NovelToon NovelToon

Suamiku Bukan Berandalan

Pria terdampar

“Ak...,” jerit Bening menggigit bibir bawahnya. 

Matanya terpejam sesaat, Bening merasakan perih yang sebelumnya tidak dia duga. Akan tetapi sejurus kemudian, dia angkat bulu lentik matanya sehingga kelopak mata Bening kembali terbuka. 

Dia menoleh ke depan.

Ribuan pasang mata sedang tertuju padanya, mengkoreksi, memperhatikan detail setiap inci gerak tubuhnya, serta menantikan keindahan yang dia sajikan.

Denting musik terus mengalun, mengiringi geraknya dan mengajaknya terus meliukan tubuhnya. Bening harus menyelesaikan penampilanya.

“Aku harus menang,” batin Bening.

Seakan ada yang berbisik, terus menuntut dan memaksanya bergerak lanjut.

Entah apa yang mengenai ujung kakinya, Bening terus meliukan tubuhnya, selentur mungkin, seindah mungkin mengikuti setiap alunan lagu yang masuk di telinga dan menjalar di otaknya.

Sayangnya rasa perih di ujung kakinya ikut semakin tajam menusuk, terasa semakin perih. Detik demi detik berlalu, perih yang bertambah membuyarkan konsentrasi, merusak keseimbanganya dan terus memaksa Bening mengistirahatkan kakinya. 

“A. Ak!” 

Saat melakukan gerakan melompat dan meliuk turun, Bening sungguh tak mampu lagi bertahan dan terjatuh. Seketika itu penonton dan juri ikut terbelalak kaget dan kecewa.

Tidak bisa dijelaskan perasaan Bening saat itu, malu, kecewa, sakit dan sedih. Tapi pertunjukan harus terus berjalan.

Bening berusaha bangun dan melanjutkan gerakanya. Sayangnya alunan musiknya sudah jauh meninggalkannya saat dia terjatuh. Bening tampak bersusah payah mengejar dan menyesuaikan gerakan tarinya. Gerakan Bening jadi terganggu, tak seindah awal.bahkan terkesan kacau.

Juri yang sudah merubah penilaianya terpaksa membunyikan tombol merah menghentikan persembahan tari dari Bening.

Bening pasrah dan patuh. Dengan menggerakan tanganya ke perut secara lentur dan anggun, serta membungkukan kepala tanda hormat, Bening mengakhiri penampilanya dan mundur. Bening pun berjalan tertatih ke belakang panggung. 

Bening Gita Hanjaya

**** 

“Hahhhh... sempurna,” gumam seseorang yang berdiri bersedekap mengulaskan senyum lebar pada temanya di ujung tempat penonton duduk.

“Kamu memang cerdas Alika,” jawab Mimi teman Alika 

“Jangan panggil Alika jika tidak bisa mengalahkan perempuan nglunjak itu. Dia tidak pernah sadar diri dan bersyukur, dia pantas kalah!” jawab Alika tersenyum puas. 

“Aku yakin kamu pemenangnya, kamu sangat indah dan lancar, bahkan kamu lihat kan tadi semua penonton bertepuk tangan!” sambung Mimi lagi. 

“Iyalah pasti. Aku tidak akan biarkan Kak Naka dekat- dekat dengan perempuan menyebalkan itu! Dia pantasnya kerja di museum sama- sama benda- benda kuno itu,” jawab Alika lagi mengejek Bening. 

“Hehehe iya, cocok sama orangnya kuno dan katro!” imbuh Mimi

“Hahaha... iya kan, nggak cocok dia go internasional apalagi tampil di istana,” jawab Alika lagi. 

“Eh bentar lagi pengumuman kita kesana yuk!” 

“Ayuk!” jawab Alika bersemangat dan berjalan cepat menuju kursi peserta. 

Alika Sasy Hanjaya

**** 

Bening Gita Hanjaya adalah seorang gadis berusia 20 tahun, penjaga museum. Dia bersaudara dengan Alika Hanjaya, akan tetapi beda ibu.

Mereka berdua sejak kecil sama- sama sekolah Tari.  Mereka sangat menyukai dunia Tari dan sama- sama ingin jadi penari profesional. 

