NovelToon NovelToon

My Sugar Daddy

Bab 1 - Putus

"Aku mau kita putus!" kalimat itu terlontar begitu mudah seperti biasanya.

"Apa?!" Pria dihadapannya tercekat saat empat kata yang keluar dari mulut kekasihnya itu, begitu mudah.

Kedua mata pria itu sampai melorot nyaris keluar saat dia berkata ingin mengakhiri hubungannya.

"Tapi kenapa? Apa yang salah dariku sampai kau ingin putus dariku? Apakah aku melakukan kesalahan padamu?" Pria itu meminta kejelasan.

Erina Danesha, meraih sedotan pada minumannya lalu menyedot isinya perlahan. Dengan santainya ia menikmati setiap sensasi dingin yang ia rasakan pada jus yang baru saja di pesannya.

"Tidak ada yang salah darimu. Kau baik, perhatian, dan selalu ada untukku." Erina kembali menyandarkan tubuhnya.

"Kalau begitu kenapa kau ingin putus?" Vansh Zachary, tidak mengerti dengan jalan pikiran dari kekasihnya ini.

Memang harus diakuinya, Erina adalah wanita yang unik dan berbeda dari wanita pada umumnya. Ia memang gemar meminta sesuatu yang nyaris tidak masuk di akal. Namun permintaannya kali ini benar-benar tidak dapat ia mengerti sama sekali.

Putus? Sungguh, ia tidak paham. Sebelumnya hubungan mereka baik-baik saja. Vansh bahkan tidak merasa kalau dirinya sudah berbuat sebuah kesalahan yang dapat mengancam hubungannya.

Kemarin, Vansh bahkan masih menyempatkan diri untuk menghubunginya walaupun banyak sekali pekerjaan yang harus ia lakukan. Ia juga bahkan masih menyempatkan diri menelponnya tengah malam walaupun dirinya benar-benar lelah setelah menghadiri beberapa rapat penting yang tidak bisa ia tinggalkan.

Lalu kenapa secara tiba-tiba Erina meminta hubungan mereka berakhir?

"Tunggu, jangan bilang kalau kau punya selingkuhan. Kau ingin putus dariku karena pria lain 'kan?" Vansh memasang wajah kesal. Sungguh, hanya itu satu-satunya kemungkinan yang ada dalam pikirannya saat ini.

Erina tersentak mendengar penuturan kekasihnya itu.

"Benar. Aku yakin, kau pasti memiliki pria lain 'kan? Makanya kau ingin putus denganku. Katakan padaku siapa pria itu, dan seberapa hebatnya dia sampai-sampai membuatmu lebih memilih dia dibandingkan aku?" Vansh mulai kesal.

"Huft~" Erina menghela napas pelan, berusaha mengatur emosinya agar tak buncah secara tiba-tiba. Ia tidak ingin ada pertengkaran besar-besaran dalam akhir hubungannya kali ini.

"Aku tidak selingkuh!" Erina menekan kalimatnya.

"Bohong! Kalau kau tidak memiliki selingkuhan lalu kenapa kau ingin putus denganku?"

"Aku ingin putus denganmu karena aku sudah tidak mencintaimu."

"Tidak mencintaiku? Bagaimana mungkin kau tidak mencintaiku setelah semua yang aku berikan padamu? Aku selalu ada untukmu, aku selalu menyempatkan diri untuk menghubungimu, dan aku juga bahkan sering memberikan apa yang kau inginkan. Lalu kenapa tiba-tiba kau bilang tidak mencintaiku?"

"Aku bosan denganmu. Itu saja. Kau sama seperti kebanyakan pria yang sudah berhubungan denganku."

"Apa?" Vansh speechless mendengar apa yang baru saja terlontar dari mulut kekasihnya itu.

Erina meraih sedotan dan memainkannya. "Kau terlalu baik, perhatian, dan selalu menuruti apa yang aku minta. Semuanya terlalu biasa, dan terlalu hambar. Itu membuatku bosan…"

"…Maksudku, aku sudah mendapatkan semua perhatian itu sebelumnya dari pacarku yang lain, dan sekarang aku mulai muak…"

"…Setiap perlakuanmu padaku tidak ada yang istimewa. Aku ingin sesuatu yang baru, dan berbeda dari sebelumnya. Tapi aku tidak mendapatkan semuanya darimu. Maka dari itu, aku ingin kita putus," jelas Erina, mempertegas keputusan yang diambilnya.

