NovelToon NovelToon

Wanita Milik CEO

Kau Akan Menyesalinya

5 tahun yang lalu, di waktu malam yang sangat dingin tidak terlihat satu bintang pun di langit, sepasang kekasih tengah duduk saling bersisian di sebuah taman yang tidak jauh dari kediaman sang wanita. Keduanya tampak kacau jika dilihat dari raut wajah mereka yang sendu serta tatapan yang kosong. Nampak sisa air mata yang membasahi pipi putih mulus sang wanita cantik tersebut.

"Kenapa kau melakukan ini kepadaku, Bella? Kau sudah tau jika aku benar-benar mencintaimu." Pria itu berucap dengan suara yang parau, pandangannya tertunduk dan menangkupkan kedua tangannya seraya menahan rasa sesak di rongga dadanya.

"Maafkan aku, Ed. Aku tidak memiliki pilihan lain, kau bisa mendapatkan wanita yang lebih baik dariku." Sama halnya dengan pria tampan yang berada di sampingnya, wanita itu pun terlihat sangat sedih harus melepaskan kekasih yang sudah dua tahun bersama dengannya.

"Tatap mataku Bella, apa kau benar-benar yakin dengan ucapanmu itu?" Eden menangkupkan kedua pipi Bella dengan kedua telapak tangannya, akan tetapi Bella menepisnya dengan kasar tanpa berminat menjawab pertanyaan kekasihnya, sehingga membuat Eden semakin frustasi, ia tidak tau harus bagaimana lagi meyakinkan Bella untuk memperjuangkan cinta mereka.

Namun Eden tidak menyerah begitu saja, ia memegang kedua bahu kekasihnya itu. "Dengarkan aku, aku akan berusaha menjadi seperti apa yang kedua orang tuamu inginkan, aku akan membahagiakanmu dengan caraku. Tapi satu hal yang ku inginkan, jangan pernah pergi dariku Bella, jangan!" Eden menekankan perkataannya. Sungguh ia tidak dapat membayangkan jika dirinya harus berpisah dengan Arabella, kekasihnya yang teramat ia cintai. Terlebih ia sudah kehilangan ibunya, dan ia tidak ingin kembali merasakan kehilangan. Tidak, wanita itu terlalu berharga untuk ia lepaskan.

Ingatan Eden menerawang pada saat pertemuan awal mereka. Pertama kali mereka bertemu saat di universitas yang sama, hanya wanita di hadapannya itu yang tidak pernah memandang rendah dirinya yang tidak memiliki apa-apa. Sehingga menghadirkan rasa nyaman di hati Eden dan selalu ingin berada di sisi wanita itu. Terlepas dari rasa nyaman yang diberikan wanita itu, Eden benar-benar mencintai kekasihnya. Tidak. Sampai kapanpun ia tidak akan melepaskan wanita yang begitu memiliki arti penting dalam hidupnya.

Eden kemudian memeluk Bella dengan penuh paksaan, membiarkan air matanya meleleh secara perlahan dari sudut matanya. Sama seperti yang dirasakan Eden, Bella pun sudah terisak di dalam pelukan pria itu, menenggelamkan kepalanya di dada bidang kekasihnya. Rasa nyaman dan aman selalu ia rasakan ketika bersama dengan Eden. Bella memejamkan matanya, menikmati aroma tubuh Eden yang menyeruak di indra penciumannya. Karena setelah ini ia tidak akan bisa lagi menghirup aroma maskulin kekasihnya. Sungguh ia tidak ingin kehilangan sosok pria baik seperti Eden, pria yang sangat ia cintai itu. Namun perkataan Daddy-nya membekas di ingatannya, seorang putri manapun tidak ingin menjadi penyebab kesulitan yang dialami orang tuanya lantaran lebih memilih seseorang yang baru hadir dua tahun silam. Mata yang terpejam itu perlahan terbuka, sesaat Bella kembali tersadar, kini ia tidak bisa lagi bersandar kepada pria itu. Dengan cepat Bella mendorong tubuh Eden, hingga membuat Eden jatuh tersungkur ke tanah.

Bella beranjak dari duduknya. Ia tidak ingin goyah akan keputusannya. "Maafkan aku, maaf..." lirihnya. "Semoga kau bahagia Eden..." Sungguh sulit mengatakannya seolah dadanya tertancap ribuan belati. "Dan aku akan selalu mencintaimu Eden," lanjutnya kemudian dalam hati dan berlalu pergi.

