NovelToon NovelToon

WISH ...

1

Suara kicau burung yang menyambut datangnya mentari pagi, terdengar begitu indah dan hangat. Namun, semua itu berbanding terbalik dengan waktu yang dilewati seorang gadis di kamarnya saat ini.

Terdengar derap langkah kaki yang begitu kasar dan menghentak, semakin lama semakin jelas terdengar dan mendekat. Tak lama, pintu kamar gadis itu pun terbuka dengan lebar secara kasar. "Bangun Laura! Sudah jam berapa ini?" tanya suara pemilik langkah kaki itu seraya membuka tirai jendela dengan kekuatan penuh.

Gadis yang mendengar suara yang menegur dirinya itu pun segera membuka selimutnya sedikit, mengintip dengan wajah yang terlihat pucat. "Kepala Laura sakit, ma ...," kata gadis itu sedikit mengeluh kepada ibunya yang berdiri di depannya.

"Itu karena kamu malas bangun, Laura!" timpal sang ibu tanpa perasaan. "Jangan kebanyakan mengeluh?!" kata wanita itu mendidik dengan keras. "Lihat anak lain! Tak ada yang memiliki banyak keluhan seperti kamu," tambah wanita itu mulai membanding-bandingkan Laura dengan anak lainnya.

Gadis kecil yang memiliki paras indah itu pun tertutupi karena wajahnya yang pucat pasi. "Laura mandi dulu, ma," kata gadis itu menyerah. Biarlah sakit kepalanya dia tahan sebentar. Mungkin apa yang mamanya katakan memang ada benarnya, itu karena dirinya yang terlambat bangun di pagi hari.

"Yang cepat!"kata si ibu ketus. "Setelah itu sarapan lalu pergi ke tempat les!" lanjut wanita itu meninggalkan kamar anaknya tanpa peduli pada keadaan putrinya sendiri.

Laura menyeret langkahnya dengan pelan. Untuk pergi ke kamar mandi saja rasanya sangat susah bukan main. Penglihatannya beberapa kali terasa berputar karena sakit kepalanya yang tak tertahankan. "Aku bukan anak yang lemah!" gumam gadis itu mengguyurkan segayung penuh air ke atas kepalanya. Rasa dingin seketika menggantikan hawa panas yang tadi dia rasakan, badan gadis itu mulai menggigil kecil. Bibirnya bergetar, tapi gadis itu tak kenal lelah. Dia tetap menyelesaikan mandinya walau memerlukan waktu yang lebih lama.

"Astaga, Laura!" keluh si ibu begitu melihat anaknya turun. "Kenapa lama sekali?" tanyanya kesal. "Padahal baju yang kamu pakai hanya seperti itu!" lanjut wanita itu seraya memutar bola matanya tak suka.

"Maaf, ma. Laura lama karena airnya terasa sangat segar," kata gadis itu membalas ucapan ibunya disertai senyuman yang dipaksakan.

Sang ibu tak menanggapi senyuman anaknya, dia malah sibuk menaruh makanan ke piring Laura. "Sekarang makan yang banyak, setelah itu mama antar ke tempat les kamu," kata si ibu mengubah ekspresi wajahnya. Wanita itu tersenyum tipis seraya menatap anaknya. Senyum yang sering Laura dapatkan kalau dia menjadi anak yang penurut pada ibunya.

Laura mengangguk patuh, memakan sarapan yang telah disediakan oleh ibunya dengan lahap. Dia menggenggam obat sakit kepala di tangannya, rencananya gadis itu akan meminum obat yang dia bawa setelah sarapan.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

Laura di antar ke tempat les, sang ibu mengatakan kalau dirinya akan berbelanja keperluan rumah sembari menunggu putrinya itu pulang. Laura hanya mengangguk mengiyakan, lagi pula apa pun yang dia katakan tak akan didengar atau bahkan dipertimbangkan sama sekali. Jadi lebih baik diam dan menerima semua putusan ibunya saja.