Sayangnya sudah dua tahun ini negara yang masih menganut pemerintahan kerajaan, tempat mereka tinggal terkena wabah sehingga tidak ada pergelaran tari, atau lomba apalagi festival.

Padahal mereka berdua baru lulus sekolah Tari. Mau tidak mau, Bening mencari pekerjaan sampingan menjadi penjaga museum. Karena Bening tidak kuliah seperti Alika.

Dan hari ini, setelah wabah selesai, dari pihak istana kerajaan langsung, menggelar ajang lomba Tari. Yang sudah melalui 3 babak penyisihan dan menyisakan 5 penari. Hari ini penentuan final 1 penari utama yang akan tampil di Istana.

Pemenangnya nanti akan tampil di panggung halaman istana, di hari raya kerajaan itu yang akan tiba 1 bulan lagi.

Pemenang juga bisa mendapatkan kesempatan menjadi penari terkenal yang tampil di acara ulang tahun Putra Mahkota. Pemenang juga akan diberi bayaran mahal untuk setiap penampilanya. 

Bening yang sangat menyukai tari, seperti mendapat kabar bahagia ini kesempatan emasnya. Apalagi, Naka kakak kelas yang Bening juga menjadi pegawai di salah satu kantor di dalam istana. 

Jika Bening masuk ke Istana, dia akan bisa sering bertemu Naka. Naka juga mendorong penuh Bening untuk ikut lomba itu.

Bening pun berlatih dengan gigih, bahkan rela berlatih tiap malam selepas kerja.

“A. Uu. uh...,” keluh Bening melepas sepatunya setelah duduk di ruang ganti.

“Kamu, kenapa sih Ning?” tanya Tia teman Bening mendekat dengan wajah kecewanya. 

Bening yang mukanya sudah pucat tidak memperdulikan pertanyaan Tia, bahkan menolehnya pun tidak.

Mata Bening sudah berkaca- kaca dan ingin segera melihat apa yang ada di sepatunya. Dia ingin tahu apa yang membuat gerakanya sama sekali tidak lentur dan terasa seperti ada yang menusuk sangat perih. 

“Bening...,” panggil Tia lagi karena Bening tak menatapnya.

“Hiks...,” satu bulir air mata akhirnya lolos dai bola mata Bening yang bulat.

Bibir Bening masih membisu tak menjawab. Tatapan Bening tertuju pada bercak darah di sepatu Bening. Bahkan ada beberapa jarum kecil di situ. 

“Hoooh, oh my God, what is that?” pekik Tia ikut memperhatikan dan sangat kaget. "Kamu terluka!"

“Hiks... hiiikss...,” Bening pun hanya terisak sangat menyesal dan melempar sepatu itu ke bawah. 

Bening meringkuk menutup wajah dengan kedua tanganya, hancur, remuk, putus asa. Itu yang Bening rasakan. 

Tia mengambil sepatu Bening dan ikut memeriksa.

"Oh Sh_ it! Ada yang mencelakaimu Ning!" tutur Tia lagi.

Bening tidak menjawab dan terus menangis.

Tia pun mendekat dan menggerakan jemari tanganya lembut berusaha memberikan sentuhan agar meringankan kesedihan Bening. 

“Kakimu harus diobati, aku ambilkan obat dulu, ya!” ucap Tia lembut.

Bening yang sudah merasa cukup menangis, langsung membuka tanganya dan menoleh ke Tia. 

“Tidak usah, aku mau pulang aja! Aku bersihkan sendiri!” jawab Bening. 

“Kok pulang? Belum pengumuman? Nanti dulu sih!” jawab Tia. 

“Ngapain nunggu pengumuman? Aku pasti kalah, bahkan sampai pertengahan saja aku belum lakukan, aku nggak mungkin menang Aletia,” jawab Bening.

Kemudian berusaha bangun dan mengemasi barangnya, mengambil pakaian ganti di loker. 

“Eit tunggu, tapi opening kamu sangat bagus dan yang paling lentur itu kamu!” tutur Tia ikut bangun mencegah Bening pulang. 

“Juri menyalakan tombol merah dan Alika mendapat standing uploas, kamu nggak usah ngehibur aku, Tia. Basi! Dan kamu lihat, ada jarum di sepatuku!” jawab Bening kesal. 