Berulang kali Bella mengucapkan kata maaf lantaran hubungan mereka harus berakhir. Menahan gejolak di dadanya yang kian sesak melihat pria itu memohon, merendahkan diri hanya untuk dirinya. Akan tetapi Bella sudah bulat akan keputusannya. Sungguh, ia pun sangat berat meninggalkan kekasih yang ia cintai selama ini dan harus mengorbankan perasaannya untuk bertunangan dengan pria asing yang di jodohkan dengannya.

Namun ia tidak pedulikan perasaan yang tidak kalah hancur, untuk saat ini ia hanya ingin Daddy-nya selamat dan berjuang untuk pulih. Katakan jika dirinya egois, ia ingin memilih Eden tetapi ia juga menyayangi keluarganya. Tanpa menoleh ke belakang, Bella berjalan menjauh, menulikan pendengaran ketika Eden berteriak memanggil-manggil namanya.

Sekuat hati, Bella berusaha untuk tidak menoleh, menyeret semakin jauh langkah kakinya dengan berat meninggalkan Eden yang masih mematung di tempatnya. Ingin rasanya Bella merengkuh tubuh kekasihnya itu, akan tetapi ia tidak bisa melakukannya. Sehingga ia hanya bisa menangis dalam hati, memegang dadanya yang kian sesak. Jika ia memiliki pilihan, maka saat ini juga ia ingin memilih hidup bersama Eden, namun demi nyawa Daddy-nya, ia harus rela berkorban melepaskan cintanya.

Ya, ini adalah keputusan yang terbaik, karena sekeras mereka berjuang, sekeras itu juga mereka akan dipisahkan.

"BELLAAA!!!!" Eden berteriak, nyaris merusak pita suaranya. Ia menjatuhkan kedua lututnya di tanah berumput dan melayangkan tangannya ke udara, menghempaskan rasa sesak di dadanya dan membiarkan air dari langit menghujani tubuhnya. Seolah tengah mewakili perasaannya saat ini, langit pun bahkan tahu jika dirinya tengah di rundung kesedihan.

Dua minggu yang lalu Eden baru saja kehilangan sosok seorang ibu. Pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya menyusul sang ayah yang sudah lama pergi. Dan kini kekasihnya yang selama ini selalu berada di sisinya, selalu mendukung dirinya pun telah pergi meninggalkan luka yang dalam dan lebih memilih bertunangan dengan pria lain yang sepadan dengan Keluarga Walker. Sungguh, kehilangan dua sosok wanita di dalam waktu berdekatan membuat Eden mengerang frustasi.

"AARRGGHH !!" Eden tidak kuasa menahan rasa sakit hatinya. Bagaikan ribuan jarum menghujam jantungnya, sesak dan sulit bernapas. Tangan Eden terkepal memukul berulang kali tanah yang di pijak. Kini tujuan hidupnya telah lenyap, dalam sekejap mata, wanita itu mampu menghancurkan seluruh jiwa dan raganya.

Dengan mudahnya wanita itu memutuskan hubungan mereka secara sepihak. Bukankah sebelumnya mereka telah sepakat akan berjuang bersama, tapi kini seolah semua itu tiada arti.

Sekecil harapan membenami hati Eden, berharap wanita itu memilih dirinya. Tetapi apa daya, pria itu hanya mampu menangis, tertawa nanar akan kebahagiaan yang tidak berpihak padanya.

***

Keesokan harinya, di dalam gedung hotel yang mewah itu, acara pertunangan yang berlangsung hanya sebagai kamuflase, Arabella berusaha tersenyum untuk menutupi luka. Menerima seseorang di sampingnya yang jelas-jelas tidak ia cintai. Pertunangan itu tidak berarti apa pun untuknya. Baginya hingga mati, hanya Eden yang menempati ruang hatinya, meskipun ia tahu bahwa kini Eden sudah membenci dirinya.

Benar adanya, kini di depan gedung hotel mewah tersebut nampak Eden yang menatap nanar dengan penuh amarah dan kebencian. Terlebih ketika menyaksikan pesta itu berlangsung dengan meriah dan mewah. Tangannya terkepal kuat hingga goresan kuku jemarinya meninggalkan bekas luka, tetapi luka itu tidak sebanding dengan luka di hatinya. Rahangnya mengeras, bahkan membiarkan air mata lolos dari kelopak matanya tanpa permisi.

Eden bertekad akan membuat wanita itu menyesal di kemudian hari. Ia sudah kehilangan ibunya serta wanitanya. Kini ia harus melangkah maju ke depan. Demi dirinya agar tidak ada lagi yang dapat menghinanya serta membuat orang-orang yang sudah menginjak harga dirinya akan mendapatkan balasan yang setimpal.

