Jessica memberengut kesal. Kak Hammam betul-betul mengacuhkannya. Dengan berat hati ia menempuh perjalanan jauh hanya untuk menemui suaminya itu, eh, sedari tadi nyata ia acuhkan. Tangannya yang memegangi batang besi ayunan di taman depan rumah mereka sampai pegal terasa.
Pandangan perempuan berwajah cantik dengan rambut pirang panjang kembali diarahkan di teras rumah. Di sana terlihat suaminya masih asyik mengobrol dengan kawannya yang berkunjung sedari pukul delapan tadi, hanya sesekali ia tampak memandang ke arah tempat Jessica berada, itupun dengan dahi berkerut.
Tiap kali arah pandang Kak Hammam tertuju padanya, wajahnya sengaja di tundukkan berpura malu, namun nyatanya, tak lama kemudian suaminya kembali berbincang dengan temannya. Huhh! Harapan sang suami bakal memanggilnya sepertinya takkan terwujud.
Perempuan itu tahu, semua itu memanglah kesalahannya sendiri. Sebulan yang lalu tepatnya, sang suami pulang larut malam, tanpa menanyakan alasan ia langsung mengumbar emosi dengan caci maki tak keruan, bahkan melontarkan kata-kata tuduhan si suami telah memiliki wanita pujaan lain.
Suaminya seorang yang sabar, sekalipun ia marah, tak nanti ia balas dengan marah, bahkan berkali-kali cuma berucap, "Tenang Yang, nanti abang jelaskan."
Tapi entah mengapa, malam itu ia tak mampu membendung emosinya, setelah puas memukuli dada suaminya, ia ambil kunci mobil, dan keluar rumah sambil membanting pintu sekerasnya.
Ahh.. Ia malu bila mengingat semua itu, fikirnya satu dua hari pastilah sang suami bakal menjemputnya, huhh.. nyatanya setelah hampir sebulan tak kunjung ia di bawa pulang. Keterlaluan!
Namun bagaimanapun perasaan sayang dan cinta tak bisa dipungkiri. Ia masih ingin selalu dekat dengan Kak Hammam, itulah mengapa malam ini ia bulatkan hati kembali kerumah.
Sedianya ingin ia memberi kejutan ke sang suami, tapi siapa duga, begitu ia masuk ke halaman, disaat bersamaan kawan karib suaminya datang, dan tanpa basa basi langsung mengetuk pintu dan memberi salam. Sial! Rutuk Jessica dalam hati. Pada akhirnya ia hanya manyun sendirian di taman memainkan ayunan.
Hampir tengah malam akhirnya kawan Kak Hammam terlihat berdiri hendak pamit, sebelum pulang, sahabatnya itu beberapa kali tepuk-tepuk bahu suaminya, yang di respon hanya dengan anggukan.
Jessica berteriak riang dalam hati, ini kesempatannya untuk bertemu sang suami fikirnya, apalagi suaminya terlihat kembali mengarahkan pandangannya ke tempat ia duduk. Lantas saja perempuan itu bangkit dari ayunan, siap menyambut orang yang dikasihinya.
Ahhh..
Harapannya kembali pupus. Sang suami kembali tak mengacuhkannya, membalik badan dan masuk kedalam rumah dengan langkah terlihat lemas.
Tak terasa air mata menetes di pipi Jessica. Sudah tak berhargakah ia kini di mata sang suami? Tidak ingatkah Kak Hammam waktu-waktu indah dimasa dulu saat mereka memadu kasih?
Yah, perempuan muda nan cantik itu bertemu pertama kali dengan suaminya di bangku kuliah, sama-sama menempuh studi di Fakultas Ekonomi. Karena tempat kostan mereka yang tak berjauhan, sering mereka bertemu saat hendak menuju tempat kuliah. Itulah saat dimana benih-benih cinta bersemi dihatinya. Maka saat lelaki itu mengungkapkan perasaannya, Jessica langsung menjawab, Ya! Tanpa ragu.
