NovelToon NovelToon

Just Because

Just 2

Jangan memulai jika tak ingin mengakhiri.

...•••...

Io yang kehadirannya dirindukan, tak ada saat Ayi dengan lirih menyebut namanya saat ini. Bagaimana tidak, dengan Yandra yang sudah menjadi suaminya, Ayi kini memang sedang menuju tempat sang sahabat, tapi mereka tidak akan bertemu. Io sudah bukan milik dunia di mana mereka saat ini berada.

Ayi tidak menangis.

Sebuah kenangan kemudian membawa ingatan Ayi melayang ke tahun-tahun terakhir kebersamaannya dengan Io. Ketika sang sahabat lebih sering menghabiskan waktu dengannya dan juga yang lainnya tepat di hari ulang tahunnya.

Dibanding dengan waktu saat ini, Ayi saat itu belum menyadarinya. Perbedaan itulah yang membuat perasaannya berubah, karena saat itu ….

“Kita mau ke mana, sih?” tanya Ayi pada Io yang memimpin jalan. Yandra juga ikut bersama mereka. Adegan inilah yang menjadi asal dari ingatan paling menyakitkan yang ia miliki. Sebuah kenangan yang memulai kisah bagaimana Ayi kehilangan seseorang dalam hidupnya.

Hari itu, Io menawarkan agar bolos bersama. Ayi tidak ragu menolaknya dan juga tidak ragu untuk mengikutsertakan Yandra. Io mengajak mereka hampir ke semua tempat yang mereka sukai. Itu adalah tempat-tempat yang pernah Ayi, Io, serta Yandra datangi selama ini.

Ayi tidak sadar bahwa itulah penyesalannya. Ia menyesal karena tidak memikirkannya sedikitpun saat itu.

Yandra awalnya berat hati menolak permintaan Ayi yang mengajaknya karena pertengkaran kecilnya dengan Io di hari sebelumnya. Namun, saat Io sendiri yang mengatakan padanya, barulah laki-laki yang menyukai Ayi itu ikut.

“Ke tempat yang gue rinduin masa kecil dulu. Gue lagi mau nostalgia, Yi,” tutur Io yang sudah duduk di salah satu ayunan. Mereka mengunjungi tempat bermain saat kecil dulu. “Gue lagi kangen waktu dulu, pas kita pulang main, biasanya mama masakin sup. Terus malamnya mama bacain dongeng dari salah satu buku kesukaan gue.” Io menjelaskan sambil menghirup udara pagi. Ayi mendengarkan tanpa menyela. Ia tahu buku yang Io maksud, dan juga tahu bahwa sahabatnya itu sedang merindukan mamanya saat ini. Ayi tahu bahwa Io sedang bersedih.

Akan tetapi, yang tidak ia sadari saat itu adalah perihal lain.

Dalam ingatannya, Io dulu kehilangan barang kesayangan yang merupakan peninggalan dari mendiang ibunya, dan kemudian bertengkar dengan ayahnya.

Benda itu, sudah Ayi berikan sebagai kadonya tadi pagi. Ia sendiri yang datang ke rumah Io dan membangunkan laki-laki itu. Pagi-pagi sekali Ayi ke sana. Ia sampai memasang tiga alarm pagi ini. Alarm yang pernah Io berikan dulu masih berfungsi dengan baik, yang juga selalu ia matikan saat alarm itu berbunyi, tapi dirinya sendiri justru tak kunjung bangun.

Io resmi berusia delapan belas tahun hari itu. Hari di mana sebelum kecelakaan itu terjadi. Hari di mana Ayi kehilangan setengah hidupnya dan masih merasakan pahitnya hingga saat ini.

Io saat itu tidak terima saat Ayi melarangnya untuk membuka kado miliknya. Kado tersebut baru boleh dibuka saat ia akan tidur nanti malam. Itulah yang dikatakan oleh Ayi yang menjadi orang pertama yang memberikan hadiah di hari ulang tahun Io yang ke delapan belas hari itu.

Wajah Io saat tertawa, terngiang jelas bagi Ayi yang saat ini masih menatap ke luar jendela mobil. Jalanan masih basah, udara terasa lembab karena bercampur dengan gerimis yang terlihat tanggung-tanggung.

Seberapa pun besarnya rasa penyesalannya, tapi Ayi sangat bersyukur pada satu hal, yaitu saat dirinya yang bolos dan menghabiskan banyak waktu. Yang juga mengingatkannya bahwa, tidak semua kenangannya yang Io tinggalkan adalah kesedihan.

Ayi merasa pipinya menghangat saat ia tahu bahwa dirinya di masa lalu pernah sangat bahagia. Bahkan itu dikarenakan dua orang sekaligus, Io dan Yandra.

Io, Ayi, dan Yandra memilih bolos pada mata dua mata pelajaran terakhir. Io sengaja memilih waktunya agar mereka tidak perlu kembali lagi ke sekolah. Teman sekelasnya mungkin saat ini tengah menjawab tugas. Namun, berbeda dengan mereka bertiga saat ini, yang sedang menikmati masa-masa luang. Ayi ikut-ikut saja, ia tak bisa menolak permintaan sahabatnya itu. Sengaja mengajak Yandra, karena Ayi suka saat bersama lelaki yang sudah lama dikenalnya tersebut.

Ayi menyukainya.

“Loe tau nggak, Ndra. Di sini dulu, Io pernah kencing di celana karena dikejar angsa,” ujar Ayi, sambil menunjuk sebuah pot bunga besar yang ada di sudut taman kota, tempat di mana seorang Io kecil pernah bersembunyi. Apa yang Ayi maksud saat ini adalah kenangan mereka saat masih Sekolah Dasar. Itu adalah tempat kesekian kalinya yang pernah mereka datangi.

