DOOR!!!
Suara tembakan itu membuat ketakutan seorang anak kecil bersama ibunya semakin menjadi.
Kala itu tengah malam, Daren dia masih anak-anak. Tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi di luar sana. Yang dia lihat, hanya ibunya yang menangis. Sementara ayahnya, ayahnya itu sibuk mencarikan tempat persembunyian yang aman buat mereka.
"Ayo cepat Daren! Kalau kau tidak sembunyi, ayah tidak akan tahu bagaimana kamu bisa selamat nanti!" teriak ayahnya sambil menyeret istrinya.
Anak kecil itu, dia hanya berpegangan tangan ibunya tanpa tahu hal apa yang terjadi pada mereka saat ini.
"Daren, kau diam di sini. Apapun yang terjadi, kau jangan pernah keluar. Ayah minta, jaga ibumu!" kata ayahnya sambil mengusap pipi Daren dan juga pipi istrinya. Dan itu adalah sentuhan terakhir kalinya sebelum mereka semua berpisah.
...****************...
Di tempat yang berbeda. Seorang tentara harus rela meninggalkan istrinya yang tengah hamil tua. Sebenarnya dia tidak ingin, tapi ini adalah tugas. Jadi mau tidak mau, dia harus siap meninggalkan istrinya, Shela namanya.
"Mas Jagat, kamu harus cepat pulang. Aku dan calon anak kita masih butuh kamu," kata Shela kala itu.
Jagat hanya memberikan senyuman penuh arti. "Ini sudah tugasku sayang. Kalau tidak pulang, berarti tugasku sudah sampai di sini. Kamu jangan takut ya, mas Jagat pastikan untuk berusaha melakukan yang terbaik."
Setelah acara perpisahan, Shela harus rela ditinggalkan oleh sang suami. Tugas suaminya saat ini adalah membantu polisi untuk menangkap komplotan mafia kelas kakap yang sudah merajalela sampai ke Asia. Jadi tugasnya sangat tidak mudah. Kemungkinan besar adalah nyawa sebagai taruhannya.
...****************...
Pagi hari setelah semua tugas siap dijalankan. Jagat sudah sampai di tempat pertempuran. Lawannya bukan main liciknya. Di tempat persembunyian para mafia itu, Jagat dan kawan-kawan menemukan minuman alkohol terlarang dan obat-obatan terlarang yang sudah dikemas. Mungkin akan dikirim ke tempat tujuan mereka.
Saat Jagat mencari kawanan komplotan mafia itu. Satupun batang hidungnya belum ketemu.
"Jagat! Seorang anak mafia sedang sembunyi di bawah tanah," ucap atasan Jagat memberitahu.
Jagat siap mencari anak yang dimaksudkan itu. Gawat kalau anak itu besarnya mengikuti jejak orang tuanya. Lebih baik Jagat amankan lebih dulu.
Sesampainya di tempat. Ternyata mencari ruangan bawah tanah itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Rintangan dan halangan. Sampai Jagat sendiri tak habis pikir, anak 7 tahun itu bisa melewati jalan rusak penuh semak belukar seperti ini. Jagat saja yang sudah pakai pengamanan saja, rasanya seperti mengenai kulit tubuhnya. Apalagi kalau tanpa pengamanan?
Saat Jagat berjalan mengendap-endap. Dia melihat bayangan seseorang bertubuh besar hendak lari dari sana.
"Siapa di sana!" teriaknya. Dan sepertinya bayangan seseorang itu tak menggubrisnya.
Jagat akhirnya mengejar dan terus mengejar. Acara kejar-kejaran itu berlangsung cukup lama. Hingga Jagat berhasil menangkap kerah baju orang yang berotot kekar ini.
Belum sempat Jagat melihat wajah si penjahat ini. Si penjahat lebih dulu menyikut perutnya.
DUAKH!!
"Ah!" teriak Jagat kaget.
Jagat belum kalah hanya disikut saja. Jagat segera berdiri dan mengejarnya lagi. Hingga kedua insan itu saling berhadapan.
"Menyerahlah. Maka kau akan aman di penjara," ucap Jagat. Dan disusul beberapa petugas kepolisian di belakangnya.
Tapi rupanya si mafia tadi tidak punya rasa takut. "Kalian butuh uang berapa? Aku akan memberikannya sesuai yang kalian mau. Tapi bebaskan aku," katanya dengan enteng.