Beginilah kegiatan Laura saat liburan. Bukannya menikmati hari libur dan bermain, gadis itu malah mengisi liburannya dengan jadwal les yang padat. Semua itu karena tuntutan sang ibu yang menginginkan anak yang bisa menjadi kebanggaan baginya.

Laura tak bisa konsen mengikuti materi yang dijelaskan, kepalanya masih berdenyut sakit padahal dia sudah meminum obat tadi. Gadis berusia lima belas tahun itu pun menghela napas panjang, andai saja hal itu tak terjadi dia tak akan ditekan sekeras ini oleh ibunya. Yah, sebuah peristiwa yang beberapa tahun lalu terjadi dan merubah ibunya menjadi wanita keras dan penuh tuntutan.

Sebenarnya ibunya dulu tak sekeras ini. Mereka menikmati hari libur bahkan terkadang piknik bersama sesekali. Hanya karena sang ayah yang berkhianat, membuat ibunya menjadi figur yang sangat menuntut agar tak gampang disepelekan oleh orang lain.

Ayah Laura, Jamal. Dengan begitu tega dan tak berperasaannya membawa kabur seluruh tabungan ibunya. Pria yang sudah Laura lupakan wajahnya itu, pergi bersenang-senang bersama wanita lain dan tak pernah kembali sampai sekarang.

Dari sanalah semua kesulitan Laura berawal. Senyum di wajah gadis itu masih terlihat ceria, tapi semua itu tak ada yang tulus. Hanya berupa lukisan senyum formalitas saja, bukan dari hati Laura sendiri. Ibunya mulai menjadwalkan pendidikannya dengan keras, menuntut Laura untuk menjadi yang terbaik di antara yang paling baik.Laura merasa dirinya bukanlah seorang anak lagi, melainkan sebuah boneka yang dimainkan dan digerakkan oleh orang lain.

Laura dengan cepat beradaptasi, dia menerima perubahan perilaku ibunya. Semua tuntutan dan keinginan sang ibu dia turuti. Hanya agar ibunya bahagia, meski dirinya tak bisa membawa kembali ayahnya yang kabur. Dia ingin bisa membuat ibunya bangga dan tersenyum kepadanya seperti dulu. Senyum bahagia dan kasih sayang yang selalu dia dapatkan setiap saat, kini semua menguap laksana asap. Seperti imajinasi yang hanya terjadi di dalam mimpi, seakan tak pernah terjadi dan bukan kenyataan yang pernah Laura alami.

Sampai kapankah Laura bisa bertahan?

Sampai bila ibunya menutup hati dan terus saja menuntut kesempurnaan dari anaknya?

Siapa yang lebih dulu mengalah?

Atau semua akan berjalan seperti sekarang?

Laura sendiri tak tahu apa yang akan terjadi padanya di masa depan!

...°°°°°...

...══════❖•ೋ° °ೋ•❖══════...

2

"Kamu kenapa, nak?" tanya guru yang sejak tadi memperhatikan Laura. Laura mendongak, lalu tersenyum tipis dengan paksa. Dia menggelengkan kepalanya, sedikit terkejut ternyata guru lesnya sudah berdiri di mejanya.

Tangan sang guru perlahan terulur, menyentuh dahi Laura dengan pelan. "Ya Tuhan, kamu panas sekali, nak!" kata si guru membelalakkan matanya, kaget karena salah satu muridnya tetap turun meski sedang sakit.

"Kamu harus pulang ke rumah dan beristirahat, nak!" kata wanita itu lagi. Dia menarik tangannya lalu mengambil ponselnya dari saku bajunya.

"Sebentar ibu telepon orang tua kamu dulu!" katanya lagi dengan nada cemas. Sedikit takut kalau dia yang akan disalahkan jika seandainya keadaan anak didiknya yang sedang sakit di depannya ini menjadi lebih buruk lagi.

