Suara alarm yang berasal dari ponsel seorang wanita telah berbunyi. Namun penghuni kamar masih enggan membuka matanya. Hingga tepat satu jam kemudian, wanita itu merasa terusik dari mimpi indahnya.
"Astaga, jam berapa ini!" pekiknya, terperanjat duduk di atas tempat tidur. Kemudian melihat jam weker di atas nakasnya ternyata sudah pukul 7 pagi.
Wanita itu bergegas mandi dengan secepat kilat. Beberapa menit kemudian, dia menyalakan ponselnya untuk memesan ojek online tanpa sarapan terlebih dahulu.
"Bang agak cepat ya! saya kesiangan," teriaknya dari jok penumpang.
"Iya Neng ini sudah kecepatan maksimal," kata abang ojol yang usianya sudah paruh baya.
Karin Leimanda, itulah namanya. Usianya saat ini baru menginjak 18 tahun. Dia memutuskan untuk langsung bekerja, karena tidak mau menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Alasannya klasik, dia malas berpikir terlalu keras serta tidak bisa bebas dari kedua orang tuanya.
Hari pertama kerja kesiangan pula, nasib gak serumah sama orang tua begini nih, batin Karin menggerutu.
Satu jam kemudian.
Karin baru saja sampai didepan kantor TeknoLab Grup. Akan tetapi, Gerbang kantor sudah tertutup rapat karena waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi, sedangkan waktu masuk kantor pukul 7.30 pagi. Itu artinya Karin telah telat 30 menit.
"Sudah saya bayar lewat aplikasi ya Bang," kata Karin seraya memberikan helm yang tadi ia pakai kepada abang ojol.
"Pak bisa dibukain gerbangnya gak?" tanya Karin pada dua orang security.
"Maaf, Mbak ini pegawai baru ya?" tanya salah satu security itu.
"Iya, please ya Pak, bukain," kata Karin, memohon.
Di saat Karin tengah memohon kepada security untuk meminta dibukakan gerbang, telepon di pos security pun berbunyi. Salah seorang dari mereka pergi ke dalam pos untuk menjawabnya.
*TLILILIT TRILILIT*
"Hallo pos security."
"Pak lihat resepsionis baru gak? saya mau telekonfrens. Kenapa mejanya masih kosong?" kata seorang pria di seberang telepon.
"Maaf Pak, sepertinya resepsionis yang Pak Vian maksud baru saja datang, dia masih di luar gerbang," jawab security itu.
"Cepat suruh masuk! saya tunggu dia di lobby!" kata pria itu kemudian menutup teleponnya.
Viando Reinhard, seorang anak tunggal keluarga Reinhard. Setelah menikah, kini ia menjabat sebagai pimpinan sekaligus pewaris dari perusahaan TeknoLab Grup yang bergerak di bidang farmasi.
Semua pegawai lama, telah mengetahui betul bagaimana sifat Vian, sapaannya. Dia tidak pernah main-main pada sebuah kedisiplinan dalam bekerja. Bahkan dalam satu tahun terakhir semenjak dia menjabat, menggantikan sang ayah yaitu Hilbert Reinhard, tidak pernah ada yang berani telat jika sudah waktunya bekerja.
Rupanya Karin dalam masalah kali ini. Karirnya setelah ini akan diperhitungkan kembali dengan adanya kejadian telat masuk kantor di pagi ini.
Security yang tadi menerima telepon langsung menghampiri temannya untuk segera membukakan gerbangnya. Terlebih setelah tahu kalau itu perintah langsung dari Vian, pintu gerbang pun terbuka.
"Makasih banyak ya Pak," kata Karin sambil sedikit berlari dengan sepatu hak tingginya.
*TINGTONG* Suara alarm saat memasuki pintu lobby berbunyi.
Mata Karin membulat dengan sempurna saat melihat seorang pria bertubuh tinggi, berwajah blasteran dan juga tampan, tengah berdiri dihadapannya dengan jarak yang sangat dekat dan tatapan yang begitu tajam.
"Se--selamat pagi pak," sapa Karin, terbata-bata.
"Sudah jam berapa ini? Bukankah ini adalah hari pertama kamu kerja!" sentak Vian dengan nada tinggi karena begitu emosi, membuat mata Karin langsung berkaca-kaca.
