"Aku ... aku ingin bilang ... kalau aku ... aku suka kamu Anggun. Maukah kamu menikah dengan aku?"
Pertanyaan itu membuat Anggun membulatkan matanya dengan sangat lebar. Sambil menutup mulut dengan tangan, Anggun berusaha menarik napas agar detak jantungnya tidak berdetak dengan kencang sekarang.
"Ka--kak ... Dion. Ini .... "
"Anggap saja aku melamar kamu. Tapi ... aku butuh kepastian berdua sebelum melamar kamu dengan lamaran yang resmi. Aku benar-benar jatuh cinta padamu. Apakah kamu bersedia menikah dengan aku, Anggun?"
Belum sempat Anggun berucap, tiba-tiba saja, dari arah panggung terdengar suara pembawa acara yang mengatakan kata terima yang diikuti oleh para tamu undangan yang lainnya.
Tidak hanya itu, para keluarga kini sudah berjalan mendekat. Hingga akhirnya mereka selesai membentuk lingkaran sempurna sambil berucap kata terima tentunya.
"Amel ... ini .... " Anggun tidak bisa berucap. Buliran bening yang tumpah tidak bisa dia cegah lagi. Akhirnya, tangis Anggun pecah juga.
"Hei sayang ... tolong jangan menangis gitu. Kasihan kak Dion yang menunggu jawaban dari kamu. Katakan padanya, kamu menerima dia atau tidak. Aku sarankan, ikuti apa yang hatimu katakan, sayangku. Karena apa yang kamu ucapkan hari ini, sangat berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu yang selanjutnya."
Kata-kata yang Amelia ucapkan barusan berhasil membentuk keyakinan yang kuat dalam hati Anggun. Dia menarik napas panjang lalu melepaskan napas itu secara perlahan.
"Terima."
"Terima."
"Terima."
"Semuanya harap tenang. Kita akan mendengarkan apa yang akan gadis beruntung itu ucapkan. Jika kita bersuara, maka tidak akan mendengarkan jawaban yang dia berikan," ucap pembawa acara dengan lantang.
Seketika, suasana langsung hening. Anggun yang awalnya deg-degan. Kini malah jadi semakin tak karuan.
"Jawab sesuai yang kamu rasakan, Anggun." Amelia kembali memberikan instruksi.
Hal itu membuat Anggun semakin bersemangat untuk menjawab. Sekali lagi, dia menarik napas agar bisa menjawab lamaran itu sesuai dengan yang hatinya rasakan.
"Aku ... aku ingin alasan kenapa kamu suka padaku, kak Dion."
"Uuuu .... "
Para tamu yang sudah berharap, kini bersorak kecewa karena pertanyaan Anggun yang barusan itu. Mereka yang sudah tidak sabar lagi, harus menahan rasa itu karena pertanyaan Anggun barusan.
"Haruskah cinta punya syarat, Anggun? Tapi ... untuk menjawab rasa penasaran yang kamu punya. Aku akan mengatakan satu hal. Aku suka kamu. Segalanya tentang kamu tanpa ada satupun yang terlewatkan. Tanpa ada alsan khusus lainnya. Karena aku jatuh cinta. Cinta yang aku punya sepertinya tidak perlu syarat. Karena seperti sudah di katakan sebelumnya. Jika jodoh, pasti bersama."
"Jika begitu ... aku ... aku juga merasakan hal yang sama. Cinta memang tidak bersyarat. Aku terima lamaran kamu, kak Dion."
"Uhu ... iya-iya. Ini luar biasa."
"Nah ... gitu dong."
Semua sorak-sorakan terdengar mengikuti gerakan tangan Dion yang memasang cincin ke jari manis Anggun. Setelah cincin berhasil Dion pasang, sontak saja keduanya langsung saling berpelukan.
***
Anggun menyeka air matanya yang jatuh. Kebahagiaan hari itu masih terasa begitu jelas diingatkannya. Namun, itu semua sudah berlalu lebih dari enam bulan yang lalu. Kebahagiaan singkat itu sudah lewat sekarang.
