NovelToon NovelToon

Cinta Twins D (Dilan/Dilara)

01

"Mama... Mama... Mama!"

Jeritan Dilara memecah keheningan ruang tamu. Ia berlari mengejar Dilan, saudara kembarnya, dengan wajah memerah menahan amarah.

"Dilara, ada apa ini Nak? Ayo berhenti sekarang juga. Mama mohon." Alice, ibu mereka, mencoba menenangkan Dilara dengan suara lembut, matanya memancarkan kekhawatiran.

"Tidak akan Ma, lihat saja kalau Dilara dapat menangkapnya maka Dilara akan menghabisinya!" teriak Dilara, napasnya tersengal-sengal, mencoba mengejar Dilan yang berlari dengan lincah.

"Tolong! Tolong! Tolong!" Dilan berteriak, meningkatkan kecepatan larinya. Ia tersandung kaki sofa dan jatuh terduduk di lantai.

Bruk!

Kenan, ayah mereka, segera menghampiri Dilan, menariknya berdiri dengan wajah yang tampak kesal. Dilara, yang masih berdiri di dekatnya, menarik tangan Kenan.

"Kak, biarkan saja dia terjatuh. Tidak usah Kakak membantunya. Apa Kakak tahu apa yang sudah Dilan buat kepada Dilara?" Dilara mengatur nafasnya yang tersengal-sengal akibat berlari mengejar saudara kembarnya tadi, matanya berkaca-kaca.

Kenan menarik tangan Dilara dan membawanya duduk di sofa. Alice membantu Dilan untuk duduk di sofa, kaki Dilan terlihat sedikit terluka.

"Sayang, coba tenang terlebih dahulu sebelum kamu bertindak. Lihat Dilan, dia terluka bukan?" Kenan menegang tangan Dilara dengan sangat lembut, mencoba menenangkan putrinya.

Dilara menghembuskan nafasnya dengan sangat perlahan lalu ia menatap wajah saudara kembarnya. "Maafkan aku Dilan..."

"Tidak usah kau meminta maaf kalau sebentar lagi akan kau ulangi hal yang sama." ucap Dilan ketus, menatap Dilara dengan tajam.

"Lihat Kak Bastian, dia saja seperti itu dan Dilara tidak bisa bersikap manis kepadanya." Dilara membuang pandangannya ke arah pintu dengan tatapan kekesalannya.

"Dilara, kamu tidak boleh seperti ini lagi ya, kalau kamu terus seperti ini maka Mama akan menghukum mu." Alice menatap wajah putrinya dengan sangat dalam, mencoba menenangkan Dilara.

Dilara melirik ke arah Mamanya dan ia juga melirik ke arah saudara kembarnya lalu ia bergegas pergi menuju kamarnya.

"Bastian tolong bujuk Dilara, dia hanya akan mendengarkan ucapan mu saja bukan?" Alice memohon kepada Bastian agar membujuk Dilara yang sedang merajuk.

"Baiklah Mommy, aku akan mencoba dan aku juga tidak bisa berjanji tapi, aku akan berusaha agar dia bisa mengerti." janji Bastian kepada Mommy tirinya, mencoba meyakinkan Alice.

"Terimakasih Bastian." ucap Alice dengan sangat lembut, menatap Bastian dengan penuh harap.

Bastian bergegas pergi menuju kamar Dilara yang berada di lantai paling atas.

Setelah kepergian Bastian, Alice membersihkan luka pada lutut Dilan menggunakan alkohol dan ia juga memberikan Betadine.

"Katakan apa yang sebenarnya terjadi?" Alice menatap tajam ke arah Dilan, mencoba mencari tahu kebenarannya.

"Sebenarnya Ma, aku hanya mengatakan kalau dia adalah gadis barbar hanya itu saja Ma tapi, dia malah mengejar ku dan mengatakan kalau dia akan menghabisi ku." jelas Dilan yang menatap wajah Mamanya tersebut, mencoba menjelaskan kejadian sebenarnya.

"Jangan ceritakan ini kepada Papa oke, kalau sampai Papa tahu maka Dilara akan dihukum oleh Papa." ucap Alice yang menatap ke arah pintu rumahnya. Ia takut suaminya sudah pulang bekerja.

"Baik Ma aku tidak akan menceritakan kejadian tadi kepada Papa." janji Dilan kepada Mamanya, mencoba meyakinkan Alice.