Suara burung malam mengagetkan lamunannya. Ah, baiknya ia masuk kerumah. Mengingat betapa lemahnya langkah Kak Hammam saat masuk rumah tadi, ia yakin masih ada perasaan sayang yang mendalam di hati sang suami padanya. Bagaimanapun caranya ia ingin kembali bersama dengan suaminya, biarlah nanti ia akan meminta maaf setulusnya pada sang suami bila perlu.
Sampai di dalam rumah tak ditemuinya Kak Hammam di ruang tamu ataupun ruang tengah. Mungkinkah si suami menunggunya di dalam kamar? Sebaris senyuman melintas di wajah Jessica, bergegas ia segera menuju kamar.
Di dalam kamar, dilihatnya sang suami telah rebah di kasur, tertidur lelap. Jessica menghampiri, duduk di samping ranjang, tangannya membelai wajah tampan suaminya, kembali air mata menetes di pipi, "Kak Hammam, maafkan Jessica..." Ucapnya lirih.
Sang suami tetap dalam lenanya. Ohh... pilu hati perempuan cantik itu, ia bangkit, kini ia mulai sadar, tak guna membujuk suaminya, tak ada lagi perasaan kasih sang suami pada dirinya, nyata kehadirannya tak membuat Kak Hammam peduli dan menanti untuk berjumpa.
Sekali lagi di pandangi wajah sang suami, kejap lain ia berbalik, dengan berat ia tinggalkan ruang kamar yang penuh memori di masa lalu dengan sang suami terkasih.
***
Beberapa saat sepeninggal Jessica, lelaki muda yang semula terlelap bangkit dari tidurnya, ia duduk termenung, disapunya segenap ruang dengan pandang matanya. Ahh.. rupanya ia bermimpi barusan, seakan mendengar suara istrinya memanggil. Dengan perlahan Hammam bangkit, didekatinya satu meja kecil. Sebuah photo wajah wanita cantik ada di dalam pigura. Jessica. Wanita cantik yang selama ini sangat di cintainya. Ia kembali terkenang percekcokan sebulan yang lalu, bagaimana isterinya marah hebat saat ia pulang terlalu larut, bahkan ia tak sempat menjelaskan kalau ia lembur untuk pekerjaan yang harus di laporkan esok hari pada bossnya. Hingga puncaknya sang isteri pergi meninggalkan rumah dengan mobil mereka.
Hammam menyentuh photo wajah isterinya. Kesedihan hebat melanda, karena di malam yang sama, betapa kabar buruk ia terima, bahwa sang isteri meninggal dalam kecelakaan tragis karena mengendarai mobil dengan laju yang sangat tinggi.
Kembali lelaki muda itu membelai photo Jessica dengan mata berkaca-kaca. "Berbahagialah di alammu sana Sayang..." Hammam sadar, bukan tanpa sebab ia saat di depan teras tadi beberapa kali melihat ayunan di depan rumah bergoyang-goyang sendiri tanpa ada yang menduduki. Itulah tempat kesukaan Jessica di masa mereka masih bersatu....
Sekian.
Alex duduk sambil menikmati kopi yang ia seduh sendiri malam itu. Rumah yang ia tempati saat ini merupakan rumah model kuno yang baru ia beli beberapa hari lalu, dari seorang tua bernama Pak Karyo. Harganya terbilang murah untuk rumah sebesar itu. Alasan si penjual, ia terlalu tua mengurus rumah dan halamannya yang luas. Walau agak jauh dari tempat ia kerja, Alex langsung suka dengan suasananya yang asri.
Blung!
Dahi Alex berkerut. Suara itu lagi!? Heran ia, tiap malam sejak ia beli rumah ini selalu terdengar suara aneh itu. Entah dari mana asalnya. Kemarin malam sudah coba ia periksa, tetap saja tak diketemukan sesuatu yang mencurigakan.
Langkah kaki terdengar dari dalam. Alex menoleh. Bi Sumi rupanya. Perempuan paruh baya yang diperbantukan dirumahnya itu mendekat kearahnya.
"Apa Tuan memanggil saya?" Tanyanya.
"Tidak Bi, kenapa?" Balasnya.
"Oh maaf Tuan, tadi waktu saya tidur seperti ada suara memanggil-manggil."