"Kau akan menyesalinya, Bella...." gumamnya dengan penuh kebencian. Rasa cinta itu masih ada, akan tetapi Eden bertekad akan membuat wanita itu menyesal di kemudian hari. Sorot matanya yang tajam tidak berpindah, hingga berdiri beberapa menit lamanya, Eden tidak tahan berada disana lebih lama lagi. Cukup hari ini saja ia mengenang wajah cantik kekasihnya. Karena setelah ini ia akan mengubur hati dan kenangan bersama dengan kepergian wanita itu.

Eden kemudian menghembuskan napas kasar seolah rasa sakit akan ikut terbuang bersama dengan helaan napasnya tersebut. Sebelum kemudian ia berlalu meninggalkan gedung hotel dengan perasaan berkecamuk.

To be continue

Haii, Yoona kembali melanjutkan cerita Wanita Milik CEO. Jangan lupa dukungan kalian ya 🥰

...Like, vote, follow, fav, hadiah dan komentar kalian 💕 Terima kasih banyak dukungan dan komentar positif kalian 💜...

...Always be happy 🌷...

...Instagram : @rantyyoona...

Maaf, Harus Menyakiti Hatimu

Satu hari sebelumnya

Di sebuah mansion yang sangat mewah dan memiliki halaman yang cukup luas. Seorang wanita cantik tengah bersitegang dengan sang ayah. Sudah satu jam lebih mereka berdebat namun tidak ada yang ingin menyudahi perdebatan mereka terlebih dahulu.

"Jangan pernah berhubungan lagi dengan pria miskin itu, kau terlahir dari keluarga terpandang, tidak seharusnya bersama dengannya, Bella," ujar pria paruh baya yang merupakan Daddy dari bella. Identik dengan sifat angkuhnya, baik kepada putri dan putranya maupun rekan-rekan bisnisnya.

"Tapi aku mencintainya. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah meninggalkannya!" Suara Bella meninggi, ia tak terima jika harus berpisah dengan kekasihnya demi menuruti permintaan konyol Sang Daddy.

"Buka kedua matamu lebar-lebar, Bella! Pria itu bahkan mencari makan untuk dirinya sendiri saja sulit, bagaimana dia bisa menghidupimu di masa depan, heh?" Thomas menyahut, tentunya dengan sarkas dan terselip nada ejekan untuk kekasih dari putrinya itu.

"Eden bekerja Daddy, sudah pasti dia bisa menghidupi kehidupan kami nanti. Daddy tidak perlu ikut campur dengan siapa aku menjalin hubungan!" desis Bella yang sudah sangat kesal. Selama ini ia sudah menahan segalanya, dan selalu menuruti permintaan sang Daddy namun Daddy-nya itu seakan tidak pernah puas dengan apapun yang dilakukan olehnya.

"Cih, dia hanya bekerja sebagai buruh. Apa kau pikir sudah puas hanya makan cinta setiap hari?" cibir Thomas. Tak hentinya menghina kekasih dari putrinya, kekasih yang amat sangat dicintai oleh putri cantiknya itu.

Bella hanya terdiam mematung mendengar perkataan yang dilontarkan oleh Daddy-nya. Bukan hanya sekedar cinta, bahkan ia rela tidak memiliki tempat tinggal jika itu bisa terus bersama dengan kekasihnya.

"Asalkan bisa bersama dengannya aku tidak masalah." Tidak ada keraguan di saat Bella berkata demikian. Meskipun berkata dengan volume suara yang kecil, tetapi masih dapat didengar oleh Thomas, hingga membuat Thomas berdecak kesal disertai senyuman mengejek.

Bella hendak melangkahkan kakinya untuk keluar dari ruangan kerja Sang Daddy, namun saat tangannya nyaris mencapai knop pintu, suara Thomas menghentikan pergerakan tangannya.

"Lusa kau sudah harus bertunangan dengan Bryan!" Tegas tak terbantahkan, itulah sosok Thomas dengan segala sifat angkuhnya. Ia tidak pernah pedulikan perasaan putrinya. Jika Daddy-nya bersikeras memaksanya, jangan salahkan dirinya yang tidak mengindahkan ucapan Sang Daddy, Bella hanya berlalu meninggalkan Thomas di ruang kerjanya.

