Sebenarnya sejak di bangku sekolah, sudah banyak teman laki-laki yang menaruh hati terhadap Wila. Karena sejatinya Wila itu gadis yang cantik, tinggi dan berkulit putih. Hanya saja pemalu , jadi ia merasa tidak nyaman lama -lama ngobrol bareng teman laki-lakinya. Dan Wila selalu merasa takut saat orangtuanya memergoki ia sedang ngobrol dengan teman laki-lakinya.
Suara motor yang memasuki halaman rumah mengagetkan Wila , apalagi ada Andi yang baru saja datang ke rumahnya . Sontak ia panik, "Udah, kamu ngumpet sana, ada Bapak tuh!" ,Wila buru-buru menyuruh Andi untuk masuk ke kamarnya.
Belum juga selesai dengan urusannnya, Caca, Bapak wila sudah ada di ambang pintu dan sekilas melihat gorden kamar Wila yang bergoyang. " Ada, siapa? " tanyanya sambil melihat sekeliling. Wila berusaha untuk bersikap wajar. " Tidak ada siapa-siapa, Pak! ", jawab Wila agak gugup. Tanpa pikir panjang, Caca langsung masuk ke kamar Wila. Sial, Andi belum sempurna ngumpetnya, kedua kakinya masih dapat dilihat oleh caca.
"Hai, siapa kamu! Berani - beraninya masuk kamar gadis orang!" kata Caca dengan amarah sudah di ubun -ubun. Andi pun sedikit sedikit mengeluarkan tubuhnya dari bawah kolong tempat tidur Wila. Wajahnya tampak pucat dengan ketakutan yang luar biasa. "Heh, ngapain kamu di sini ! Berani beraninya ", dengan marah Caca menatap Andi.
Seketika kegaduhan pun terjadi, para tetangga yang kepo, pada keluar dari rumahnya, ingin menyaksikan apa yang terjadi.
Yati ibunya Wila keluar dari rumah disamping rumahnya. Saat itu ia lagi menemani Bu Asih yang anaknya mau melahirkan . "Ada apa ini?", katanya sambil tergesa gesa memasuki rumahnya.
"Dari mana saja kamu! Kenapa membiarkan anakmu berduaan dengan laki-laki di rumah?", Caca memberondong istrinya dengan pertanyaan. Deg, Yati merasa kaget, "Siapa Pak?", tanyanya dengar suara bergetar. "Itu, hai keluar !",
masih dengan suara marah caca menyuruh Andi keluar. Dengan menundukkan kepala ia keluar, sementara Wila menangis di pelukan Yati. " ini dia, Bapak pergoki ada dibawah tempat tidur Wila, sedang apa coba?", berani beraninya!", ucap Caca dengar nada gemetar karena menahan marah yang sudah mencapai puncaknya.
"Ayo, kita jelaskan di dalam Pak, ga enak di dengar para tetangga!", ajak Yati sambil melihat sekeliling.
Caca melihat sekitar, lalu masuk diikuti Yati, Wila dan Andi. Sementara di luar ributlah, para tetanggga mulai bergunjing. "Gak nyangka ya, ternyata di luarnya saja seperti anak pendiam, eehh, diam - diam bikin heboh",kata Bu Wira. "Iya iya, tuh anak ga tau terima kasih, orang tua banting tulang nyari uang buat kuliahnya, eehh ini malah gateul", sambung Bu Neti . "Suruh kawinin aja tuh", Bu wira ngompori. "Dari pada bikin aib di kampung kita, iya ga,bu ibu? " lanjutnya lagi. "Iya kita laporkan Pak RT saja besok," kata Bu Neti.
Sementara di dalam rumah , Wila, Andi, dan Yati duduk menunduk, Wila terus saja nangis sampai sesenggukkan. Sementara Caca duduk di depan mereka bak hakim yang akan mengadili terdakwanya.
Yati menjelaskan kalau dialah yang menyuruh Andi untuk menemani Wila, saat bu Asih meminta untuk menemaninya menunggu anaknya yang mau melahirkan. Dan Andi ponakannya bu Asih. Wila juga menjelaskan kalau dia dan Andi tidak seperti apa yang dibayangkan Caca, hanya saja Wila panik saat ayahnya kembali ke rumah dan Andi ada di dalam, jadi ia menyuruh Andi untuk ngumpet, padahal mereka tidak melalukan hal di luar norma seperti yang dibayangkan Caca.