Semenjak perceraian kedua orang tuanya, Karin sempat mendapat kekangan yang luar biasa dari sang ayah. Untuk itu, selepas SMA dia memutuskan untuk merantau dan bekerja. Yang hanya dia pikirkan saat ini, bagaimana mendapatkan uang dengan cara yang halal.
Sementara itu, kini ayahnya sudah menikah lagi begitu pula dengan ibunya. Itu kenapa Karin lebih yakin untuk memulai hidupnya sendirian.
Karin masih terdiam, hatinya begitu sakit mendengar bentakan dari Vian.
"Ma--maafkan saya pak," ucap Karin yang masih terbata-bata dan mulai tergugu sambil menundukkan kepalanya.
"Saya tunggu lima menit. Setelah itu saya akan telepon kamu untuk melakukan telekonfrens," kata Vian, kemudian meninggalkan Karin di lobby. Pria itu bahkan tidak memikirkan bagaimana Karin bisa melakukan apa yang dia suruh tanpa diajari lebih dulu.
Karin langsung membuka layar ponselnya, kemudian mencari cara menggunakan telepon untuk telekonfrens. Entah kenapa disaat keadaan terdesak seperti ini, otaknya mendadak jenius.
*TLILILIT TLILILILIT*
"Selamat pagi, TeknoLab Grup, dengan Karin ada ..." belum sempat Karin melanjutkan kata-katanya, Vian sudah memotongnya terlebih dahulu.
"Cepat sambungkan saya ke Mr. Brian di Singapura dan Mr. Lee di China, saya di ruang meeting," kata Vian kemudian mematikan teleponnya.
*Tututututut*
"Sial! belum juga jawab, huh! sabar Karin, sabar, lakukan sesuai yang ada di youtube," kata Karin bermonolog.
Vian merasa kesal karena Karin belum juga melaksanakan perintah yang ia suruh. Rasa tidak sabarnya membuat Vian langsung menyuruh Hendra yang merupakan sekretarisnya untuk menemui Karin. Padahal belum juga 2 menit Vian memberi perintah.
"Ndra, coba kamu ke tempat resepsionis suruh cepat, lelet banget sih!" sarkas Vian yang sudah geram.
"Baik pak," kata Hendra kemudian pergi ke tempat Karin.
"Mbak apakah ada masalah?" tanya Hendra yang tiba-tiba muncul membuat Karin tersentak kaget.
"I--itu pak, saya lagi lihat youtube cara telekonfrens itu bagaimana. Soalnya saya sama sekali belum mengerti cara mengoperasikan telepon ke luar negeri, apalagi melakukan telekonfrens," jawab Karin, membuat Hendra mengulum bibir karena menahan tawanya.
"Oh jadi itu masalahnya, sini biar saya ajarkan," kata Hendra kemudian mencontohkan kepada Karin sampai paham.
"Bagaimana? sekarang sudah paham kan?" tanya Hendra sambil tersenyum.
Tampan sekali, tak kalah lah seperti yang tadi malah ini lebih baik, batin Karin merasa kagum dengan sosok Hendra yang lembut padanya.
"Su--sudah, terimakasih banyak Pak," kata Karin yang juga ikut tersenyum.
"Iya sama-sama, lain kali kalau ada yang belum paham bisa tanya langsung ke saya ya," kata Hendra membuat Karin tersipu malu.
"Baik Pak," ucap Karin sambil menundukkan wajahnya.
"Ehem ..." Vian berdehem saat Hendra baru saja akan pergi ke ruang meeting kembali.
"Pak, mari kita ke ruang meeting lagi," ajak Hendra karena tatapan Vian membuat Karin bergidig ngeri.
Akhirnya Hendra dan Vian kembali ke ruang meeting. Karin pun melakukan tugasnya dengan baik.
"Perasaan dulu pas sekolah males banget perhatiin guru kalau nerangin pelajaran. Lah ini beberapa menit dijelasin langsung paham. Haduuh ... otak gue kayaknya penuh dengan uang ini dan sekarang ditambah cowok ganteng," kata Karin bermonolog, sambil menggerakkan kursinya ke kanan dan kiri.