“Itu pasti kerjaan mereka!” jawab Tia kesal. 

“Terus kita bisa apa? Kita punya bukti apa? Apa juri akan dengerin kita? Juri nggak akan mendengar alasan apapun, mereka hanya peduli penampilan kita di panggung kan?” jawab Bening lagi. 

Tia membisu, terpakku di tempatnya tak dapat menyanggah kata Bening. Ya, Juri menilai secara objektif dengan apa yang mereka lihat di panggung, tak peduli apapun.

“Semakin lama di sini aku akan semakin sakit, Tia. Mungkin aku memang sebaiknya, kerja di museum aja. Papahku juga bahagia kan kalau Alika yang menang,” jawab Bening lagi menutupi luka yang menganga.di hati dan kakinya.

"Aku aja yang ceroboh. Pasti tadi saat Alika memanggilku dan memberi bekal dia melakukan ini?" ucap Bening lagi.

Tia masih tidak bisa menjawab, dia sangat tahu bagaimana perasaan Bening, semenjak ibunya meninggal dan ayahnya pulang membawa istri keduanya. Di situlah kehidupan Bening penuh peluh dan air mata. 

“Kalau kamu penasaran siapa yang menang dan masih ingin lihat, sok liat aja. Aku mau pulang!” lanjut Bening menepuk bahu Tia. 

Bening tidak menunggu jawaban Tia, dia segera berlalu ke bilik ganti. Bening mengganti pakaian performnya dengan pakaian casualnya. Tidak lupa dia ingin membuang kenangan pahit dari sepatu laak_natnya. 

Bening langsung naik bus kota. Bening tidak pulang ke rumah orang tuanya yang letaknya jauh lebih dekat, hanya berjarak 30 menit dari tempat dia ikut lomba.

Sudah 3 bulan sejak Bening bekerja di museum, dia mengontrak rumah kecil di dekat tempat kerjanya. 

Pulang ke rumah hanya akan menambah panjang catatan lukanya. Bening menjadi anak tertua dari 3 adik tirinya. Dia hanya akan menjadi pembantu dan koki tanpa gaji yang harus melayani keluarganya. Belum jika harus dimaki jika tak jadi seperti mau ibu tirinya. 

Walau di kontrakan kecil dan bekerja di museum sepi tanpa pengunjung, itu lebih baik ketimbang di rumah rasa penjara. 

Sekitar 2 jam perjalanan, 4 kali lebih jauh dari rumah orang tuanya. Bening turun dari bus kota, lalu Bening mengambil sepedanya di tempat penitipan sepeda.

Mengayuh sepeda mini berwarna pink, dia menyusuri jalan yang dipagari tumbuhan hiijau nan rindang di tepi kanan kirinya.

Museum dan kontrakan tempat Bening bekerja memang berada di pinggiran kota. Menikmati kesunyian dan kerindangan alam terkadang menjadi obat Bening menahan laranya. 

“Aku lapar,” batin Bening melihat jajanan di pinggir jalan. 

Bening membeli beberapa makanan olahan daging dan tepung yang di goreng besar dan diberi bumbu pedas. Bening kemudian membawa jajananya. Dia tidak langsung pulang ke kontrakan tapi menuju ke tempat favoritnya saat kesepian. 

Di samping museum atau situs kuno tempat dia bekerja, ada sungai besar yang masih asri dan alami. Alam sekitar Museum memang merupakan daerah cagar budaya yang dijaga kelestarian dan alaminya. 

“Haahh...,” Bening memarkirkan sepedanya di bawah pohon dan segera duduk di atas batu di tepi sungai yang airnya berwarna hijau murni itu. 

“Tuhan apa nasibku seburuk ini? Apa iya aku harus karatan dan menua di museum kuno dan menyebalkan ini? Hiks... hikss..,” Bening menangis dan berbicara sendiri paa air yang mengalir. 

“Apa dosaku? Kenapa aku harus bertemu dengan kehidupan yang menyedihkan ini? Sampai kapan aku harus terus kalah dari Alika?” jerit Bening lagi. 

“Arghhhhhhh!!” Bening pun menjerit sepuasnya, melawan gemericik air yang menabrak bebatuan.