Laura menggapai pelan lengan gurunya. Kepala gadis itu menggeleng sangat-sangat pelan. "Saya tak apa, bu ...," katanya teramat lirih. "Saya hanya merasa sedikit sakit kepala, sebentar lagi juga baikan, bu," lanjut Laura tersenyum sangat tipis.

"Tapi ...," si guru ingin menyangkal, tapi tak tega melihat tatapan Laura. Akhirnya si guru pun mengalah, wanita itu tersenyum seraya menepuk pelan pundak Laura. "Belajar memang bagus, Laura. Namun, kesehatan kamu juga lebih penting!" katanya lembut, terdengar sangat hangat di telinga Laura yang lama tak mendengar suara rendah penuh kasih sayang seperti barusan.

"Hanya kali ini ibu membiarkannya!" katanya mengingatkan. "Lain kali, ibu akan menyuruh kamu pulang meski kamu memohon dengan sangat seperti barusan," lanjut wanita itu. Setelahnya dia kembali ke depan dan mulai menjelaskan kembali pelajaran yang tadi sempat tertunda.

Rupanya guru itu salah mengira, dia mengira kalau Laura tak bersedia pulang karena sangat ingin menghadiri kelas. Nyatanya, gadis itu hanya tak ingin melihat wajah kecewa yang akan ibunya perlihatkan padanya saat dia dipulangkan. Lebih baik dia menahan sakit selama beberapa saat, dari pada dia harus melihat tatapan putus asa sang ibu yang menatap dirinya seperti barang cacat yang tak ada gunanya sama sekali.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

Beberapa bulan berlalu, tak terasa waktu pembagian raport telah tiba di depan mata. Hanya tinggal menunggu hari dan semua kerja keras mereka akan tercatat di selembar kertas yang akan dibagikan nanti.

Kalau ditanya bagaimana perasaan Laura, jelas gadis itu tak merasakan apa-apa. Dia.hanya berharap kalau nilainya cukup untuk membuat sang ibu tersenyum dan memeluknya meski hanya sesaat.

Giliran Laura dipanggil, Laura dan ibunya pun maju ke depan, berhadapan dengan wali kelas Laura. "Selamat, bu. Laura mendapatkan nilai yang sangat bagus, semua nilainya melebihi KKM!" kata si wali kelas dengan nada bangga, senyum lebar tak lepas dari bibirnya. Dia senang mendapatkan murid yang pintar dan tak berulah seperti Laura. Seandainya saja semua murid seperti ini, pasti sekolahan akan aman, mengajar pun menjadi lebih mudah pastinya.

Ibu Laura hanya mengangguk, wanita itu mulai membuka-buka dan melihat nilai-nilai yang didapatkan anaknya. "Dua?" lirih sang ibu seraya melirik singkat anaknya.

"Ya?" tanya si wali kelas tak terlalu mendengar ucapan orang tua salah satu muridnya ini.

Pipit, ibunya Laura pun mendongak lalu tersenyum kecil. "Bukan apa-apa," katanya ramah, tapi tetap terkesan dingin dan hanya seperti bentuk sopan santun saja. "Terima kasih sudah mendidik anak saya," kata Pipit lagi. "Kalau begitu saya permisi, sekali lagi terima kasih, bu," lanjut wanita itu kemudian berdiri dari duduknya.

Laura menghela napas pelan, dari tatapan ibunya saja dia tahu bahwa sang ibu masih merasa kurang dengan apa yang dia capai sekarang. Akan ada lebih banyak jadwal baru yang dibuatkan ibunya untuk memenuhi ambisi sang ibu nantinya.

"Ra, sore jalan-jalan, yuk!" ajak teman sekelas Laura tiba-tiba.

Laura menghentikan langkahnya, menggeleng pelan menolak ajakan kawannya barusan. "Aku gak bisa!" kata gadis itu singkat. Setelahnya, dia berlalu pergi begitu saja.

"Astaga, lihat itu!" celetuk salah satu gadis yang berdiri di sisi orang yang tadi mengajak Laura jalan-jalan. "Dia terlalu dingin untuk didekati, Zahrah!" lanjut gadis itu mendengus kesal karena Laura selalu menolak ajakan kawan mereka ini.

