Badi
Kucing Hitam dan Si Gadis Baik
Ranggi Jetayu
"Aku akan mengobatimu. Tapi tolong jangan bersuara."
Seolah mengerti dengan apa yang diucapkan Ranggi, mahluk menggemaskan berbulu hitam itu hanya diam, ketika Ranggi membersihkan luka di kakinya dengan kapas dan cairan anti septik.
Ranggi Jetayu
"Tahan dulu sebentar ya."
Ranggi berbisik ketika kucing itu mengerang pelan.
Ranggi Jetayu
"Kalau Papa sama Mama dengar suara kamu, aku pasti dimarahi. Papa sama Mama benci kucing. Dan bayangkan bagaimana reaksi mereka ketika menemukanmu di kamarku?"
Si Kucing hitam itu memiringkan kepala, seolah bertanya.
Ranggi terkekeh kecil melihat kelakuan si kucing yang seakan mengerti dengan apa yang dia katakan.
Ranggi mengangguk--dia juga bersikap seolah mengerti bahasa kucing.
Ranggi Jetayu
"Kamu akan dimasukan ke dalam karung, lalu dibuang ke tempat yang jauh."
Ranggi tertawa geli melihat gelagat si kucing yang seolah ketakutan. Dia berjalan mundur, mengabaikan Ranggi yang masih membalut kaki kecilnya dengan perban.
Ranggi Jetayu
"Hahaha. Aku bohong kok."
Si kucing hitam langsung buang muka.
Ranggi Jetayu
"Sudah selesai."
Ranggi menepuk kepala si kucing itu dengan senang kemudian menyimpan peralatan obat di laci meja belajarnya.
Mengambil si kucing hitam dari atas kasurnya, Ranggi kemudian membuka jendela kamar lalu membiarkan si kucing hitam melompat turun.
Ranggi Jetayu
"Lain kali hati-hati ya? Jangan sampai ketabrak motor lagi."
Pesan Ranggi pada si kucing hitam sebelum menutup jendela. Dia tidak bisa membiarkan si kucing hitam itu berada di kamarnya sampai pagi, karena kalau ketahuan papa dan mamanya, dia pasti akan dimarahi habis-habisan.
Si kucing hitam memandangi jendela kamar Ranggi selama beberapa saat, kemudian cahaya temaram berwarna putih tiba-tiba menyelubungi si kucing, lalu merubahnya menjadi sesosok mahluk berbeda, serupa manusia laki-laki.
Waruna Adikarta
"Gadis baik."
Bukan Anak Kebanggan
Ranggi mendesah pelan melirik piagam penghargaan yang ada di tangannya. Dia baru saja terpilih sebagai pemenang lomba menulis karya ilmiah remaja sekabupaten. Dia pulang cepat dari sekolah, dan ingin menunjukan piagam itu pada Papa dan Mamanya. Tapi dia harus menelan kekecewaan saat mendapati Randu, adiknya, sudah lebih dulu memberitahukan Papa dan Mama mengenai prestasinya yang luar biasa. Randu terpilih sebagai salah satu anggota paskibraka nasional mewakili provinsi NTB, yang akan pergi ke Jakarta.
Papa terlihat bangga. Dia bahkan tidak berhenti berkata kalau Randu sangat mirip dengan dirinya saat muda dulu. Sedangkan Mama, langsung menelpon nenek untuk mengabari prestasi si cucu kebanggaan.
Papa
"Makanya Nggi, contoh adikmu Randu. Jangan sakit-sakitan mulu."
Papa berkata dengan bangga sambil menepuk pundak Randu.
Papa
"Baru upacara dijemur di bawah matahari pagi aja udah pingsan. Gimana mau jadi anggota paskib?"
Dia hanya bisa menjawab lesu, mengabaikan senyum pongah Randu.
Papa
"Karena itu jaga kesehatan. Jangan begadang sampai tengah malam, makan yang teratur. Kamu sakit melulu bikin Papa repot."
Papa
"Oh ya, Ran, gimana sama persiapan kamu buat ke Jakarta?"
Papa kembali berdiskusi dengan Randu, mengabaikan atensi Ranggi dalam ruangan yang sama.
Mendengus pelan, Ranggi kemudian berjalan menuju kamarnya untuk ganti baju. Dia memutuskan untuk tidak memberitahu Papa dan Mama tentang piagamnya. Apa yang dia menangkan hari ini, tidak sebanding dengan apa yang dimenangkan Randu untuk menyenangkan Papa. Jadi lebih baik dia diam.