🌺🌺🌺

Bastian membuka pintu kamar Dilara dengan perlahan. Setelah ia masuk, ia melihat Dilara sedang duduk di sofa sambil menatap ke arah jendela kamarnya, dengan sangat perlahan Bastian menghampiri Adiknya tersebut dan ia duduk di samping Adiknya tersebut.

"Sayang, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi?" ucap Bastian dengan sangat lembut, mencoba menenangkan Dilara.

Dilara menoleh kini ia dan Bastian saling bertatapan.

Bersambung.

bab 02

"Dilan mengatakan kalau Dilara adalah gadis barbar Kak," ungkap Dilara, suaranya bergetar menahan tangis.

Bastian langsung tersenyum dan ia mencubit hidung mancung Dilara.

"Hanya itu saja bisa membuat mu seperti seekor macan sayang." Bastian tertawa kecil mendengar ucapan Dilara.

"Kak." Dilara menatap tajam ke arah Bastian dan Bastian langsung menghentikan tawanya dengan sangat cepat, wajahnya berubah panik.

"Baiklah tapi, apa kamu tahu kita tiga bersaudara tidak boleh terus-menerus bertengkar, apa lagi kamu dan Dilan kalian kembar apa kalian tidak memiliki rasa sayang?" tanya Bastian yang menatap wajah Dilara, mencoba menenangkannya.

"Kalau sayang pasti ada Kak, kalau kami selalu bertengkar itu pasti ulah Dilan sebab dia selalu saja membuat Dilara kesal Kak." ucap Dilara pelan, mencoba menjelaskan perasaannya.

"Tapi, kamu harus lebih sabar lagi sebab kamu wanita sayang jika wanita kasar dan kejam mana ada laki-laki yang menyukai mu nantinya." Bastian langsung menutup mulutnya saat melihat tatapan tajam dari Dilara.

"Sudah?"

"Maaf sayang itu adalah hal yang sering terjadi bukan, dan Kakak tidak berbohong sebab ada salah satu teman Kakak yang seperti itu." Bastian tersenyum yang menutupi ketakutannya.

"Jangan sampai Dilara marah dan menghajar aku dengan sangat kasar dan ganas," batin Bastian, mencoba menenangkan dirinya.

"Baiklah Kak, bukankah Dilara masih berusia 20 tahun Kak?" ucap Dilara pelan, mencoba menenangkan dirinya.

Bastian bernafas lega sebab Adiknya tersebut tidak marah kepadanya dan ia tersenyum menatap bola mata Dilara.

"Lalu? Apa kamu tidak ingin menikah, Mommy saja dulu menikah dengan Papa usianya baru berusia 20 tahun sayang." ucap Bastian dengan lembut dan mengelus rambut Adiknya tersebut, mencoba menghibur Dilara.

"Benarkah Kak, kalau begitu bukankah Kakak dan Mama seumuran?" tanya Dilara, mencoba memahami penjelasan Bastian.

Bastian terdiam, ia teringat masa lalunya bersama dengan Alice sewaktu mereka berpacaran dulu.

"Sepertinya aku harus mengalikan pembicaraan kami agar Dilara tidak tahu masa lalu ku, aku tidak mau sampai Dilara membenciku sebab aku sangat menyayangi dia seperti anakku sendiri," batin Bastian, mencoba mengendalikan dirinya.

"Apa kamu tidak ingin meminta maaf kepada Mommy dan Dilan?"

"Tapi Kak, apa Dilan tidak marah kepada Dilara dan Mama pasti tadi sangat marah kepada Dilara Kak..." ucap Dilara lirih, mencoba memahami situasi.

Bastian tersenyum. "Ayo kita menemui mereka."

Dilara tersenyum dan ia ikut bersama dengan Kakaknya tersebut, mereka berjalan menuju bawah dengan menuruni anak tangga. Setelah mereka sampai bawah, Dilara menghentikan langkahnya saat ia melihat Papanya sudah pulang dan duduk bersama dengan saudara kembarnya dan Mamanya.

"Ayo, tenang saja Kakak ada untukmu tidak usah takut dengan Papa." Bastian menggandeng tangan Dilara dan Dilara hanya diam dan mengikuti langkahnya.

Setelah mereka sampai, mereka duduk bersebelahan dengan Kenan.

"Katakan?" ucap Kenan dengan sangat dingin, menatap Dilara dengan tajam.

"Ma-maaf Kak Dilan..." ucap Dilara terbata-bata saat melirik ke arah Papanya, mencoba menahan rasa takutnya.

"Dilara..." Kenan menatap wajah putrinya dengan sangat dalam, mencoba menenangkan dirinya.