Zahrah tersenyum tipis. "Mungkin Laura ada acara dengan ibunya," kata gadis itu berpikiran positif. "Kamu gak boleh bilang gitu tentang teman kita!" katanya mengingatkan temannya.

"Laura bukan temen kita, Rah!" sanggah Rina cemberut. "Main bareng aja gak pernah!" gerutu gadis itu sedikit banyak kesal dengan Laura yang terlalu penyendiri.

"Jangankan main, ngobrol aja gak pernah dia bareng kita-kita!" tambah yang lain dengan cepat.

"Betul itu, kata Windy!" timpal Rina penuh semangat. "Laura terlalu kaku, Rah!" katanya lagi dengan nada tegas.

"Gak boleh gitu, tahu!" sela Zahrah dengan pelan. "Ngomongin orang di belakang itu dosa!" kata gadis itu lagi.

"Kalau begitu, besok-besok aku bakalan ngomong di depan Laura kalau ketemu dia!" tukas Rani penuh tekad. Dia tak mau terkena dosa, tapi dia juga tak bisa menahan bibirnya untuk menilai kawannya yang terlalu pendiam dan kaku itu.

"Lagian, Rah, Rah. Kamu belain dia sampai segitunya, udah syukur kalau dia inget kalau kamu itu temen sekelasnya, Rah!" timpal Windy sedikit banyak menusuk sudut hati Zahrah.

Hening sesaat, suasana canggung menggantung pun tercipta. "Ha-ha-ha, kau ngomong apa, sih, Win?" tukas Rani tertawa canggung. "Hanya orang bodoh yang gak tahu mana teman sekelasnya dan mana yang bukan!" lanjutnya lagi seraya menatap Windy agar tak berbicara seperti barusan lagi kalau di depan kawan mereka yang baik hati ini.

"Iya juga, ya," timpal Windy ikutan tertawa kosong. "Lagian si Laura pinter, kok. Masa iya gak tahu kalau kita-kita ini satu kelas sama dia, ya kan?" tambah gadis itu. Rani mengangguk cepat, berharap kawannya tak lagi memikirkan ucapan Windy yang tadi.

"Ayo kita balik, nanti kita ketemu lagi di jam yang udah kita sepakati," ujar Zahrah seraya tersenyum tipis. Kedua kawannya yang lain mengangguk serempak, mereka berpisah dan pulang ke rumah masing-masing bersama dengan orang tua mereka.

Di sisi lain, di dalam mobil Pipit. Ibu dan anak itu sama-sama diam, tak ada yang memulai percakapan. Bahkan Laura duduk seperti robot atau payung yang tak bergerak sama sekali. "Kamu sudah lihat raport kamu, Laura?" tanya sang ibu dengan nada datar. Supir di depan sudah terbiasa dengan hal tersebut, jadi dia tetap fokus menyetir tanpa mau mencuri dengar percakapan ibu-anak tersebut.

"Kamu mengecewakan!" dengus Pipit menatap kecewa anaknya.

"Maaf, ma. Laura akan lebih berusaha!" kata gadis itu membuka mulutnya.

Laura tahu kalau ini tak akan berhenti di sana, semua akan berlanjut sampai mereka tiba di rumah dan dirinya mendapat omelan yang lebih panjang lagi.

...°°°°°...

...══════❖•ೋ° °ೋ•❖══════...

3

Sesampainya di rumah, Laura disuruh duduk di depan meja belajarnya. Rentetan omelan ibunya akan dimulai sesaat lagi. "Apa ini, Laura? Apa?" tanya sang ibu sembari memegang raport Laura.

"Nilai-nilai laura, ma," jawab gadis itu pelan tapi terdengar dengan jelas.

"Dan kamu pasti tahu kan, kalau ini saja tak cukup untuk membuat orang-orang itu tutup mulut tentang kita, Laura!" kata sang ibu sedikit menaikkan volume suaranya.