Sementara kedua orangtuanya sedang membanggakan Randu di ruang keluarga, Ranggi sedang makan siang sendiri di dapur. Sesekali dia menggaruk pelipisnya, saat mendengar pujian yang dilemparkan orangtuanya untuk si adik.
Kapan aku bisa dipuji seperti itu sama papa dan mama? batinnya sambil tersenyum getir.
Ranggi tersentak kaget ketika ada sesuatu yang menyentuh kakinya. Dia hampir berteriak, namun tak jadi dilakukannya, saat melihat bahwa pelakunya adalah kucing hitam yang tadi malam dia tolong. Si kucing hitam masih mengenakan perban yang dipakaikan Ranggi semalam.
Sementara kedua orangtuanya sedang membanggakan Randu di ruang keluarga, Ranggi sedang makan siang sendiri di dapur. Sesekali dia menggaruk pelipisnya, saat mendengar pujian yang dilemparkan orangtuanya untuk si adik.
Kapan aku bisa dipuji seperti itu sama papa dan mama? batinnya sambil tersenyum getir.
Ranggi tersentak kaget ketika ada sesuatu yang menyentuh kakinya. Dia hampir berteriak, namun tak jadi dilakukannya, saat melihat bahwa pelakunya adalah kucing hitam yang tadi malam dia tolong. Si kucing hitam masih mengenakan perban yang dipakaikan Ranggi semalam.
Ranggi Jetayu
"Kamu pasti lapar ya? Tunggu."
Mengendap mengintip Orangtua dan adiknya yang sedang berbincang serius di ruang keluarga, Ranggi kemudian berlari pelan ke arah lemari tempat penyimpanan lauk, mengambil seekor ikan bandeng goreng dan piring plastik bekas. Dia lalu membawa ikan tersebut dan si kucing hitam keluar lewat pintu dapur.
Ranggi Jetayu
"Kamu makan disini ya?"
Ranggi menyembunyikan si kucing hitam itu beserta piring lauknya di bawah pohon bonsai di samping kamarnya.
Ranggi Jetayu
"Ingat. Jangan berisik. Setelah selesai makan langsung pulang, oke?"
Sahut si kucing hitam, lalu menikmati bandeng goreng yang disediakan Ranggi. Sedangkan Ranggi langsung lari masuk ke dalam rumah.
Tania dan Angkara
Angkara Adikarta
"Waruna belum pulang."
Perempuan cantik berambut pirang, yang sedaritadi sibuk mengecat kuku, melirik malas ke arah laki-laki rupawan di sampingnya.
Tania Adikarta
"Memangnya kenapa kalau kucing buduk itu belum pulang?"
Tania tampak ketus. Dia merasa kedatangan Angkara hanya mengganggunya karena menyampaikan berita tidak penting.
Angkara Adikarta
"Praha Adikarta mencarinya. Sudah dua hari, sejak menjalankan tugas menyingkirkan Andra Manik, pesaing Praha di daerah antah-berantah, Waruna menghilang."
Angkara tampak frustrasi.
Sebelah alis Angkara terangkat tinggi melihat sikap cuek Tania.
Angkara Adikarta
"Praha membutuhkan dia untuk menyingkirkan saingan bisnis dari perusahaan lain. Si Wijaya tua terus merongrong Praha agar proyeknya kali ini sukses."
Tania Adikarta
Kenapa harus selalu Waruna yang diandalkan? Praha juga kan memiliki kita?"
Gadis pirang itu menggerutu. Dia kesal dengan sikap berat sebelah Tuan mereka.
Tania Adikarta
"Memangnya apa bagusnya kucing hitam budukan macam Waruna, dibandingkan dengan ular dan rubah macam kita."
Angkara Adikarta
"Mungkin karena dia adiknya dan dia juga yang paling kuat."
Angkara mengabaikan kemarahan Tania, dia menarik tangan ular betina itu untuk berdiri.
Angkara Adikarta
"Ayo bangun."
Tania Adikarta
"CAT KUKU GUEEEE! ITU BELUM KERING RUBAH KAMPRET!"
Angkara Adikarta
"Praha menyuruhmu untuk mencari keberadaan Waruna."
Tania menggeram mendengar perintah Angkara.
Angkara Adikarta
"Aku ada tugas lain."
Tania Adikarta
"Ssstttss."
Tania mendesis marah sambil mengeluarkan lidah ularnya.
Angkara Adikarta
"Oh ya Tan. Dengan rambut yang dicat pirang begitu, kamu nggak kayak siluman ular kece, kamu lebih kelihatan kayak hantu noni belanda yang gagal gaul."
Tania Adikarta
"Grrrr. Angkara Adikartaa awas kamuuu!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!