***

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali saat semua penghuni rumah masih terlelap, Bella sudah mengemasi barang-barangnya ke dalam koper untuk pergi dari Mansion mewahnya. Ia sudah tidak peduli lagi dengan Daddy-nya atau apapun itu, selama ini ia sudah cukup bersabar namun Daddy-nya itu selalu saja mencampuri kehidupannya.

Sejak kecil Bella harus menuruti semua keinginan Daddy Thomas mulai dari membatasi pertemanannya, sekolah dan universitas pun dipilihkan oleh pria paruh baya itu. Bahkan pekerjaannya kelak sudah ditentukan oleh Daddy Thomas. Bella tidak mempermasalahkan hal itu, ia masih bisa menerima dan diam. Namun tidak dengan kehidupan percintaannya, ia tidak ingin berpisah dengan kekasihnya, selama ini hanya kekasihnya yang peduli kepadanya, bahkan Mommy-nya tidak pernah membela dirinya, Mommy-nya itu selalu patuh terhadap Daddy Thomas.

Ya, Bella rela meninggalkan Mansion dan kehidupan mewahnya agar dapat hidup bersama dengan sang kekasih yang sudah bersama dengannya selama dua tahun.

Saat dirasa cukup mengemasi barang-barang yang akan dibawanya, Bella segera menyeret koper besar miliknya. Dengan sangat berhati-hati ia membuka pintu kamarnya dan berjalan mengendap-endap, karena tidak ingin mengeluarkan suara apapun yang akan membangun seisi penghuni Mansion. Bella berhasil menuruni tangga, hanya perlu melewati pintu keluar Mansion, maka ia akan terbebas, akan tetapi sayangnya Thomas mengetahui rencananya yang akan pergi diam-diam dari Mansion.

"Jangan kau pikir dengan lari dari Mansion ini kau bisa dengan mudah terbebas dari Daddy. Tidak Bella!" Suara tegas itu menggelegarkan seisi ruangan.

Bella terdiam sejenak, ia menelan salivanya, rencananya untuk pergi dari Mansion telah diketahui oleh Daddy-nya. Bella memutar tubuhnya menghadap ke arah sumber suara. Di lihatnya Thomas yang tengah berdiri di tempatnya dengan wajah yang garang disertai tatapan tajam kepadanya.

"Cepat kembali ke kamarmu!!" Suara Thomas meninggi, membuat Bella tersentak. Namun ia tidak tergugah untuk kembali ke dalam kamarnya seperti yang diperintahkan oleh Daddy-nya itu.

"Tidak Dad! Kali ini aku tidak akan menuruti perkataan Daddy lagi. Dan aku juga tidak akan bertunangan dengan Bryan atau siapapun itu, aku hanya ingin bersama dengan Eden. Hanya Eden!" Suara Bella tidak kalah meninggi.

Perdebatan mereka di saksikan oleh Miranda, tetapi Sang Mommy tidak bisa berbuat apa-apa, walaupun ia ingin membela putrinya, wanita paruh baya itu tidak bisa melawan kehendak suaminya. Sedangkan Arsel hanya mengintip di balik celah dinding dapur, ia tidak berani menghampiri mereka, walaupun sebenarnya ia merasa kasihan dengan sang kakak yang harus selalu menuruti perintah Daddy mereka.

"Sudah Bella, turuti perkataan Daddymu. Daddy melakukan semua ini demi kebahagiaanmu," tegur Miranda saat sudah berada di samping Thomas, sampai kapan pun Miranda memang selalu menuruti suaminya. Apapun keputusan Thomas adalah mutlak sehingga selama ini ia hanya diam saja tanpa membantu putrinya.

"Ck, semua ini bukan demi diriku tapi demi kebahagiaan kalian, demi kejayaan keluarga Walker, bukan?!" Lagi-lagi Bella mencibir. Ya, yang mereka pikirkan hanya kejayaan dan kekayaan keluarga Walker sehingga mereka berniat menjodohkan Bella agar keluarga Walker semakin berada di puncak.

Saat mendengar perkataan yang dilontarkan oleh Bella, amarah Thomas semakin memuncak, matanya sudah merah padam, ia tak habis pikir jika putrinya berani melawan dirinya demi pria miskin itu.

"Kau berani melawan Daddy demi pria miskin itu... kau...." Sebelum Thomas melanjutkan ucapannya, ia merasakan sakit di bagian dadanya, dan seketika Daddy Thomas jatuh tak sadarkan diri.

"Sayang?!!" teriak Miranda terkejut melihat suaminya yang tiba-tiba tak sadarkan diri. Dengan perlahan menopang tubuh suaminya di atas pangkuannya.