Lalu makanan yang baru dia beli dimakanya secara rakus. Setelah kenyang. Bening melepas sepatunya, juga jaket dan celana panjangnya, hanya tersisa celana short dan tangtopnya. 

Di bagian tengah ada bagian sungai yang agak dalam dan seperti kolam, sekitar 2 meter kedalamanya.

Bening pun menyelam masuk ke sungai. Walau tak jadi pemenang di atas panggung, Bening bisa bebas meliukan tubuhnya di dalam air.

Bening sangat suka air sungai Binary itu. Dinginya yang menyejukan, aliranya yang deras dan jernih, seperti membasuh semua amarah dan kekecewaanya, hanyut dan pergi. Dia merasa menyatu dengan alam, begitu bebas dan menenangkan. 

Saat Bening menyelam dan bergerak ke pinggir, tetiba kaki Bening menyentuh sesuatu. 

“Wuaah? Itu apa?” gumam Bening kaget dan membuka matanya. 

Bening menabrak benda seperti kaki manusia saat dia menyelam ke arah batu hendak menepi lagi. 

Bening kemudian mendekat memastikan. 

“Oh my God! Ini manusia!” gumam Bening setelah memastikan yang dia tabrak adalah kaki manusia, manusia itu terjebak di antara bebatuan. 

Mendadak Bening langsung gemetaran tak bisa berkata- kata. Diedarkan matanya ke sekeliling, tak ada suara kehidupan manusia lain mengingat Bening keluar dari teater tempat lomba sudah jam dua dan sekarang sudah sore. 

“Aku harus bagaimana? Tapi tubuhnya masih utuh, dia juga masih berwarna putih segar. Sepertinya dia belum lama hanyut,” batin Bening memperhatikan manusia yang tersangkut di bebatuan itu. 

Bening kemudian memeriksa, nadi dan juga nafasnya.

“Hoh!” pekik Bening langsung menutup mulutnya. 

“Dia masih hidup!” gumam Bening terkejut. 

Ya walau kakinya terendam di air. Bagian badanya bersandar di bebatuan, sehingga pria itu masih bernyawa. 

“Aduh aku gimana ini? Aku tolong atau bagaimana?” gumam Bening panik.  

Bayar Tagihan

Bening menatap langit, matahari mengendap perlahan menyisakan warna keemasan. Suasana yang tadi begitu cerah terasa semakin sunyi dan meredup. Seakan menuntut dan meminta Bening segera menepi pulang.

"Aku tidak mungkin membiarkan dia mati di sini!" gumam Bening berfikir cepat.

Dengan tubuh rampingnya, mengingat dia seorang penari, Bening berusaha, memasukan kedua tanganya melewati dua ketiak manusia yang berjenis kelamin laki- laki yang tak dia kenali itu. Dia kaitkan tanganya untuk menariknya ke atas batu berbentuk papan yang biasa dia duduki.

"Hah... berat sekali!" guman Bening dengan nafas terengah- engah. Bahkan dia sampai ter _ tin_dih tubuh Pria itu.

Bening segera menghindar membiatkan pria itu berbaring di atas batu.

"Dia masih bernafas dan nadinya berdenyut. Itu berarti dia tidak perlu aku kasih nafas buatan kan?" batin Bening lagi.

Dia menepuk nepuk bahu pria itu dan memeriksa bagian tubuhnya.

"Darah!" pekik Bening ternyata keluar darah dari lenganya.

Bening berusaha menyentuhnya.

"Aak!" ternyata respon nyeri Pria itu juga masih bagus.

"Hoh!" Bening jadi ikut kaget..

"Kamu mendengarku? Tuan! Kamu mendengarku?" tanya Bening semakin mengguncangkan bahu pria itu.

Pria itu tak bersuara lagi, tapi dahinya mengkerut seperti menahan sakit yang teramat sangat, gerakanya pun sangat lemah.

"Aku tidak kuat mengangkatmu. Oke. Aku hentikan perdarahanmu dulu. Lalu aku minta pertolongan!" ucap Bening berfikir cepat yang utama selamatkan nyawa dulu.

Bening bangun memgambil jaketnya lalu mengikatkanya kencang ke lengan pria itu.

"Kamu tunggu di sini! Aku akan minta pertolongan orang!" ucap Bening walau tanpa jawaban.