Karin berhasil melewati pekerjaan hari ini dengan aman. Karena sebenarnya saat dia ikut tes masuk ke perusahaan ini, Karin hanya diberitahu point-point penting sebagai resepsionis saja.
"Resiko jadi resepsionis pergi lebih pagi dan pulang lebih lama," kata Karin bermonolog pelan saat ia sedang membereskan mejanya.
Saat Karin hendak keluar dari lobby ada suara yang menghentikan kegiatannya.
"Hei kamu! Kenapa sudah mau pulang? di dalam masih ada orang loh," kata pria itu membuat Karim paham siapa yang berbicara, yaitu Vian.
Karin menoleh ke belakang, "Eh Bapak, saya kira sudah pulang," katanya sambil cengengesan.
Ini anak masih kecil beraninya cengegesan di depanku, saat aku sedang marah, batin Vian.
"Kamu kan di depan, masa gak lihat siapa saja yang lewat," kata Vian bersikap dingin.
"Maaf Pak hari ini saya sambil fokus belajar supaya kerjaan saya benar," kata Karin, namun tidak dihiraukan oleh Vian yang langsung pergi meninggalkan Karin.
"Ih cowok nyebelin siapa sih dia! rese banget dari pagi," kata Karin bermonolog sambil menghentak-hentakan kedua kakinya, merasa kesal.
Hari kedua, kali ini Karin bangun lebih pagi dari kemarin. Dia tidak ingin mendengar bentakan yang dilontarkan oleh Vian lagi. Seharian kemarin benar-benar membuat kesabaran Karin diuji, sampai setiap pekerjaan pun selalu saja dilimpahkan tanpa bertanya bisa ataupun tidak. Karin seolah seperti 'orang buta' yang meraba-raba sesuai atau tidak hasil kerjanya itu.
Tak lupa juga Karin membeli sarapan supaya otaknya bisa berjalan dengan lancar.
"Selamat pagi, Mbak," sapa security yang berada di gerbang.
"Pagi," ucap Karin seraya masuk ke dalam.
Setibanya di lobby, Karin menaruh tasnya lebih dulu ke dalam sebuah laci tepat di bawah meja resepsionis. Lalu pergi ke kantin untuk sarapan.
"Hei, kamu!"
Suara seorang wanita yang menggema di seluruh ruang kantin membuat Karin mengurungkan niatnya untuk duduk. Dia menoleh, mencari ke sumber suara. Tidak sampai menunggu Karin menghampiri, wanita itu justru yang mendekat kepada Karin.
"Kamu resepsionis baru kan?" tanya wanita itu, menelisik Karin dari ujung kepala sampai kaki.
"Iya, benar. Ada apa ya?" Karin melihat ke sekeliling ruangan. Semua mata yang ada di ruangan itu langsung tertuju padanya, sehingga ia menjadi pusat perhatian. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang, berharap tidak terjadi masalah di pagi ini.
"Itu office boy yang biasa buat teh sama susu katanya izin, gak bisa masuk. Kamu bisa kan membuatkannya?"
Karin merasa ragu bisa melakukan itu. Selama ini, dia hanya tahu beres dan langsung makan ataupun minum. Tidak pernah tahu prosesnya seperti apa.
"Maaf Bu, saya belum pernah buat. Apa gak ada office boy yang lainnya?"
"Gak ada. Masa buat teh sama susu aja kamu gak bisa sih!" sentak wanita itu, mencoba menahan emosi. Karena biasanya dia selalu minum teh yang telah tersedia di meja pantry setiap pagi.
Karin yang sudah sangat lapar, memilih duduk dan mulai membuka bungkus makanannya.
"Maaf Bu, saya sudah lapar banget. Sebentar lagi masuk jam kantor, saya harus cepat menghabiskan makanannya," kata Karin, lalu menyuap sarapan paginya ke mulut.
"Hih dasar bocah!" sarkas wanita itu kemudian pergi bukan hanya dari hadapan Karin, melainkan keluar juga dari kantin. Sudah merasa terlanjur kesal dan tidak berselera untuk melakukan kebiasaannya setiap pagi.
"Lagian kok semua orang di kantor ini aneh-aneh banget. Gak bisa apa minta tolong baik-baik. Bikin selera makan gue hilang aja!" kata Karin yang menggerutu pelan.