Bella pun terkejut menyaksikan Daddy-nya yang tiba-tiba tidak sadarkan diri, ia melemparkan kopernya yang sedari tadi ia pegangi, lalu segera menghampiri Daddy-nya.

"Da-Daddy...." lirihnya. Biar bagaimanapun Bella tidak ingin terjadi sesuatu dengan Daddy-nya.

"Cepat panggilkan Paman Albert, kita bawa Daddy ke rumah sakit." Raut wajah Miranda begitu panik dan gelisah, tangan serta tubuhnya bahkan gemetar hebat.

"Biar aku saja yang memanggil Paman Albert." Entah sejak kapan Arsel sudah berada di belakang mereka. Tanpa menunggu jawaban Bella dan Miranda, pemuda itu segera memanggil Paman Albert yang berada tepat di halaman belakang Mansion.

Tidak berselang lama, Arsel terlihat berjalan tergesa-gesa bersama Paman Albert. Dengan sigap Paman Albert memapah tubuh tuannya dan segera memasuki halaman Mansion yang sudah terparkir mobil di sana. Mereka pun segera memasuki mobil dan melaju menuju rumah sakit.

***

Setibanya di rumah sakit. Di depan ruangan ICU, Bella tidak hentinya berjalan kesana-kemari mencemaskan kondisi Sang Daddy di dalam sana. Selama hampir satu jam akhirnya dokter dan perawat yang menangani Daddy Thomas keluar dari ruangan ICU, dokter tersebut mengabarkan jika kondisi Thomas sudah melewati masa kritisnya dan hanya perlu menunggu untuk sadarkan diri. Daddy Thomas pun akan segera dipindahkan ke ruang perawatan. Ada kelegaan yang Bella rasakan mendengar bahwa Daddy-nya sudah baik-baik saja.

Selama menunggu hampir 30 menit lamanya, akhirnya Daddy Thomas telah sadarkan diri. Saat membuka matanya yang ia cari pertama kali adalah Bella.

"Bella..." panggilnya dengan lirih.

"Iya, ini Bella Dad." Bella segera mendekati sisi ranjang rumah sakit. Lalu menggenggam tangan Daddy-nya.

"Tolong, kau turuti permintaan Daddy untuk bertunangan dengan Bryan." Dengan lirih, Daddy Thomas kembali mengajukan permintaannya. Dengan menahan rasa sakit pada bagian dadanya, ia menatap putrinya dengan penuh harap.

"Tapi Dad... aku...."

"Sudah Bella, kau harus menuruti Daddy-mu. Apa kau ingin terjadi sesuatu lagi dengan Daddy-mu?" Tiba-tiba saja Miranda menyela perkataan putrinya. Ia tidak ingin terjadi sesuatu kepada suaminya jika Bella tetap keras kepala menolak perjodohan tersebut.

Sejenak diam. Pilihan tersulit untuk Bella. Baik Daddy serta kekasihnya sangat berarti untuknya. "Baiklah, jika itu keinginan kalian," putusnya pada akhirnya.

Bella tidak memiliki pilihan lain lagi, pilihan yang pasti akan menyakiti hati pria baik seperti Eden. Di satu sisi ia sangat mencintai kekasihnya dan di sisi lain ia tidak ingin terjadi sesuatu kepada Daddy-nya. Dirinya bukan putri yang jahat menginginkan kematian Daddy-nya itu.

Mendengar jawaban Bella, Daddy Thomas dan Mommy Miranda tersenyum senang karena akhirnya putri mereka menerima perjodohannya. Namun berbeda dengan Bella yang menatap mereka dengan sendu. Tidak terdapat aura kebahagiaan yang terpancar di raut wajah cantik wanita itu. Arsel yang menyadari kesedihan di raut wajah sang kakak hanya bisa mengusap lembut bahu kakaknya. Bella hanya tersenyum tipis, sebelum kemudian ia beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan ruang perawatan. Arsel menatap kepergian sang kakak dengan sendu.

"Kau pasti sangat sedih, Kak," batinnya.

Bella berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan air mata yang sudah mengalir deras, kemudian ia membenamkan tubuhnya di kursi besi yang berada di sudut lorong, ia terisak di sana. Akhirnya perjuangan cintanya harus berakhir sampai di sini.

"Maafkan aku Ed... Maaf, harus menyakiti hatimu," gumamnya menyentuh dadanya yang teramat begitu sesak.

To be continue

...Like, vote, follow, fav, hadiah dan komentar kalian 💕 Terima kasih banyak dukungan dan komentar positif kalian 💜...