Setahun terakhir, Ayi sudah tak selalu berdua lagi saat pergi ke mana pun. Selalu ada Yandra saat ini yang selalu menemaninya. Namun, tidak sering bukan berarti tidak pernah. Io masih sering berkunjung ke rumahnya. Bahkan, Ayi dan Io pernah bermalam di rumah Yandra.

“Benarkah?” Yandra terlihat antusias saat Ayi mengatakan kejelekan Io, kemudian tertawa pelan. Ia suka bagaimana Ayi meledek sahabatnya sendiri. Karena Yandra akan merasakan sedikit tidaknya suara Ayi yang bahagia.

Begitu pun dengan Io. Ia suka saat membalas ledekan dari Ayi.

Sejak tadi, Yandra juga terus memerhatikan Io. Meskipun ia juga tahu bahwa laki-laki itu tidak marah padanya, tapi tetap saja Yandra merasa ada yang salah dengan tingkah Io sejak percakapan mereka kemarin. Ia seolah tidak bisa mendapati bahwa apa yang pernah Io katakan itu benar.

Bagaimana respons Ayi dan Io tidak ada yang berlebihan atau janggal baginya. Namun, ia tahu bahwa seorang Helio jarang bertingkah seperti itu.

Ayi mendekatkan wajahnya ke telinga Yandra. “Iya. Waktu kecil dulu Io suka ngompol di kasur gue.” Ayi membeberkan keburukan Io dengan berbisik pelan. Yandra terlihat menahan tawa, juga menahan degup jantungnya saat berdekatan dengan Ayi. Rona wajahnya mungkin tak bisa ia sembunyikan lagi.

Ayi menyukainya.

“Gue dengar, Ayla Ink!” Io yang sejak tadi memerhatikan, langsung berseru. Menyindir seorang yang terus mengatainya.

Ayi tidak akan pernah menahan kata-katanya untuk meledek Io di depan Yandra. Hubungannya dengan laki-laki yang dikenalnya hampir dua tahun itu semakin terasa lebih manis. Ayi terlihat sangat bahagia saat itu. Seperti kesedihan tidak akan berani mendekatinya jika sedang bersama dengan Yandra.

Semua orang mungkin akan tahu bahwa apa yang keduanya rasakan itu sama. Sebuah senyum yang tulus saat mereka bersama akan selalu terlihat.

“Hehe.” Ayi nyengir. Mengusak rambut bagian atasnya dan berjalan ke arah Io yang kini sedang bermain ayunan. Sebuah tatapan jail muncul di wajahnya saat melihat apa yang Io lakukan.

Io mulai menyadari sesuatu saat ayunannya mulai bergerak tidak wajar. “Mau ngapain loe?” tanya Io dengan ekspresi kalut. Ia memegang erat tali ayunan saat Ayi mulai mendorongnya dari arah belakang. Beberapa saat yang lalu, wajahnya terlihat muram saat menceritakan kenangan tentang ibunya. Namun, kini berubah karena Ayi.

“Ayi, cukup!” teriak Io saat laju ayunan semakin menjadi. Ayi yang terbahak tak menghiraukannya, memilih untuk terus mengayun Io sekuat tenaga. Yandra memerhatikan dengan perasaan was-was. Pasti sakit saat jatuh nanti. Saat jahil, Ayi tidak akan memikirkan orang yang akan menjadi korbannya. Begitulah seorang Ayla Ink.

Ayi memang menyukainya, tapi Io tidak.

Ayi baru berhenti saat Io jatuh tersungkur. Untung saja tidak ada yang terluka. Gelak tawa Ayi justru membuatnya semakin kesal. Io yang jengkel melepas dasi dari baju seragam sekolahnya dan mengikat kedua tangan Ayi pada tiang lampu taman. Lalu, mengajak Yandra menjauh dari sana. Mereka membeli makanan dan memakannya tepat di depan Ayi yang terikat. Membuat Ayi tergiur.

Io menyukainya.

Meskipun kenangan itu masih bisa menyegarkan ingatan Ayi saat ini, tapi perasaannya akan hancur setiap kali ia mengingatnya. Dan akan semakin hancur lagi saat ia juga berusaha melupakannya.

“Oke, oke. Gue nyerah,” pasrah Ayi yang sudah menyerah untuk melepaskan ikatan pada tangannya. Yandra yang lebih dulu bergegas melepaskannya. Io sangat keterlaluan baginya. Namun, dalam pertemanan mereka itu adalah hal yang biasa.

Cuaca pagi yang menjelang siang itu cukup terik. Mereka menghabiskan pagi dengan berjalan-jalan dan bercengkrama. Cukup untuk membuat penuh beberapa halaman diary Io nanti.

“Gue pulang dulu bentar. Hari ini sebenarnya ada acara makan siang keluarga, tapi nanti malam kalian harus datang!” ujar Io tepat setelah adiknya menelpon.

Ketika masing-masing dari Ayi dan Yandra melihat jam, mereka baru sadar bahwa itu sudah cukup siang. Juga akan sia-sia jika balik ke sekolah.

“Andai gue juga keluarga loe, pasti makan siang gratis hari ini,” celutuk Ayi, bertingkah seolah mengasihani diri sendiri. Dua laki-laki yang bersamanya itu tertawa mendengarnya karena tahu bahwa perkataan Ayi hanyalah candaan. Sifat Ayi yang riang itulah yang membuat Yandra menyukainya.

“Yaudah, ntar kalau kita dewasa loe nikah sama gue aja,” ujar Io, membalas candaan sahabatnya. Ayi tahu jika itu bukanlah ucapan serius. Saat mengatakannya saja Io sambil terkekeh.