Laura mengangguk lemah, tanpa menjawab. Dia hapal kalau apa pun yang dia katakan tak akan membuat keluhan ibunya berkurang. Jadi dia hanya harus mendengarkan saja semua ucapan ibunya dengan baik tanpa melewatkan satu kata pun.

Dua jam berlalu, Laura masih duduk di tempatnya tanpa bergerak sedikit pun dari sana. Gadis itu selalu mendengarkan dan menjawab perkataan ibunya kalau memang diperlukan. "Jadi kamu tak keberatan dengan kelas yang lebih disiplin kan, Laura?" tanya sang ibu mengakhiri ceramah panjangnya pada sang anak.

Laura mengangguk cepat. "Laura akan melakukan yang terbaik, ma!" kata anak itu patuh.

Senyum tipis tercetak di wajah Pipit, dia puas dengan jawaban yang anaknya berikan. "Bagus, kamu tak boleh bergerak dari meja belajar kamu kecuali untuk tidur, makan, dan ke kamar mandi!" titah Pipit tak peduli. "Kalau perlu mama akan mengikat kaki kamu agar kamu tak bisa ke mana-mana selama belajar," lanjut wanita itu.

Laura menatap hampa tanpa ekspresi apa pun, anak itu hanya mengangguk menuruti apa pun tuntutan ibunya. "Tenang saja, akan ada pelayan yang membantu semua urusan kamu yang lainnya," kata Pipit lagi. "Kamu tak masalah dengan ini, kan? Sayang!" tambah wanita itu dengan tatapan penuh ambisi. Dia tak suka dihina. Dia benci dikatai sebagai janda yang tak bisa mendidik anaknya. Dia muak selalu dibandingkan dan dipaksa untuk berkeluarga lagi. Apa ada jaminan kalau dia menikah lagi anaknya bisa menjadi lebih baik, lebih pintar, dan mereka tak lagi dikhianati. Tak ada jaminan pasti, jadi lebih baik dia menjalani hidupnya bersama dengan anaknya saja. Meski dengan peraturan yang keras, asal mereka berdua bisa menutup mulut orang-orang yang tahunya hanya melihat dan mencemooh saja. Itu sudah cukup bagi Pipit.

Laura kembali mengangguk patuh. "Laura akan selalu menuruti keinginan mama," kata anak itu menjawab seperti robot yang memang sudah diprogram untuk patuh pada semua tuntutan pemiliknya.

Pipit tertawa kecil, tawa yang tak berarti apa-apa untuk Laura, karena tawa itu tak tulus dan bukan untuk dirinya. "Sekarang mulai belajar, sayang!" kata Pipit mengumbar senyum. manis penuh paksaan. Wanita itu telah membekukan hatinya, dia tak bisa lagi menyayangi seseorang dengan sepenuh hati seperti dulu. Bahkan jika itu anak kandungnya sendiri pun dia tak bisa mencurahkan kasih sayang sesuka hatinya.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

Selepas ibunya pergi, Laura menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi seraya memejamkan mata dengan erat. Gadis itu berkali-kali menghela napas panjang dengan tenang. Tak lama, kedua mata berwarna hitam legam itu kembali terlihat. Laura beranjak berdiri dan mengumpulkan lembaran raportnya yang tadi dilempar oleh ibunya. "Benar kata mama, aku harusnya tak malas belajar," gumam anak itu menatap kosong kertas-kertas berisi nilai yang telah dia kumpulkan barusan. Di sana, Di kertas itu, tertera tulisan bercetak tebal, kalau orang yang bersangkutan mendapat peringkat pertama di kelas dan peringkat ke dua tingkat nasional.

