...BAB 1...
...Nikahi Aku!...
Cekiiiiiiiittttt.....
Bruaaakk
_________________________________________
Seorang Pria berusia 27 tahun, tengah berlari memangku seorang perempuan yang sudah terkulai lemas dan pingsan, dengan darah yang mengalir deras di bagian lutut hingga mengalir ke tumit kakinya.
"Ada apa ini Pak?"
"Tolong saya suster. Saya tak sengaja menabrak perempuan ini. Saya mohon tolong tangani dia dengan baik!" sahutnya panik.
"Baik, silakan anda ke bagian administrasinya dahulu Pak dan mohon hubungi keluarganya, kami akan membawa segera pasien ke ruangan UGD." titah salah satu suster, setelah membaringkan perempuan itu di atas brangkar.
"Baik suster..." Pria tinggi dan tampan itu menurut lalu melangkah cepat menuju ruang administrasi sambil membuka tas milik perempuan yang di tabraknya tadi. Mencari dompet dan ponselnya. Di dalam dompet ia melihat ada KTP dan beberapa lembar uang saja. Dahinya pun berkerut saat mengeja nama perempuan di KTP dengan pelan.
"Silvia Lestari... Usianya sekarang dua puluh lima tahun, ternyata dia seusianya Cathrine." gumamnya sendiri.
Pria tersebut lekas membuka ponsel dan mencari-cari nomer yang sering di hubungi Silvia lewat log panggilannya. Beruntung sekali ponsel itu tidak memakai kunci sandi sehingga memudahkannya untuk membuka isi ponsel.
"Hallo selamat siang? Apakah anda dengan salah satu keluarganya Nona Silvia Lestari?" tanyanya.
[.........]
"Bolehkah siang ini anda ke rumah sakit? Nona Silvia sekarang ada di rumah sakit dan mengalami kecelakaan." sahutnya lagi, mesti Pria itu tahu jika yang dia telepon mengaku bukanlah anggota keluarganya tapi teman satu kerja perempuan tadi. Dia tetap meminta orang itu untuk datang ke Rumah Sakit.
"Bagaimana keadaannya Dokter?" tanyanya, setelah Dokter keluar dari ruang UGD selesai memeriksa dan mengobati Silvia.
"Sekarang pasien sudah sadar Pak, anda boleh menjenguknya. Hanya saja tadi setelah kami rontgen, kami menemukan ada keretakan lebar di bagian tulang kakinya mungkin untuk beberapa bulan lamanya dia akan mengalami kesulitan berjalan dan terpaksa harus menggunakan bantuan kursi roda atau kruk." jelas Dokter tersebut.
Pria itu tercengang, merutuki kesalahannya sendiri. Bagaimana bisa dia begitu cerobohnya sampai mencelakai orang?
Ya Tuhan kasihan sekali perempuan itu... Semoga saja dia mau memaafkan kelalaianku... batinnya gelisah, seraya mengusap gusar wajahnya.
Pria itu hendak memasuki ruang ICU untuk menjenguk perempuan yang ia tabrak tadi. Namun tiba-tiba saja suara dering telepon mengagetkannya dan menghentikan niatnya untuk masuk. Dahi Pria itu berkerut, setelah melihat siapa yang meneleponnya. Lantas ia menepuk dahinya karena telah melupakan sesuatu.
"Hallo sayang?" sapanya tergugup.
["Kamu dimana Dev? Katanya kita janji makan siang di Cafe. Aku udah satu jam lebih lho, nungguin kamu disini!"] protes seorang wanita di seberang teleponnya.
"Cathrine, maafkan aku sayang, Aku dalam musibah. Tadi sebelum menuju ke Cafe tempat biasa kita makan. Aku tak sengaja menabrak orang. Dan sekarang aku ada di Rumah Sakit." jelasnya gelisah.
["A-apa, ya Tuhan kamu nabrak orang Dev?!"] Wanita yang bernama Cathrine itu terkejut, tak percaya yang ia dengar. [“Bagaimana bisa kamu menabrak orang sayang?!”]
"Iya sayang, aku juga tidak tahu tiba-tiba saja perempuan itu muncul dan berlari ingin menyebrang jalan.” Jelasnya tampak risau. Devan pun mengusap keningnya yang berkeringat.
“Maaf jadi membuatmu cemas. Sepertinya untuk saat ini aku tidak bisa menemanimu makan siang di cafe, aku harus selesaikan urusan ini dulu. Nanti setelah selesai aku pasti kabari lagi." jelasnya.
[“Janji ya... Baiklah aku tunggu kabar darimu. Setelah nanti selesai dengan urusanmu. Kau harus datang ke apartemenku..."]
“Iya sayang aku janji padamu...”
[“Byeee... I love you beb..”]
“I love you too..”
Pria yang bernama lengkap Devan Alvandra itu kembali menutup ponselnya dan memasukkan benda pipih itu ke saku jas kerja miliknya. Lalu memutar knop pintu dan membukanya perlahan.
Hatinya berdegup kencang. Dia masih khawatir jika perempuan yang bernama Silvia itu akan memarahi dan menuntutnya.
“Selamat siang, bagaimana sekarang keadaanmu, apa masih sakit?” tanyanya dengan hati-hati.
Devan masih menampakkan wajah penuh bersalahnya pada Silvia yang sudah tersadar dan duduk bersandar di atas ranjang dengan satu kakinya di balut perban.
“Apa kau tidak melihatnya? Tentu saja masih terasa sakit.” ketusnya dengan mimik kesal.
Devan meraih kursi dan duduk di sampingnya Silvia. Kepalanya tertunduk lesu betapa ia sangat menyesali kecerobohannya.