“Jangan!” Yandra sontak berdiri. Ia dengan wajah tegangnya menatap Io tegas. Beberapa makanan yang ada di pangkuannya tumpah seketika saat ia berdiri.

Yandra tak menyukainya.

“Peka itu bukan soal bakat, Yi. Tapi soal kesadaran.” Io berujar pelan pada Ayi yang masih menatap Yandra. Ia tak mengerti dengan ucapan barusan.

“Maksudnya?” tanya Ayi pada Yandra.

Wajah Yandra terlihat bingung, ia merasa takut jika Io mengatakan apa yang selama ini ia pendam. Yandra memang sudah menyetujui untuk mengungkapkan perasaannya, tapi bukan itu kesepakan yang ia dan Io setujui. Terlebih lagi, waktunya bukan sekarang.

Untuk pertama kalinya Io terabaikan. Walaupun sudah biasa baginya, tapi kali ini rasanya aneh saja. Ah, ia lupa. Ayi ‘kan juga menyukai Yandra.

“Ka-kalau kamu nikah sama Io, aku nikah sama siapa dong biar dapat makan gratis?” Ucapan Yandra yang polos itu, sontak membuat Ayi dan Io terbahak. Entah sudah berapa kali mereka tertawa pagi ini.

Mereka menyukainya.

Lagi. Ayi lagi-lagi mencubit pipi Yandra. Kali ini kedua pipinya memerah bekas cubitan Ayi.

Namun, Yandra menyukainya.

Satu adegan itu kembali meninggalkan bekas. Senyum Yandra dan Io saat itu saling tumpang tindih dalam ingatannya yang kini semakin berkabut. Pandangannya kian buram saat Ayi berusaha mengembalikan air matanya.

Ia tidak boleh menangis. Setidaknya tidak lagi. Tahun-tahun terakhir semenjak sahabatnya itu pergi, Ayi sudah sangat puas dengan menangis.

To be Continued

Just 3

Kita adalah kebetulan-kebetulan yang disengaja tuhan.

...•••...

Jika mereka akhirnya berpisah, maka sebelumnya mereka pernah bertemu. Atau, jika bertemu, maka nanti akhirnya mereka pasti akan berpisah. Itulah hukum timbal balik.

Beberapa orang membenci perpisahan, tapi tidak bagi Ayi yang membenci melupakan. Karena baginya, perpisahan yang sebenarnya adalah saat ia dilupakan oleh orang-orang di sekitarnya, atau saat ia hilang dalam ingatan seseorang.

Selain dirimu yang hilang dari dunia orang-orang, semua tentangmu juga akan hilang dalam kenangan dan ingatan mereka. Sungguh menyedihkan. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk mengasihani diri sendiri.

Ayi tidak merasa terbebani saat mengingat banyak kenangan. Selama itu adalah dari seseorang yang berharga. Jika tidak sanggup melupakan, maka ia hanya harus mengingatnya saja atau membiarkan.

Sedangkan Yandra, selama orang yang dicintainya tidak terpuruk oleh keadaan dan perasaanya sendiri, ia akan bisa bernapas lega. Selega ia mencintai gadisnya itu. Baginya, cinta dan rasa kasihan itu berbeda, meskipun sama-sama sebuah perasaan.

Yandra menepikan mobilnya saat sampai di sebuah toko bunga. Dari jauh, sudah terlihat deretan pot yang berjejer di depan banyak tanaman yang merambati sebuah bangunan alih-alih tiang yang sengaja dibuat untuk beberapa bunga yang akan dijual. Beberapa warna merah terlihat mencolok. Si kecil Jia bahkan terlihat girang saat memasuki toko yang terasa menyegarkan itu. Bau manis juga menguar saat mereka melewati petak bunga mawar yang memiliki warna di tiap jenisnya.

Setiap langkah yang Ayi ambil, membuatnya semakin dekat dengan sosok itu.

"Kamu udah kirim surat untuk hari ini?" tanya Yandra sedikit tiba-tiba. Setelah ia memberikan diary milik Io pada Ayi, gadisnya tersebut terus mengirim surat pada Io, atau lebih tepatnya ke alamat rumah Io yang kini sudah tidak berpenghuni. Keluarga dari sahabatnya itu pun sudah pindah dan membiarkan rumah lamanya tetap kosong. Pada tahun pertama, Ayi hanya menuliskan bagaimana perasaanya ketika sahabatnya itu telah tiada. Namun, dalam dua tahun terakhir-delapan tahun lebih kematian Io, Ayi berpikir bagaimana jika salah satu suratnya terkirim untuk Io di masa lalu.

Sambil tertawa, Ayi mengatakan iya pada Yandra, tapi suaminya itu tidak mengatakan apa pun. Lalu sejak itulah, Ayi mencoba memberitahu Io di masa lalu tentang apa yang akan terjadi padanya.

"Makasih udah ngingetin, tapi aku sudah ngirim tadi pagi sebelum kita berangkat." Ayi menjawab ringan.

Yandra terkekeh getir. Ia tahu apa yang Ayi lakukan semenjak ia memberikan diary milik Io. Ayi terus mengirim surat, berharap agar Io membacanya.

"Ta ya. Mam mam." Suara kecil Jia berseru ria. Hanya dua kata itu saja yang bisa ia ucapkan. Ta ya yang berarti ayah dan mam mam yang berarti mama. Anak kecil yang belum tahu apa pun tentang dunia, bahkan dirinya sendiri.