...***...

Bab 2 - John

Vansh mengerjap beberapa kali. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya.

Maksudnya, bagaimana mungkin seorang wanita menginginkan putus hanya karena hal konyol yang bahkan tidak masuk akal.

"Aku benar-benar tidak mengerti denganmu. Aku sudah sering sekali menyempatkan diri untuk menelponmu dan memperhatikanmu. Kurang spesial dimana perlakuanku padamu?"

"Ya, itulah yang membosankan darimu. Selain itu, kau juga terkadang terlalu posesif padaku. Aku tidak suka itu. Maka dari itu, aku ingin kita putus."

"Aku tidak mau. Aku sungguh mencintaimu, Na!"

"Maaf, tapi aku sudah tidak mencintaimu lagi. Lebih baik kau mencari wanita lain yang lebih pantas untuk mendapatkanmu. Bukan wanita sepertiku."

"Aku hanya mencintaimu. Berikan aku satu kesempatan lagi untuk berubah menjadi seperti apa yang kau inginkan." Vansh bergerak hendak meraih tangannya. Tapi Erina lebih dulu beranjak bangun dan mengambil tasnya.

"Keputusanku sudah bulat," katanya mempertegas sekali lagi.

"Tapi…"

"Aku harap ini terakhir kalinya kita bertemu, dan aku harap kau mendapatkan wanita yang lebih baik dariku. Selamat tinggal." Erina beranjak meninggalkan tempat itu.

Vansh tak tinggal diam. Ia segera bangun untuk mengejarnya.

"Erina, tunggu. Aku mohon, jangan tinggalkan aku!" teriak Vansh sambil melangkah mengejarnya.

Erina berjalan cepat menuju keluar. Berharap bisa lepas dari kejaran Vansh. Dan dia berhasil.

Vansh tertinggal jauh ketika salah satu pelayan mendadak datang dan menahannya untuk membayar.

...*...

Pria itu resah. Keringat mengucur deras di keningnya ketika ia menyadari mimik wajah pria di belakangnya semakin terlihat kusut.

Ayolah jalan! batin pria itu sambil mengetuk-ngetuk stir mobilnya dengan gelisah.

Ia kembali melirik sosoknya lewat kaca spion tengah yang ada di bagian depan mobilnya.

Aura pria di belakang sana semakin lama semakin terlihat pekat.

Glup!

Ia menelan ludah. Pria yang jadi bosnya itu bisa di pastikan benar-benar marah karena kemacetan yang kini harus dihadapinya.

Tring!

Dering ponsel, menyita perhatian pria itu. Atensinya mendadak beralih pada benda pipih yang berada di balik jas yang ia kenakan.

Raefal Virendra. Melirik layar yang kini menyala. Menampakkan layar panggilan dengan nama seseorang tertera di sana.

"Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku harus tiba secepatnya!" ujar Raefal dengan nada tak senang.

"Aku benar-benar minta maaf, tuan. Tapi jalannya sungguh macet," balas John, lelaki yang sejak tadi menyetir untuknya.

"Sudah aku bilang sejak awal, kau harusnya tidak mengambil jalan ini!"

"Tapi…"

"Aku tidak punya waktu! Kau urus saja mobilnya, aku akan berangkat lebih dulu dengan mencari jalan lain!" Raefal beranjak sambil membuka pintu mobilnya.

"T… tuan!" John ikut keluar, hendak mengejarnya. Namun ia menghentikan langkah begitu melihat Raefal yang sudah mengambil seribu langkah menuju arah lain yang sekiranya dapat ia jadikan sebagai jalan pintas.

John menghela napas panjang.

Mati aku. Kenapa tidak sejak awal aku ikuti saja ucapannya? Padahal aku baru beberapa hari bekerja dengannya. Tapi aku sudah mengacaukan semuanya. Bisa gawat kalau aku sampai di pecat dari pekerjaan kali ini juga. John membatin.

Resahnya makin menjadi ketika dia melihat dengan jelas ekspresi dari tuannya tadi.

Ah, sudahlah. Mungkin aku memang harus menerima segala yang terjadi nanti. Lebih baik aku ikuti ucapannya kali ini, pikir John.

...***...