"Saya benar-benar minta maaf atas kejadian ini... Sungguh saya benar-benar tidak sengaja. Tetapi sebagai gantinya akan saya penuhi semua apapun yang anda pinta. Apa anda butuh uang? Akan saya berikan sekarang juga kalau anda mau. Berapa nominalnya, katakan saja. Biar saya kirimkan lewat rekening." tawarnya.
Devan kembali merogoh ponselnya, bersiap mendengar dan mengirimkan sejumlah uang untuk Silvia.
"Apa kau yakin ingin memberikan apa yang kuinginkan?" tanya Silvia dengan tatapan berbinar seketika.
Devan mengangguk cepat dan tersenyum senang. "Iya, sebagai tanda permintaan maaf saya kepada anda Nona, akan ku berikan apapun yang anda mau..."
"Benar akan memenuhi semua permintaanku?" lagi Silvia bertanya untuk memastikannya.
"Iya Nona, jangan ragu katakan saja apa yang anda mau..." ulang Devan.
"Aku tidak ingin uangmu..." ucap Silvia singkat.
Perempuan cantik berambut coklat panjang, yang di ikat ekor kuda itu menatap serius manik gelapnya Devan, yang membuat Pria itu mengerutkan dahinya tak mengerti.
"Em, anda tidak menginginkan uang saya, lalu?"
"Aku ingin kau menikahiku..." pintanya tiba-tiba, yang sontak saja membuat Devan terkejut.
"A-a apa, me-menikahi anda?" gelagapnya, dengan menelan susah ludahnya. Tak lama, Devan pun menahan tawanya. Dia pikir Silvia hanya sedang mencandainya.
"Hahaha apa anda sedang bergurau Nona? Itu tidak lucu. Ayo katakanlah apa yang anda mau. " Alihnya bertanya lagi, sambil menggelengkan kepalanya.
"Aku serius, aku ingin kau nikahi..." Silvia mengangguk lagi, menatap lekat, penuh harap pada Devan.
"Aku akan memaafkanmu dan melupakan musibah ini. Biarlah, mungkin ini sudah takdirku yang harus celaka." ujarnya. "Asalkan kau mau menikahiku itu sudah cukup membuatku lega... Di dunia ini, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, aku tak tahu siapa yang akan mengurusiku nantinya." lirihnya yang kini wajah Silvia tampak bersedih.
Devan yang duduk di sampingnya pun bertambah bingung, hatinya tersimpan iba padanya, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa untuknya.
"Em, ma-maafkan saya Nona ta-tapi permintaan anda ini_"
"Bukankah barusan kamu sudah berjanji akan memenuhi permintaanku?!" desaknya lagi.
"Iya tapi, saya tidak menjanjikan soal untuk menikahimu. Dan maaf sekali lagi saya sudah punya kekasih dan satu bulan lagi kami akan menikah.. Dan keinginan anda ini, sungguh sangat di luar kemampuan saya." tolaknya secara halus.
Silvia mengerutkan dahinya. Menatap tajam Devan. "Baiklah jika kau tidak mau menikahiku! Lebih baik aku mati saja. Karna percuma saja bila aku hidup, aku sudah tidak bisa lagi bekerja!" pekiknya. Silvia menangis, dan kedua tangannya menutupi wajahnya yang terisak-isak kencang.
“Nona, Nona Silvia tolong berhentilah menangis! Baiklah, bagaimana kalau begini saja! Saya akan carikan perawat untuk merawat anda, sampai anda benar-benar sembuh kembali. Anda tak perlu khawatir soal biaya. Semuanya saya yang tanggung termasuk biaya hidup anda...” saran Devan mencoba membujuk Silvia, agar gadis itu tenang kembali. Tapi Silvia malah menarik jarum infus di tangannya dengan paksa dan mengancam Devan.
"Tidaak aku tidak mau perawat! Pokoknya aku ingin kamu menikahiku secepatnya!!" pintanya lagi sambil berteriak. Silvia yang hendak beranjak dari ranjang pun segera di tahan oleh Devan.
“Anda mau pergi kemana Nona? Tenanglah dulu, kumohon... Kita bicarakan lagi ini baik-baik”
“Lepaskan aku! Biarkan saja aku mati!” Silvia menepis kasar tangannya Devan yang menahan pundaknya.
Di tengah kemarahan Silvia, tak lama datanglah seorang perempuan sebaya Silvia mengetuk pintu kamar yang tak tertutup rapat.
"Silviaaa!!" teriaknya, sambil menangis.
"Nana..." Silvia mendongak ke arah suara.
Perempuan yang bernama Nana itu pun berlari menghambur memeluk Silvia di ranjang.
"Kamu kenapa Sil, bisa jadi kayak gini? Ya ampun tadi pagi-pagi kan kamu baik-baik aja, eh tahu-tahu dapat kabar kamu di Rumah Sakit habis kecelakaan!" selorohnya sambil menangkup kedua belah pipi temannya. Lalu beralih melihat kaki Silvia yang sudah di perban begitu sangat rapi.
*****
Malamnya Silvia di perbolehkan untuk pulang, lalu Devan mengantarkan Silvia ke kontrakan milik Nana untuk menumpang istirahat sementara waktu, karna Silvia memang belum bisa di tinggalkan sendirian di kosannya yang kecil dalam keadaan terluka parah.
Sepanjang jalan setelah mengantarkan Silvia. Devan terus memikirkan permintaan Silvia yang secara tiba-tiba. Pasalnya dia benar-benar belum siap untuk menikahi perempuan itu. Lagipula dalam sebulan lagi, Devan juga harus menikahi Cathtrine, kekasihnya. Bagaimana mungkin dalam waktu dekat dia menikahi dua wanita sekaligus. Hati kecil Devan pun tak ingin mengkhianati Cathrine.