"Kita beliin bunga buat sahabat Papa dulu ya, Jia boleh pilih," ujar Yandra pada anaknya. Si kecil makin tertawa senang saat diperlihatkan beberapa macam bunga. Ia juga beberapa kali menggeleng saat diperlihatkan bunga yang tak disukai. Ia sudah bisa membedakan satu hal. Akan tetapi, Ayi dan Yandra sudah tahu jenis bunga apa yang akan mereka beli.

"Nggak papa, 'kan, Bee?" tuturnya pada sang istri yang berdiri tak jauh dari mereka. Ayi yang berwajah ceria seperti biasnya, mengangguk dan tersenyum.

"He em. Nggak pa-pa kok, ini 'kan udah tahun kesepuluh, kita udah sembilan kali, loh. Kali ini biarin Jia yang milihin bunga buat ...." Suaranya yang terdengar riang dan ringan, kini terasa berat saat ia mengucapkan nama, " ... Io." Nama seseorang tak pernah Ayi lupakan, karena ia memang tak pernah ingin melupakannya.

Pilihan gadis mungil itu akhirnya jatuh pada bunga tulip berwarna putih. Ia bahkan tak mau kembali memberikan bunga itu saat akan dibungkus. Ayi sedikit terkesiap mendapati pilihan anaknya itu. Mengingatkannya kembali pada banyak hal.

Setelah membayar bunga yang dibeli, mereka beranjak dari sana menuju tempat tujuan yang sudah dijanjikan. Ayi dengan perasaan penuh haru, sedangkan Yandra mulai menata perasaan yang mungkin akan ia rasakan lagi. Sedikit cemburu, mungkin.

Dua temannya mungkin sudah sampai di tempat yang sudah dijanjikan.

Jalanan pagi ini masih ramai karena akhir pekan. Ayi menoleh ke arah luar jendela mobil, memperhatikan pemandangan yang selalu mereka lewati saat akan pergi ke tempat 'itu', tempat di mana seseorang berada.

Melamun, Ayi beserta pikirannya diseret kembali ke masa lalu, masa di mana ia dan seseorang bertengkar untuk pertama kalinya. Pergi menjelajah masa dengan ingatan, masa yang sudah lewat.

Perjalanan ingatan baru saja akan dimulai.

Saat itu ....

"Kan udah gue bilang jangan ikut lomba basket!" Ayi yang masih remaja terlihat marah, sambil mengompres wajah seseorang dengan es batu. Terdapat luka lebam di pipi seorang laki-laki yang masih memakai pakaian basketnya. "Ini nih, akibatnya karena lo nggak dengerin omongan gue!" Tangan dan mulutnya sama-sama ganas saat berfungsi. Namun, dibalik wajah cemberut yang masam itu, terdapat satu rasa peduli dan khawatir yang ia sematkan untuk seorang yang ... yang paling entahlah.

Bukannya takut, justru laki-laki itu malah terlihat cengengesan mendengar omelan dari sang sahabat. Sahabat kesayangannya. Sahabat kecil. Sahabat setengah hidupnya.

"Aw! Aw! Sakit Ay!" Wajah cengengesannya dengan cepat berganti menjadi kesakitan saat Ayi menekan kuat luka lebamnya. "Gue juga nggak tahu kalau Ahsa tiba-tiba minta gantiin," jelasnya, untuk membela diri.

Ayi mendengus, "Udah tahu badan lo kecil, masih aja diiyain!" Masih dengan kekesalannya. Walaupun bukan luka yang berarti, tapi ada rasa takut yang ia rasakan. Dulu, saat masih Sekolah Dasar, Ayi pergi ke sekolah sendirian karena sahabatnya itu sedang demam. Tidak ada seorang membelanya saat itu. Bukan membela saat ia dijahili, tapi ingin menjahili orang lain.

"Ahsa, 'kan temen gue, Ay," ujar laki-laki itu polos. Ia tak mau disalahkan. Niatnya hanya membantu temannya yang tiba-tiba dipanggil orang tuanya untuk segera pulang. Padahal, masih banyak pemain cadangan lain, tapi entah kenapa pelatih malah memilihnya. Baginya, ia tidak begitu hebat dalam basket. Hanya lihai dan tak pernah meleset dalam jumpshoot saja.

Saat di lapangan tadi, ia yang tanpa sengaja didorong pemain lain hingga terjatuh dengan wajahnya yang lebih dulu mendarat di lantai. Begitulah bagaimana ia berakhir di sini sekarang.

"Lo lupa kalau gue juga sahabat lo? Bisa nggak jangan buat gue ribet? Pokoknya nanti gue balas tuh orang." Kali ini Ayi benar-benar marah dan tak bisa meredam amarahnya lagi. Ia selalu menjaga sahabatnya itu dalam setiap hal. Mungkin itulah alasannya khawatir.

Io. Nama laki-laki itu. Ia seumuran dengan Ayi, sahabat laki-lakinya.

Kini, Ayi sudah selesai dengan pekerjaannya yang mengompres tadi. Wajah laki-laki itu berubah sedikit merasa bersalah. Ia bungkam. Makin terpaku saat Ayi beranjak pergi. Ia tak menyangka jika Ayi seserius ini. Laki-laki itu berakhir dengan ditinggal sendirian.

Untuk beberapa hal yang tak Io mengerti, Ayi kadang bersikap sentimen dan sensitif. Apa jangan-jangan sahabatnya itu sudah mulai menaruh rasa padanya? Memikirkan hal tersebut, Io mulai tertawa keras di ruangan yang hanya ada dia. Lalu, ia pun mengambil sebuah diary.

Ayi masih marah, bahkan saat pertandingan berakhir. Ia juga pulang lebih dulu. Biasanya mereka akan pulang bersama. Akan tetapi, tidak untuk kali ini, kali berikutnya dan kali-kali lainnya.