...Always be happy 🌷...

...Instagram : @rantyyoona...

Waktu Tetap Berjalan Semestinya

Lima tahun kemudian

Kota New York, waktu setempat

Waktu tetap berjalan semestinya. Seorang wanita berparas cantik yang beberapa tahun silam hidup bergelimang harta, kini bekerja sebagai pelayan di HAM Restaurant (Hug A Mug Restaurant). Kepribadian yang dewasa, tidak manja dan mandiri itu tidak membuat Bella pantang menyerah. Ia giat bekerja demi menyambung hidup dirinya, Mommy serta adiknya Arsel. Berulang kali Arsel membujuknya untuk diperbolehkan bekerja, akan tetapi Bella menolaknya dengan tegas, wanita itu berpesan agar Arsel hanya fokus berkuliah. Menyerahkan tanggung jawab mencari uang kepada dirinya karena ia sanggup.

Empat tahun tahun yang lalu, takdir telah menjungkirbalikkan dirinya. Ia harus kehilangan harta, perusahaan dan bahkan ayahnya. Pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangannya Bryan beserta keluarga pria itu membuat Daddy Thomas terpukul, sehingga pada akhirnya terkena serangan jantung dan tidak terselamatkan. Bella harus memulai kehidupannya dari nol bersama dengan Mommy Miranda dan Arsel. Ia berusaha untuk tidak mengeluh dan menjadi kekuatan untuk keduanya.

"Ara...." Seorang wanita satu profesi dengannya menepuk bahu Bella. Sontak Bella menghentikan aktivitasnya yang sedang membersihkan meja.

"Ada apa, Ly?" Wanita itu adalah Lily, sahabat baiknya di Restoran ia bekerja. Ia beruntung karena dikelilingi orang-orang baik di restoran tersebut.

"Ck, kau ini. Sejak tadi aku memanggilmu tapi kau tidak mendengarku." Lily mencebikkan bibirnya, berpura-pura kesal pada sahabatnya itu.

"Maaf, aku tidak mendengarmu." Bella tersenyum, memamerkan deretan gigi putihnya.

"Masih pagi, kenapa kau melamun?" Bukan pertama kalinya, Lily memergoki sahabatnya itu tercenung. Bahkan terkadang saat waktu makan siang, Bella hanya mengaduk-aduk makanannya saja.

"Tidak ada, aku hanya merindukan Daddy." Selalu saja alasan itu yang Bella jadikan alasan. Entahlah, hati Bella terasa kosong. Terkadang ingatan akan kejadian lima tahun menghanyutkan dirinya hingga larut pada alam bawah sadarnya. Sekeras apapun ia melupakan pria itu, maka sekeras itu pula bayangkan sosok pria itu selalu menghantui dirinya.

"Ehm, apa kau ingin aku menemanimu ke makam Paman?"

Dengan cepat Bella menggeleng. "Tidak perlu, dua hari yang lalu aku baru saja mengunjungi makam Daddy bersama dengan Mommy dan Arsel."

Lily mengangguk, mendengar nama Arsel ia menjadi ingat sesuatu. "Bagaimana kabar Arsel, Ra? Pasti dia semakin tampan. Benar-benar pria idaman." Pertama kali melihat Arsel, Lily begitu memuja pemuda berparas tampan itu. Bella begitu cantik tidak heran jika adiknya juga memilki wajah yang tampan.

"Kau ini, kenapa selalu menanyakan kabar Arsel. Bukankah kemarin kau sudah menanyakan kabarnya?"

Lily terkekeh, mengusap tengkuk lehernya. "Itu kemarin Ara sayang, hari ini aku belum menanyakan kabanya." Kebiasaan yang tidak mungkin wanita itu lupa adalah menanyakan kabar Arsel. Entahlah, ia hanya mengagumi sosok pemuda yang tampan itu.

Bella hanya menggeleng heran akan sifat sahabatnya itu. Akan tetapi Bella justru senang dengan sikap Lily yang selalu terang-terangan padanya.

"Kalian sedang membicarakan apa?" Percakapan dua wanita itu sejenak terhenti ketika kedatangan sosok pria tampan dan gagah. Pria itu kini berdiri di antara Bella serta Lily.

"Hai Bos Sam," sapa Lily. "Ini urusan wanita Bos, pria dilarang mendengar. Benar bukan Ara?"

"Iya, benar sekali." Bella terkekeh.