Devan kini telah sampai apartemen milik kekasihnya. Di ruang tamu apartemen Cathrine sudah menunggunya dengan setia.
Pintu terbuka dengan lebar, bibir merah menyala terbit seketika, saat kehadiran kekasih hatinya di depan pintu apartemennya.
"Sayang, bagaimana sudah selesai dengan urusanmu?" tanyanya yang lekas mengusap dan mengecup lembut pipi Devan yang terlihat kacau pada malam hari itu.
"Sudah sayang..." jawabnya terlihat sangat lesu dan gugup.
"Syukurlah jika begitu! Ayo masuk ke dalam, aku sudah siapkan makan malam untuk kita berdua. Aku yakin kamu pasti sudah sangat lapar 'kan?" tebaknya seolah tahu kalau Devan belum sempat makan malam ini.
Devan mengangguk pelan, Cathrine benar sebenarnya dari tadi siang dia memang belum sempat makan karena banyak pikiran yang melandanya.
Cathrine tersenyum manis. Lalu menggandeng calon suaminya ke ruang makan. Cathrine membantu membuka jas kerjanya Devan lalu menyimpannya di kepala kursi makan lainnya.
"Kamu terlihat kusut sekali? Apa kamu mau mandi dulu? Biar badanmu tampak lebih segar... Bagaimana?" tawar Cathrine sambil mengusap dan memijati pundak Devan penuh perhatian.
"Ah tidak Cath, aku mau langsung makan saja. Setelah itu aku harus pulang. Mau istirahat, besok pagi-pagi sekali aku harus ke kantor karna banyak pekerjaan yang ku tinggalkan semenjak tadi siang. Kamu tidak apa-apa 'kan?!" ujarnya. Sebenarnya ada banyak hal dalam pikiran Devan saat itu selain pekerjaan, dan lebih baik dia memang harus cepat pulang.
Cathrine mengerucutkan bibirnya, kecewa. Sebenarnya dia ingin sekali lebih lama di temani Devan, tapi mau bagaimana lagi Devan seorang pengusaha kaya, tentunya akan lebih sibuk dengan mengurusi pekerjaannya di bandingkan harus menemani calon istrinya saja. Tapi Cathrine tak terlalu memusingkan hal itu, yang terpenting adalah impiannya harus tercapai. Menjadi istri seorang pengusaha sukses dan kaya raya seperti Devan. Tentunya tak akan ia sia-siakan begitu saja dan hanya menjadi orang terkenal juga kaya raya sudah membuatnya cukup bahagia.
Cathrine mengangguk tersenyum mencoba mengerti dengan kondisi calon suaminya. Semata ia memang tak ingin membuat Devan tertekan dengan menahannya terus-menerus untuk bersamanya. Toh, dia pun tahu kalau Devan adalah lelaki tipe setia, bertambah lagi cinta Devan kepadanya sangatlah besar.
Sudah ia buktikan, selama tujuh tahun lamanya Devan masih tetap melajang demi menunggunya seorang. Dulu Devan pernah sempat Cathrine tolak karena Pria itu belum memiliki apa-apa tapi sekarang Cathrine seakan berubah haluan. Cathrine sangat menyukai perubahan pada diri Devan, pria itu semakin tampan dan mapan. Tentunya, wanita mana yang tak kan tertarik dengan pesona Devan Alvandra?
Setelah Devan selesai menghabiskan satu piring makannya dan membasuh wajahnya dengan air dingin, supaya nanti ia tak mengantuk dalam perjalanan pulang. Devan pun bersiap-siap untuk pulang.
"Sudah dulu ya sayang, selamat malam. Jangan tidur terlalu malam. Aku pulang dulu.." ucap Devan lalu mendaratkan kecupan lembut di kening kekasihnya.
Hanya itulah yang bisa Devan lakukan untuk calon istrinya, dia tak bisa memberikan lebih dari itu, mesti dia tahu hasratnya dan calon istrinya sangat menginginkan yang lebih dari itu. Tetapi untuk menjaga cintanya, Devan bertahan menunggunya hingga keduanya telah halal menjadi sepasang suami istri.
"Iya sayang... Kamu juga..." balas Cathrine.
Devan pun melenggang pergi setelah berpamitan. Kini dia sudah berada di mobilnya yang terparkir di basement. Pikirannya kembali teringat dengan permintaan Silvia kepadanya di Rumah Sakit tadi siang, dan beberapa kali juga Devan menghela nafasnya berat.
"Aku akan menunggumu dalam satu minggu ini. Jika kau tidak memberikanku kepastian. Maka aku tidak akan pernah memaafkanmu. Karenamu aku jadi sulit berjalan dan karnamu juga aku tak lagi bisa bekerja! Jadi kau harus bertanggung jawab dengan hidupku ini!" ancamnya saat itu.
"Perempuan itu sudah tidak waras. Apakah tidak ada permintaan lain selain aku harus menikahinya?" Devan menggeleng kepalanya frustasi, seraya mengusap kasar wajahnya.
Bersambung...
...****...
...BAB 2...
...Fitnah Keji Itu dan Rencana Silvia Untuk Membalasnya...
Silvia berbaring di atas ranjang seraya menatap nanar plavon kamar. Memorinya teringat lagi pada kejadian lima tahun lalu. Silvia masih tak terima dengan fitnah yang di tuduhkan padanya saat itu. Walaupun sudah lama terjadi, tapi luka itu masih saja membekas di hatinya. Tercabik-cabiklah harga dirinya saat itu, serta hilangnya sebuah kepercayaan dari orang yang ia kasihi. Semua karna ulah Cathrine, yang dia anggap teman sejatinya dulu.