Meski masih bertubuh basah dan pakaianya mini. Bening mengayuh sepedanya ke museum tempatnya bekerja.

"Astagaa.. Bening! Aduuh kamu menggodaku!" pekik Leon menutup wajahnya dengan telapak tanganya tapi jarinya tetap dibuka.

"Haiisssh... katamu tubuhku kerempeng dan tidak menarik!" jawab Bening mulutnya mecucu. Dia menoleh ke tubuhnya. Ya dia kan habis mandi di kali jadi memang tampak seksi. Meski ramping tapi sebenarnya pinggul dan tubuh Bening tetap indah.

"Kamu hobby banget sih mandi di kali. Sore- sore begini. Kenapa juga ke sini bukanya cepat bilas dan ganti baju. Kebiasaan!" omel Leon lagi.

Dia sepupu Bening yang mengajaknya bekerja di museum itu.

Bening tidak menjawab dan langsung menarik tangan Leon.

"Cepat ikut aku. Ada orang hanyut dan butuh bantuan!" tutur Bening.

"Woo? Hanyut?"

"Sshh.. udah nggak usah banyak tanya cepat ikut aku!" tutur Bening lagi.

Leon bertubuh tinggi dan besar. Bekerja di museum yang tugasnya membersihkan dan merawat benda- benda kuno membuat Leon punya banyak waktu mengolah tubuhnya.

Mau tidak mau Leon ikut Bening ke sungai. Pria itu masih di posisinya.

Leon membulatkan matanya kaget.

"Dia tinggi besar. Apa aku kuat ya?" ucap Leon ragu.

"Kuat. Manfaakan lengan besarmu!" cibir Bening.

"Hmmmm,"

"Aku traktik sate di depan toko listrik kalau kamu kuat angkat dia!" ucap Bening mengerlingkan matanya memotivasi Leon.

Leon melirik tersenyum.

"Aku bantu merayu Tia!" imbuh Bening lagi.

"Okeh! Deal!" kali ini mendengar kata Tia, Leon yang naksir berat ke Aletia langsung semangat.

Leon mengambil ancang- ancang. Jongkok, lalu menarik tangan pria itu dan memposisikan agar berada di punggungnya. Dibantu Bening mereka menggendong pria itu.

Rumah terdekat dari sungai itu adalah rumah Bening. Leon sudah hampir habis nafasnya, keringatnya bercucuran dan pandanganya mulai bercampur.

Leon pun menyerah membawa ke museum atau kontrakanya. Dia memilih ke kontrakan Bening dan langsung merebahkan di kasur lantai Bening.

"Kok kesini?" pekik Bening

"Hoh... hoh...," bukanya menjawab Leon malah duduk di lantai, menyandarkan tubuhnya ke tembok dan membiarkan kakinya berselonjor.dengan nafas terengah- engah.

"Minum...!" itulah kata yang keluar dari Leon.

"Ck!" Bening pun hanya berdecak.

Bening yang baik kemudian ke dapur mengambil segelas air untuk Leon.

"Panggil Pak Darma aja. Dia pandai obati orang seperti ini! Sudah aku mau pulang!" jawab Leon enteng dan bangun.

"Eee... tunggu!"

"Jangan lupa jatah sateku!"

"Iih tunggu jangan pergi!" cegah Bening lagi.

"Apalagi?"

"Kamu nggak mau bantu aku. Temani aku rawat dia. Masa aku nolong dia sendirian?"

"Lah kan kamu yang memutuskan untuk rawat dia!" jawab Leon lagi.

"Yee.. masa kita liat orang sekarat dibiarin sama aja kita biarin orang mati perlahan dan serasa bunuh dong! Kamu punya hati nurani kan? Kalau kamu kena musibah, kamu masih hidup, tapi berdaya, kamu juga berharap dibantu orang kan? Hah. Gimana sih?" jawab Bening mengutarakan pemikiranya.

"Ck... hmm terus aku harus bantu gimana?" jawab Leon akhirnya.

"Sembari aku mandi dan siap- siap panggil Pak Darma. Kamu ambilkan pakaian untuknya. Bantu aku gantikan pakaianya!" tutur Bening lagi.

"Aih repot lagi. Pakaianku mahal. Kamu harus bayar lagi!"