"Maaf Pa, memang Dilara yang bersalah kepada Kak Dilan dan Dilara minta maaf juga kepada Mama..." Dilara menangis di dalam pelukan Bastian, mencoba meredakan emosinya.

"Papa sudah sering kali bukan mengatakan kalau kamu tidak boleh bersikap seperti preman pasar bukan, sekarang lihat Kakak mu terluka bukan hanya kali ini saja sebelumnya kamu juga bersikap seperti ini, dan Papa akan menghukum mu." ucap Kenan dengan sangat tegas, mencoba mendisiplinkan Dilara.

Dilara masih menangis di dalam pelukan Kakaknya tersebut.

"Papa, sudahlah kasihan Dilara dia menangis seperti itu." ucap Alice dengan sangat lembut, mencoba menenangkan Kenan.

"Ma, biarkan dia tahu dia adalah wanita tidak seharusnya dia bersikap seperti seorang laki-laki. Papa akan menghukumnya, dia akan tinggal bersama dengan kakeknya selama satu bulan."

"Tapi Pa, disana tidak enak Pa." ucap Dilara yang menatap wajah Papanya, mencoba menolak hukumannya.

"Ini sudah menjadi keputusan Papa." ucap Kenan yang berlalu pergi menuju kamarnya, mencoba menenangkan dirinya.

Setelah kepergian Kenan, Dilara berlari memeluk Mamanya dan menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Mamanya.

.

.

.

Bersambung.

Hay teman-teman jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya, kalau ada saran dan kritikan komen saja.

bab 3

"Dilara..." Kenan menatap wajah Dilara dengan sorot mata tajam, penuh kekecewaan. Bibirnya terkatup rapat, rahangnya mengeras, seolah menahan amarah yang membara.

"Maaf Papa, memang Dilara yang bersalah kepada Kak Dilan dan Dilara minta maaf juga kepada Mama..." Dilara terisak dalam pelukan Bastian, air matanya membasahi kemeja Bastian. Wajahnya memerah, bibirnya bergetar, dan matanya berkaca-kaca. Bastian mengelus rambut Dilara dengan lembut, mencoba menenangkan adiknya yang sedang bersedih. Wajah Bastian menunjukkan rasa iba dan khawatir.

"Papa sudah sering kali mengatakan kalau kamu tidak boleh bersikap seperti preman pasar, bukan? Sekarang lihat Kakakmu terluka, bukan hanya kali ini saja, sebelumnya kamu juga bersikap seperti ini. Dan Papa akan menghukummu." Suara Papa bergema di ruang tamu, tegas dan tak terbantahkan. Wajahnya masih tegang, alisnya bertaut, dan rahangnya masih mengeras.

Dilara masih menangis dalam pelukan Bastian, sementara Bastian hanya bisa diam, mendengarkan omelan Papa dengan perasaan campur aduk.

"Papa, sudahlah, kasihan Dilara, dia menangis seperti itu." Mommy Alice menengahi dengan suara lembut, berusaha meredakan suasana. Wajahnya menunjukkan keprihatinan, matanya tertuju pada Dilara, dan tangannya terulur untuk mengelus punggung Dilara.

"Ma, biarkan dia tahu, dia adalah wanita, tidak seharusnya dia bersikap seperti seorang laki-laki. Papa akan menghukumnya, dia akan tinggal bersama dengan kakeknya selama satu bulan." Papa bersikeras, suaranya masih terdengar dingin. Wajahnya masih tegang, matanya menatap tajam ke arah Dilara.

"Tapi Papa, disana tidak enak Papa." Dilara mendongak, matanya berkaca-kaca menatap Papa. Bibirnya bergetar, dan suaranya terdengar lirih.

"Ini sudah menjadi keputusan Papa." Papa berlalu pergi menuju kamarnya, meninggalkan Dilara dan Bastian dalam keheningan.

Setelah kepergian Papa, Dilara berlari memeluk Mommy Alice, tangisannya pecah kembali, semakin keras, semakin pilu. Wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca, dan tubuhnya gemetar. Mommy Alice mengelus punggung Dilara, mencoba menenangkannya. Wajahnya menunjukkan rasa iba dan kasih sayang.

Setelah beberapa saat, Dilara melepaskan pelukan Mommy Alice. Matanya menatap Bastian, "Kak, bisakah Kakak saja yang membawa Dilara ke rumah kakek?"

"Bisa sayang, besok kita akan pergi ke sana. Dan sekarang kamu mandi sana, sudah bau asem tau..." Bastian menutup hidungnya dengan tangan, pura-pura jijik. Wajahnya menunjukkan sedikit geli.