~Flashback on~
Saat itu usia Silvia masih dua puluh tahun. Andy menghampiri Silvia yang tengah duduk di halaman belakang rumahnya sambil membaca buku kuliah. Silvia terkejut dengan kedatangan Andy yang tiba-tiba, juga mendapat pesan darinya secara bersamaan.
“Buka itu!” titah Andy, dengan tatapan dinginnya. Silvia terheran lantas membuka pesan dan melihat video yang di kirim Andy kepadanya. Seketika ia tercengang wajahnya memerah panas.
“Apa-apaan ini?” tanyanya gugup seraya menutupi mulutnya tak percaya melihat wajah dirinya yang tengah bergumul dengan pria yang tak di kenalinya di sebuah kamar hotel.
“Ku pikir kau adalah wanita polos, tapi ternyata kelakuanmu itu sangat menjijikkan sekali, Silvia. Aku menyesal telah mengenalimu!” Andy menatap kecewa sekaligus geram pada Silvia. Sedang Silvia menggelengkan kepalanya dengan air mata yang sudah menggenang.
“Itu tidak benar, Dy! Di video ini bukan aku. Aku bersumpah aku tidak pernah melakukan hal keji dengan pria ini! Darimana kau dapatkan video ini? Itu bukan aku!!” teriak Silvia dengan nafas tersengal berat ia membantah semua atas tuduhan Andy padanya.
“Sudahlah Sil, kami sudah lihat semuanya. Jika kau mau mengakuinya dengan jujur dan meminta maaf pada Andy, aku yakin Andy tidak akan mempermasalahkannya lagi, iya kan Dy?!” Cathrine tiba-tiba saja muncul dari belakang tubuh Andy dan ikut menuduhnya secara halus.
“Apa maksudmu Cathrine, aku tidak mengerti?! Sudah ku bilang kalau itu bukan diriku! Ini fitnah, video itu rekaan! Siapa yang melakukan ini padaku? Apa kau yang telah melakukan ini semua di belakangku, Cath?!” Silvia hendak mendekati Cathrine namun Andy malah mendorong tubuh Silvia dengan kasar hingga ia nyaris terjatuh.
“Jangan membalikkan fakta, dengan menuduh balik Cathrine! Justru berkat Cathrine lah akhirnya aku bisa tahu sifat aslimu sebenarnya. Untung saja ia menemukan rekaman ini di medsosnya. Jika tidak aku pasti akan menyesal karena telah menikahi j*lang seperti dirimu!” tuding Andy lagi namun refleks Silvia menampar keras pipi calon suaminya tersebut.
Plaakk
Silvia jelas tak terima dengan hinaan itu, bahwa ia memang merasa tak pernah melakukannya. “Sekali lagi aku katakan bahwa aku tidak pernah melakukannya! Terserah kamu mau percaya padaku atau tidak! Di video itu bukanlah diriku!” tegasnya dengan penuh keyakinan.
“Ada apa ini?”
Ketika di tengah-tengah perdebatan itu, Ayah Silvia tiba-tiba saja datang menghampiri mereka, Ayah Silvia yang baru saja sampai rumah setelah pulang dari bekerja. Terkejut melihat putri dan calon menantunya ada di belakang rumahnya dan tengah bertengkar.
“Loh, Nak Andy sejak kapan di sini Nak?” tanyanya dengan raut terheran.
“Om..” Andy meraih dan mencium punggung tangan Ayah Silvia semata dia memang menghargai calon mertuanya.
“Kedatangan Andy kemari hanya ingin menyampaikan sesuatu penting Om, mungkin pernikahan Andy dan Silvia harus di batalkan. Maafkan Andy Om, Andy tidak bisa menikahi wanita yang sudah mengkhianati Andy..” ucapnya dengan suara tegas dan to the point. Andy pun pamit pulang tanpa menjelaskan apa-apa lagi pada Ayah Silvia.
“Ma-maksudnya apa Nak Andy?! Andy?!” panggil Ayah Silvia tapi Andy tetap melangkah pergi dari rumah calon istrinya tersebut, lalu Ayah Silvia menoleh dengan tatapan tak mengerti pada putri semata wayangnya. “Silvia bisa kamu jelaskan, apa maksud dari perkataan Andy barusan? Kenapa dia ingin membatalkan pernikahan kalian?!” tanyanya semakin bingung.
Silvia hanya diam membisu namun perasaannya sungguh sangat kacau saat itu. Dia tak mampu menjelaskan pada Ayahnya, masalah itu begitu sangat runyam baginya. Tetapi Cathrine tiba-tiba saja mengambil ponsel Silvia yang terjatuh di tanah dan memberikannya pada Ayah Silvia.
“Permisi Om, Cathrine pamit pulang juga. Mungkin ini akan memberitahukan Om, kenapa Andy sampai membatalkan pernikahannya dengan Silvia...” ucapnya sambil melirik Silvia yang sudah pucat pasi.
Silvia mendongak dan menelan kasar salivanya hendak merebut ponsel yang sudah di pegangi Ayahnya.
“Tidak jangan di lihat Yah!” cegah Silvia agar Ayahnya tidak shock dan terhasut dengan melihat video rekaan tersebut. Namun terlambat Ayah Silvia sudah menontonnya. Sementara Cathrine yang melihatnya, menyeringai kecil pada Silvia, lalu melenggang pergi dan mengejar Andy.
“Apa-apaan ini Silvia?! Kau sudah mencoreng nama baik Ayah hahh!! Dasar kau anak tidak tahu malu!” tunjuknya dengan geram.
“Tidak Ayah, itu tidak benar! Di video itu bukan Silvia!!” lirih Silvia dengan suara gemetar dan ketakutan. Khawatir Ayahnya akan kenapa-napa.