"Tidak semua masalah itu dibayar dengan uang, Bung! Kau sudah menyelundupkan barang ilegal di negara ini, dan itu urusannya adalah hukum!" jawab Jagat tanpa rasa takut. Selama dia membela kebenaran, secuil pun dia tak pernah merasa takut.
"Si*l!" Si mafia tadi menendang tangan Jagat yang masih bertengger di pundaknya.
"Argh!!" Jagat sempat mundur beberapa langkah, dan itu memberikan ruang si mafia tadi untuk lari.
DOOR!!!
Tembakan demi tembakan terus dilayangkan ke udara dan beberapa timah panas itu dilayangkan ke kaki si mafia. Namun sayang, ketua mafia tadi sangat pintar menyelamatkan diri.
"Biar aku yang menembaknya," kata Jagat sambil mengeluarkan pistol dari kantong ikat pinggangnya.
...****************...
Sementara itu, Shela sudah dibawa ke rumah sakit terdekat. Dari siang tadi dia mengalami pendarahan dan mengharuskan Shela untuk melakukan operasi.
"Dok! Tolong selamatkan bayiku," katanya sambil menangis. Ini anak pertama yang diinginkan Jagat. Jadi Shela berharap, dengan lahirnya bayi ini, Jagat juga berhasil dalam menjalankan tugasnya. Lalu mereka akan hidup bersama tanpa harus berjauhan. Karena saat ini Shela masih stay di rumah orang tuanya. Rencananya, setelah mereka punya anak sendiri. Jagat akan membawa Shela dan anaknya tinggal di rumah dinas.
Senja itu, terlahir seorang bayi perempuan. Bunyi tangisan bayi itu bertepatan dengan bunyi peluru yang ditembakkan tepat di dada seorang mafia dan juga Jagat.
DOOR!! DOOR!!
Bunyi tembakan itu tiada hentinya. Saat seorang polisi berhasil menghunuskan peluru itu tepat di jantung ketua mafia tadi. Di tempat yang berbeda, ayah Daren juga melepaskan pelurunya tepat di dada Jagat. Padahal Jagat baru saja ingin menyalakan pelatuknya. Dia tersentak dan melihat ke arah seseorang yang tak bukan adalah ayah Daren.
Untung Jagat masih kuat. Jagat si ahli penembak langsung menarik pelatuknya hingga tiba-tiba tangannya lemas. Pistol itu jatuh di tanah.
'Maafkan aku istriku, anakku,' batin Jagat yang kini tersungkur di tanah bersamaan dengan jatuhnya ayah Daren.
"Ayah!" panggil Daren saat dia melihat ayahnya terjatuh. Daren melihat persis siapa orang yang telah membunuh ayahnya tadi.
"Balaskan dendam ayah, Daren!" teriak ayahnya di ujung maut.
Anak itu otaknya langsung paham. Senja ini adalah kematian dari ayahnya. Suatu saat dia akan tumbuh dewasa dan membalaskan dendam ayahnya.
...****************...
"Oeeeeek! Oeeeek!"
"Ah, syukurlah. Bayiku selamat," kata Shela lega. Di saat dia keluar ruang operasi. Ponselnya berdering hebat.
"Ponselmu dari tadi bunyi terus Shel," kata ibunya.
"Siapa Bu?" tanyanya.
Ibunya menggelengkan kepalanya karena tidak tahu. Ibunya tidak selancang itu pada ponsel milik anaknya.
"Sepertinya teman suamimu," jawabnya.
"Biar Shela angkat," jawab Shela dan langsung mengeser tombol hijau.
"Halo!!"
Tadinya wajah itu terlihat sumringah. Tiba-tiba raut wajahnya berubah tanda ketidak percayaan.
"APA!!!" teriaknya kaget.
"Tidak! Tidak mungkin! Suamiku tidak mungkin mati, huuu uhuuuu." Tangis Shela pecah seketika.
Bahkan ibunya Shela juga kaget setengah mati. Hingga suasana kegembiraan tadi berubah menjadi suasana duka.
Setelah Shela lega, dia menatap bayinya dengan tidak semangat. "Semua gara-gara kamu, ayahmu meninggal," ucapnya dan kembali menoleh ke samping.
"Tidak boleh seperti itu Shel. Apapun juga dia anakmu. Dia tidak tahu menahu atas kematian ayahnya." Ibunya mendekat ke arah bayi kecil itu.
"Dia begitu cantik. Rencananya kamu kasih nama siapa?" tanya ibunya.