Laura sebagai pemilik raport malah mengatakan kalau dia kurang belajar. Sungguh didikan yang kejam dari ibunya meresap dengan sempurna, bukan hanya di otak saja, tapi sudah sampai ke sum-sum dan darah gadis itu sendiri. Tuntutan ibunya untuk menjadi sempurna, menjadi yang pertama. Membuat Laura merasa kalau nilainya masih kurang. Kalau dia berusaha, dia akan bisa mendapatkan tempat pertama dengan gampangnya. Tapi sekarang dia malah menempati tempat kedua saja. Pantas saja kalau ibunya kecewa padanya.

"Aku terlalu buruk," kata gadis itu lagi menghakimi dirinya sendiri, mengatai kalau dia anak yang buruk yang tak bisa memberikan hasil terbaik dari usaha yang sudah dia lakukan selama ini.

Laura kembali duduk di depan meja belajarnya, dia mulai membuka buku dan terlihat sangat fokus membaca. Gadis remaja yang baru berusia lima belas tahun itu membenamkan dirinya di lautan ilmu tanpa mengenal kata lelah. Padahal biasanya, anak seumuran Laura, pasti lebih suka bermain bersama temannya yang seumuran dan berbagi cerita lucu mengenai apa pun yang mereka anggap seru. Tapi jangankan bercerita, memiliki teman saja Laura tak punya.

Sekian lama belajar tanpa tahu waktu, pintu kamar Laura diketuk dari luar. "Apa saya boleh masuk, nona?" tanya suara dari arah luar terdengar lembut dan sopan.

"Masuk saja, tak dikunci," balas Laura tanpa menoleh. Tatapan matanya masih saja fokus pada buku tebal yang ada di tangannya.

"Sebaiknya anda makan dulu, nona," ujar pemilik suara tadi yang sepertinya adalah pelayan di kediaman Laura.

"Sedikit lagi, bi," jawab Laura lagi-lagi tanpa menoleh.

"Saya tahu kalau nyonya lebih keras dari pada orang tua yang lainnya, tapi nyonya melakukan itu agar nona muda bisa bertahan di dunia yang kejam ini, nona," bujuk si bibi pelayan takut kalau nona mudanya merasa tertekan karena terlalu dituntut menjalani sesuatu yang tak anak itu inginkan.

"Saya tak apa, bi. Semua yang mama katakan selalu benar, jadi saya hanya perlu menuruti semuanya dengan baik seperti yang selama ini saya lakukan," balas Laura tersenyum, tetapi senyumnya tak memancarkan ekspresi apa pun di matanya. Tatapan mata itu tetap kosong seolah tak ada hal lain yang lebih penting selain memahami deretan rumus, angka, penjelasan, keterangan, rangkaian deskripsi, dan semua hal yang menyangkut pelajaran.

Si pelayan menatap iba nona kecilnya. Baginya, majikan kecilnya itu hanyalah anak korban perceraian yang selalu ditekan dan dituntut untuk menjadi sempurna agar kedua ibu dan anak itu tak bisa dihina oleh orang lain. Tapi sang nyonya terlalu keras, tak ada istirahat atau liburan untuk nonanya meski saat liburan tiba.Yang nona mereka tahu hanyalah, belajar, belajar, dan belajar di semua waktu yang gadis itu miliki selain untuk tidur, makan, dan ke kamar mandi.

"Nona kecilku yang cantik dan baik hati, nona harus makan agar tetap sehat," kata si pelayan seraya tersenyum hangat. "Kalau nona sehat, nona akan lebih mudah memahami pelajaran. Sesulit apa pun soal yang nonaku ini kerjakan," bujuk si bibi dengan pelan. "Makanya nona mau, ya, makan? Meski sedikit saja juga tak apa?" tambah pelayan tua itu.

Laura mendongak, terlihat berpikir sesaat sebelum dia menganggukkan kepalanya. Meski sangat kentara kalau gadis itu sedikit ragu dengan keputusannya saat ini. Tapi si pelayan sudah cukup senang nona kecilnya mau mengisi perutnya yang sejak pulang tadi belum diisi apa pun hingga saat ini.

...°°°°°...

...══════❖•ೋ° °ೋ•❖══════...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!