Lamaran megah dengan dikelilingi semua orang yang dia sayangi. Kata-kata sahabat yang sangat dia sayangi, meminta dia menuruti kata hati, semua itu masih dia ingat dengan sangat jelas. Bahkan, dia sudah melakukan apa yang sahabatnya katakan. Menuruti apa yang hatinya inginkan. Menerima lamaran dari laki-laki yang paling dia cintai selama dia hidup di dunia ini.
Sayangnya, orang yang dia cintai itu seperti bukan orang yang dulu lagi. Orang itu sudah banyak berubah karena kehidupan yang baru dimilikinya.
Bahkan, sudah dua bulan dia tidak bertemu dengan suaminya itu. Terakhir kali bertemu, dia melihat Dion suaminya berjalan bersama dengan seorang perempuan.
Dion dan perempuan itu terlihat cukup dekat waktu itu. Saat dia tanya siapa perempuan tersebut, Dion hanya menjawab singkat.
"Sepupu."
Hanya satu kata itu yang Dion ucapkan. Tanpa ingin memberikan penjelasan yang lainnya agar hati Anggun yang sedang terluka setidaknya bisa sedikit terobati.
Air mata itu kembali tumpah saat ingat seperti apa hubungan antara dirinya dengan sang suami. Retak, bahkan seperti hampir pecah berserakan sekarang.
"Amel ... aku ingin kamu ada di sini sekarang. Aku ingin berbagi cerita dengan kamu. Ingin sekali rasanya aku memeluk tubuhmu. Seperti yang kamu lakukan ketika kita bersama waktu dulu. Amelia ... aku rindu kamu," ucap Anggun sambil memeluk bingkai foto sahabatnya.
Ketika Anggun terhanyut dalam kesedihannya. Tiba-tiba, pintu kamar terdengar diketuk oleh seseorang dari luar. Dia yang sedang bersedih, rasanya sangat tidak ingin membuka pintu kamar tersebut. Karena dia tidak siap untuk bertemu dengan siapapun sekarang.
Pintu itu kembali diketuk setelah Anggun mengabaikan ketukan yang pertama. Mau tidak mau, Anggun terpaksa bangun untuk membuka pintu kamar tersebut. Tentunya, setelah dia menyeka air mata yang tumpah di pipinya terlebih dahulu.
"Sebentar! Aku akan bukain pintunya sebentar lagi." Anggun langsung memutar kenop pintu untuk membukakan pintu tersebut.
"Ada apa, bi Ina?" tanya Anggun sambil membukakan pintu.
Saat pintu terbuka sempurna. Mata Anggun membulat akibat apa yang dia lihat tidak sama dengan apa yang dia pikirkan.
Awalnya, dia berpikir bi Ina yang sudah mengetuk pintu kamarnya itu. Tapi ternyata, orang itu bukanlah bi Ina melainkan Dion suaminya.
"Kamu ... kak Dion."
"Kenapa lama banget baru bukain pintunya? Gak suka aku pulang ya?"
Ucapan Dion itu langsung membuat hati Anggun yang luka semakin berdarah saja rasanya. Bagaimana tidak? Baru juga bertemu setelah dua bulan tidak ada kabar sama sekali, eh saat pulang malah langsung menebar benih peperangan. Hati siapa yang tidak sakit kalau seperti ini.
"Kenapa kamu pulang? Apa kamu sudah tidak betah di rumah orang tua kamu, kak?"
Pertanyaan dengan suara yang lemah lembut. Tapi terdengar seperti sebuah ejekan itu tentu saja membuat Dion langsung menatap Anggun dengan tatapan tajam selama beberapa saat.
Namun, tatapan itu tidak lama. Karena beberapa detik selanjutnya. Dion malah langsung mengabaikan Anggun begitu saja. Dion masuk ke dalam kamar, lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur tanpa berucap satu patah kata lagi pada Anggun.
Anggun hanya bisa melepas napas kasar. Lalu kemudian, dia beranjak pergi meninggalkan Dion sendirian di kamar itu. Karena setelah Dion membaringkan tubuhnya. Dia juga langsung memejamkan matanya tanpa membuka sekalipun mata itu lagi.
Anggun bergegas menuju dapur. Karena sekarang Dion ada di rumah. Dia tidak bisa untuk tidak menyiapkan makan siang buat suaminya.