Walau selera makan yang dibilangnya hilang, tapi kenyataannya nasi bungkus yang tadi sempat dia beli itu habis tak tersisa dalam sekejap. Karin segera membuang sampah bekas sarapannya ke dalam tong sampah, lalu memilih kembali ke lobby, tempat seharusnya dia berada.
Ketika baru saja keluar dari kantin, Karin melihat sebuah mobil keluaran perusahaan Jepang yaitu honda dengan tipe Freed berhenti tepat di depan lobby. Pintu model geser mobil itu terbuka dengan sendirinya. Satu persatu kaki penumpang turun.
Karin memperhatikan dengan seksama, dengan langkah hati-hati. Namun setelah kedua kaki penumpang itu turun, kedua mulutnya terbuka lebar bersamaan dengan kedua matanya.
Mati gue! itu cowok yang kemaren ngomel-ngomel terus seharian. Batin Karin yang seketika mempercepat langkahnya supaya cepat sampai lobby.
Karin berusaha menghentikan langkahnya setelah sampai di depan pintu masuk. Alhasil suara decitan yang cukup nyaring keluar dari heels-nya bergesekan dengan lantai. Dia segera merapihkan pakaian serta rambutnya.
"Selamat pagi, Pak." Sapaan hangat Karin lontarkan demi sebuah harapan suasana hati pria itu bisa terus membaik sepanjang hari.
"Pagi." Namun pria itu hanya menunjukkan sikap dinginnya. Kemudian pergi begitu saja tanpa menoleh ke arah Karin, diikuti oleh Hendra yang mengikutinya di belakang.
"Pak, ssst sst sstt ... " Karin memanggil Hendra dengan memberikan sebuah kode.
Hendra menoleh lalu memberikan kode kembali kepada Karin dengan sebelah tangannya dan gerakan mulutnya yang bilang 'nanti dulu'.
Ih apaan sih! kok nanti dulu. Kan gue mau ngasih tau kalau tali sepatu bapak di depannya itu lepas, kata Karin bermonolog dalam hati, lalu menghela napas yang akhirnya ikut masuk ke dalam lobby.
*TINGTONG*
BRAK!!!
Haduh! tuh kan, kan, kan, keserempet tali sepatu dah itu cowok, ujar Karin dalam hati dengan raut wajah yang hampir memerah karena menahan tawa.
Karena penasaran, dia berjalan seperti biasa sambil membusungkan dada dengan derap langkah layaknya seorang sekertaris pribadi pimpinan perusahaan. Lirikan matanya tertuju pada sebuah pintu yang menuju ruang inti kantor. Kali ini berhasil membuat wajah Karin memerah. Pria yang menurutnya 'tukang marah' itu berputar, namun hanya hampir jatuh tersungkur ke lantai.
Buru-buru Karin membalikkan tubuhnya saat akan kembali ke tempatnya.
Dosa gak sih gue kalau ketawain dia? semoga enggak ya, habisnya lucu banget, batin Karin yang masih menahan tawanya sampai napasnya pun terasa sesak.
Baru saja Karin menempelkan bokongnya di kursi, telepon telah berbunyi. Dia segera menjawabnya.
"TeknoLab, pagi ... dengan Karin. Ada yang bisa kami bantu?"
"Pagi, tolong sambungkan ke suami saya."
Permintaan seorang wanita di ujung telepon itu membuat Karin merasa kebingungan.
"Suami Anda siapa ya? atau mungkin Anda salah sambung. Ini kantor Nyonya, bukan rumah," jawab Karin sekenanya. Tiba-tiba wanita itu langsung menutup teleponnya.
"Ih cewek gak jelas banget, nyari suaminya di sini. Malah gak nyebutin identitasnya lagi," ujar Karin sambil menghidupi komputer yang ada di mejanya.
Saat Karin tengah membaca sebuah noted yang kemarin sore sempat ia buat untuk mengingat pekerjaan yang belum tuntas, tiba-tiba seorang pria datang menghampirinya.