Dilara mencium tubuhnya, dan memang, tercium aroma tak sedap dari ketiaknya. "Besok pagi jangan telat bangun ya, kalau Kakak telat bangun Dilara akan buka kartu Kakak." Dilara berlari menaiki anak tangga, meninggalkan Bastian dengan rasa penasaran. Senyum jahil terukir di wajahnya.

"Kartu apa?" Bastian bertanya dengan bingung.

"Kartu rahasia Kakak..." Dilara menjawab dengan senyum jahil, sebelum menghilang di balik pintu kamarnya.

"Kakak tidak akan terlambat bangun!" Bastian berteriak, namun Dilara sudah tak terlihat lagi. Bastian menggelengkan kepala, lalu bergegas menuju kamarnya.

Malam itu, Bastian menunggu Dilara untuk makan malam bersama Papa, Mommy Alice, dan Dilan. Namun, Dilara tak kunjung muncul. Papa akhirnya mengutus Bastian untuk memanggilnya.

Bastian berjalan menaiki anak tangga, mengetuk pintu kamar Dilara. Tak lama kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan Dilara yang hanya mengenakan handuk kimono. Wajah Bastian sedikit tercengang melihat penampilan Dilara.

"Ayo Tuan putri, makan malam, Papa sudah menunggu mu." Bastian tersenyum, sedikit geli melihat penampilan Dilara.

"Tunggu, Dilara pakai baju dulu." Dilara menjawab dengan suara pelan, lalu menutup pintu kamarnya kembali.

Bastian bergegas turun ke ruang makan. Dia duduk di meja makan, menunggu Dilara. Tak lama kemudian, Dilara turun, duduk di samping Bastian. Papa menatap wajah Dilara dengan sorot mata tajam.

"Dilara, kamu besok pagi pergi ke rumah kakek bersama dengan Kak Bastian, dan kamu kuliah dari sana. Ingat, kamu harus tinggal disana selama satu bulan." Papa berkata dengan tegas.

"Baiklah Papa..." Dilara menjawab lirih, suaranya terdengar lesu. Wajahnya menunjukkan kekecewaan.

"Papa, bolehkah aku juga ikut?" Dilan bertanya, matanya menatap Papa dengan harap.

"Alasan Papa mengirim Dilara ke rumah kakek adalah untuk memisahkan kalian untuk sementara waktu, agar kalian mengerti bahwa tali persaudaraan itu sangat penting dan kuat, agar kalian tidak bertengkar lagi. Mengerti?" Papa melirik Dilara dan Dilan bergantian.

"Mengerti Papa..." Dilara dan Dilan menjawab bersamaan.

"Mama, kita akan terpisah, pasti Dilara akan merindukan Mama..." Dilara menunduk, suaranya berbisik, matanya menatap Mommy Alice dengan sendu.

"Jangan bersedih sayang, disana juga ada Oma Riska, dia itu adalah teman Mama, pasti ada Mama didalam dirinya." Mommy Alice berusaha menghibur Dilara. Wajahnya menunjukkan kasih sayang dan pengertian.

Bastian hanya diam, mendengarkan percakapan mereka. Papa kemudian menoleh ke arah Bastian.

"Bas, setelah kalian sampai rumah kakek, katakan pada bibi kecilmu kalau dia harus membimbing Dilara, agar Dilara menjadi seperti seorang wanita pada umumnya."

"Baiklah Papa..." Bastian menjawab singkat.

Setelah makan malam, Bastian bergegas menuju kamarnya.

Pagi hari, Bastian sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Sebelum berangkat, dia akan mengantar Dilara ke rumah Azi, yang sekarang sudah dia anggap sebagai Kakek. Azi juga sudah menganggap Bastian sebagai cucunya.

Bastian duduk di ranjang, memegang ponselnya. Dia membuka galeri, melihat foto Saras dan anak mereka. Bastian tidak tahu dimana Saras dan anak mereka sekarang. Wajahnya menunjukkan kerinduan dan kesedihan.

Sudah berulang kali Bastian mencari mereka, namun tak kunjung menemukan. Kekecewaan dan penyesalan menghantamnya. Bastian sering mabuk dan bermain dengan wanita malam, mencoba melupakan kesedihannya.

"Dimana kamu sayang? Aku rindu kamu, semoga kita bisa bertemu lagi, aku ingin sekali memeluk anak kita sayang." Bastian berbisik, matanya berkaca-kaca.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!