"Rencananya mas Jagat, dia mau memberikan nama Selita. Singkatan dari nama kami."
"Ya sudah itu saja," serbu ibunya Shela.
"Jangan. Kasih saja nama itu Senja. Sesuai waktu dia lahir dan kematian ayahnya. Lagian nama Senja juga sempat dipilih mas Jagat untuknya," kata Shela kemudian.
'Senja, anak itu harus membayar kematian ayahnya dengan apapun,' batin Shela yang ternyata juga menyimpan dendam atas kematian suaminya saat berperang melawan mafia.
Bersambung...
Jangan lupa mampir di novel ini ya...
1 tahun kemudian.
"Setahun ini kita berpisah mas, tapi di hatiku tetap tersimpan dendam atas kematianmu. Aku bersumpah, demi kebahagiaanmu di sana... aku akan membalaskan kematian ini. Aku akan mencari penerus mereka, sampai kapanpun. Meskipun nyawa anak kita taruhannya," ucap Shela sambil melirik Senja yang kini tengah berada di gendongannya.
"Dengar Senja, karena hari lahirmu adalah hari kematian ayahmu... sampai kapanpun ibu tak akan pernah merayakan ulang tahunmu. Kecuali kamu membalaskan dendam atas kematian ayahmu. Nyawa harus dibalas dengan nyawa!"
DUARrrrrrr!!!
Ucapan Shela barusan mendapatkan jawaban dari langit. Geledek berbunyi begitu nyaring. Padahal mendung masih abu-abu, belum berwarna hitam. Tapi alam sepertinya ikut murka atas ucapan yang Shela lontarkan.
Di tempat yang sama. Di pemakaman umum itu, seorang anak laki-laki menatap penuh arti ke arah Shela dan bayinya. Mata teduh menyimpan penuh dendam. Entah apa yang dipikirkannya. Setelah ayahnya meninggal karena tembakan satu tahun yang lalu. Kini ibunya juga menyusulnya. Nasibnya begitu malang. Ternyata selain ayahnya seorang mafia, ibunya juga ikut terlibat memperjualbelikan barang-barang yang dilarang oleh negara. Dan sekarang ibunya juga tewas di tangan tentara.
Anak kecil 8 tahun itu sekarang hidup diasuh oleh anak buah dari ayahnya. Dari kecil dia hidup dalam kerasnya dunia mafia. Jadi meskipun sekarang dia tidak sekolah, Daren sangat tahu bagaimana caranya menyelundupkan barang haram seperti halnya narkoba dan sebagainya.
"Tunggu aku dewasa nanti, aku akan membalaskan kematian ayah dan ibuku," ucap Daren dan membalikkan tubuhnya meninggalkan Shela dan Senja.
...****************...
15 tahun kemudian.
"Hidup kita ini di bawah perlindungan hukum. Kalau kau di sekolah jadi penakut seperti ini, mau jadi apa kamu? Kamu itu perempuan Senja. Sudah capek ibu memperingatkan kamu. Jadilah wanita yang tegar, tegas dan berani. Cuma dilempari sampah aja kamu sudah nangis kayak gini. Udah berkali-kali ibu bilang, kalau kamu gak salah, ya lawan. Capek ibu ngomong sama kamu, gak pernah dengerin ucapan orang tua," ucap Shela memarahi Senja di depan sekolahnya.
Inilah Senja, yang selalu dibenci oleh ibunya sendiri. Padahal selama ini Senja selalu menurut sama ibunya, sampai-sampai dia dikucilkan dari masyarakat hanya karena ibunya membenci dirinya.
Akibat ulah Shela yang sering memarahi Senja di manapun tempatnya, orang-orang jadi meremehkan Senja. Senja benar-benar seperti sampah. Makanya teman-temannya tak segan-segan melempari sampah setiap kali Senja datang ke sekolah.
Tak jauh dari sana, seseorang telah melihatnya dengan senyuman penuh arti. Dia adalah Daren. Laki-laki 23 tahun itu kini sudah menjadi ketua mafia. Masih dibilang sangat muda untuk menjadi seorang penjahat. Tapi otak Daren yang kelewat licik dan cerdas itu mampu mengatasi masalah yang ia timbulkan. Hanya saja, hidupnya tak bisa bebas lagi. Semua orang kepolisian dan anggota TNI masih mengawasi keberadaannya. Jadi kalau mau berbuat sesuatu, Daren harus berhati-hati.