Dengan perasaan kadar rasa mengalah yang besar, Io terus meminta maaf pada Ayi di hari-hari berikutnya. Seperti biasa, setiap pagi ia menjemput Ayi untuk berangkat sekolah bersama. Laki-laki yang bernama Helio atau yang sering dipanggil Io itu selalu diacuhkan oleh Ayi. Seorang Ayla Ink masih merajuk. Selama mereka menjadi teman, ini adalah pertengkaran terlamanya.

Io terus mengajak Ayi bicara walau awalnya tak direspon sama sekali. Namun, untuk seorang Io, hanya butuh beberapa hari saja hingga akhirnya mereka akur kembali. Karena bukan Ayi namanya jika tidak memaafkan Io.

Saat Ayi akan melakukan apa pun, selalu ada Io di sana. Namun, kini ia tak bisa lagi, seberapa keras pun ia mencoba.

Kenangan itu berkedip, lalu hilang.

Ayi sedikit menaikkan kaca mobil agar angin bisa menerpa wajahnya terasa kebal oleh perasaan rindu. Selesai mengingat satu kenangan, ia ketagihan ingin mengingat yang lainnya. Namun, belum ada ingatan yang sedikit lebih indah yang muncul.

Memeriksa si kecil Jia yang sudah tertidur dengan memeluk satu buket bunga tulip, Ayi terkekeh. Wajah anaknya itu sangat damai seolah tidak memiliki beban apa pun yang ia tanggung.

Karena perjalanan masih lama, Ayi berniat untuk menjahili Yandra yang fokus mengemudi. "Kita nikah dulu karena apa, ya?" Walaupun kata tersebut memang ditunjukkan untuk Yandra, tapi laki-laki itu meresponnya dengan cepat.

"Karena aku cinta kamu."

Ayi bisa merasakan tawanya sendiri, sebuah ingatan baru yang melintas menyurutkan niat awalnya. Ia teringat pertemuan pertamanya dengan Yandra dulu.

Setiap kali ia teringat hal-hal buruk di masa lalu, Ayi akan mencoba mengingat hal menyenangkan setelahnya. Itu adalah cara agar ia tidak larut dalam kesedihan.

Setelah mengingat pertengkaran yang paling lama saat ia dan Io dulu, Ayi kembali mengenang kenangan yang lain. Kenangan yang membuat semuanya berawal.

Dulu, dulu sekali ....

Masa-masa Ayi SMP yang penuh dengan hal-hal yang dilabeli dengan kenakalan, kini berubah menjadi masa dengan drama-drama dan hal-hal lainnya. Tak ada lagi masa-masa permen dan gulali. Tak ada lagi masa-masa boneka dan Barbie. Yang ada hanyalah masa di mana mereka merasakan arti kehidupan yang sebenarnya. Sedikit romantisisme akan ikut ambil bagian kali ini.

Io dan Ayi beranjak dewasa. Ia tak senakal dulu lagi. Hari-harinya masih seperti biasa, hingga sosok itu hadir di antara mereka. Bukan sebagai penengah atau orang ketiga. Hanya sebagai sosok seorang biasa. Sangat biasa.

Dan dimulailah pertemuan pertamanya. Kenangan bahagianya bersama Yandra.

Pagi itu, Io tidak menjemputnya karena mengantar adiknya sekolah. Mereka sudah membuat janji sebelumnya. Hari ini adalah pertama kali ia masuk sekolah sebagai murid kelas dua. Ia juga tidak tahu apakah akan satu kelas lagi dengan sahabatnya itu atau tidak. Untuk sekarang, itu bukanlah hal yang penting.

Pelajaran pertama hampir saja dimulai saat Ayi memasuki kelas barunya. Napasnya tergesa-gesa, ia berlari sepanjang koridor sekolah.

"Maaf Pak, saya terlambat," ucapnya, ketika sampai di depan pintu masuk.

"Ya, saya tahu. Masuk," perintah seorang guru yang juga baru masuk pada Ayi dengan nada datar. Ayi tersenyum lega, untung saja bukan guru yang mempermasalahkan waktu. Ia kemudian melangkah masuk, matanya mencari kursi kosong dan juga ... Io.

"Shht. Woi, Yi. Ayi," panggil sebuah suara, terdengar sangat pelan. Itu adalah Io. Ia duduk di kursi paling belakang. Ayi melihatnya sekilas dan tersenyum kemudian duduk di kursi nomor dua dari depan. Hanya itu kursi yang satu-satunya kosong.

Jika Io duduk di sudut kiri belakang, maka Ayi duduk di kursi sudut kanan depan. Mereka terpisah. Itu lebih baik daripada tidak satu kelas sama sekali. Padahal Io sudah berencana duduk di kursi bagian belakang bersama Ayi, tapi karena sahabatnya itu terlambat ia hanya harus melakukan hal lain nanti.

Ayi dan Io sudah bersama dan bersahabat sejak kecil hingga sekarang. Rumah mereka juga tidak terlalu berjauhan. Beberapa orang di kelasnya terlihat asing-bukan dari kelasnya dulu. Kelas ini adalah campuran dari semua murid kelas satu yang naik jelas. Hanya beberapa saja yang ia kenal termasuk Io.

"Yandra," sapa sebuah suara yang terdengar asing bagi Ayi. Pelajaran pertama sudah berakhir. Ia mendongak dan mendapati seorang laki-laki yang duduk di depannya tengah mengulurkan tangan. Laki-laki itu tersenyum. Ayi tidak mengenalnya karena bukan dari kelasnya dulu.