Meski rasanya cukup berat buat melakukan aktifitas seperti sebelum masalah yang dia dan suaminya alami. Tapi ingat akan tanggung jawab yang dia emban, Anggun berusaha sekuat tenaga melakukan tugasnya sepenuh hati.
Meski rasanya cukup berat buat melakukan aktifitas seperti sebelum masalah yang dia dan suaminya alami. Tapi ingat akan tanggung jawab yang dia emban, Anggun berusaha sekuat tenaga melakukan tugasnya sepenuh hati.
Beberapa jam kemudian. Akhirnya makanan yang Anggun buat siap di sajikan. Memang belum waktunya makan siang, tapi rasanya, dia sudah tidak sabar lagi buat membangunkan Dion untuk dia ajak makan bersama.
Meski hatinya sedang sakit, tapi kedatangan Dion setelah dua bulan tidak pulang, membuat Anggun merasa sedikit terobati. Ingin rasanya dia segera melepaskan kerinduan yang selama dua bulan ini dia pendam.
Saat rindu, dia tidak bisa datang ke rumah orang tua suaminya. Karena di sana, orang tua kandung suaminya tidak pernah menganggap Anggun ada. Alasannya adalah, Anggun bukan perempuan pilihan yang cocok dengan anak satu-satunya yang mereka miliki.
Anggun terlahir dari keluarga miskin yang sudah tidak punya apa-apa. Meski dulu perempuan itu adalah anak orang kaya, tapi karena bangkrut, mereka sudah jadi keluarga sederhana yang hidup di kalangan menengah ke bawah.
Entah itu adalah alasan satu-satunya, atau mungkin ada alasan lain yang tidak Anggun ketahui. Yang jelas, orang tua kandung suaminya tidak pernah bersahabat dengan dia.
Sempat Anggun berpikir, jika saja orang tua kandung suaminya tidak muncul, maka kehidupan rumah tangganya tidak akan jadi berantakan seperti saat ini. Karena orang tua angkat suaminya sangat-sangat baik. Berbanding terbalik jauh dari orang tua kandung suaminya.
Ingatan itu tiba-tiba teralihkan dengan ponsel yang Anggun pegang berbunyi. Anggun mendadak panik karena kaget dengan bunyi deringan tersebut.
"Ah ... ya Tuhan. Kaget aku," ucap Anggun sambil mengelus dadanya sambil satu tangan membalikkan layar gawai itu dengan cepat.
"Mama." Anggun kembali berucap lirih ketika dia melihat nama yang tertera di layar gawai tersebut.
Tidak menunggu waktu lama lagi. Anggun langsung menggeser layar tersebut untuk menjawab panggilan dari mama mertuanya.
"Halo, Ma."
"Gun. Kamu di mana, Nak? Di rumah, kan ya?"
"Iya, Ma. Aku di rumah. Kenapa, Ma?"
"Mama dengar, Dion pulang. Benar gak sih?"
Anggun terdiam. Bukan pertanyaan yang membuat dia langsung diam seketika. Tapi nada pertanyaan yang penuh dengan kerinduan itu yang membuat Anggun diam karena merasakan hal yang sama. Rindu, sekaligus sedih karena rasa rindu itu.
"Gun. Kamu masih ada di sana, kan Nak? Kamu masih bisa dengar apa yang mama katakan, kan?"
"Eh iy--iya, Ma. Aku masih ada kok. Masih dengar apa yang mama katakan. Kak Dion ada di rumah. Di kamar sekarang. Sedang istirahat, Ma."
"Oh ... gitu ya, Nak? Mm ... nanti ajak dia ke rumah ya. Mama kangen banget sama dia soalnya. Dia udah jarang pulang. Jarang juga menghubungi mama. Mama mau ke sana, gak enak badan sekarang. Mama sedang flu berat soalnya."
"Ah ya ampun ... flu nya masih belum sembuh, Ma? Kok kayaknya lama banget deh mama mengalami flu itu."