"Kalian ini. Seharusnya pagi-pagi kalian sudah mulai bekerja, ini justru bergosip." Samuel menyilangkan tangan di depan dada, berpura-pura marah. Pemandangan seperti ini bukan pertama kalinya ia lihat.

"Jangan salahkan aku Sam, Lily menggangguku yang sedang membersihkan meja." Bella selalu memanggil Samuel dengan Sam, pria itu menolak dirinya memanggil Bos seperti Lily dan meminta untuk memanggilnya Sam saja. Bella hanya mengiyakan saja mengingat Samuel sangat keras kepala.

"Astaga Ara, kau menumbalkan diriku!" Lily menepuk kening Arabella lantaran gemas.

"Jangan memukulnya, Ly." Tentu Samuel menjadi pihak yang selalu membela Bella, dan tidak membiarkan wanita itu ditindas.

Lily berkacak pinggang, menatap tajam Samuel. "Wah, ini tidak bisa dibiarkan. Bos Sam selalu membela dan melindungi Ara." Arabella yang tidak enak mendengar perkataan Lily, menyenggol lengan sahabatnya itu.

"Tidak hanya Ara saja, Lily. Bahkan aku melindungi semua para karyawanku." Samuel mengoreksi perkataan Lily, tentu ia tidak ingin siapapun menanggapi sikapnya yang terlewat baik dan perhatian terhadap Bella.

"Benar sekali. Kau saja yang terlalu berlebihan," serunya pada Lily.

"Kau....." Lily memelototi Bella dan begitupun Bella tidak ingin kalah.

Melihat pertemanan Bella dengan Lily selalu menjadi hiburan untuk Samuel. Pria itu terkekeh. "Kalian ini setiap hari seperti Tom and Jerry."

Perdebatan mereka terhenti ketika Samuel menyebutkan mereka sebagai Tom and Jerry, tentu saja mereka tidak menyukainya. Mereka lebih menyukai disamakan dengan Nobita dan Doraemon, saling membantu dan melindungi

"Bagaimana kabar Bibi Miranda dan Arsel?" Samuel bertanya ketika mereka sempat saling diam. Sudah cukup lama ia tidak berkunjung menemui Bibi Miranda dan Arsel karena kesibukannya.

"Mereka baik-baik saja. Kau bisa berkunjung kapan saja Sam," jawabnya.

"Hem, jika jadwalku tidak padat aku akan berkunjung." Samuel tersenyum, senyuman yang selalu ia tunjukkan kepada siapa saja karena ia adalah pria yang ramah. Akan tetapi senyum yang ia sematkan untuk Bella selalu terlihat lain di mata Lily, wanita itu bisa melihat terdapat cinta di dalamnya untuk sahabatnya itu.

Bella dan Samuel sudah saling mengenal lama sejak di Universitas. Entah alasan apa, tiba-tiba saja pria itu menghilang dan mereka dipertemukan kembali setelah sekian lama. Pria itu juga yang memberinya pekerjaan disaat perekonomiannya sedang terpuruk. Tentu Bella sangat berterima kasih dan mengizinkan Samuel datang berkunjung ke rumahnya kapanpun, sehingga kini keluarganya dengan Samuel cukup dekat.

***

Sementara di Kota yang sama, tepatnya di dalam gedung yang menjulang tinggi. Perusahaan Anderson Company di pimpin oleh seorang CEO berparas tampan, gagah, memiliki rahang tegas yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Eden Kennard Anderson, diusianya yang terbilang muda sudah mampu mendirikan kembali perusahaan yang nyaris gulung tikar lima tahun lalu.

Eden benar-benar membuktikan tekad dan ambisinya untuk menjadi pria yang sukses di usia muda. Kini ia memiliki perusahaan dan juga menjadi pewaris satu-satunya keluarga Anderson. Usianya sudah menginjak 28 tahun, Perusahaan Anderson Company sudah memiliki 2 cabang di berbagai negara.

Siapa yang menduga jika dirinya masih memiliki seorang kakek. Dan perusahaan yang nyaris gulung tikar itu kembali berdiri kokoh karena kerja kerasnya. Eden menjabat sebagai CEO. Dan ketika menikah tentunya perusahaan itu akan menjadi miliknya seutuhnya. Pria itu disegani, dihormati, di idam-idamkan. Menjadi salah satu kriteria yang diinginkan kaum wanita. Namun karena masa lalunya, Eden sedikit tidak tersentuh. Ia berubah menjadi sosok yang dingin meskipun ia memiliki seorang kekasih yang dijodohkan dengannya. Wanita itu sangat cantik, seorang model ternama yang cukup terkenal di berbagai manca negara. Sehingga tidak ada salahnya Eden menerima Catherine Wilson.