Di saat Senja menangis di samping gerbang sekolah, Daren yang tengah menyamar itu berpura-pura lewat di depannya.
'Ternyata inilah anak dari musuh ayahku. Welcome Senja, sebentar lagi aku akan mencabut nyawamu,' batin Daren sambil melirik ke arah Senja.
Senja yang sadar akan intaian seseorang langsung balik menatap orang tersebut.
Tatapan sendu Senja membuat Daren memalingkan muka. Daren buru-buru menjauh tanpa perduli dengan keadaan Senja.
"Sial. Kenapa yang ku temui seorang gadis cengeng?" gerutu Daren sambil membuang masker wajahnya.
Selama ini dia mengawasi Senja dari kejauhan. Tak habis pikir, setelah di depan matanya. Sosok Senja itu seperti gadis yang tertindas.
'Seburuk itukah nasib Senja?'
...****************...
"Usiamu sudah 16 tahun Senja. Saatnya kamu balas dendam atas kematian ayahmu!" ucap Shela dengan penuh emosi.
Diam-diam Shela juga ikut dalam mengawasi Daren si anak mafia yang telah membunuh suaminya. Sejauh ini tidak ada masalah. Karena yang mereka tahu, anak mafia ini bersikap seperti orang-orang pada umumnya. Jadi siapa sangka, kalau Daren juga terlibat dengan penyelundupan barang-barang haram selama ini.
"Bagaimana aku harus balas dendam, Bu?" Senja, dia sangat lemah. Fisik dan psikologisnya sudah tertekan akan amarah Shela. Sampai dia tidak punya tujuan hidup selain menuruti semua keinginan ibunya.
"Kuatkan mentalmu dulu! Sudah berapa kali ibu bilang, kuatkan mentalmu. Jangan cengeng. Karena lawan kita bukanlah orang sembarangan!"
Shela berucap sambil melemparkan beberapa benda balok ke arah Senja. Dengan sedikit kesusahan, Senja berusaha menangkapnya meskipun sesekali dia gagal menangkap benda balok tersebut. Kegiatan itu dilakukan berulang-ulang. Sampai mental Senja terlatih sungguh-sungguh agar tidak lemah seperti sebelumnya.
...****************...
Beberapa bulan kemudian.
Amarah Shela sedikit sirna. Kini Senja yang dulu mulai berubah. Kalau soal watak, sebenarnya watak Senja tak akan pernah bisa dirubah. Senja tetaplah Senja yang selalu rapuh di saat dia sendirian. Dia bersikap tegas dan keras hanya di depan orang lain saja. Sungguh kalau bisa memilih, lebih baik Senja memilih tidak dilahirkan saja. Dari pada dilahirkan namun dihantui untuk balas dendam dengan orang yang Senja sendiri belum tahu sosoknya itu seperti apa.
"Huh! Hah!"
Suara Senja naik turun. Saat ini sedang olahraga angkat besi. Kata ibunya, biar tangannya kuat saat ada lawan yang menyerang. Apapun itu, asal perintah dari Shela akan Senja lakukan. Senja seperti ini hanya ingin agar Shela melihatnya sebagai anak. Bukan bayang-bayang atas kematian ayahnya.
'Ini demimu ibu. Dan juga kematian ayah,' batin Senja sambil mengingat foto ayahnya yang terpajang di setiap sudut ruangan rumahnya. Foto Senja? Ibunya itu tak pernah mau memajang fotonya. Semua kenangan tentang Senja tidak pernah ada di dalam lubuk hati Shela.
Dendam itu, tiba-tiba membara di hati Senja. Semua memang sudah tertanam sejak dia baru lahir. Hanya saja, Senja tak bisa melampiaskan emosinya.
"Akan aku balaskan dendamku pada kamu yang telah membunuh ayahku!" ucap Senja sambil melemparkan besi dari tangannya.
Di tempat yang berbeda. Daren juga tengah melatih ilmu bela dirinya. Entah buat siapa itu, yang jelas dendam Daren begitu membara. Setiap kali mengingat suara tembakan itu, yang ada di pikiran Daren hanyalah ingin menghabisi nyawa Shela dan Senja.
"Akan aku habisi mereka berdua dengan tanganku sendiri," gumam Daren sambil memukuli samsak seperti orang yang kesetanan.