"Mama udah tua, Gun. Anak-anak jauh semua. Efek kangen mungkin. Tapi kalo kangen sama Dirly dan keluarganya, nggak deh. Soalnya, mereka itu hampir tiap minggu selalu menghubungi mama. Bukan tiap minggu lagi, hampir tiap hari tuh, Amelia dan Dirly menghubungi mama buat nanya kabar."
Seketika, ada yang berdenyut perih di hati Anggun. Dia merasa kasihan dan sangat iba dengan orang tua itu. Merindukan anak yang sudah dia rawat sejak bayi. Meski tidak dia lahir kan dari rahimnya, tapi tetap saja, dia yang sudah membesarkan dengan sepenuh hati sejak masih belum tahu apa-apa.
Tapi setelah besar, dia malah tidak mendapatkan apa-apa. Anak yang dia besarkan malah direbut kembali oleh orang tua kandung yang mau enaknya saja. Menguasai anak itu sesuka hati tanpa berpikir bagaimana perasaan orang lain yang sudah susah payah membesarkan anak itu.
"Anggun. Sudah dulu ya. Mama mau istirahat juga nih. Kamu jangan lupa ajak Dion pulang. Bentar juga gak papa kok, Nak."
"Iya deh, Ma. Aku pasti bawa anak mama pulang ke rumah. Mama tenang saja ya, Ma. Kita akan ke sana nanti."
"Mama tunggu kedatangan kalian ya, sayang." Ucapan penuh harap itu membuat Anggun merasa sangat iba. Tanpa sadar, air mata jatuh perlahan melintasi pipi.
"Aku pasti akan bawa anak mama pulang. Ya Tuhan ... kasihan sekali orang tua yang merindukan anaknya ini," ucap Anggun sambil menyeka air mata yang jatuh.
Selesai membersihkan wajah, Anggun langsung menuju kamar. Dia akan membangunkan Dion sekarang juga untuk dia ajak makan siang.
Sebenarnya, memang agak sedikit cepat buat makan siang. Tapi ada banyak yang ingin dia bicarakan dengan orang yang berstatus suaminya saat ini.
"Kak Dion. Ayo makan! Aku sudah siapkan makan siang buat kamu," ucap Anggun sambil berdiri di samping ranjang. Tanpa menyentuh tubuh kekar suami yang dulunya adalah laki-laki terhangat yang dia miliki.
Sementara sekarang, antara dirinya dan sang suami seperti sudah terasa sangat asing. Ada rasa canggung yang entah kenapa bisa tercipta di tengah-tengah mereka. Jangankan ingin bermesraan seperti dulu. Buat menyentuh bahu saja terasa begitu berat sampai tidak bisa dia lakukan.
"Kak Dion. Bangunlah! Aku ingin mengajak kamu makan bersama. Karena ada banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan kamu sekarang."
"Kau ingin mengajak aku makan siang? Atau ingin mengajak aku bicara? Jika ingin bicara, maka bicara di sini saja. Jangan merusak suasana makan siang kita nanti."
Dion berucap tanpa menoleh sedikitpun. Dia yang tengkurap, tetap dengan posisi itu dengan wajah yang membelakangi Anggun.
"Bicara sambil makan akan lebih nyaman, kak."
Anggun berusaha tetap tenang. Meskipun dalam hati dia merasakan kesedihan karena sikap Dion yang seperti tak pernah menganggap dia ada lagi sekarang.
Anggun kembali menarik napas dalam-dalam. Lalu menghembuskan napas itu secara perlahan untuk menenangkan gejolak yang sedang ia rasakan saat ini.
Dion yang tidak menjawab apa yang dia katakan barusan, membuat Anggun merasa seperti sampah yang tak dibutuhkan sedikitpun. Karena hal itu, Anggun memilih untuk meninggalkan Dion secepat mungkin.
"Aku tunggu kamu di meja makan. Jika kamu tidak datang dalam waktu lima belas menit, aku anggap kamu tidak ingin makan makanan yang aku sediakan. Kamu bisa makan di luar nanti."
Anggun berucap tegas. Dia sudah tidak sabar lagi sekarang. Sikap Dion yang seolah-olah tidak ingin bersama itu membuat Anggun ingin sekali ngamuk rasanya. Untung saja persediaan kesabaran dalam diri Anggun masih ada. Jika tidak, mungkin dia sudah bersikap gila karena sikap Dion sekarang.