Namun diluar sana gosip menyebar dengan cepatnya. "Aduh ga nyangka yah, si Wila itu berani banget berduaan di kamar dengan laki-laki, bisa bikin sial kampung kita nih, cerocos Bu Wira saat lagi ngantri ngambil air minum di kran PDAM.
" Sudahlah Bu, kan sudah ada pengurus, kita ga usah ikut campur!", kata Asih. "Lagian Andi itu ponakan saya, ga mungkin lah dia berani macam-macam sama Wila. Jelas Asih lagi. Iya yakin kalau keponakannya tidak mungkin berbuat tidak senonoh dengan Wila.
"Sudah Bu, nikahkan saja, sudah terbukti !, kurang apa lagi, buktinya si Andi itu ada didalam kamarnya si Wila, gak mungkin kan gak ngapa ngapain?", cerocos Bu Wira. "Kita gak bisa main hakim sendiri Bu, kita tanyain dulu mereka, bagaimana kejadian yang sebenarnya?!" Bu Asih mengingatkan.
"Mana ada maling ngaku Bu, ntar tahu tahu si Wila bengkak perutnya, baru ribut", Bu Neti ikut nimbrung. "Istighfar Bu, itu fitnah, kita tunggu saja ,jangan memperkeruh suasana!"
Di dalam rumah Yati, Wila dan Andi duduk menunduk, bak seorang terdakwa. Dan Caca duduk di depan mereka masih dengan tatapan marah. Disampingnya duduk Pak RT. Sementara Wila masih saja nangis sesenggukan di pelukkan Ibunya. Ia begitu malu dan sangat takut sama Bapaknya, sampai tak sanggup untuk sekedar menegakkan kepalanya.
"Coba Neng Wila, ceritakan sebenarnya apa yang terjadi?" suara Pak RT memecah suasana. "Ayo Neng, jawab?!", desak Bu Yati lembut sambil mengelus punggung anaknya penuh sayang. Wila hanya menangis saja, tidak bisa berkata kata. "Coba kamu jelaskan! bagaimana kejadian yang sebenarnya? " Pak RT beralih kepada Andi yang kelihatannya lebih tenang.
" Kamu sudah ngapain anak saya?!" Caca memotong pembicaraan . "Tenang Pak ! sabar, biar semuanya jelas, kita dengarkan dulu penjelasan mereka". Lagi - lagi Pak RT menengahi." Gak terjadi apa - apa Pak, tadi saya di suruh menemani Wila, karena Bu Yati lagi di rumah bibi saya, tapi Wila kaget saat Pak Caca datang, ia takut bapaknya marah kalau melihat saya ada di rumah, jadi refleks Wila menyuruh saya untuk sembunyi di kamar, tapi keburu ketahuan, kalau saya dan Wila berbuat tidak senonoh, mungkin kami akan ada di satu tempat, ini kan tidak. Saya ada di kamar sedangkan Wila masih ada di sini", kata Andi menunjuk kursi yang diduduki Wila.
Sejenak suasana hening. Memang masuk di akal apa yang di jelaskan Andi barusan. "Jadi benar Neng apa yang dibicarakan laki laki ini?"
Wila menganggukan kepalanya sebagai jawaban untuk pertanyaan ayahnya.
Caca menghembuskan nafasnya, penjelasan Andi tadi membuatnya lega. "Kalau begitu Bapak minta maaf, sudah menuduh yang bukan-bukan."
"Maafkan saya Pak RT , sudah membuat kegaduhan malam malam", Sambungnya lagi .
"Ya sudah, semuanya sudah jelas, tak ada yang salah di sini, bisa diselesaikkan secara kekeluargaan," Kata Pak RT sambil mengajak semuanya bersalaman. Pak RT keluar rumah disambut pandangan penasaran dari warga yang masih ngumpul di pinggir jalan.
Keheningan malam terpecahkan oleh suara tangis bayi d rumah Bu Asih. "Alhamdulillah anaknya Bu Asih sudah melahirkan," kata Pak RT. "Ayo semuanya bubar ,tidak ada apa-apa, awas yang kebagian siskambling malam ini, jaga yang benar!" ,Sambung Pak RT.