"Tunggu tanggal mainnya. Kali ini aku masih membiarkan kalian bernafas lega, karena kalian itu pecundang. Mengandalkan keamanan dari mata-mata polisi." Daren berbicara sendirian di sana. Tak ada teman atau sahabat. Meskipun dunianya hitam, tapi sesungguhnya Daren sangatlah kesepian.
Bersambung...
...****************...
Suara derap langkah kaki terdengar begitu merdu dijalanan. Senja, dia baru keluar dari area sekolah. Semenjak dia melatih mentalnya, dia sudah jarang mendapat bully-an lagi.
Tapi lihatlah dia, hidupnya tak pernah bisa bebas. Di mana-mana selalu ada seorang polisi yang menyamar menjadi orang biasa di belakangnya.
Sebenarnya Senja masih kurang mengerti. Mengapa sampai segitunya polisi mengawasinya? Apakah anak mafia yang dimaksud ibunya ada di sekitarnya?
Malas berpikir yang tidak-tidak. Akhirnya Senja memilih menghindar dan pergi ke makam ayahnya.
"Ayah," panggilnya sambil duduk menatap batu Nisan yang bernamakan Jagat, meninggal tepat di mana Senja dilahirkan.
"Kenapa nasib kita seperti ini ayah? Kenapa ibu membenciku? Apakah lahirku dan kematianmu adalah kesalahan?"
Air mata itu tiba-tiba jatuh menetes di atas pusara sang ayah. Tak ada jawaban apapun atas pertanyaan Senja. Dia segera berdiri. Waktu sudah hampir sore, dan sebentar lagi waktu senja akan tiba. Jika dia tak segera sampai rumah, ibunya pasti akan memarahinya.
"Aku harus cepat!" ucapnya buru-buru.
Tak cukup dengan berjalan cepat. Akhirnya Senja putuskan untuk berlari saja.
BRUKK!!!
"Auh! Bokongku!" teriak Senja sambil meringis kesakitan.
Laki-laki yang ditabrak Senja hampir saja memakinya. Tapi laki-laki itu sadar, siapa gadis yang menabraknya saat ini.
"Lain kali jalan pakai mata!" teriaknya dan meninggalkan Senja dengan acuh.
"Setidaknya tolongin!" balas Senja tak kalah teriak.
Laki-laki itu adalah Daren. Sebenarnya dia sempat menoleh atas teriakan Senja. Tapi dia tidak punya banyak waktu untuk menolong anak dari musuh ayahnya.
Dengan acuh tak acuh Daren meninggalkan Senja. Dia terus berjalan dan menghilang di area pemakaman.
Senja menatapnya bingung. "Kayaknya aku tidak asing. Tapi ketemu di mana ya?" gumamnya. Sebab Daren mengenakan masker, jadi Senja tak ingat kalau dia pernah melihatnya beberapa waktu yang lalu.
Setelah mengumpulkan tenaganya, akhirnya Senja bisa berdiri sendiri. Hanya saja, pantatnya sedikit nyeri akibat berciuman dengan aspal. Sungguh Senja, dia begitu ceroboh.
"Ibu tak boleh tahu soal ini," gumamnya dan kembali berjalan cepat. Kali ini dia tidak lari, takut kalau ada korban yang ia tabrak selanjutnya.
...****************...
"Bodoh!" teriak Shela memarahi Senja.
Shela marah dan benci dengan waktu yang bernamakan senja. Di mana saat itu suaminya meninggal di saat dia melahirkan anak yang bahkan ia beri nama Senja.
"Sudah berapa kali ibu bilang, jangan pernah keluyuran sampai waktu senja. Tapi kau terus melanggarnya Senja. Jadi kali ini ibu tak akan memberikanmu makan sampai besok," kata Shela.
Dan ini adalah siksaan yang Senja terima entah yang ke berapa kalinya.
"Maafkan aku ibu," ucap Senja. Dia sudah tahu pasti, hal ini bakalan terjadi. Mau tidak mau, akhirnya Senja hanya bisa menurut saja.
Senja merebahkan diri di kamarnya. Rasanya dia sudah bosan hidup seperti ini. Kapan dia akan bahagia? Apakah dia harus membalaskan dendam ibunya sekarang? Biar ibunya menyayanginya?
Entah karena kecapaian atau karena mengantuk. Senja tertidur lebih awal dari biasanya.
Baru juga tidur beberapa waktu. Suara mengejutkan dari jendela kamarnya membangunkannya.