Alex tersenyum. "Mungkin bibi bermimpi. Isteriku dan anak-anak juga sudah tidur dari sore tadi."
Bi Sumi terdiam seperti tidak percaya.
"Sudahlah Bi, tidurlah kembali." Ucap Alex.
Wanita paruh baya itu mengangguk-angguk. Kemudian berbalik masuk kedalam.
Alex termenung. Tak pernah sebelumnyai pembantunya itu berperilaku aneh semacam ini, benarkah apa yang di katakannya? Ah sudahlah, kenapa fikirannya jadi macam-macam.
Di teguknya lagi kopi di dalam cangkir. Tak berselang lama, lelaki muda itu beranjak bangkit. Matanya sudah lelah. Sudah saatnya ia tidur.
Siangnya Alex dan keluarga pergi ke pasar kota. Hari minggu memang saat yang tepat buat mereka untuk berbelanja, banyak kebutuhan rumah yang harus di beli. Saking banyaknya yang harus dibeli, baru menjelang sore mereka pulang.
Perjalanan dari pasar kota menuju rumah kurang lebih setengah jam. Tak ingin terburu, Alex mengendarai mobil dengan santai.
"Perutku lapar Yah." Ucap anaknya yang besar si Egit.
Alex melihat jam di tangannya, "Pukul empat Bun, bagaimana?" ujarnya meminta pertimbangan isterinya.
"Bakso aja Yah, bungkus, makan di rumah." Jawab isterinya.
Suaminya mengangguk. Ia lantas membelokkan mobil saat di lihat sebuah warung bakso yang cukup besar. Dibelinya lima bungkus. Empat buat ia, isteri dan dua anaknya, satu buat Bi Sumi.
Sampai di rumah, setelah mematikan mesin mobilnya, di bantunya Zahid anaknya yang masih berusia lima tahun untuk turun. Aex memang sayang betul dengan si bontot. Bawaanya ingin menggendong si kecil itu terus.
Belum lagi masuk kerumah, mereka mendengar suara jerit mengagetkan.
Toloong!
Ia berpandangan dengan isterinya.
"Bi Sumi Yah!" Ucap isterinya setengah berteriak.
Alex turunkan si kecil, dan bergegas masuk ke dalam rumah yang pintunya tidak terkunci. Ia berlari ke arah belakang. "Bi! Bi Sumi!" Panggilnya.
"Toloong ..Tuan!" Terdengar jawaban. Suaranya seperti dari jauh. Alex kebingungan, sampai akhirnya ia temukan sumber suara. Dari dalam sumur!
"Astaga Bi!" Teriaknya kaget. Dilihatnya pembantunya itu basah kuyup ada di dasar sumur. Dua tangannya memegang erat tali timba.
"Bertahan Bi!"
Isteri dan dua anaknya juga kaget melihat pembantu mereka terperangkap di dalam sumur. Alex meminta isterinya memanggil beberapa tetangga mengeluarkan pembantunya dari dalam sumur.
Kasihan wanita separuh baya itu, tubuhnya menggigil dan tampak pucat. Alex memintanya mengeringkan badan dan berganti pakaian. Isterinya dengan baik membuatkan minuman hangat.
Setelah berganti pakaian dan meminum minuman hangat, Alex bertanya penyebab kejadian pembantunya itu bisa terjatuh ke sumur. Karena biasanya mereka tak pernah menimba, melainkan menggunakan mesin air.
"Ada yang memanggil-manggil Tuan, saya cari-cari tak ada sesiapa, satu kali panggilan saya dengar seperti dari dalam sumur, saya longok, terpeleset, langsung jatuh kedalam, seperti ada yang menarik."
Tanda tanya meliputi benak Alex. Ia mulai curiga dengan rumah ini. Tapi sementara ia pendam kecurigaannya. Khawatir keluarganya akan ketakutan.
"Sudahlah Bi, lain kali hati-hati ya," Ujarnya menenangkan.