Pagi ini Eden baru saja turun dari mobil mewahnya diikuti oleh Kevin Nicholas, asisten pribadi sekaligus sahabatnya. Dimana pun Eden melangkah, maka sudah pasti Kevin akan selalu bersamanya.

Begitu memasuki Lobby, seperti biasa Eden Kennard Anderson selalu menjadi pusat perhatian. Bisik-bisik dari para karyawan wanita sudah biasa ia dengar, berbagai pujian sudah sering kali ia dapatkan. Memang semua itu tidak luput dari kerja kerasnya hingga sampai ke puncak kejayaan.

Langkah tegasnya menuntun tubuh Eden menuju ruangannya yang berada di lantai 40. Begitu tiba di dalam ruangan, Eden segera membenamkan tubuhnya di kursi kebesarannya. Kevin, sang asisten berdiri tegak dan sudah siap untuk memberikan agenda hari ini.

"Apa saja jadwalku hari ini, Vin?" tanya Eden menangkupkan kedua tangannya, disertai kedua sikunya bertumpu pada pegangan kursi di sisi kanan dan kirinya.

"Tidak terlalu urgent Ed, hanya rapat tahunan seperti biasa." Jika sedang bekerja, maka Kevin akan bersikap profesional, meskipun keduanya adalah teman. Tetapi Kevin pun tidak pernah sungkan disaat sedang bekerja maupun diluar jam kerja, pria itu akan memperlakukan Eden sebagai mana mereka dekat selama ini.

Eden mengangguk. "Kalau begitu kau saja yang wakilkan. Aku ingin mendinginkan kepalaku." Sejenak Eden memijat pelipisnya yang terasa penat.

Kening Kevin mengernyit, ia sudah merasakan sejak pagi tadi jika ada sesuatu yang mengganggu pikiran atasan sekaligus sahabatnya itu. "Apa terjadi sesuatu dengan Tuan Besar?" Sejauh ini yang mampu membuat atasannya terlihat frustasi hanya Tuan Besar Aldrick yang merupakan Kakek dari Eden.

"Kakek baik-baik saja, hanya saja dia ingin mempercepat pertunanganku dengan Catherine." Mungkin jika menyangkut pekerjaaan yang menumpuk Eden tidak akan frustasi seperti ini.

"Bukankah itu adalah kabar yang membahagiakan?" Tentu saja perkataan Kevin mendapatkan tatapan tajam dari Eden. "Hehe sorry," katanya. Nyaris saja ia kehilangan pekerjaan karena kelepasan bicara. Kevin tahu benar, jika Eden menjalani hubungan dengan Catherine hanya setengah hati, itu yang ia lihat dari sudut pandangnya.

"Kalau begitu kau yang harus menggantikanku bertunangan." Eden tersenyum penuh arti.

"Tidak, terima kasih." Tentu Kevin mengetahui arti tatapan Eden. Ia tidak ingin Eden melakukan sesuatu yang gila.

"Lalu apa gunanya kau menjadi asistenku?!" Eden mendengus kesal. Berharap ada jalan keluarnya, meskipun ia tidak menampik jika awalnya ia tertarik akan kecantikan Catherine, akan tetapi sikap manja wanita itu terkadang membuatnya jengah.

"Untuk menemani Bosku bekerja. Bukan untuk menggantikannya bertunangan, apalagi menikah." Jawaban yang membuat Eden semakin menatap tajam, tetapi Kevin hanya tersenyum seolah tidak takut. Padahal di dalam hati ia cemas jika Eden memotong gajinya seperti bulan lalu hanya karena ia telah salah berbicara.

"Gajimu bulan ini akan kembali di potong," ujarnya tidak terbantahkan.

"Sudah ku duga," ucap Kevin dalam hati. "Ya, baiklah." Dan Kevin hanya bisa pasrah, ia tidak ingin kembali salah berbicara.

Ceklek

"Honey?"

Eden menghembuskan napas dengan kasar. Baru saja dibicarakan dan kini kekasihnya itu sudah berada di depan matanya. Kevin hanya mengulum senyum. Sebenarnya ia juga jengah jika berada satu ruangan bersama dengan Catherine.

To be continue

...Like, vote, follow, fav, hadiah dan komentar kalian 💕 Terima kasih banyak dukungan dan komentar positif kalian 💜...

...Always be happy 🌷...

...Instagram : @rantyyoona...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!