"Ayla," sahut Ayi, setelah menyambut uluran tangan Yandra. Mereka saling berjabat tangan. "Selamat berteman dan semoga betah," tambah Ayi, tersenyum lebar.

Yandra sedikit tertegun, kemudian tersenyum..

"Aku akan berusaha."

To be Continued

Just 4

Something-kah jika aku mensesuatukanmu?

•••

Kekuatan kebetulan itu sangat besar. Bahkan, ia akan bisa mengalahkan hal yang disebut kemustahilan.

Dari banyaknya surat yang Ayi kirim, salah satunya melewati batas dimensi ruang dan waktu. Dari situlah keajaiban itu dimulai.

“Kenapa yang ini tidak ada perangkonya?” gumam laki-laki setelah memeriksa isi dalam tasnya lagi. Ia memastikan bahwa semua barang yang dikirim untuk hari ini, sampai pada tempatnya. Namun, saat menemukan sebuah surat yang sedikit lusuh, membuatnya bingung. Ia awalnya berencana untuk kembali ke tempatnya bekerja dan menanyakan hal tersebut pada temannya yang lain.

Apapun barangnya, sampaikan ke tempat tujuan.

Lagi-lagi kode etik dari tempat bekerjanya itu membuatnya mau tidak mau kembali mengambil surat yang ia simpan tadi. Dari alamat yang ia baca, sepertinya itu tempat yang lumayan jauh. Padahal, ini bukanlah area untuk pengiriman barang hari ini.

Bukan keadaan yang menuntutnya, tapi pekerjaan.

Ia mengarahkan kendaraannya untuk menuju tempat yang tertulis di surat tersebut.

***

Ayi mengayuh sepedanya dengan terburu-buru. Putaran kakinya pada pedal semakin cepat.

Pagi ini, ia sedang menuju ke rumah Io untuk mengajaknya pergi ke sekolah. Meskipun ia sadar akan terlambat, tapi Ayi tidak tahu kenapa sahabatnya itu tidak membangunkannya atau menjemputnya pagi ini.

Sesampainya di luar pagar rumah Io, Ayi berteriak, “Io!” Mengarahkan panggilannya ke arah jendela yang ada di bagian samping rumah tersebut.

Jika ia memanggilnya tiga kali dan tidak ada sahutan, maka itu berarti Io memang tidak ada di rumah.

Ayi kembali ke pintu depan dan melirik pada bel pintu. Sebelum pintu tersebut dibuka, Ayi melirik pada surat yang menyembul keluar dari kotak surat. Ia melihat sekilas bahwa ada sebuah surat yang ditunjukkan untuk Io.

Seorang wanita mudah menampakkan wajahnya saat pintu terbuka. Itu adalah ibu tiri Io.

“Ayla?” sapanya. Ayi balas tersenyum.

“Apakah Helio tidak memberitahumu bahwa ia mengantar Arta sekolah?” beritahu wanita itu lagi.

“Tidak ada, Tante,” balas Ayi kembali tersenyum. Kali ini senyum itu ia samarkan dengan rasa kesal.

***

Bel tanda istirahat tiba. Io beralih mendekat ke bangku Ayi. Sudah sedari tadi ia ingin mengatakan hal-hal yang tidak penting selama jam pelajaran yang lalu. Saat sampai di depan Ayi, yang Io dapati bahwa gadis itu terlihat sibuk mengobrak-abrik isi tasnya, seperti mencari sesuatu.

Namun, Io tak mempermasalahkannya, ada hal yang ingin ia sampaikan terlebih dahulu. Bukan untuk mengetahui, tapi hanya ingin memastikan apakah dugaannya benar atau tidak.

“Kenapa loe telat, Yi?” tanya Io, ketika sudah duduk di kursi yang ada di sebelah sahabatnya itu. Wajahnya tersenyum dan terlihat ceria, masih seperti Io biasanya.

Ayi sama sekali tak terpengaruh dengan kehadiran Io di yang tiba-tiba “Gara-gara loe yang nggak bilang kalau hari ini ngantar Arta, makanya gue telat.” Alasan Ayi terlambat adalah ia yang ke rumah Io.

“Gua udah bilang dari kemarin, Ayi.” Io mengatakan bahwa itu bukanlah kesalahannya.

Ayi pun terlihat seperti tidak ingin membahasnya karena ia baru memeriksa teleponnya dan ada pesan dari Io yang belum sempat ia baca. Jadi, ia mengalihkan pembahasan tentang alarm. “Gue juga nggak tahu, padahal alarm udah bunyi tadi pagi,” tukas Ayi, sembari mengacak-acak tasnya, masih mencari sesuatu. Tangannya tanpa sengaja menyentuh sebuah surat.

“Terus, kalau alarm loe udah bunyi, kenapa masih telat?” tanya Io lagi. Salah satu kebiasaan Ayi yang ia tahu adalah dibangunkan alarm—pemberian Io saat ulang tahun Ayi yang ke-15—setiap pagi. Sahabatnya itu masih tak terbiasa bangun pagi. Ia bisa saja melakukan hal itu jika tidak tidur larut untuk menghafal lirik dari lagu kesukaannya. Sebut saja ia seorang fanatik.

Ayi berhenti, seolah baru saja menganggap kehadiran Io. Ia mendongak. “Hehe.” Lalu menunjukkan muka cengengesan. Ia tersenyum dengan menampakkan deretan giginya. Wajah baby face miliknya yang tak jemu untuk dipandang, tak menimbulkan ekspresi apa pun dalam hal ketertarikan bagi seorang Helio. Sama sekali tidak menggetarkan hati dan perasaan. Mungkin akan berbeda hal jika seorang laki-laki lain yang sudah memperhatikannya berada di posisi Io saat ini.