Ayah Silvia kehabisan kata-kata, lantas pria paruh baya itu menggenggam kuat bagian dada kirinya, rasa sesak dan sakit tiba-tiba menderanya bertubi. Tak lama Ayah Silvia pun jatuh pingsan dan tak sadarkan diri.
“Ayaaahhh!!” Silvia teriak histeris.
Pada akhirnya ketakutan Silvia pun terjadi. Setelah Ayahnya di bawa ke Rumah Sakit, tak lama satu jam kemudian Ayah Silvia di nyatakan telah meninggal dunia karena serangan jantung. Silvia pun terpuruk dan merutuki kebodohannya sendiri yang tak bisa mencegah Ayahnya untuk tidak melihat video rekayasa itu. Sepanjang hari setelah wafatnya sang Ayah, dia mengurung dirinya di dalam kamar tanpa satu pun teman yang menemani untuk sekedar menghiburnya. Ibu Silvia telah lama meninggal dunia. Hanya Andy lah satu-satunya orang yang dekat dengannya selain Ayah dan juga Cathrine. Tapi mengetahui bahwa mereka berdua telah menuduh dan memfitnahnya yang tidak-tidak, Silvia pun jadi malas berkeluh kesah kepada mereka. Bahkan mereka sama sekali tak hadir di saat pemakaman Ayahnya, padahal Silvia sudah mengabari mereka.
Dua minggu kemudian perasaan Silvia sudah lebih tenang. Dia pun berniat ingin menemui Andy, karna setelah Andy membatalkan pernikahan mereka. Andy tak lagi menghubunginya bahkan nomer ponsel Silvia pun tiba-tiba di blokir. Selain ingin menjelaskan perihal video tersebut. Silvia pun ingin meluapkan segala kekesalannya, jika Ayahnya meninggal gara-gara setelah melihat video yang Andy kirimkan.
Namun, betapa terkejutnya Silvia ketika dia melihat Andy tengah memeluk Cathrine dengan mesra. Dia begitu bodoh sekali karna sudah sangat mempercayai kedua orang yang sudah di anggapnya baik selama ini. Silvia semakin yakin bahwa ada sesuatu dibalik rencana busuk Cathrine saat itu.
~Flashback of~
*****
"Kamu serius Sil?"
Nana terbelalak tak percaya dengan apa yang sudah di ceritakan teman sekerjanya, bahwa Silvia akan meminta pria yang menabraknya itu untuk menikahinya.
Silvia mengangguk yakin dengan tatapan seriusnya yang masih fokus melihat televisi. Dimana salah satu statsiun televisi sedang menayangkan sebuah acara reality show dan menghadirkan bintang tamu penyanyi pendatang baru. Wanita itu tampak bahagia sekali karna sebentar lagi dia akan di persunting oleh pengusaha tampan dan kaya.
"Iya aku serius Na. Aku menginginkan wanita yang kini ada di layar televisi itu, merasakan bagaimana yang aku rasakan dulu. Dia sudah membuatku batal menikah dengan kekasihku lima tahun lalu, bahkan dia yang sudah membuat Ayahku meninggal. Cathrine Angela adalah orang yang memfitnahku bahwa aku pernah tidur dengan pria lain di depan mantan calon suamiku sendiri, bahkan dia memperlihatkan video rekaman rekayasanya, yang sama sekali tak pernah aku lakukan. Pacarku percaya dengan ucapannya dan pergi meninggalkanku begitu saja lalu menjalin hubungan dengannya.” tunjuknya dengan tatapan geram ke arah Cathrine, yang sekarang idola itu tengah menyanyikan lagu pop khas dengan suara merdunya.
“Ayahku meninggal karena serangan jantung setelah beliau melihatnya, padahal hanya tinggal lima hari lagi kami akan menikah. Semua cita dan harap yang sudah ku susun rapi seketika hancur lebur. Tak hanya kehilangan Andy kekasih yang aku cintai... Tapi Ayahku juga Naa... Aku kehilangan Ayahku untuk selama-lamanya... Ayah meninggal dalam keadaan membenciku karna beliau pikir aku sudah mengecewakan dan mempermalukannya... hiks hiks hiks..."
Dada Silvia seolah sangat sesak mengingat kejadian buruk yang telah ia lewati dulu. Mesti itu sudah lima tahun lalu. Tapi setiap kali Silvia melihat wajah Cathrine maka dia akan teringat kembali dengan perlakuan buruk mantan temannya padanya. Hati Silvia seakan tak bisa tenang sebelum tujuannya tercapai untuk membalas kesakitan yang di berikan Cathrine padanya.
"Aku berjanji pada diriku, tak akan pernah membiarkan wanita itu bahagia begitu saja atas apa yang pernah dia lakukan terhadapku!" ucapnya dengan tegas dan manik yang sudah memerah. Seolah ia ingin cepat menemui wanita itu dan memberinya pelajaran untuk melampiaskan segala kemarahannya padanya.
Nana menelan cepat salivanya, lalu menghembus nafasnya dengan kasar. Hatinya ikut bergetar mendengar keseluruhan cerita Silvia. Sangat miris rasanya.
"Aku tak menyangka ternyata masa lalumu begitu sangat menderita Sil... Jujur aku ikut emosi mendengarnya, entah kalau aku jadi kamu. Pasti aku tak kan kuat menahan kesedihan itu sendirian. Kau benar Sil, wanita itu memang harus di beri pelajaran. Dia itu seperti ular berbisa yang sedang memakai topeng terbaiknya saat ini, untuk menutupi semua kebusukan hatinya di depan semua orang." Imbuh Nana.