"Ih matere banget. Kulihat pria itu berkulit dan bertubuh sehat. Sepertinya dia kaya. Nanti minta imbalan ke dia saja!" jawab Bening dengan otak cerdasnya.

Bening tahu Leon matre jadi harus dirayu dengan materi. Meski Bening menolong tulus, tapi pria itu memang terlihat tampan, tubuhnya tinggi berisi sehingga Bening sampai keberatan. Pria itu juga tampak mengenakan kalung, gelang dan cincin.

"Oke!" jawab Leon termakaj bujuk rayu Bening.

Leon segera pulang ke kontrakanya. Bening segra mandi dan berganti pakaian.

Mereka bagi tugas, Bening memanggil tabin atau mantri di desa itu. Sementara Leon mengganti pakaian si pria.

Pak Darma datang dan segera mengobati pria itu.

"Dia hanya terluka lenganya sudah kujahit.Luka yang lain seperti luka pukul dan luka benturan. Tapi kan sembuh kok. Sepertinya dia kelelahan berenang, tapi dia cukup tangguh untuk bertahan. Ada lebam di kepalanya semoga tidak ada perdarahan di dalsm. Tapi dia tidak muntah kan?"

"Tidak tahu!" jawab Benin menggelengkan kepalanya

"Oke. Kita lihat nanti, dia akan segera sadar kok. Aku sudah memberinya obat!" tutur Pak Darma lagi.

"Tidak perlu dibawa ke rumah sakit Pak?" tanya Bening.

"Tidak usah. 2 jam lagi dia akan sadar!" jawab Pak Darma lagi.

"Ooh syukurlah!" jawab Bening lega.

Jika lukanya tidak parah dan kelelahan berarti dia tidak repot dan akan segera terbebas.

"Ya sudah. Kalau begitu saya pamit!" jawab Pak Darma

"Eh tunggu, Pak. Hehe berapa biaya ganti obatnya?" tanya Bening

"Ah mbak Beniing kaya nggak tahu saya. Seikhlasnya Mbak Bening aja!" jawab Pak Darma. Pak Darma memang terkenal baik dan termasuk relawan

"Nggak boleh gitu Pak. kalau bisa catat, biar saya tagihkan ke dia kalau dia sadar!" jawab Bening lagi.

Pak Darma awalnya menolak tapi Bening terus meminta sehingga akhirnya Pak Darma memberi catatan rincian obat dan tindakanya.

Pak Darma dan Leon pun pergi. Sehingga Bening sendirian menunggu si pria itu sadar.

"Hah... semoga dia segera sadar beneran! tapi ini udah dua jam? Mana kok nggak sadar- sadar?" gumam Bening.

"Aduh kalau dia ternyata penjahat gimana? Kalau aku diper kosa gimana? Aih.. Leon gimana sih? Katanya mau balik dan mau temani aku?" gumam Bening lagi.

Leon memang sangat rese dan cuek. Bening tidak punya tetangga apalagi Bening warga baru yang notabenya hanya pekerja di daerah situ.

Leon bilang mau balik temani Benning tapi. tak kunjung datang.

Karena paranoid Benning berusaha ke dapur membuat air hangat.

"Aku dimana?" terdengar rintihan seseorang.

Bening segera memeriksa

Benar pria itu sadar.

"Hah.. kau sungguh Sadar!" ucap Bening kegirangan dan mendekat

Pria itu sudah membuka mata. Menoleh ke sekeliling bingung dan menatap Bening dengan tatapan mengejek.

"Kau siapa?" tanya Pria itum

"Aku yang tanya kamu siapa. Kamu pingsan di sungai!" jawab Benning.

Pria itu tampak berusaha bangun.

"Ak.." pekik Pria itu menahan sakit di keplanya.

Bening membantunya untuk bangun dan duduk bersandar di tembok.

Lalu memberi pria itu minum hangat.

"Tenanglah. Kamu sudah diobati. Kamu juga harus bayar tagihanya. Katakan cepat. Siapa namamu?" tanya Bening.

Sayangnya pria itu diam dan tampak kebingungan.

"Aku tidak tahu. Aku siapa?" jawab pria itu pelan

"Wuaa?" pekik Bening langsung menyeringai dan berkacak pinggang.