Bab 3 - Kartu

Seharusnya ada jalan lain di sini yang bisa mengantarkanku ke jalan alternatif lain.

Raefal terus berlari sambil memperhatikan ponselnya yang kini layarnya menampilkan GPS.

Ia berharap bisa datang tepat waktu untuk bisa sampai di kafe tempatnya akan melakukan rapat penting dengan salah satu kliennya.

Raefal. Paling benci dengan ketidaksempurnaan. Apalagi dalam urusan pekerjaan.

Baginya, apa yang ia kerjakan harus berjalan sesuai rencana yang telah ia buat.

Ia mempercepat langkah kakinya saat melirik jam pada ponselnya sudah menunjukkan pukul sembilan lebih empat menit.

Dirinya hampir benar-benar terlambat. Dalam beberapa menit lagi, ia harus benar-benar sudah sampai di kafe tempatnya melakukan janji temu dengan kliennya.

Aku harus datang tepat waktu! pikirnya.

Raefal berjalan secepat mungkin sambil menggenggam ponselnya, mengikuti setiap arah yang dilihatnya di GPS nya.

Raefal yang terlalu fokus pada ponselnya membuat ia tak sadar dengan sekeliling.

Ketika tengah melangkah, ia secara tak sengaja menabrak seorang wanita yang berjalan dari arah yang berlawanan dengannya.

Brukk!

Tubuhnya mendarat tepat di atas wanita itu. Beruntung kedua tangan kokohnya berhasil menahan badannya agar tak benar-benar menindih tubuh mungilnya.

"Argh…" Wanita itu meringis kesakitan.

"Astaga!" Raefal tersentak kaget begitu menyadari sosok yang ditabraknya.

Erina. Membuka kedua matanya, beradu tatap dengan sosok yang baru saja menabraknya hingga jatuh dan membentur jalan dengan cukup kasar.

Begitu kedua matanya terbuka, hal pertama yang dilihatnya adalah sosok pria tampan yang kini menatapnya dengan wajah kaget.

Pria itu memiliki iris mata yang begitu indah, yang tatapannya begitu menawan.

Untuk sesaat, Erina terdiam menatap kedua irisnya. Ia tak bisa berkata-kata, bahkan sampai lupa akan rasa sakit yang dirasakannya.

"Kau tidak apa-apa?" Raefal menjauh dari atasnya. Berucap dengan cemas, hingga membuat Erina tersadar dari lamunannya.

"A… argh…" Erina meringis. Tubuhnya kembali terasa sakit.

"Aku tidak melihatmu tadi. Aku sedang buru-buru. Apakah kau terluka?"

Erina bangun perlahan, dan terduduk di trotoar. "Aku baik-baik saja. Tidak perlu merasa bersalah," sahut Erina santai.

"Aku benci ini, tapi lebih baik kau periksa keadaanmu ke dokter. Aku tidak bisa mengantarmu, tapi sebagai gantinya biar aku yang tangani semua biaya rumah sakitmu." Raefal mengeluarkan kartu namanya dan menyodorkan benda itu pada Erina.

Erina diam menggenggam kartu namanya.

"Hubungi aku untuk membahas rincian biaya rumah sakitnya." Raefal bangkit dan berlari meninggalkannya.

Pria itu berlalu begitu saja setelah memberikan kartu nama yang kini digenggamnya.

Erina masih dengan posisinya. Otaknya masih berusaha memproses setiap kejadian yang baru saja dialaminya.

Kedua matanya menatap lekat sosok Raefal yang kini berlari semakin menjauh dari posisinya berada.

Apa itu tadi? Dia baru saja menabrakku hingga jatuh, dan dia bahkan tidak mengucapkan kata "maaf" sama sekali? Sungguh? Aku tidak salah 'kan? Erina terdiam tanpa kata.

Perlahan, bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman.

Matanya beralih menatap secarik kertas yang kini di genggamnya. Kertas yang tidak lain adalah kartu nama yang diberikan Raefal padanya.

"Raefal Virendra." Erina membaca nama yang tertera di sana.

"Pria yang tampan," gumamnya sambil memperhatikan foto Raefal di kartu namanya.

"Walaupun sedikit menyebalkan karena dia menabrakku sampai jatuh dan pergi begitu saja…"

"…Entah kenapa, aku rasa dia menarik."

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!