Gadis yang memiliki rambut pendek dan agak tomboy itu sangat mengerti dengan perasaan Silvia. Nana merasa semangat sekali untuk membela dan mendukung temannya. Sebelumnya memang Nana kurang setuju dengan keinginan Silvia yang meminta Devan untuk menikahinya sebagai ganti rugi karna telah membuatnya tidak bisa berjalan, sebab Devan sudah memiliki calon istrinya, Nana khawatir jika nanti Silvia yang malah akan di permalukan oleh masyarakat termasuk penggemarnya Cathrine. Karna nekad telah merebut Devan dari Cathrine.
"Aku setuju dengan keputusanmu Sil, dan aku akan selalu mendukung semua rencanamu itu." ujar Nana sembari tersenyum lebar.
"Benarkah, kamu akan mendukungku Na?" tanya Silvia membulatkan matanya, Nana menatap terharu wajah sahabatnya lalu mengangguk dengan yakin.
“Terimakasih Na... aku sayang padamu...” lirih Silvia seraya memeluk erat Nana.
Baru kali ini Silvia rasakan mempunyai sahabat yang benar-benar tulus seperti Nana setelah sekian lama ia hidup tanpa teman, karena Silvia masih sangat trauma untuk berteman lagi setelah dia merasakan penghianatan yang menyakitkan dari Cathrine.
Bersambung....
...****...
...BAB 3...
...Setelah Pernikahan, Dendam Yang Terbalaskan...
Seminggu kemudian, akhirnya Devan memutuskan untuk memenuhi keinginan Silvia untuk menikahinya. Walau dengan berat hati dan terpaksa melakukannya, namun Devan tak punya pilihan lain lagi selain menikahinya. Dan terpaksa Devan juga harus merahasiakan pernikahan itu dari Cathrine kekasihnya.
Devan menikahi Silvia langsung di KUA tanpa ada kerabat maupun keluarga yang menghadiri untuk menjadikan saksi pernikahan mereka berdua, kecuali Nana sahabat Silvia sendiri. Alasan, Devan yang memang belum siap untuk memberitahukan hal itu pada keluarganya. Padahal alasan sebenarnya adalah Devan memang ingin menyembunyikan status Silvia di depan publik.
Sore setelah mereka resmi menjadi sepasang suami istri, Devan membawa Silvia ke sebuah Villa mewah di salah satu kawasan Jakarta dan tidak terlalu jauh dari kota, dimana tempatnya dan dirinya akan tinggal. Villa yang ia bangun semenjak lima tahun silam dengan jerih payahnya sendiri. Sebenarnya Villa itu akan ia hadiahkan untuk Cathrine nanti setelah resmi menikah. Namun karna pernikahannya dengan Silvia di lakukan secara mendadak dan belum ada persiapan. Maka mau tak mau Silvia harus terpaksa tinggal di Villa-nya.
“Untuk sementara waktu kamu tinggal di sini dulu. Dan sebelum pernikahanku dan Cathrine tiba akan ku usahakan nanti mencari Apartemen yang nyaman untuk kamu tinggali.” ujar Devan.
Silvia yang duduk bersandar di ranjang, sontak mendongak ke arah Devan yang baru saja selesai merapikan pakaiannya ke dalam lemari baju.
“Jadi kamu akan tetap menikahinya?” tanya Silvia, seraya mengerutkan dahinya. Devan pun menoleh pada Silvia dengan tatapan datarnya.
“Tentu saja, aku akan tetap menikahi Cathrine. Dia kekasihku, dia cintaku! Bukankah pernikahan ini yang kau mau! Jadi kau harus menanggung resikomu sendiri karna ingin di nikahi oleh seorang Pria yang sudah memiliki calon istri. Relakan jika nanti kamu aku poligami!” tegasnya sambil tersenyum sinis. Silvia tertegun lalu tak lama ia kembali berkata.
“Kalau...., misalkan aku memintamu untuk tidak menikahinya, apa kau mau mengabulkannya?” tanyanya tiba-tiba, yang membuat Devan berbalik kembali menatap Silvia yang kini wajahnya berubah merah.
“Apa katamu barusan?” tanyanya mengerutkan keningnya kesal. “Apa aku tidak salah dengar?” pekiknya.
Silvia menatap agak takut wajah Devan yang terlihat marah. “Akh, maaf aku, aku hanya bercanda...” ucapnya tertawa kaku. “Jangan anggap ucapanku barusan. Hahaaha...”
Devan mendengus kasar lalu melipatkan kedua tangannya di dada, memutar bola matanya dengan jengah. “Jangan macam-macam Silvia, aku sudah penuhi keinginanmu untuk menikahimu. Aku akui, aku memang bersalah sudah menabrakmu. Tapi bukan berarti kau bisa seenaknya saja mengatur hidupku. Nyaris dua tahun lamanya aku merencanakan pernikahan ini dengan Cathrine, dan ku harap kau tidak akan menghancurkan impianku!” tegasnya lagi sembari menunjuki wajah Silvia dengan telunjuknya.
Devan menghela nafasnya dalam, lalu memalingkan wajahnya, sebenarnya dia tak mau berbicara kasar pada Silvia, tapi melihat keadaan Silvia yang sakit karnanya juga banyak kemauan. Seolah Silvia hanya ingin memanfaatkan dirinya saja.
Devan memenjam rapat-rapat matanya, dan menepis semua pikiran buruknya, semoga itu hanya perasaannya saja. “Sebaiknya kau segera istirahat. Setelah bangun kau langsung makan malam ada Bi Sari yang akan membantumu di sini. Aku mau pergi dulu.” ujarnya yang hendak pergi keluar kamar.
“Kamu mau pergi kemana?” tanya Silvia, menghentikan langkah Devan yang ingin membuka pintu dengan membawa baju ganti di tangannya.
“Apa sekarang kau juga mau mengatur kemana aku pergi?” deliknya sinis.