Nasi Goreng

Bening membuang nafasnya perlahan, memberi jeda otaknya berfikir dan rileks. Dia harus menjaga keseimbangan batin agar tidak syok, sebab kepalanya mulai pening mendengar pernyataan si pria tidak ingat siapa namanya.

Betapa tidak, awalnya Bening bahagia dan dadanya mengembang bangga. Bening merasa sudah melakukan tindakan yang benar, menjadi pahlawan kemanusian yang menyelamatkan nyawa seseorang.

Sudah tergambar adegan di otak Bening, bagaimana pria tampan bertubuh tinggi besar itu bangun, menanyainya, memperkenalkan diri lalu mengucapkan terima kasih dan memuji Bening. Bening akan dengan sangat senang mengatakan itu semua demi kemanusian. Bening akan menjadi manusia keren.

Apalagi kalau Pria itu menawarkan imbalan, dan Bening bisa meminta pekerjaan agar bisa keluar dari pekerjaan penjaga museum yang dia anggap bantu loncatan itu.

Sayangnya, kali ini Bening harus menelan kenyataan pahit, saat rangkaian kata dari bibir pria tanpa identitas itu keluar. Bukan keren atau imbalan, Bening sepertinya akan mendapatkan bencana.

Bagaimana ceritanya Pria ini tak tahu siapa dirinya. "Haduh bagaimana ini?" batin Bening sambil membelalakan matanya.

"Kenapa aku bisa ada di sini?" tanya Pria itu lagi, menatap Bening dengan tatapan menusuk.

"Aku kan sudah bilang. Kau hanyut di sungai. Aku yang menemukanmu. Kamu yakin tidak ingat siapa namamu. Tuan, Eh Mas?" tanya Bening meyakinkan berharap dia salah dengar dan sangat ingin pria itu ingat identitasnya.

"Coba...tarik nafas dalam... ayo ingat, ingat lagi baik- baik. Siapa namamu? Dimana rumahmu? Kenapa kamu bisa ada di sungai?" tutur Bening lagi dengan penuh pengharapan.

Pria itu diam sesaat, memejamkan matanya lalu menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak ingat!" jawab Pria itu singkat.

"Ya Tuhan. Hah. Cilaka!" gumam Bening lirih dan meletakan telapak tanganya ke keningnya.

Pria itu tak menghiraukan Bening. Dia tampak memperhatikan pakaian yang dia kenakan. Lalu ibu jari dan telunjuk jarinya mengambil bagian bawah kaosnya dengan ekspresi jijik

"Kaos ini terlalu kasar, tidak dingin dan lembut, ini bukan punyaku! Kenapa pakaian ini menempel di aku?" celetuk Pria itu sangat congkak dan menjengkelkan.

"What? Apa kamu bilang? Coba ulangi!" bentak Bening langsung.

Dia sedang pusing harus bagaimana menghadapi pria yang lupa identitasnya, bisa- bisanya pria itu malah berkata- kata menghina tidak tahu terimakasih dan membangunkan jiwa singa di diri Bening. "Ini orang katanya lupa ingatan tapi kata-katanya minta diuleg belagu, apa jangan- jangan dia pria bermasalah dan pura- pura hilang ingatan? Duh gimana ini?" batin Bening

"Ya. Aku merasa, aku selalu berpakaian dengan kaos yang lembut dan dingin. Ini kasar. Ini bukan punyaku kan. Kaos ini jelek?" ucap Pria itu lagi.

"Woaah!" Bening langsung membuang nafasnya mencoba mengulur tabung emosinya agar tidak meledak.

Tapi kalimat pria itu benar- benar membuatnya ingin memaki dan marah.

"Eh, denger ya. Kamu. Ya Kamu. Entah bagaimana hidup kamu dan sekaya apa kamu? Tapi harus kamu tahu! Kamu bisa hidup selamat, nggak dimakan ikan dan dagingmu nggak busuk kerendam air, bisa tidur di kasur yang hangat begini harusnya berterima kasih. Malah ngatain kaos jelek. Kamu mau terus pakai pakaianmu yang basah dan kotor ini! Kurang ajar ya!" omel Bening tidak sabar, menatap pria itu dengan penuh emosi dan berkacak pinggang.