Namun, saat Anggun ingin beranjak meninggalkan kamar itu, tangan Dion langsung menahan tangan Anggun dengan cepat. Sontak saja, hal itu membuat Anggun agak panik seketika.
"Tunggu! Kita pergi ke meja makan sama-sama saja."
Anggun hanya diam saja. Sementara Dion langsung bangun dari baringnya. Mereka beranjak meninggalkan kamar menuju meja makan bersama-sama tanpa ada sepatah katapun yang mereka ucapkan.
Sampai ke meja makan. Dion langsung menarik kursi untuk duduk. Sementara Anggun langsung menyendok makanan ke piring suaminya.
Mereka makan dengan tenang tanpa ada ucapan yang terucap. Sehingga pada setengah waktu makan, Dion membuka mulut untuk bicara.
"Apa yang ingin kamu bicarakan padaku? Katakan saja sekarang! Katanya ... bicara saat makan akan lebih nayaman, bukan?"
"Iya. Aku ingin bilang kalau mama ingin kamu datang ke rumahnya. Kak Dion sudah sangat lama tidak datang ke rumah mama. Kasihan mama yang sangat merindukan kehadiran kamu, kak."
Dion terdiam. Makanan yang dia makan seakan tidak sanggup untuk dia telan. Ada sesuatu yang seperti sedang merusak pikiran Dion saat ini. Wajah itu terlihat sedikit sedih, atau mungkin juga kecewa atau bahkan marah.
Tapi ... sayangnya, ekspresi yang bercampur itu membuat Anggun tidak bisa menebak apa yang sedang Dion rasakan. Dia juga tidak mengerti dengan tatapan yang Dion berikan untuknya.
"Kak .... "
"Aku mungkin tidak bisa datang. Aku sangat sibuk sekarang. Setelah makan, sebelum sore juga aku akan kembali ke rumah mama."
"Apa! Kamu akan kembali ke rumah orang tuamu lagi hari ini juga? Apa aku tidak salah dengar, kak Dion?"
"Kamu tidak salah dengar, Anggun. Aku akan kembali lagi nanti sore. Karena di sana, ada kerjaan yang banyak yang tidak bisa aku tinggalkan."
Anggun sungguh tidak tahan lagi. Tidak pulang selama dua bulan. Tapi setelah pulang, hanya ingin tinggal di rumah selama hitungan jam. Bahkan, tidak ingin bermalam.
Benar-benar miris sekali hidup dia ternyata. Sudah punya suami, tapi malah hidup sendiri bagaikan orang singel, atau mungkin, janda yang ditinggal mati oleh suaminya.
Jika janda yang ditinggal mati oleh suami, mungkin tidak semiris hidup yang dia jalani saat ini. Karena janda punya status yang jelas. Tidak seperti dirinya sekarang. Di depan umum berstatus sebagai istri orang. Tapi pada kenyataannya, dia hanyalah janda yang tak dianggap.
Anggun bangun dari duduknya. Lalu, dia tertawa lepas karena rasa sakit yang dia rasakan sudah berubah ke level akut. Level di mana dia tidak bisa merasakan rasa sakit hati lagi. Karena sakit yang dia terima sudah berubah menjadi rasa geli.
"Ha ha ha .... Kamu pulang setelah dua bulan lamanya. Tapi sayang, setelah pulang, ingin tidur satu malam saja kamu tidak sanggup. Benar-benar lucu sekali kamu, kak Dion."
"Tolong jangan mulai lagi, Anggun. Aku sedang tidak ingin berdebat dengan kamu. Aku pulang juga karena ada hal penting yang ingin aku lihat. Jika tidak, maka aku tidak akan pulang karena tuntutan pekerjaanku sangat banyak."
Hancur rasanya hati Anggun saat ini. Berusaha keras agar air mata tidak tumpah, sampai-sampai dia mengigit bibirnya dengan keras.
'Kau pulang karena ada hal penting yang ingin kau lihat? Aku pikir kamu pulang untuk bertemu aku, kak Dion. Aku bingung dengan status aku yang sekarang. Aku ini siapa sih sebenarnya di mata kamu saat ini?'