“Em, tidak aku hanya bertanya saja. Bukankah sekarang aku sudah menjadi istrimu jadi wajar kan kalau aku ingin tahu kemana suaminya pergi? Apa lagi ini adalah malam pengantin kita tak seharusnya kau pergi meninggalkan istrimu?” Silvia tersenyum manis untuk menutupi kegugupannya di depan sosok tampan yang kini sedang melangkah mendekatinya lagi.
“Suamimu?! Huh” Devan mengusap cepat hidungnya dan berpaling muka. “Sepertinya hanya kau saja yang menganggap itu, tapi aku tidak! Karna aku sama sekali tidak berniat dengan pernikahan yang terpaksa ini.” sindirnya.
Devan kini menatap lekat wajah Silvia yang sedang menundukkan wajahnya, membisu. “Maafkan aku Silvia, bukan aku ingin menyakiti perasaanmu. Aku hanya mencintai Cathrine seorang, pantang bagiku untuk mengkhianatinya, anggap saja pernikahan ini hanya sebatas rasa tanggung jawabku kepadamu. Maka untuk itu kau jangan berharap lebih padaku. Semoga kamu dapat memahaminya.” sambungnya. Silvia hanya mengangguk pelan.
“Baiklah, aku tidak akan memaksamu untuk menyukaiku. Ya, aku sadari semua ini memang keinginanku. Tapi andaikan yang menabrakku juga bukan dirimu. Aku pun pasti akan meminta hal yang sama. Hanya saja aku meminta hakku sebagai istri, agar kau tak meninggalkanku dalam keadaan sedang sakit. Bisa kan kau sedikit menghargai keberadaanku?” pintanya dengan wajah memelas. Namun Devan menggeleng tegas.
“Maaf tetapi aku tidak bisa, jika butuh bantuan kamu bisa menyuruh Bi Sari. Dia yang akan mengurusi semua kebutuhanmu!” jawabnya.
Devan pun kembali melanjutkan langkahnya keluar tanpa peduli perasaan Silvia. Tetapi Silvia tetap tak menyerah. Silvia yakin jika Devan pasti ingin pergi menemui Cathrine lagi. Dia akan terus berusaha untuk memisahkan hubungan mereka berdua. Bagaimanapun caranya. Mungkin terkesan jahat, tapi hati Silvia belum bisa tenang kalau Cathrine belum mendapat ganjarannya.
“Oh ya, apakah nanti aku boleh ikut menghadiri pernikahanmu dengan kekasihmu itu?” tanyanya lagi.
Devan menghentikan langkahnya di lawang pintu, tanpa melihat Silvia. Devan menarik dalam-dalam nafasnya, mulai kesal dengan tingkah Silvia yang tak pernah mau mengerti akan posisinya.
“Sebaiknya tidak perlu. Lebih baik kau fokus saja dengan kesembuhan kakimu.” perintahnya dan kini Devan benar-benar keluar dari kamar.
Silvia menghembuskan nafasnya cukup kencang lalu mengusap keringat dingin di keningnya. Menggigit kuku jari-jarinya sendiri.
“Huuh, aku tahu dia masih belum terima dengan pernikahan ini. Maafkan aku Devan, tapi kau harus tahu bahwa aku lebih baik dari wanita yang kau cintai selama ini. Cepat atau lambat kau harus segera meninggalkan Cathrine Angela.” gumamnya.
Silvia pun menggelengkan cepat kepalanya. Dia harus segera mencari cara agar Devan tak jadi menikahi Cathrine. Tapi bagaimana caranya? Silvia memenjam rapat-rapat kedua matanya, berpikir keras sambil menekan pelipisnya dengan jari-jari tangannya.
Seketika ia teringat pada Nana, yang tadi sempat mengabadikan gambar dirinya dengan Devan saat ijab qabulnya di kantor agama.
“Yes, aku yakin sekali Cathrine akan shock melihat foto calon suaminya tengah menikahi wanita lain!” Silvia tersenyum senang. Lantas ia segera mengambil ponsel di dalam tasnya. Lalu mengirim pesan pada Nana dan meminta foto-foto pernikahannya itu dengan Devan.
*****
Setelah Devan selesai dengan urusan kantor, malam itu dia datang ingin menemui Cathrine. Sudah hampir satu minggu lebih dia tak menemui kekasihnya, karna sibuk mengurusi pernikahannya dengan Silvia, dan juga pekerjaannya sebagai seorang pemimpin perusahaan.
"Hallo sayang? Bagaimana kabarmu?" tanyanya menyunggingkan senyuman manisnya.
Devan meraih pinggang ramping Cathrine yang menyambutnya tanpa senyuman. Lalu hendak mengecup kening Cathrine. Tapi Cathrine segera menjauhkan kepalanya dari Devan, menolak ciuman hangat yang selalu pria itu berikan.
"Menurutmu bagaimana? Aku sudah kayak menjomblo sehari saja tidak ketemu sama kamu!" Cathrine berjalan cepat ke arah sofa sambil menyedekapkan kedua tangannya lalu menghempaskan bokongnya di busa empuk itu.
Devan menghela nafasnya dalam-dalam dan berjalan mengikutinya, duduk di samping calon istrinya yang semakin hari semakin cantik saja di lihat. Devan tahu jika saat ini Cathrine tengah merajuk. Cathrine memang tidak bisa di tinggalkan mesti dalam satu hari saja. Dia akan sangat kesal dan enggan untuk menyapa Devan lagi.
Devan meraih tangan lentik dan putih milik Cathrine lalu mengecupnya dengan lembut, memberikannya pengertian.