Setelah peristiwa malam itu, keluarga Wila menjadi pusat pembicaraan. Di warung, di kebun, bahkan di pancuran umum. Mereka berbicara tanpa mendengar fakta, semuanya hanya menjelek jelekkan keluarga Wila saja.
Hal ini membuat Wila makin jarang keluar rumah, ia hanya keluar rumah untuk urusan yang penting saja. Apalagi saat ini ia sedang menempìuh ujian akhir disekolahnya, dan sedang mempersiapkan masuk Perguruuan Tinggi.
"Bu, nanti kalau aku lolos ujian masuk Perguruan Tinggi Negkeri, mau kost aja ya, biar ngirit ongkos", kata Wila saat membantu ibunya didapur. "Ibu ga setuju kalau kost, gimana kalau ikut d rumah bibimu, Bi Yeni," kata Yati . "Kira-kira Bapak setuju gak ya?, tanya Wila ragu. " Biar ibu nanti yang bicara sama bapakmu?" .
Yati menenangkan Wila. Suara motor memasuki pekarangan, rupanya Caca sudah pulang. " Ayo Pak, langsung sarapan saja!", ajak Yati kepada suaminya. Setelah menaruh helm dan menggantungkan kunci motor di paku sebelahnya, Caca menghampiri meja makan . Mana Wila Bu?",tanyanya sambil duduk d atas tikar yang diatasnya sudah tersedia hidangan sederhana untuk mereka sarapan.
Sebelum menjawab, Wila keburu datang sambil membawa coet berisi sambal. "Ini Bu, sudah jadi," katanya sambil menaruh bawaannya di atas tikar. "Ya, udah, ayo kita makan!", ajak Yati. Mereka bertiga makan dengan hidangan sederhana sambil membicarakan rencana Wila untuk kost d rumah bibinya.
Caca mengijinkan, apalagi ia tahu pasti anaknya merasa malu atas kejadian malam lalu, dan ia merasa bersalah sudah menuduh anaknya melakukan hal nista. Tapi di luar sana kabar itu sudah menyebar dengan cepat.
Biarlah, biar waktu yang menjawab kebenarannya. Hari yang dinanti pun telah tiba. Setibanya d sekolah, Wila melihat kerumunan teman -temannya di depan papan pengumuman kelulusan dan pengumuman pemenang bea siswa kuliah di salah satu PTN. Ia diam saja dibelakang teman temannya, tak berani untuk ikut berdesak desakkan .
Beberapa temannya mulai mundur dengan berbagai ekspresi , ada yang gembira, ada yang sedih. Wila melangkah pelan menuju papan pengumuman yang sudah sedikit lengang. Dilihatnya dengan teliti, dengan hati berdebar ia cari alfabet namanya, dan dibaris menjelang akhir, dilihat namanya. Perlahan ia geser arah netranya ke arah horizontal, dan betapa senangnya ketika dilihat tulisan LULUS.
"Alhamdulillah, akhirnya." Ia bergumam dengan sumringah. Dan lebih senang lagi saat namanya bertengger di urutan sembilan selaku pemenang beasiswa kuliah. Hari itu ia pulang dengan membawa kabar gembira, karena hari masih siang, Wila memilih pulang dengan berjalan kaki, bukan apa -apa, mulai saat ini ia harus lebih irit menggunakan uang, biar d simpan saja pikirnya, buat bekal kuliah nanti.
Sepanjang jalan banyak orang berlalu lalang, mereka cuek saja. tidak seperti para tetangga yang mengenalnya, mereka melihat Wila dengan pandangan sinis, dan tidak jarang mereka berbisik satu sama lain. Sepertinya mereka lagi membicarakan Wila. 'Sabar Wila, kamu harus kuat, kamu tidak salah!' Wila membatin sambil tetap berjalan.
Di gang menuju rumahnya ia berpapasan dengan Neli yang sedang bergandengan dengan teman laki lakinya. "Calon manten, baru pulang?" celetuk Neli saat berada di depan Wila.
Wila hanya berlalu tanpa memperdulikan ucapan Neli.