Mata Io yang menatap Ayi, sedikit memicing. Apa yang ia duga sepertinya tidak salah. “Jangan bilang kalau alarm itu fungsinya cuman dimatiin pas bunyi, sejak kapan emang alarm beralih fungsi?” cibir Io, mulai membuka sesi ceramahnya. Gadis itu selalu saja begitu.

Io memang khawatir, tapi apa yang ia khawatirkan bukanlah Ayi yang telat. Ia hanya sedikit takut jika tidak satu kelas dengan sahabat kecilnya itu. Rasanya ada yang kurang saja. Tidak ada teman untuk berbuat rusuh atau mungkin bolos. Io tidak suka jika dihukum sendirian. Pikiran itu ia tanamkan saat SD dulu ketika ia dihukum karena tidak mengerjakan PR. Lalu, Ayi datang dan ikut berdiri di depan kelas bersamanya. Rasanya seperti baru kemarin.

Wajah seorang gadis kecil yang sedang Io ingat itu tiba-tiba muncul di depannya dalam versi dewasa. Masih oval dan dipenuhi senyuman jahil. Namun, ada yang sedikit aneh dengan matanya hari ini. Karena tidak terlalu memerhatikan, Io jadi tidak menyadarinya.

“Sok tau, loe!” kelit Ayi, tak terima tuduhan sepihak dari sahabatnya itu. Padahal memang benar adanya. Sifat keras kepala dan tak mau kalahnya mulai muncul.

“Terus, kenapa telat?” Io bertanya lagi, ia masih belum puas dengan jawaban yang diberikan Ayi. “Heh, pasti ... begadang,” tebaknya asal, tapi tepat sasaran. Kebiasaan Ayi apalagi yang tidak diketahui oleh Io? Memangnya ada? Hanya Ayi saja yang tak mau mengerti karena ia tak tahu.

“Hehe. Ketahuan, ya?” Ayi nyengir, tebakan Io kali ini tidak meleset. Hal itu bisa terlihat jelas dari ekspresi dan gelagat yang ditunjukkannya. Lingkaran hitam ia lihat kemarin, kini semakin bertambah pekat dan muncul di bawah mata bulatnya. Meskipun begitu, tapi tidak merubah kesan manis pada wajah gadis itu.

“Gue kenal loe dari berudu,” ujar Io mengejek, ia membuka layar teleponnya untuk mengecek tanggal.

Ayi seperti memikirkan sesuatu setelah mendengar ungkapan dari laki-laki di depannya. “Kalau gue, kenal Taylor Swift juga dari berudu,” sahut Ayi, riang dan terdengar membanggakan nama itu. “Eh, dari embrio,” ralatnya dengan cengiran. Ia sangat menyukai perempuan yang tak pernah ia temui tersebut.

Taylor Swift. Ayi sangat menyukai penyanyi tersebut beserta lagu yang ia nyanyikan. Seperti tiada hari tanpa membahas dia. Menjadi seorang Helio mungkin akan sangat membosankan untuk mendengarkan bagaimana Ayi saat membahasnya. Ya, mungkin saja. Tidak ada yang tahu karena Io hanya mendengarkan, lalu kemudian mencibirnya jika ia mau.

“Ngapain, sih?” tanya Io, merasa risih. Ia tidak peduli dengan jawaban tak penting Ayi tadi.

“Gue gadang karena lagi ngapalin li–“

“Lirik lagu Taylor Swift,” potong Io cepat, sebelum Ayi bersuara lebih lanjut. Seseorang yang duduk di depan meja Ayi sontak menoleh ke samping, merasa seperti terpanggil. Namun, yang ia dapati hanya Ayi dan Io yang sedang mengobrol. Terlihat akrab sampai membuatnya ingin terlibat.

“Iya, bener banget! Tiga hari yang lalu itu single barunya rilis di album yang gue bilang kemarin dan gue suka banget. Gue juga baru taunya kemaren, Yo. Nyesek nggak kalau loe jadi gue? Nyesek, ‘kan? Gue udah tahu kok, jadi nggak usah jawab,” cerca Ayi, menggebu dan lengkap dengan panjang lebarnya. Ia selalu bersemangat jika membahas yang apa yang ia suka.

Laki-laki tadi menoleh lagi, kali ini ia yakin dengan yang ia dengar. Ingin menyahut, tapi masih belum berani. Terlalu kaku jika ia langsung mengajak bicara orang yang baru saja dikenalnya. Mungkin ia akan dicap ‘sok akrab’ oleh mereka.

Kembali pada dua orang yang masih berada di belakangnya, Io hanya bereaksi biasa saat mendengar celotehan sahabatnya. Salut dengan Ayi yang tak pernah bosan membahas artis kesukaannya itu. Ia juga tidak merasa aneh lagi. Entah sejak kapan Ayi menyukai lagu-lagu bertema mantan itu. Untung saja Io tak pernah merasa terganggu dengan apa yang sahabatnya sukai. Apa yang Ayi lakukan tak pernah menjadi beban baginya. Hanya memperbanyak maklum saja yang bisa ia lakukan.

“Yaudah. Makan yok, gue udah lapar, nih. Tadi pagi nggak sempet sarapan soalnya,” ajak Io pada Ayi yang kini sudah mengeluarkan semua isi tasnya di atas meja. Ia masih belum menemukan apa yang ia cari sedari tadi.

“Headset gue ketinggalan, Yo. Gimana dong? Asupan telinga gue hari ini nggak ada,” resah Ayi yang baru menyadari jika benda yang ia cari dari tadi tidak ditemukan.