***
Malam itu, dua hari selepas kejadian terceburnya Bi Sumi kedalam sumur. Alex duduk santai di serambi depan, sebuah meja kecil di atasnya terdapat sebuah laptop. Ada satu pekerjaan kantor yang disambinya. Pula sebuah cangkir kopi menemani di sisi lain meja.
Semilir angin malam yang sepoi-sepoi membuat matanya sedikit mengantuk. Diambilnya cangkir kopi dan di sruputnya sedikit.
Blung!
Eh!? Suara itu? Alex bangkit dari duduknya, penasaran betul ia. Darimana asal suara itu?
Lelaki muda itu masuk kedalam rumah. Dihidupkannya lampu depan yang semula ia matikan. Tak ada apapun. Kakinya melangkah ke ruang tengah, dan terus menuju dapur.
Sesampai di dapur kakinya menginjak permukaan yang basah. Apa ini? Diperhatikan betul, memanglah ada bagian-bagian yang basah di sekitar dapur.
Kaki Alex mengikuti arah permukaan yang basah. Deg! Tak sadar ia sampai di sumur di belakang rumah. Ragu ia untuk menengok kedalam sumur, apalagi di tengah malam seperti itu. Apakah salah satu penghuni rumah yang barusan keluar ambil air? Alex memutuskan membalikkan badan. Ia melewati kamar Bi Sumi. Ditekannya sedikit. Terkunci. Hmm.. Tak nampak juga bekas genangan air disekitar pintu. Lagipula mana berani ia keluar tengah malam setelah kejadian beberapa hari kemarin.
Esoknya, Alex mengunjungi kawan karib dari mendiang ayahnya. Bukan silaturrahmi biasa. Ada satu bantuan yang ingin dipintanya.
Pak Masrullah namanya, umurnya sekitar enam puluh tahun. Berbadan kecil. Kopiah hitam tak pernah lepas dari kepalanya. Ya, Alex tahu kelebihan orang tua itu. Dalam hal-hal berbau mistis.
"Wah Alex, tumben kau ingat main kemari," sambut lelaki tua itu dengan senyuman. Alex tersipu, memang diakuinya sudah lama tidak dikunjunginya kawan ayahnya itu.
Setelah berbasa basi, akhirnya disampaikan maksud inti dari kedatangannya, yakni perihal kejadian-kejadian aneh yang terjadi dirumahnya beberapa hari ini.
Lelaki tua itu mengangguk-angguk setelah mendengar penuturan Alex. "Menarik-nenarik." Lantas dipandangnya Alex. Cukup lama.
Lelaki muda itu kebingungan dengan pandangan Pak Masrullah. Lantas mulutnya membuka, "Bagaimana Pak?"
Lelaki tua itu tersenyum. "Ayo, segera kita berangkat ke rumahmu."
Pukul tiga sore mereka tiba. Melihat kedatangan tamu yang di anggap spesial. Isterinya sibuk menyiapkan sajian, minuman dan memerintahkan Bi Sumi memasak masakan untuk persiapan makan malam.
"Waduh.. Jadi merepotkan," Ujar Pak Masrullah. Tapi walau begitu, tangannya sembari menyambar makanan yang disuguhkan.
Menjelang tengah malam, Pak Masrullah meminta satu ruangan. Untuk berdoa katanya. Akupun mempersilahkannya di sebuah ruang kecil kosong di belakang yang sedianya ingin kujadikan gudang.
Sebelum masuk Pak Masrullah berucap, "Kalian sebaiknya masuk kedalam kamar masing-masing."
Alex mengangguk. Tak ingin mengganggu lebih lama ia memerintahkan Bi Sumi masuk ke kamar, dan mengajak isteri dan anak-anaknya menunggu di kamar.
Tak ada apapun yang terjadi berselang beberapa jam. Isteri dan anakku malah sudah pulas tertidur. Alex sendiri masih belum dapat memejamkan mata, ia sedari tadi duduk sambil membaca sebuah buku. Di tengoknya jam di dinding. Pukul setengah dua. Apa yang dilakukan Pak Masrullah selarut ini? Apakah dia tertidur?
Duarr!
