sudah menjalin kasih saat kami sama-sama masih SMA. Hubungan yang sudah berjalan hampir lima tahun dengan masa putus sambung layaknya hubungan remaja pada umumnya, sudah kami lalui.

Meski aku tak bisa menjanjikan masa depan dengan lelaki sederhana itu, tapi hati kecilku tak dapat melepasnya.

Aku tau, diriku yang hina ini tentu saja tak layak bersanding dengannya. Banyak pertanyaan yang selalu bertengger di benakku saat kami bersama.

Bisakah dia menerimaku yang kotor ini, atau, bisakah aku jujur padanya saat malam pertama kami nanti?

Meski belum ada pembicaraan yang menjurus ke jenjang yang lebih serius, aku yakin suatu saat dia pasti akan menanyakan kelanjutan hubungan kami.

Lalu sanggupkah aku menjawabnya? Persetan, lebih baik aku tak memikirkannya saat ini. Biarkan diri ini merasakan dengan rakus kebahagiaan yang semu itu.

Hingga suatu saat nanti mungkin aku akan merelakan ia dengan wanita lain.

Tiba-tiba dadaku terasa nyeri, entah secemburu apa aku pada wanita yang berhasil memikat kekasihku itu. Aku yakin dia lebih baik segala-galanya dariku.

Dan yang pasti dia adalah gadis beruntung yang bisa bersanding dengan lelaki yang memiliki sifat sabar dan lembut seperti Adam.

Kuparkirkan mobil di tempat khusus para karyawan. Sebelum keluar aku memutuskan untuk sejenak membaca pesan dari Adam yang sejak tadi kuabaikan.

"Hei, aku merindukanmu," aku terkekeh meski ada air mata yang juga mengiringinya. Bahagia tercampur dengan ironi pastinya.

Dia merindukanku di saat aku tengah melayani lelaki lain. Ironi bukan.

Adam sedang mengetik, sepertinya ponsel itu selalu di tatapnya, hingga dia tau jika pesannya telah terbaca.

"Kenapa belum balas? Kamu ngga kangen aku?" di akhiri dengan emoticon sedih.

Kini aku tertawa, dia membuat pagiku sedikit lebih cerah. Kali ini dia segera meneleponku, mungkin tak sabar mendengar jawabanku.

"Hai, kamu baik-baik aja 'kan?" nada cemas itu benar-benar menghangatkan hatiku.

"Baik, cuma kecapean aja. Aku baru mau ngetik kamu udah bales mulu," ucapku pura-pura kesal. Di seberang sana dia terkekeh, sepertinya perasaannya sudah melega.

"Makan siang bareng?" Ajaknya.

Ini yang aku suka dari Adam, dia selalu bertanya. Tak pernah memaksaku, aku tau dia merindukanku, tapi dia selalu memberiku pilihan.

Kugigit bibir ini, tentu saja aku sangat merindukannya, akhir pekan kemarin aku tak bisa bertemu dengannya karena terkurung oleh Joan.

Tapi ingatanku melayang akan pesan Joan, akankah lelaki itu mau menemuiku saat makan siang nanti? Meski sangat jarang, tapi terkadang lelaki itu tiba-tiba mengajakku untuk makan bersama, meski setelahnya harus berakhir dengan berbagi peluh.

Aku tau Joan tak akan keberatan jika aku bertemu dengan kekasihku. Entah bagaimana dia percaya saja jika aku dan Adam tak akan melakukan hubungan suami istri seperti syarat dari perjanjian kami.

Mungkin dia memiliki mata-mata yang akan selalu mengikutiku? Mungkin saja, tak ada yang tak mungkin bagi seseorang seperti Joan bukan? Aku tak peduli, asal mereka tak mengganggu kebersamaanku dengan Adam.

Bisa juga Joan tau jika Adam bukanlah lelaki breng*sek sepertinya.

"Ras?" panggilan Adam membuatku kembali dari lamunan.

"Ya, maaf Dam," jawabku bingung.

"Kira-kira kapan kita bisa ketemu?" suaranya mendadak lesu, sepertinya dia salah mengartikan jawabanku.

Aku tertawa "kita bisa makan siang bareng Dam, aku juga kangen kamu."

Aku hanya bisa berharap, semoga Joan tidak mendadak mengajakku bertemu, aku berharap dia segera menghabiskan waktu bersama tunangannya dan aku bersama kekasihku. Rumit sekali memang hubungan kami ini.