"Permisi, bisa minta tolong telepon ke nomor ini." Pria itu menyodorkan sebuah kartu nama bertuliskan Kantor Direktorat Jendral Pajak, yang juga terdapat nomor telepon di sana seseorang bernama Jaka Wijaya, pada Karin. "Bilang dari Pak Sisto, terus kamu langsung sambungkan ke ruangan saya 3367, ngerti kan?" sambung pria itu dengan gaya bicara lemah lembut. Karin mengangguk paham dan mencatat nomor itu.
"Maaf, Pak Sisto itu nama Bapak?" tanya Karin memastikan.
"Iya benar, saya tunggu di ruangan ya!"
Setelah pria yang bernama Sisto itu pergi untuk kembali ke ruangannya. Karin segera mencoba sesuai yang di perintahkan olehnya.
"Mengangkat gagang telepon, tekan salah satu line yang lampunya mati, kalau sudah menyala langsung tekan nomor lalu panggil. Aduh degdegan juga ya semoga berhasil." Batin Karin bermonolog. Telapak tangannya mulai dingin dan berkeringat, dia sangat gugup sekali.
"Selamat pagi, ada yang bisa kami bantu?" sapa seorang wanita setelah nada panggilan menunggu otomatis terhenti. Bisa dipastikan wanita itu adalah customer service-nya langsung.
"Selamat pagi. Bisa bicara dengan pak Jaka Wijaya? Pak Sisto ingin berbicara dengannya," kata Karin yang menjawab sapaan customer service dari kantor itu.
"Baik, mohon ditunggu." Nada panggilan menunggu otomatis itu berbunyi kembali. Karin menyukai lagunya.
"Hallo?"
Tiba-tiba dirinya tersentak kaget saat seorang pria bicara padanya.
"Hallo Pak. Saya sambungkan ke Pak Sisto ya." Perlahan Karin mencoba menyambungkannya ke nomor extension yang tadi sempat ia catat di kertas kecil.
"Hallo, dengan Pak Sisto?"
"Iya."
"Saya sambungkan ke pak Jaka Wijaya ya, Pak."
"Iya." Karin pun segera menutup teleponnya supaya Sisto dan Jaka bisa berbicara berdua di sambungan telepon itu.
Hembusan napas panjang pun keluar dari mulut Karin. Akhirnya dia merasa lega karena salah satu pekerjaan pentingnya bisa dikerjakan dengan baik. Apa ini efek dari sarapan nasi bungkus tadi?
*TLILILILIT TLILILILIT*
Tanpa melihat ke arah dua buah telepon dengan fungsi yang berbeda, tangan kiri Karin mengambil salah satu gagang telepon itu.
"Selamat pa ... "
"Hallo, ada apa?"
Karin seketika menoleh, ternyata dia salah mengangkat telepon. Ternyata yang berbunyi dari telepon intern, hanya dalam ruang lingkup kantor saja. Beruntung, Hendra yang menjawabnya.
"Iya, sebentar. Saya mau edukasi pegawai baru dulu ya." Telepon pun di tutup kembali oleh Hendra.
"Maaf Pak, saya salah," kata Karin sambil cengengesan kembali.
"Sepertinya saya lagi ada waktu untuk memberitahumu banyak hal, terutama pekerjaanmu," ucap Hendra sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
"Dengan senang hati Pak. Walau waktu kontrak saya di sini hanya enam bulan, tapi saya bersungguh-sungguh untuk bekerja," kata Karin sambil mengobarkan semangat '45' pada Hendra.
"Baiklah, untuk satu jam ke depan saya akan menugaskan salah satu security untuk berjaga sementara di sini."
Hendra kemudian menelepon pos security. Tidak lama, salah satu dari mereka pun datang.
*TINGTONG*
"Titip lapak ya Pak," kata Hendra, security dengan namtag Jana itu tersenyum.
"Silahkan Pak, saya akan menjaga lapaknya."
Ternyata ini cowok sama security receh juga ya, batin Karin yang juga ikut tersenyum seraya mengekor di belakang Hendra.
Setelah berada di depan lobby. Hendra mulai membuka pembicaraan diantara ke duanya.
"Saya sampai lupa belum memperkenalkan diri sama kamu. Oke ... saya Hendra disini sebagai sekertaris pak Vian. Kamu tahu pak Vian itu orangnya yang mana?"