"Hai, mending kaya kita nih, terang terangan, dapat restu lagi, bukan sembunyi sembunyi, bikin malu saja!" , cerocos Neli .Wila terus berlalu dan menghilang di ujung gang. Tak dapat dibohongi, hatinya sakit mendengar ocehan Neli tadi.
Tapi semua itu dapat terobati dengan lulus dan diterimanya ia kuliah. Ia pikir percuma memberi penjelasan juga. Biarlah , biar waktu yang akan menjawabnya. Di depan rumah bu Asih, ia bertemu dengan Andi. Sedikit salah tingkah Wila saat jaraknya semakin dekat.
"Neng Wila, mampir dulu ", teriak Bu Asih yang sedang menjaga warungnya. "Nggak Bu,terima kasih", jawabnya. Namun langkah kakinya terhenti saat Bu Asih mengejarnya. " Sebentar Neng Wila", katanya sambil menarik tangan Wila dan menuntunnya duduk di teras depan rumahnya.
"Sini Neng, Ibu cuma pengen tahu, kejadian malam itu, Andi itu ponakan Ibu, kalau terjadi apa apa, Ibu nanti yang akan menjelaskan sama orang tuanya Andi!"
"Gak terjadi apa apa Bu, itu hanya salah paham saja." Andi yang tiba tiba datang menjawab. "Kalau benar begitu kenapa ga dijelaskan saja sama orang orang, biar mereka tidak bicara seenaknya, dan terus menjelek jelekkan kalian", desak Bu Asih.
"Percuma Bu, biarkan saja mereka bicara! Toh kita gak melakukan apa apa?!", jelas Andi.
"Waktu itu Wila takut bapaknya marah, kalau melihat saya ada di rumahnya" , jelas Andi lagi. "Diminum Neng, kayanya cape?!, Ibu lihat Neng Wila jalan kaki, habis dari mana? ".
"Iya Bu, dari sekolah, hari ini pengumuman kelulusan, tadi pulangnya belum terlalu siang, jadi jalan kaki saja, itung itung olah raga Bu", jawab Wila.
"Alhamdulillah saya lulus,dan sudah diterima kuliah di Perguruan Tinggi di kota Bu." Wila menjelaskan. Andi mendengarkan , dalam hatinya berharap kalau Wila kuliah satu kampus dengannya.
Di kejauhan terlihat Bu Wira dan Bu Neti ,sepertinya mereka sedang memperhatikan dari kejauhan. Gak salah lagi, pasti mereka sedang membicarakan Wila.
Padahal ada yang lebih mengkhawatirkan, anaknya Neli begitu dekat dengan teman laki lakinya. Ia tidak takut anaknya terjerumus pergaulan bebas.
"Lihat tuh, sepertinya benar ada sesuatu antara si Wila dengan ponakannya Bu Asih itu, sekarang sudah berani ngobrol terang terangan di siang hari bolong", kata Bu Wira.
Kali ini Bu Neti hanya mendengarkan saja, sesekali ia melihat ke dalam rumah Bu Wira. Di balik kaca yang terbuka ia melihat Neli begitu lengket dengan teman laki lakinya. Tapi Bu Neti ga berani memberitahukannya pada Bu Wira.
***
"Nanti kalau kuliah di kota, kamu mau kost?, kan jauh kalau harus pulang ke sini?", tanya Andi. "Gak tahu, saya belum bilang sama Bapak", kata Wila. Nanti kalau mau kost , saya bisa bantu carikan, yang khusus putri dan keamanannya terjamin!", sambung Andi lagi. "Terima kasih sebelumnya," jawab Wila.
Setelah itu ia pamit karena sudah cukup lama ia berbincang di rumah Bu Asih. Di halaman sebuah rumah yang masih berdinding bilik, ia berdiri. Rumah itu banyak sekali menyimpan kenangan masa kecilnya.
Setahunya, sejak ia kecil rumah itu tidak pernah direnovasi sekali pun. Walaupun demikian rumah itu masih cukup kokoh.
Tidak ada teras rumah, yang ada hanya beberapa papan kayu yang dirangkai menjadi satu dan diletakkan di atas batu sebagai alasnya.