"Siapa di sana?" teriak Senja dengan waspada. Tak sengaja Senja menatap bayangan seseorang di balik jendela kamarnya yang belum sempat ia tutup.
Terlihat orang itu tengah melarikan diri. Dan Senja langsung berlari mengejarnya.
"Hei!!" teriak Senja tanpa takut.
'Sejak kapan tikus ini jadi pemberani seperti ini?' batin pengintai tadi yang tak bukan adalah Daren.
"Berhenti!!" teriak Senja yang kini sudah berada tepat di belakang Daren.
Daren masih tetap berdiri membelakangi Senja. Sebab dia terkejut dengan kedatangan 2 orang yang diduga adalah petugas kepolisian yang akan menjaga rumah Senja.
Tak ada waktu lagi, Daren langsung menghadap ke belakang dan membekap mulut Senja tanpa ampun. Beberapa kali Senja mencoba memberontak, tapi usahanya gagal. Dia kalah kuat dengan tenaga Daren yang lebih kuat darinya.
Sebelum 2 orang polisi itu melihatnya, Daren segera menarik Senja bersembunyi di belakang tembok yang tak jauh dari tempat mereka. Senja mengikuti alur dari Daren, jadi dia diam saja saat Daren mengajaknya bersembunyi.
"Diam! Jangan mengeluarkan suara apapun. Sekali kau berteriak, aku Pastikan nyawamu tak akan selamat!" ancam Daren sambil mengeluarkan pistol dari balik jaketnya.
Jelas Senja ketakutan, sebab dia merasa berhutang pada ibunya untuk membalaskan dendam ayahnya yang telah tiada.
"Kenapa kau mengajakku sembunyi? Apa kau takut dengan dua orang itu?" tanya Senja saat Daren melepaskan tangannya dari mulut Senja.
Pistol itu masih mengarah pada kepala Senja. Senja takut, dia hanya mengikuti ucapan si pria berjaket hitam ini. Bahkan maskernya pun tertutup.
Daren menatap Senja dengan intens. Di saat itulah Senja sadar siapa pria yang telah membekapnya.
"Kau!! Kau laki-laki yang sudah membuat pantatku kesakitan," pekik Senja dan Daren kembali membekap mulutnya.
"Aku bilang DIAM! Kau bisa diatur tidak sih?" kata Daren sedikit emosi.
"Tidak, bukan seperti itu." Dan Senja pun akhirnya terdiam. Entah kenapa, dia jadi menurut sama ucapan laki-laki yang tak ia kenal itu. Senja seperti ini karena dia penasaran. Siapa sebenarnya sosok pria di balik masker ini?
...****************...
"Dari mana saja kau? Jam segini baru keluar dari kamar," tanya Shela sambil menyiapkan makanan di meja makan.
Semalaman Senja terjebak bersama pria misterius. Dari sorot matanya menyimpan banyak dendam, tapi entah untuk siapa. Hingga tengah hampir tengah malam setelah situasi aman. Pria misterius itu meninggalkan Senja sendirian tanpa mengatakan apa-apa. Jadilah Senja bangun kesiangan.
Merasa bersalah dengan ibunya, Senja hanya bisa diam.
"Ini sarapanmu! Ibu mau ada tugas di kantor," ucap Shela yang kini sudah berdandan rapi. Setelah kematian Jagat, Shela mulai bekerja di kantor dinas perhubungan.
"Makasih Bu," balas Senja sambil duduk. Dia kelaparan, jadi tanpa menunggu waktu lama. Makanan itu langsung tertelan oleh mulutnya.
"Ibu!" panggil Senja saat melihat ibunya hendak pergi.
"Apalagi? Jangan banyak tingkah kalau kau tidak ingin aku marah," ucap Shela yang segera membalikkan kembali badannya.
Senja hanya bisa membuang nafasnya dengan berat. Ibunya benar-benar seperti orang lain baginya.
"Aku hanya ingin bilang, semalam ada seorang laki-laki menyelinap di rumah kita," katanya pelan. Meskipun dengan suara yang keraspun, Shela tak akan pernah bisa mendengarnya.
"Kalau aku punya teman seorang pria, apakah aku akan diijinkan?" gumam Senja di pagi itu.
"Kau bisa berteman dengan siapapun Senja, kenapa kau harus takut? Ini hidupmu, pasti ibumu juga mengijinkannya," jawab Senja pada dirinya sendiri.
Usai sarapan. Senja meninggalkan rumah dan berjalan kaki menuju sekolahnya.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!