"Enggak." Karin menggelengkan kepalanya.
"Itu loh yang seharian kemarin ngomelin kamu."
Karin bersusah payah menelan ludahnya serta mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
Jadi itu yang namanya pak Vian.
"Oh iya, saya baru tau Pak."
"Dia adalah pimpinan sekaligus pemilik perusahaan ini. Sebenarnya saya ingin memperkenalkan langsung denganmu sekarang, tapi saya lihat auranya masih gak bagus demi kelangsunganmu disini jadi saya beritahukan aja ya."
"Iya Pak, gak apa-apa kok."
"Untuk pekerjaanmu, bagaimana? menerima telepon, melakukan panggilan telepon sudah bisa kah?"
"Perlahan saya mulai terbiasa Pak. Jadi sambil berjalan juga belajar. Soalnya saya kan dari SMA Pak. Setau saya, kalau pekerjaan seperti ini hanya di pelajari murid SMK jurusan administrasi perkantoran."
"Iya juga sih, benar katamu. Tapi saya salut, kemauanmu untuk belajar bisa saya acungkan jempol."
"Terima kasih Pak."
"Kalau kamu sudah lancar dan terbiasa sekali. Saya akan minta bantuanmu untuk mengurus data absensi serta catering yang biasa dikerjakan di bagian HRD. Soalnya satu-satunya staf HRD itu akan resign akhir bulan ini. Melihat kegigihanmu, saya yakin kamu bisa melakukannya."
"Jadi pekerjaan saya merangkap ya Pak?" tanya Karin, kali ini dengan wajahnya yang serius.
"Iya benar, maklum lah ya. Pegawai di perusahaan ini masih sedikit, sekitar total itu kurang lebih ada sembilan puluh orang. Karena sebenarnya perusahaan ini anak dari perusahaan pusat milik keluarga Reinhard. Dan setelah pak Vian menjabat jadi presiden direktur, sempat ada pemutihan dan perubahan aturan lama ke aturan baru. Jadi bisa dibilang perusahaan ini masih baru, ya ... kurang lebih satu tahun lebih."
"Oh gitu, Pak." Karin mengangguk paham.
Keduanya sambil berjalan berkeliling perusahaan, mulai dari lobby, ruangan inti kantor, ruang laboratorium, quality assurance, produksi, packing, warehouse dan terakhir delivery.
Sepanjang mereka berjalan kaki, Hendra menjelaskan tempat-tempat yang mereka kunjungi di perusahaan itu sekaligus memperkenalkan Karin kepada para pegawai.
Akan tetapi, Karin tidak melihat keberadaan wanita yang tadi pagi marah-marah dengannya.
Kemana wanita itu? gue kok gak lihat ya. Apa lagi ada di dalam ruang produksi? tanya Karin dalam hatinya.
Memang, hanya bagian produksi yang tidak dapat dia jamah. Karena harus memakai pakaian khusus serta mensterilkan tubuhnya supaya tidak membawa kuman masuk ke dalam, sehingga dapat merusak hasil produk yang akan dikemas.
Kebetulan pakaian khusus itu sedang tidak ada stok dalam lemari, jadi Karin hanya dapat melihatnya dari pintu ruang ganti saja. Pabrik ini benar-benar bersih dan terjaga kebersihan serta kenyamanan dalam bekerja.
Ketika Karin dan Hendra hendak keluar dari lorong ruangan yang bisa menembus ke ruang inti kantor, mereka berpapasan dengan wanita yang memarahi Karin di kantin tadi.
Wanita itu hanya melihat sinis ke arah Karin, tapi bersikap manis pada Hendra.
Gue rasa itu cewek suka kali ya sama pak Hendra ini. Buktinya sama gue judes banget, eh sama pak Hendra malah senyam senyum sok kecantikan gitu. Batin Karin bermonolog, yang tanpa sadar dia juga masih terbawa emosi dengan perlakuan wanita itu tadi pagi.
"Pak Hendra, boleh tanya gak?" Karin ragu sebenarnya, tapi daripada berburuk sangka, lebih baik bertanya.
"Tanya apa?"
"Yang tadi itu siapa?"