Alex sampai melompat saking kagetnya. Langsung dibuka pintu kamar, ia berjalan setengah berlari, arahnya menuju belakang, ke kamar kecil tempat Pak Masrullah sedang bersendiri.
Wusss!
Satu gumpalan asap putih kelabu muncul dengan mengejutkan, asap itu keluar dari sela-sela pintu kamar, menggebubu menghilang ke arah belakang menuju dapur.
Selagi Alex terpegun, pintu kamar terbuka. Dari dalam muncul Pak Masrullah, keningnya tampak bercucuran dengan keringat.
"Apa yang terjadi Pak!?" Tanya Alex spontan.
Pak Masrullah menghapus keringat dengan punggung tangannya, bibirnya mengembang senyum. "Nyi Giring." Cuma itu yang keluar dari mulutnya.
Siapa Nyi Giring? Semua terungkap saat paginya Pak Masrullah memintaku mendatangkan Pak Karyo ke rumah.
Dari mulutnya semua terungkap jelas. Sebelumnya ia meminta maaf, tak menyampaikan perihal Nyi Giring, karena takut rumah itu susah untuk terjual.
Pak Karyo bertutur. Nyi Giring adalah adik perempuan ayahnya. Dulu waktu masih muda merupakan sinden yang sangat kondang, suara dan kecantikannya banyak memikat penggemarnya. Setelah beliau meninggal. Satu-satunya peninggalan dari Nyi Giring yang masih tersisa adalah sebuah tusuk kundai emas. Satu barang antik yang menurut Pak Karyo sangat berharga. Maka tak pernah satu kalipun ia tinggal, Pak Karyo merasa, tenaga dan semangatnya berlipat semenjak membawa tusuk kundai itu.
"Kurang lebih dua bulan yang lalu, rupanya lagi datang apesku. Listrik mati hingga terpaksa ku ambil air dengan timba. Malangnya, entah bagaimana, tusuk kundai yang ku taruh di saku atas baju tersenggol dan terpental, masuk ke dalam sumur." Tutur lelaki tua itu.
Dan lanjutnya, semenjak kejadian itu, sering ia alami kejadian aneh, seperti suara sesuatu tercebur ke dalam air, dan bekas-bekas genangan air di lantai. Apalagi kalau tidur sering di dengarnya satu suara bisikan memanggil-manggil, itulah sebab utama di putuskannya untuk menjual rumah, karena merasa sudah tak tahan lagi.
"Sekali lagi maafkan saya tuan muda, benar-benar tak kuduga akan merepotkan semacam ini." Pungkas Pak Karyo.
Pak Masrullah mengangguk pelan. Sejenak ia diam seperti sedang merenungkan sesuatu, kemudian mulutnya berucap, "Tak perlu khawatir, Nyi Giring takkan mengganggu lagi, sudah ku netralisir kekuatan gaib itu semalam."
Kemudian ia menoleh ke arah Alex. "Tapi, untuk berjaga-jaga akan segala kemungkinan. Ada baiknya kau tutup saja sumur itu Ananda. Buatlah sumur baru."
Alex tak membantah. Beberapa hari kemudian ia pekerjakan beberapa orang untuk menutup sumur tua itu.
Sekian.
Om Seno sedang asyik menggosok-gosok sebuah keris saat aku datang.
"Lagi sendirian Om?" tanyaku setelah melihat keadaan rumah yang sepi.
"Oh Pram, iya, Bibimu lagi nginap di rumah Deva.
Deva adalah anak perempuannya yang pertama, sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di sebuah rumah kontrakkan.
Aku duduk di kursi sampingnya. Om Seno secara tidak langsung pamanku, hubungan saudara dengannya bawaan dari suami kakak perempuanku.
Sering aku berkunjung kerumahnya. Ia enak di ajak ngobrol, karena kami sama-sama suka membahas hal-hal yang berkaitan sejarah. Acapkali pula saat aku datang ia menyuruhku untuk memijat. Aneh juga, badannya sering masuk angin tapi tiap kali aku main kerumahnya tak pernah ia memakai baju seperti saat ini.
"Dapat keris darimana Om?"
Ia tak langsung menjawab, diangkatnya keris tinggi-tinggi, seakan mengamati hasil gosokannya.