Hatinya terenyuh, ia tahu kedua orang tuanya lebih mementingkan biaya sekolahnya. Tak pernah terbersit untuk merenovasi rumah seperti para tetangganya.
Dan sebentar lagi ia pun akan meninggalkan rumah itu untuk sementara, selama ia kuliah.
Hari ini Caca sedang libur, jadi saat Wila pulang, kedua orangtuanya lagi ada di rumah. Mereka hanya membersihkan halaman samping yang di jadikan warung hidup.
Lahan yang tak begitu luas itu mereka tanami berbagai sayuran, untuk memenuhi kebutuhan dapur.
Ada cabe, tomat, seledri, bawang daun, sosin , kangkung, timun, dan aneka tanaman lainnya.
Di belakang rumah ada kolam kecil , selain untuk penampungan air, kolam itu juga di huni berbagai ikan air tawar, mujaer dan ikan mas.
Tidak lupa di atas kolam sebelahnya bertengger sebuah bangunan kecil dari bambu yang di susun rapi, cukup untuk menampung beberapa ekor ayam.
Dengan cara itulah Yati dan Caca bisa mengirit pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dapurnya.
"Assalamu'alakum, Pa, Bu, alhamdulillah Wila lulus dan mendapat beasiswa untuk kuliah", teriak Wila saat menemui kedua orangtuanya di samping rumah.
"Alhamdulillah, Neng, tapi kalau kuliah kan mahal biayanya", jelas Caca. " Kan Wila dapat beasiswa Pa, jadi gak bayar. " Wila juga kan mau ikut di rumah Bibi, masih ada tabungan juga, buat biaya tak terduga", jawab Wila.
"Ya, Ibu cuma bisa mendo'akan supaya cita cita kamu tercapai", jawab Yati sambil mengelus kepala anaknya.
"Kamu punya tabungan dari mana?" tanya Caca ."Itu uang beasiswa Wila Pak, sebagian digunakan membeli alat tulis dan sisanya Wila tabung", jawab Wila menjelaskan.
"Kamu memang anak baik, maafkan Bapak tidak bisa memberikan yang terbaik untuk kamu", Caca sambil mengelus pundak Wila.
Menjelang asar ketiganya memasuki rumah, Wila membantu Yati menyiapkan makan malam dan Caca bergegas menuju pancuran untuk membersihkan diri.
Setelah semua siap, mereka menyantap makan malam dengan hidangan sederhana, hasil dari kebun di samping rumahnya.
Diluar terdengar suara rombongan kendaraan bermotor, dan seketika terdengar kegaduhan.
"Ada apa ,Bu ramai sekali?" tanya Wila. "Itu mau ada acara lamaran di rumah Bu Wira, katanya Neli mau dilamar sama anaknya orang kaya di kampung sebelah", Yati menjelaskan. "Kok dilamar Bu, bukannya Neli baru kelas dua SMA?", kata Wila .
"Ya gak tahu, Ibu gak ngerti sama jalan pikirannya Bu Wira?!
"Ya, biarkan saja bu, tiap orang kan punya rencana yang berbeda beda, mungkin itu yang terbaik menurut Bu Wira untuk anaknya", Caca nimbrung.
Keesokan harinya seperti biasa, warung Bu Asih menjadi tempat vaforit untuk bergosip. "Bu Wira selamat ya, Neli sudah dilamar , sama anak orang kaya lagi", kata Bu Asih saat dilihat Bu Wira memasuki warungnya.
Yati yang sudah duluan ada di sana pun ikut mengucapkan selamat. "Iya, Bu walau masih sekolah sudah ada yang melamar ya?", katanya.
"Ya iya ,secara anak saya tu kan cantik, bisa di bilang kembangnya desa, jadi banyak laki-laki yang menyukainya, walau disuruh nunggu sampe lulus sekolah pun mau ", kata Bu Wira dengan bangga memuji anaknya.
"Kalau anak saya alhamdulillah baru lulus , dan sudah diterima kuliah di Perguruan Tinggi Negeri di kota", kata Bu Yati.
"Aduh Bu, perempuan itu ga usah tinggi - tinggi sekolahnya, nanti juga ke dapur ke dapur juga", Bu Wira menimpali. " Mending dinikahkan saja, biar mengurangi beban", lanjut Bu Wira lagi.