“Kita makan dulu, ntar pake punya gue aja,” ujar Io, sudah tak bisa menahan rasa laparnya. Perutnya juga sudah pedih. Celotehan Ayi tak akan membuatnya kenyang dengan cara seajaib mungkin.

“Iya deh, iya.” Ayi akhirnya menyetujui dan berangsur lebih dulu di depan Io. Ini yang ngajak dan diajak sebenarnya siapa, sih?

Laki-laki yang menoleh tadi seperti menyadari sesuatu.

“Akhirnya,” gumamnya pelan dan tersenyum tipis. Ia terus memerhatikan Ayi yang menuju pintu keluar dengan Io yang terlihat sesekali menjahilinya. Meniup rambut Ayi dan dibalas hantaman keras pada kepalanya.

Seseorang yang ternyata Yandra itu, akhirnya menemukan seseorang yang mempunyai mata yang nyaman untuk dipandang.

Di sisi lain di lain waktu, tepat di kantin sekolah, Ayi dan Io sudah siap memesan makanannya. Ia masih berdiri tak jauh dari sederet makanan, bukan bingung untuk memilih menunya, tapi ....

“Oke, kali ini apa tantangannya?” tanya Io pada Ayi yang terlihat masih berpikir. Rambut sepunggungnya terlihat tergerai. Io masih menunggu.

“Oke, yang bisa nebak gender orang yang lewat dari pintu kantin dia yang menang,” usul Ayi, menjentikkan jarinya.

“Oke, deal.” Io setuju tanpa banyak bantahan, lalu bersalaman tanda bahwa mereka sepakat.

“Pasti cewek,” seru Io lebih dulu. Dalam tantangan kali ini, ia sedikit tak peduli karena rasa lapar sudah merajai pikirannya.

“Yahh, otomatis gue milih cowok, dong. Ini sih, namanya sisa dari pilihan loe, Yo!” dengus Ayi, merasa kesal dan tak terima. “Tapi, kesempatan gue menang masih lima puluh persen, loh,” timpalnya, menyemangati diri sendiri. Mood-nya berubah-ubah dengan tidak jelas.

“Terserah, sih,” sahut Io, tak menghiraukan dan mulai memindai makanan apa yang ingin ia pesan.

“Yaudah. Gue hitung sampai tiga, baru dimulai ya,” ujar Ayi, kemudian menghitung.

Mereka masih berdiri di sana dan menunggu, menatap pintu masuk dengan tak sabar. Ayi sudah menghitung beberapa saat yang lalu hingga seseorang akhirnya melewati pintu masuk kantin. Dari sekian banyak yang lewat, hanya dia orang yang muncul. Orang sama yang tadi pagi mengajak Ayi berkenalan.

Percayalah, kebetulan itu adalah bagian dari takdir.

“Yeaayy!!” Ayi bersorak sangat keras. Suaranya membuat orang-orang di sekitar refleks menatap mereka berdua, termasuk orang yang baru masuk tadi, Yandra.

“Inilah kemenangan pihak yang terdzalimi,” girangnya, penuh semangat lalu memesan makanan sesukanya. Makanan yang tidak mengandung rasa pedas.

Selain tidak suka rasa sakit, Ayi juga tidak suka rasa pedas.

“Kapan gue nge-dzalimin loe?” tanya Io, merasa sangat tersindir, tapi tidak memasukkan perasaan dan hati di dalamnya. Kemudian, juga ikut memesan makanan. Tidak perlu menunggu lama, mereka sudah mendapatkan makanannya.

“Kapan juga gue bilang itu elo?” Ayi balik bertanya kemudian menelusuri area kantin untuk mencari meja kosong. Io mengira pembahasan mereka sudah berakhir.

“Itu pencitraan Ay, pencitraan,” seru Io, gemas. Ia harus memiliki pasokan sabar ketika berdebat dengan seorang Ayi. Setumpuk maklum saja tidak cukup.

“Gue nggak make pencitraan tadi,” ujar Ayi, tanpa merasa bersalah. Ia memilih duduk di meja panjang di sudut kantin, bersama Io tentunya.

“Gue, Yi. Gue yang make pencitraan, bukan loe! Secara nggak langsung loe ngatain gue!” Io hampir meledak kali ini. Ayi seolah bertingkah. Ia sedikit tidak terima dengan kemenangan Ayi kali ini.

“Nggak kok. Gue nggak bilang gitu ke loe. Gue cuman terdzalimi oleh keadaan. Lagian, loe sensi banget hari ini, Yo,” pungkas Ayi, merasa ada yang salah. Io diam, memilih untuk tidak meladeni Ayi dan duduk berseberangan dengan sahabatnya itu. Seorang yang baginya hampir segalanya, segalanya dalam tiap waktu ketika bersama.

“Yaudah, kali ini loe yang menang,” ungkap Io, memilih mengalah. Ia menerima kekalahannya dan juga mentraktir Ayi makan.

Begitulah yang sering mereka lakukan saat ingin makan. Memberi dan menjalankan sebuah tantangan. Di mana, pihak yang kalah akan membayar semua makanan dari pihak pemenang. Io selalu kalah melawan Ayi. Apakah anugerah keberuntungan yang ia terima sejak lahir hanya setipis itu? Atau jangan-jangan Ayi yang mengambilnya.

Mereka kini menikmati makanan masing-masing sambil mengobrol ringan. Mulai dari membahas hal lucu hingga serius. Dua sahabat itu jarang sekali membahas tentang percintaan, karena sangat tidak cocok untuk Ayi dan Io. Mereka memang tak ingin, karena itu bukanlah ranah yang menyenangkan.

To be Continued

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!