"Bakaran sampah kemaren, ku korek ada dapat keris ini," jawabnya sambil lalu dan kembali menggosok.
Hebat betul dia, tinggal mengorek sampah dapat keris. Om Seno memang ahli merawat barang antik. Terutama berjenis senjata. Ia tahu betul bagaimana agar benda-benda kuno terlihat baik dan tetap awet.
"Keris ayah sekarang dimana Om?" tanyaku kembali. Aku jadi ingat, waktu ayah meninggal ada sebuah keris yang lantas di ambil. Mau di rawat katanya waktu itu.
Sekilas ia memandangku. "Ada di lemari, tapi biayanya mahal itu."
"Mahal apanya Om?"
"Lha kan aku ganti pegangan sama sarungnya, mahal harganya, jutaan.." katanya lagi.
Ah, sepertinya Om Seno khawatir keris peninggalan ayah kuminta begitu saja. Padahal aku tak berniat mengambilnya. Lagipula sayang mengeluarkan uang jutaan untuk benda semacam itu.
Akupun mengalihkan pembicaraan yang lain. Menanyakan kenapa bibi menginap di rumah kontrakan Deva, sedang biasanya tidak pernah, kalaupun berkunjung kesana lantas pulang, sebab ia mesti menyiapkan barang dagangan buat besok. Istri Om Seno punya warung makanan di pasar.
Om Seno menjawab kalau anak Deva sakit, sore tadi iapun menengok, tapi tak ikut menginap. Kemudian ia menawari aku untuk menginap. "Biar ada teman ngobrol, kau kan tahu aku susah tidur sore Pram," ujarnya.
Aku tak menolak, memang belum pernah aku menginap di rumahnya, tapi pikirku paling juga tak sampai tidur, karena Om Seno tahan melek orangnya.
Namun rupanya malam itu beda, belum lagi dua jam kami ngobrol matanya sudah terlihat sipit, kelihatan betul ia menahan kantuk.
"Kita lanjutkan besok aja ngobrolnya Pram, mataku sudah berat betul, heran, tak biasanya begini," katanya.
Ia menyuruh aku tidur di kamar dekat dapur, sebuah kamar yang biasanya digunakan untuk tamu bila menginap.
Kamarnya tak terlalu lebar, berukuran kurang lebih 3 x 3 meter. Sebuah dipan kecil ada di dalamnya. Aku melepas jaket, dan menggantungkan di balik pintu.
Kurebahkan badan dan menatap lampu bohlam yang menyala kekuningan. Tak lama akupun tertidur. Entah berapa lama aku terlena. Tidurku terganggu saat kudengar seperti suara klotak klotek. Kucoba mendengar sungguh-sungguh suara tersebut. Kembali suara klotak klotek terdengar, suaranya dari luar kamar.
Suara apa itu!??
Penasaran aku bangkit. Dengan perlahan menuju pintu. Dengan hati-hati pintu kubuka, aku hanya khawatir kalau suara yang kudengar itu berasal dari orang yang bermaksud mencuri di tempat Om Seno.
Trek! Trek!
Tatapan mataku tertuju pada laci lemari di ruang tengah. Kulangkahkan kaki, sesampai didepan lemari, kutarik lacinya, ku tengok isinya.
Akhh! Sebuah kepala hitam dengan rambut awut-awutan dan gigi-gigi taring yang panjang melototkan matanya padaku. Rrrr! Itu suara terakhir yang kudengar. Gelap.
Pram! Pram!
Tergeragap kubuka mata, ku lihat Om Seno di samping ranjang.
"Hei, kau kenapa? Habis melihat hantu?" Candanya sambil tersenyum.
Aku tak langsung menjawab. Kudukku merinding. Masih kuingat jelas kejadian semalam. Eh, siapa yang membawaku kembali ketempat tidur?
"Om, sudah lama aku disini?" Tanyaku.
Om Seno tertawa, "Ah kau Pram, memang sejak kapan kau tidur pindah-pindah? Sudahlah, cuci mukamu sana, aku sudah bikin sarapan di ruang tengah."