"Kalau saya mah mendukung saja apa maunya Wila, soal jodoh mah sudah ada yang ngatur", kata Bu Yati .
"Dari pada di pake kuliah, mending uangnya dipake benerin rumah Bu, emang Ibu ga mau tinggal di rumah bagusan dikit", kata Bu Wira.
"Insya Allah Bu, saya dan suami lagi nabung buat merenovasi rumah,kalau buat kuliah kan Wila dapat beasiswa, jadi ga terlalu banyak biayanya." Jawab Bu Yati. "Aduh pintar betul ya , sampe dapat bea siswa". Kata Bu Asih.
"Iya ,Alhamdulillah Bu, dari SMP sampai sekarang mau kuliah, Wila selalu dapat bea siswa." Yati berkata sambil mengambil uang kembalian dari Bu Asih. "Mari Bu saya duluan", pamitnya sambil meninggalkan warung Bu Asih.
"Kasihan ya Bu Yati , kerja keras hanya untuk membiayai sekolah anaknya." Lihatlah rumahnya, dari dulu begitu begitu saja, sudah jadul modelnya juga, sudah tak ada lagi rumah kayu di kampung kita, selain rumahnya bu Yati , Bu Neti bicara sambil memilih milih sayuran.
"Iya, tiap hari kalau ke warung belinya itu- itu juga, paling ikan asin, tahu, tempe, ngirit banget", tambah Bu Wira. "Harusnya cepet kaya ya,kalau makannya seperti itu", Bu Neti menambahkan.
Andi yang sedari tadi mendengar perbincangan di warung bibinya, merasa iba kepada keluarga Wila,setiap hari topik pembicaraan mereka hanya tentang keluarga Wila. Kalau mereka iri , iri karena hal apa? Tak ada hal yang akan membuat orang iri.
Di lihat dari keadaan ekonomi, mereka termasuk keluarga sederhana, tetapi mengapa selalu jadi sumber pembicaraan para tetangganya. Atau mereka merasa iri, karena Wila?, walaupun berasal dari keluarga sederhana, tetapi ia memiliki sifat yang baik, sopan dan pintar.
Di kampungnya hanya Wila yang bersekolah sampai jenjang SMA, apalagi sekarang, ia sudah diterima kuliah di kota. Ia lebih mengutamakan pendidikan, tak apa miskin harta, namun kaya akan ilmu.
Dari cara berpakaian pun ia berbeda dengan kebanyakan teman teman sebayanya. Di saat teman temannya berinovasi dengan berbagai mode yang lagi trend, dengan memperlihatkan perhiasannya, ia begitu bangga dengan pakaian muslimnya, gamis panjang yang longgar, dengan hijab yang lebar. Walau banyak orang yang melihat dengan pandangan sedikit aneh.
Andi pun melihatnya kalau penampilan Wila terlihat berbeda dengan sebagian besar remaja putri di kampungnya. Perkataannya selalu lemah lembut, ia bicara seperlunya dan apa adanya. Sehingga ia lebih banyak diam. Kalau berhadapan dengan lawan jenis , ia selalu menjaga jarak dan menjaga pandangannya.
Pantas saja ia begitu panik malam itu. Mungkin ia merasa takut bapaknya marah saat melihat Andi ada di rumahnya.
Andi senyum senyum sendiri saat mengingat peristiwa malam itu. Ia merasa jadi orang bodoh, disuruh ngumpet saja mau, padahal ia tidak berbuat salah, hanya menemani Wila saja.
Kabar Wila mau kuliah di kota pun sudah menyebar. Kuliah bagi orang kampung itu suatu hal yang mewah, karena mereka juga tahu pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi bagi keluarga Wila, kalau Wila tidak mendapat beasiswa, mana mungkin bisa untuk kuliah.
Para tetangganya yang dibilang kaya pun lebih memilih menikahkan anak gadisnya dari pada menyekolahkannya, apalagi sampai kuliah.
Mereka akan merasa bangga saat anak gadisnya nikah di usia muda, dan akan merasa malu saat anak gadisnya sampai telat menikah. Mereka malu kalau sampai di sebut perawan tua, karena telat nikah. Sepertinya tidak apa anaknya sampai putus sekolah gara -gara nikah .
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!