Hendra menoleh sambil mengerutkan keningnya. "Yang tadi berpapasan sama kita?" tanyanya memastikan maksud pertanyaan Karin.
"Iya Pak," jawab Karin seraya mengangguk.
"Oh itu, Rani namanya. Dia anak magang di bagian quality assurance, baru sekitar empat bulan ini."
"Oh ... " Karin mengangguk paham.
"Kenapa memangnya? galak ya dia?"
Mendengar pertanyaan Hendra, Karin langsung tersenyum meringis lalu mengangguk pelan.
"Hahaha, dia itu keturunan orang timur. Memang seperti itu pembawaannya. Awal dia kerja juga saya sempat kaget. Kok ada orang 'songong' sama saya. Eh taunya memang dia begitu pembawaannya," jawab Hendra sambil mengangkat dua jari dengan kedua tangannya saat mengatakan kata songong.
Karin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ada ya Pak, saya juga baru tau."
"Oh iya Karin, akhir bulan ini akan ada family gathering perusahaan kita ke salah satu hotel di kawasan kota Bogor. Untuk itu, tolong sampaikan kepada admin masing-masing departemen supaya sore ini sebelum pulang, bisa di umumkan langsung oleh pak Vian di ruang kantin, bisa kan?" kata Hendra saat keduanya telah sampai di dalam lobby kembali.
"Baik Pak, kalau begitu akan segera saya laksanakan," ucap Karin dengan yakin.
"Oke, saya ke dalam dulu," pamit Hendra lalu Karin menundukkan kepalanya sebagai tanda mempersilahkan Hendra pergi dari hadapannya.
Karin menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Baru saja dia hendak duduk di kursinya, seorang wanita datang menghampiri sambil memegang semangkuk salad buah.
"Karin ya namanya?" tanya wanita yang memiliki wajah mungil dengan rambut yang ditutupi oleh kerudung pashmina motif bunga-bunga.
"Iya, benar ... Bu."
"Aduh jangan panggil ibu dong, emang aku kelihatan kayak ibu-ibu ya ? padahal emang bener sih, aku kan udah punya anak satu, hehehe," kata wanita itu. Karin pun ikut tertawa mendengar celotehannya.
"Memangnya umur Ibu berapa tahun?" tanya Karin yang spontan.
"Eh jangan nanyain umur dong, beda jauh banget kita. Tapi aku tetap imut-imut kan?" kilah wanita itu sambil menaik turunkan kedua alisnya.
Karin pun mulai menelisik dari ujung kepala sampai kaki wanita itu, dengan sebelah tangan yang mengusap dagunya tampak berpikir.
"Benar juga Bu."
Tak di sangka, wanita itu malah memberi tepukan yang lumayan kencang pada lengan Karin, dan lebih konyolnya lagi dia sambil tertawa. Sementara Karin tersentak kaget lalu ikut tersenyum meringis sambil mengusap-usap lengannya.
"Bu, kekencengan loh tadi."
"Eh, maaf maaf. Ya ampun saya saking senangnya punya teman baru yang seumuran," kata wanita itu yang masih tidak ingin dibilang tua. Karena memang umurnya juga Karin selisih 10 tahun.
"Iya iya gak apa-apa Bu. Santai aja hehe ... omong-omong Ibu di bagian apa? tadi pas saya keliling kok gak lihat Ibu ya?" Karin melipat tangannya sebelah lalu di letakkan di atas meja resepsionis.
"Saya bagian warehouse, mungkin tadi saya lagi di toilet pas kamu keliling. By the way, kamu sudah tau pak Vian kan? ganteng gak kalau kata kamu? beruntung deh kalau jadi istrinya." Wanita itu memuji sang pemilik perusahaan. Akan tetapi respon Karin biasa saja. Untuk apa ganteng tapi kerjaannya marah-marah terus, pikir Karin demikian.
"Ya ... gitu deh Bu. Kalau boleh tau nama Ibu siapa?" tanya Karin yang langsung mengalihkan topik pembicaraan. Dia tidak ingin membuat masalah hanya karena membicarakan pimpinan yang malas untuk dia bicarakan.
"Oh iya, kenalin saya Mutia." Tangannya pun terulur untuk mengajak Karin berjabat tangan. Dengan senang hati, Karin pun membalasnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!