Aku tak membantah, kuturuti ucapan Om Seno. Apakah ia bermimpi?
Di ruang tengah sudah siap sepiring nasi goreng dan segelas air putih. "Makanlah, aku tahu kesukaanmu. Ku masak sendiri itu."
Tak berpikir dua kali langsung ku embat nasi goreng yang di sediakan untukku. Sedang Om Seno sendiri lantas duduk sambil merokok. Tapi sesaat kemudian ia bangkit, dihampirinya lemari, dan ditariknya laci, tangannya masuk meraih sesuatu. Aku menahan nafas. Kudukku kembali merinding.
Keris. Sebuah keris ada digenggamannya kini. Keris hasil temuan yang ia korek dari tempat sampah. Oh, rupanya di situ semalam ia simpan benda itu?
Om Seno tersenyum, tampak ia kagum dengan keris di tangannya. Ia duduk di tempat semula, dan di amat-amatinya keris itu dengan teliti.
"Aneh Pram."
"Apanya yang aneh Om?"
"Dapurannya ini lho, belum pernah kulihat yang seperti ini." Ucapnya sambil mengangkat keris ditangannya.
Ingin ku jawab mana kutahu soal dapuran keris, tapi akhirnya kuputuskan untuk diam. Kupercepat makanku. Setelah selesai makan aku pamit.
"Buru-buru Pram?" Tanya Om Seno sambil asyik melap keris di tangannya.
"Iya Om, mo ngerjain tugas kuliah," Dalihku.
"Oh ya, baguslah."
Aku beranjak bangun, niatku ingin mengeluarkan motor yang semalam kutaruh d dapur Om Seno, tapi kemudian aku berbalik.
"Om."
"Iya Pram?" Balasnya tanpa menoleh.
"Apa tidak sebaiknya keris itu di buang saja, kitakan tidak tahu siapa pemiliknya." Ucapku.
Om Seno bergelak, "Ah kau Pram, ada-ada saja, keris nemu ini, siapa pula yang punya, paling juga sudah di buang yang punya."
"Ya itu Om, maksudku mungkin keris itu memang sengaja di buang karena berbahaya Om."
Om Seno menoleh kearahku, bibirnya menyunggingkan senyum. "Hei, katamu kau hendak mengerjakan tugas kuliah?" Ujarnya mengalihkan pembicaraan
Aku garuk kepala. Mengangguk. "Oh iya Om." Akupun berbalik, menuju ke arah dapur. Ku keluarkan motor dan meninggalkan rumah Om Seno.
Slompret bener Om Seno, seandainyapun ia ceritakan perihal kejadian semalam, pasti hanya di respon dengan senyuman, dan bilang yang kualami cuma kembang tidur semata. Ah sudahlah.
***
Seminggu kemudian sebuah panggilan masuk ke ponselku. Rupanya Deva putri Om Seno.
"Iya Dev?" Tanyaku.
"Ini mas, perihal Ayah.. Sudah dua hari ayah masuk rumah sakit." Jawab Deva.
"Ohh, kenapa Dev?"
"Sakit mas."
Pertanyaan bodoh. Ucapku dalam hati sembari menepuk keningku sendiri.
"Maksudku sakit apa Dev?" Tanyaku lagi.
"Lemas mas, ayah lemas nggak bisa bangun, ini ayah minta mas Pram kesini."
"Baik Dev, mas langsung kesitu." Jawabku.
Kulihat jam, pukul setengah tujuh. Setelah bersiap, ku keluarkan motor. Menuju rumah sakit.
Sesampai di kamar rawat Om Seno, aku bukan di sambut Deva, tapi istrinya. Wajahnya tampak sedih, "Bagaimana kondisi Om, tante?"
"Lihatlah sendiri Pram, dari tadi siang ia meminta kami memanggilmu."
Aku dekati ranjang Om Seno, badan lelaki itu tampak jauh lebih kurus dari terakhir kulihat. "Om, ini Pram."
Om Seno membuka matanya yang semula terpejam. Ia pandangi aku. "Ini benar kau yang datang Pram?"