Karena bisa di pastikan jika waktu mereka berbenturan, tentu saja aku harus menyakiti Adam. Kenapa? Karen itu juga termasuk salah satu syarat di surat perjanjian yang kami buat. Dia harus di prioritaskan, begitulah jika aku tak salah ingat.

"Padahal cuma ngga ketemu dua hari tapi kayaknya laaamaaa ... banget," keluhnya.

Aku kembali terkekeh mendengar gerutuannya. Hati kecilku kembali tersentil saat teringat aku telah membohonginya. Sudah tak terhitung berapa banyak kebohongan demi kebohongan yang selalu aku berikan.

Banyaknya luka dan rasa kecewa yang sepatutnya tak di rasakan Adam membuatku tak urung ingin melepasnya agar bahagia. Akan tetapi, aku terlalu egois, terus terang aku sangat membutuhkan pundaknya untuk bersandar.

Hanya dia yang bisa membuatku merasa masih berarti ada di dunia ini, meski yang lain mungkin berharap aku lenyap.

"Ras ..." ucapnya ragu-ragu. Dan seperti seorang peramal aku tau apa yang akan kembali ia ucapkan.

"Kamu berantem sama Nayla?" tepat seperti tebakanku. Adik tiriku itu pasti langsung mengadu tentang pertengkaran kami pagi tadi.

Kesal? Tentu saja, aku merasa Nayla sengaja mencari perhatian kekasihku itu.

Terkadang terbesit pikiran untuk membiarkan keduanya menjalin kasih, aku yakin Nayla gadis baik-baik. Namun, ingatan buruk akan ibu tiriku yang tiba-tiba hadir dalam kehidupan rumah tangga orang tuaku, membuatku tak ingin Nayla bahagia begitu saja.

Aku selalu merasa ibu tirikulah penyebab kematian ibuku. Meski saat itu aku tak begitu mengetahui permasalahan kedua orang tuaku.

"Dia sudah mengadu?" cibirku. Mendadak moodku langsung anjlok.

"Ras," Adam menghela napas "Bolehkan aku bantu dia?" Aku tau dia lelaki baik, dia selalu memberitahu aku apa pun kegiatannya. Meski kebaikan itulah yang menjadi penyebab adik tiriku menatap penuh minat padanya.

Menyebalkan.

"Dam, jangan manjain Nayla!" geramku.

"Aku tau maksud kamu baik, tapi itu jadi kebiasaan buat dia. Saat aku ngga bisa kasih dia uang, dia bakal meringik ke kamu," ucapku ketus.

Adam terkekeh, “Ras, Nayla ngga pernah minta bantuanku, aku aja yang inisiatif sayang," bujuknya.

Cih, aku tau maksudnya, yang aku sayangkan adalah, itu menjadi andalan Nayla, entah seperti apa gadis itu berbicara. Mungkin awalnya hanya bercerita dengan di bumbui kesedihan, membuat kekasihku—Adam yang memang memiliki sifat tak tegaan lantas membantunya.

"Kamu keberatan?" Aku seperti seorang penjahat jika diberi pertanyaan seperti ini.

Bukan aku tak sanggup memberi Nayla uang, hanya saja gadis itu sering sekali meminta uang, aku tak ingin membuat ibu tiriku curiga dari mana aku memiliki banyak uang.

Kehidupan mewah yang biasa di berikan ayah kami saat sehat tak ingin di lepaskan oleh ibu tiriku begitu saja. Bagi wanita itu, harga dirinya harus tetap di junjung tinggi, dia tak ingin teman-teman sosialitanya memandang rendah dirinya.

Itulah yang menyebabkan aku harus terjerumus ke lembah kelam seperti sekarang.

Terlebih saat aku harus memenuhi semua kebutuhan mereka semua.

"Nayla kan punya gaji dari kantor kamu Dam, biarkan saja, aku hanya ingin mendidiknya agar bisa mengatur keuangan," kuberikan alasan yang masuk akal agar Adam berhenti mengkhawatirkan Nayla.

"Terlebih, hidup ini ngga semua yang dia inginkan harus dia dapatkan Dam, ngertikan kamu?"

Adam menghela napas, mungkin ia ingin membantah. Namun aku tau ia pasti mengerti jika ucapanku ada benarnya.

"Baiklah, tapi kayaknya itu kebutuhan kuliahnya Ras," ternyata dia masih juga kekeh dengan pendapatnya.

"Terserah!" ujarku kesal lantas segera kumatikan panggilannya.

.

.

.

Tbc.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!