Pertanyaan, ungkapan kesedihan itu hanya mampu Anggun ucap dalam hati. Karena sekarang, dia sungguh merasa sakit sampai dirinya sendiri tidak mampu mengangkat bibir untuk berucap.
"Aku sudah selesai makan. Aku ingin istirahat kembali. Karena beberapa jam lagi, aku akan kembali ke rumah mama di luar kota."
Setelah berucap kata-kata itu, Dion langsung bangun dari duduknya. Dia pun langsung beranjak untuk meninggalkan Anggun sendirian di meja makan.
Namun, baru juga Dion melangkah beberapa langkah menjauh dari meja makan. Anggun yang sudah tidak kuat, langsung berucap dengan nada pelan karena bicara sambil menahan air mata agar tidak jatuh.
"Ayo bercerai."
Ucapan dua kata itu sontak membuat langkah Dion mendadak terhenti. Sepertinya, dia kaget berat karena kata-kata yang Anggun ucapkan barusan itu.
Dion terlihat menahan rasa yang ada dalam hatinya. Tangan Dion sedang bergetar sekarang. Namun, untuk menahan getaran itu, dia menggenggam erat tangannya.
Suasana hening selama beberapa detik. Dion pada akhirnya bisa menetralisir rasa yang ada dalam hatinya. Dia langsung memutar tubuh untuk melihat ke arah Anggun yang masih berdiri dengan wajah tertunduk.
"Kenapa harus bercerai? Aku selalu melengkapi semua kebutuhan kamu tanpa ada yang kurang sedikitpun, bukan?"
"Aku tidak sepenuhnya membutuhkan materi, kak Dion. Aku juga membutuhkan kasih sayang. Aku butuh kamu, bukan hanya uang kamu. Karena jika hanya uang, aku juga bisa mendapatkannya."
"Seberapa penghasilan yang bisa kamu dapatkan, Anggun? Kamu tidak bisa menggantikan tanggung jawab aku untuk menafkahi kamu."
"Hah? Kamu barusan bicara soal tangung jawab, kak? Jadi, siapa yang bertanggung jawab untuk memberikan kasih sayang padaku sekarang? Apa kamu perlu membayar laki-laki lain untuk memberikan kasih sayang buat aku?"
"Apa kamu sebegitu kekurangan kasih sayang sampai ingin aku membayar laki-laki lain untuk kamu, ha? Kamu kekurangan kasih sayang itu bukan karena aku. Tapi karena salah kamu sendiri. Kamu yang tidak ingin ikut aku pulang ke rumah mamaku. Ke rumah orang tua kandungku sendiri."
"Aku tidak ingin karena aku punya alasan."
"Apa alasanmu, hah? Kamu tidak ingin karena kamu tidak suka dengan mereka. Benar begitu, bukan?"
"Aku yang tidak suka dengan mereka, atau mereka yang tidak suka dengan aku? Kamu harus teliti jika bicara soal dua kalimat itu, kak Dion. Karena jika kamu salah ucap, maka maknanya akan berbeda."
"Terserah kamu mau bilang apa. Yang jelas, aku tidak akan menceraikan kamu sampai kapanpun. Kamu harusnya paham dengan kata-kata itu." Dion berucap dengan nada melemah.
Sebaliknya, Anggun yang tak percaya dengan apa yang dia dengar barusan malah membulatkan matanya. Dia tidak percaya kalau Dion malah bersedia mempertahankannya.
Entah apa alasan yang Dion miliki. Yang jelas, Dion terlihat sangat kekeh untuk kata-kata yang dia ucapkan barusan. Tidak akan menceraikan Anggun apapun yang terjadi.
"Kenapa kamu tidak akan menceraikan aku? Kenapa, ha? Apa lagi yang kamu inginkan, kak Dion? Tidak cukupkah penyiksaan yang kamu berikan padaku setelah kamu menemukan orang tua kandungmu itu?"
"Jangan bicara omong kosong yang tidak penting. Kamu hanya perlu tahu satu hal. Aku tidak akan pernah menceraikan kamu, sampai kapanpun. Ingatlah satu hal itu."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!