"Iya Om, ini saya Pram." jawabku agak keras.
"Pram, Om butuh pertolonganmu," Ucapnya setengah berbisik. "Keris itu, buang keris itu."
"Maksud Om keris temuan itu?" Tegasku.
Iya mengangguk. "Kau benar Pram, keris itu berbahaya, harus di buang, buanglah jauh, ke laut." Pintanya.
"Memang apa yang terjadi Om?" Tanyaku ingin tahu.
"Aku di hantui," bisiknya. "Beberapa malam kutemui keris itu berubah menjadi makhluk kepala hantu, keris itu keris terkutuk Pram, cepat kau buang jauh-jauh."
"Kapan Om?"
"Malam ini." putusnya.
Deg! Jantungku berdebar. Apakah aku berani ke rumahnya sendirian malam ini?? Tapi untuk melegakan hati Om Seno aku mengangguk. "Baik Om, malam ini juga ku ambil keris itu."
Mendengar jawabku Om Seno bernafas lega. Tak lama berselang akupun pamit. Kulajukan motor langsung menuju rumah Om Seno.
Pukul setengah sembilan. Suasana rumah Om Seno tampak sepi, dengan memberanikan diri aku masuk kedalam dengan kunci cadangan yang dipinjamkan isteri Om Seno. Kuraih taplak meja di ruang tamu, perlahan ku langkahkan kaki ke ruang tengah.
Trek! Trek!
Nafasku seakan berhenti berdetak. Kulihat lemari itu. Dengan gerak lambat kudekati. Amat pelan kubuka lacinya, takut sesuatu yang menakutkan melompat keluar. Begitu celah laci terbuka, cepat kumasukkan tangan yang sudah kulapisi kain taplak. Ah, sebatang bentuk keris kurasa digenggamanku. Langsung kubuntal benda itu dengan kain taplak, ku ikat erat. Selanjutnya bergegas aku keluar, kutaruh buntalan berisi keris itu di dalam jok motor.
Kulajukan motor dengan kencang meninggalkan rumah Om Seno. Bagaimanapun ia harus membuang keris itu jauh-jauh. Tapi tak mungkin ku buang di laut, pantai terdekat berjarak tiga jam dari kota kami, kalau nekad ku lakukan, bisa-bisa sampai pagi aku pulang ke rumah.
Satu tempat sudah terlintas dibenakku, sebuah sungai berjarak tidak terlalu jauh, perkiraan setengah jam sudah sampai di sana.
Motor makin kupercepat. Udara malam yang dingin sama sekali tak ku gubris. Keinginanku cuma satu, cepat-cepat mengenyahkan keris terkutuk itu.
Kurang lebih satu jam sampai juga aku di sebuah jembatan besar, di bawahnya mengalir sungai yang cukup lebar. Motor kuhentikan. Beberapa kendaraan masih lewat lalu lalang. Jok kubuka. Kulihat buntalan itu masih aman disana. Dengan perlahan ku ambil benda itu. Kemudian, hupp! Kulempar jauh kebawah sungai.
Setelah menyelesaikan misiku, langsung ku starter kembali motor. Berbalik pulang.
Hampir jam dua belas baru aku sampai di kotaku. Badan yang lelah dan rasa kantuk membuatku memutuskan langsung menuju kerumah.
Rumah sudah gelap, ibu pastilah sudah tidur. Aku masuk lewat pintu samping. Pintu itu memang tak pernah dikunci sebelum aku pulang. Kumasukkan motor tanpa menimbulkan suara gaduh. Setelahnya kulepas jaket dan ku gantung di atas stang motor. Sebentar aku ke belakang cuci muka dan buang air kecil. Selepas itu, aku langsung menuju kamar tidur.
Trek! Trek!
Gerakku yang hendak membuka pintu kamar terhenti. Suara apa itu? Hmm mungkin tikus pikirku. Kubuka juga pintu kamar. Kutekan saklar untuk menghidupkan lampu. Baru kakiku hendak melangkah menuju kasur, mataku terpaku pada benda yang tergeletak di atas bantal tempat tidurku. Keris!
Sekian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!