Pria itu tidak menjawab dan membuang pandanganya dari Bening. Dia hanya tampak mencebik.

"Nggak jawab lagi!" omel Bening lagi.

"Kamu perempuan, tapi nada bicaramu seperti preman!" jawab Pria itu lagi malah mengatai Bening.

Bening semakin melotot, mungkin kalau ada alat untuk mengukur tensi, tekanan darah Bening naik.

"Brak!" Bening emosi dan menghentakan sendok ke lantai.

"Kamu ngatain aku preman. Aku tuh udah baik nolongin kamu selamatin kamu. Malah dikatai Preman. Mana ada Preman sebaik dan secantik aku? Kau tidak lihat wajahku begitulah manis? Hah! Kamu siapa sih?" tanya Bening lagi

Semenjak ibunya meninggal, Bening memang tertempa hidup yang keras. Memaksa Bening menjadi berani dan keras.

"Perempuan itu harus menjaga harganya, cantik seperti bunga. Setiap lekuk tubunya adalah keindahan, lalu dari mulutnya keluar tuturan lembut yang menenangkan. Tidak galak dan marah - marah sepertimu!" ucap Pria itu lagi.

"Hhhh....," Bening menelan ludahnya. Otaknya semakin mendidih, tapi kata- kata pria itu cukup mengetuk pintu hati Bening yang selama ini kaku.

"Kamu ya! Baru sadar malah ngajarin aku. Aku galak karena aku gemas ke kamu. Kamu masa nggak ingat kamu siapa? Jangan- jangan kamu pria bermasalah kabur dan pura- pura lupa ingatan? Nyesel aku nolongin kamu! Cepat bangun! Pergi dari sini!" omel Bening lagi sudah tidak sabar.

Pria itu tidak menjawab malah tanganya tampak memehang perutnya.

"Aku lapar!" celetuk pria itu lagi tanpa tahu malu.

"Waah... katamu kamu lapar?" tanya Bening galak.

"Ya! Apa kamu punya makanan?" tanya Pria itu lagi tanpa salah. "Siapkan makanan untukku!" ucap Pria itu lagi sangat lues memerintah.

Bening semakin geram, sudah tidak tahu terima kasih, menghina masih nyuruh- nyuruh seenaknya.

"Eh.. pria tidak diri, gila songong! Kamu pikir kamu siapa? Lapar cari makan sendiri. Sudah beruntung aku menyelamatkanmu. Aku tidak mau urus kamu lagi. Bangun dan cepat pergi dari sini!"

"Apa kamu tidak lihat, aku masih lemah, aku bahkan lupa apa yang terjadi. Untuk bangun dan pergi aku butuh makan!" jawab Pria itu lagi beralasan.

"Tapi kamu janji, setelah kamu sehat dan bisa bangun kamu harus pergi dari sini?" ucap Bening.

"Ya. siapa juga yang mau tinggal di tempat sempit dan pengap begini. Rasanya aku baru pertama lihat ruangan seperti ini?" ucap Pria itu lagi.

Rasanya Bening ingin segera mengambil palu dan memukulkan lagi. Katanya lupa ingatan tapi masih tetap saja menghina.

"Yaya...Baguslah. Tempat pengap ini memang tidak pantas untuk kamu. Dan kamu harus segera pergi. malas juga aku menampung pria songong dan sombong sepertimu!" jawab Bening ketus.

Pria itu masih berekspresi datar tidak peduli Bening lagi.

"Aku lapar!" ucap Pria itu lagi.

"Ya sabar!" jawab Bening.

Walau segeram dan sekesal apapun, Bening memang mewarisi mendiang ibunya. Tidak tegaan dan baik hati. Bening pun ke dapur.

"Hh... dia harus segera pergi. Dia pasti hanya pura- pura lupa ingatan. Dia memang tampangnya orang kaya. Tapi bukan berarti harus songong kan?" gumam Bening di dapur sambil memukul cobek dengan ulekanya.

Bening tadi pagi makan di kota dan belum masak lagi. Jadi hanya ada nasi di dapur. Bening yang juga lapar berniat membuat nasi goreng.

Walau bercampur kesal, Bening masak makan malam untuk tamu asingnya itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!