"Kamu jangan ngambek terus dong sayang... Bukankah pernikahan kita hanya tinggal menghitung hari saja? Harusnya kamu itu senang. Kata orang Jawa dulu juga, sebelum melaksanakan pernikahan. Seharusnya mempelai wanita dan pria itu di jarangin untuk bertemu. Alias mereka harus di pingit di dalam rumah. Nah kita yang tidak bertemu hanya satu minggu saja, kamu sudah uring-uringan nggak jelas seperti ini! Apalagi kalau tidak bertemu dalam waktu sebulan atau setahun?!" goda Devan sambil mencubit gemas pipi putih dan mulus kekasihnya.
"Sabar ya, yang penting kan aku tidak akan kabur darimu..." bisik Devan di telinganya Cathrine. "Aku tahu kamu sangat merindukanku. Sama aku juga sangat merindukanmu..."
Devan pun mencium lembut pipi Cathrine lalu memeluk erat di belakangnya menyandarkan dagunya di pundak Cathrine. Sehingga Cathrine menggeliat kegelian.
"Ahhh Beb, Bebb geli...!!" Cathrine memukul tangan Devan yang mulai nakal mencubitnya di area pinggang dan perut.
"Dengar ya, aku bukannya ngambek nggak ketemu sama kamu! Aku kesal saja karena seharian kemarin nomermu itu tidak aktif! Aku heran, sebenarnya kamu itu kemana saja sih? Nggak biasanya kan kalau pergi ke luar kota ponselmu tidak aktif, biasanya kamu akan hubungi aku dua jam sekali walau mesti kirim pesan whatsapp!" sungutnya.
"Maaf ya sayang, aku benar-benar lupa dan tidak membawa ponsel. Saat itu ponselku mati dan aku juga lupa tak mengisinya. Setelah selesai bertemu dengan kolega, aku langsung pulang ke hotel dan tertidur lelap. Jadi aku benar-benar lupa tidak memeriksa ponselku lagi hahaha..." sangkalnya berbohong.
Devan tertawa renyah demi tidak ingin terlihat dia tengah membohongi Cathrine, dia sudah bisa memastikan jika Cathrine akan menanyakan hal itu. Devan memang sengaja seharian menyimpan ponselnya di Villa dan tak mengaktifkannya. Karna memang masih sibuk dengan urusan pernikahannya bersama Silvia. Seketika dirinya merasa bersalah karna sudah mengkhianati kekasihnya dengan menikahi wanita lain.
"Aahh dasar, kamu memang kebiasaan, beb!" Catherine mencebikkan bibirnya lalu mencubit gemas hidung mancung Devan.
"Baiklah aku maafin kamu, tapi lain kali kalau mau pergi-pergian jangan sampai kamu tidak menghubungiku seharian! Oke..."
“Oke sayang, untukmu apapun itu akan kulakukan!”
Cathrine sangat bahagia sekali di manjakan oleh seorang Devan. Refleks ia pun merangkul leher kekasihnya dengan erat dan memberikan ciuman liarnya di bibir seksi itu, namun Devan segera memalingkan wajahnya khawatir kelewatan tak mampu menolak gairah sang kekasih.
“Kenapa sayang kamu tidak suka?” tanya Cathrine mengerungkan dahinya menelitiki wajah kekasihnya yang terlihat gugup. Seketika Devan menghentikan ciuman panas yang baru saja di mulai.
“Em ti-tidak hanya saja, jangan sekarang sayang..” tolak Devan dengan halus, lekas Devan melonggarkan pelukannya dari tubuh Cathrine. “Sabar ya, nanti setelah menikah kita bebas melakukannya.” ujarnya tersenyum. Cathrine hanya menghela nafasnya kasar, tentunya sangat kecewa.
“Kenapa, bukankah sebentar lagi kita juga akan menikah? Melakukan sekarang atau pun nanti. Bukankah itu sama saja.” renggutnya seraya melipatkan kedua tangannya dan menyenderkan punggungnya di sofa.
Cathrine sudah tak tahan lagi sebenarnya untuk menahan tak di sentuh lebih oleh Devan, bukan sekedar ciuman lewat kening dan pipi seperti anak remaja biasanya. Entah kenapa ada firasat aneh yang mengusik hati Cathrine, jika Devan akan pergi menjauh darinya.
Devan melirik jam di dinding, ternyata malam sudah semakin larut. Lalu lelaki itu menggenggam hangat tangan kekasihnya yang sedang kembali merajuk.
“Sayang, sepertinya aku harus segera pulang. Ini sudah larut malam. Ketemuannya sudah dulu ya... Lima hari lagi kita akan bertemu di gedung! Dan kita akan bertemu nanti bukan lagi sebagai pasangan kekasih. Tetapi sebagai sepasang suami istri yang sudah sah...” alih Devan lalu menyunggingkan senyum termanisnya yanb membuat hati Cathrine berbunga-bunga seakan lupa barusan ia tengah kecewa karna penolakan Devan yang tak ingin membalas ciumannya.
Setelah Devan pamit pulang, Cathrine tak berhenti menyunggingkan senyum bahagianya itu, sambil merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Tak berapa lama terdengar suara pesan masuk dari ponselnya. Cathrine beranjak dari tidur menjadi posisi duduk lalu meraih benda pipih itu dan membukanya.
Nomer tak di kenal tiba-tiba saja mengiriminya beberapa foto seperti tengah melangsungkan ijab qabul di sebuah pernikahan. Tanpa pikir panjang Cathrine segera membuka foto itu, sontak ia tercengang setelah melihat jelas foto-foto Devan bersama dengan pengantin wanita yang wajahnya tertutup oleh gambar emoji smile. Di dalam foto itu Devan sedang menjabat seorang lelaki yang ia yakini adalah seorang penghulu.
“Apa-apaan ini? Dev, Devan dia sudah menikah, dengan siapa?!” pekiknya tak percaya. Wajahnya memerah, sangat shock.
Bersambung....
...****...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!