“Ibu! Tolong bertahan. Devina akan bawa Ibu ke rumah sakit.” Tangis Devina ketakutan saat melihat wanita yang selama ini selalu bersamanya tiba-tiba terkulai lemas setelah batuk berdarah terlihat di tangannya.
“Ibu, maafkan Devina. Devina tidak mau bertengkar dengan Ibu. Tapi pria itu harus Devina tahu, Bu. Devina tidak mau dia lari tanggung jawab.”
Yah sebelumnya anak dan ibu itu bertengkar karena Zera, sang ibu bersikeras merahasiakan siapa pria yang telah menghamilinya dulu.
Zera kini sudah berusia 44 tahun, usianya yang tidak begitu tua seharusnya masih mampu berkerja. Namun, rasa sayang Devina padanya terlalu besar membuatnya tak boleh bekerja apa pun.
“Ibu bertahanlah. Devina akan cari taksi.” Wanita berparas cantik itu pun bergegas keluar rumah.
Rumah yang tidak megah namun cukup nyaman untuk di huni.
“Tidak, Vina. Kita tidak punya cukup uang untuk membayar rumah sakit, Nak.” Devina melihat tangannya yang di genggam sang ibu. Membuatnya tak bisa bergegas keluar mencari pertolongan.
“Bu, tolong jangan pikir hal lain. Ada Devina yang bisa memikirkan itu. Ibu cukup bertahan saja,” Segera ia pun berlari keluar setelah menepis pelan tangan sang ibu.
Melihat kiri kanan tampak sunyi, Devina meraih ponsel dan mencari taksi online.
Kini, mereka berada di dalam taksi online setelah Devina mendapatkan mobil. Sumpah demi apa pun wajahnya tak pernah surut dari kepanikan.
Bukan ini yang Devina inginkan. Ia ingin sang ibu selalu berada di sisinya, dan melihat Devina memukuli pria yang tega meninggalkan mereka.
“Aku bersumpah tidak akan membiarkan pria itu bahagia. Dia harus mempertanggung jawabkan apa yang dia lakukan pada kami. Siapa pun yang menjadi kebahagiaanmu, akan ku sakiti!” batin Devina menatap kosong jalanan di depan sana.
Hingga akhirnya mobil pun sampai di depan rumah sakit. Segera ia membayar lalu meminta pertolongan pada tenaga medis untuk membawakan brankar.
Air mata Devina jatuh melihat ibunya sudah begitu pucat bahkan tak mampu membuka matanya lagi.
“Vina, ibu mau pulang saja.” Di sela-sela menuju IGD, sang ibu masih bisa bicara lirih tanpa membuka matanya.
Namun, Devina tak menghiraukan ucapan sang ibu. Ia harus menyembuhkan wanita yang begitu ia sayangi.
“Devina punya tabungan, Bu, ibu tenang saja.” tutur Devina tak ingin membuat sang ibu berpikiran yang berat.
Setelah memastikan sang ibu masuk, kini Devina menelpon seseorang.
“Halo, Dev. Bagaimana? Apa bisa?” Seorang pria tampak bertanya setelah menyapa dengan suara ramahnya.
“Harganya sudah pas segitu. Saya tidak bisa mengurangi lagi,” Devina mematok harga tanpa mau di tawar.
“Baiklah, karena kamu bintangnya. Saya tidak akan menawar. Lagi pula malam ini tamu kamu adalah orang ternama.” Balas pria di seberang sana lagi.
“Oke thanks, katakan padanya untuk segala aturan mainku.” jawab Devina dengan suara sensual.
Panggilan pun berakhir. Devina menghela napas kasar.
“Oke 50 juta sudah nyata aku dapat malam ini. Sepertinya cukup untuk biaya pengobatan ibu sementara.” ucap Devina yang tenang kala mengingat ia punya kerjaan yang mampu mencairkan uang dalam sekejap.
“Maafkan Devina, Bu. Uang ini kotor tapi Devina memakai jalan ini untuk mencari pria itu. Devina yakin, dia pria brengsek. Tidak akan ada pria yang tega menelantarkan anak dan istri jika bukan pria brengsek.”
Dari sorot mata, terlihat jelas Devina tidak akan memberi ampun pada pria yang membuatnya ada di dunia.
Sesuai perjanjian, malam jam delapan. Seorang wanita cantik dengan pakaian jumpsuit tanpa lengan berjalan anggun di salah satu bar dari hotel ternama.
Tas chanel mini berwarna hitam di hias rantai yang menggantung di pundaknya begitu menambah kesan berkelas. Tubuh yang tinggi membuatnya menjadi lirikan mata-mata nakal di bar tersebut.
“Devina?” Seorang pria tiba-tiba datang mengulurkan tangannya. Yah, dia adalah pelanggan Devina malam ini.
Devina menoleh dan tersenyum lalu membalas uluran tangan pria itu. “Iya, benar.” jawabnya singkat. Hanya senyuman elegan yang ia selalu berikan.
Meski menjadi wanita yang menjajahkan tubuhnya, Devina tak seperti wanita pada umumnya yang terlalu berlaku murah*n. Itu salah satu nilai plus dalam dirinya di mata pria hidung belang.
Sesungguhnya mereka yang bej*at tidak akan suka barang yang mur*han. Harus sedikit mahal.
“Ayo silahkan duduk,” ajak pria itu memberi isyarat Devina jika kursi mereka berada di mana.
Devina menurut. Ia duduk dan sekali lagi cara duduk pun begitu sempurna. Tubuhnya ia tegakkan dan satu kaki ia silangkan pada kaki satunya.
Bahkan sejak pertemuan tadi, Devina sama sekali tidak bertanya siapa nama pria di depannya ini.
Yang pasti ia cukup senang karena malam ini? Selain uang dan misi balas dendamnya, pria yang akan membawanya ke langit tertinggi memang tampan. Sekitar 38 tahun. Cukup mapan untuknya.
Beberapa menit pria itu menikmati makan malam bersama Devina, kini akhirnya mereka memutuskan untuk mulai malam panjang.
Sebuah kamar di hotel tersebut menjadi tempat Devina meraup pundi-pundi rupiah.
“Ayo masuk,” ajak pria itu.
Devina menurut, dalam sekejap tangannya sudah berhasil membuat pria itu tersenyum sedikit mengerang.
Jemari lentik yang terlihat gemulai nyatanya membuat pria itu mulai merasakan sensai panas dalam tubuhnya. Devina merayapkan tangannya pada tubuh pria itu bergerak terus semakin ke bawah.
Cukup lihai dan akhirnya mereka melakukannya berulang-ulang.
Wajah cantik yang bermake up tipis itu tersenyum puas. Jemari nakalnya kini bergerak memutar di dada bidang pria yang masih berusaha mengatur napasnya.
“Aku pikir kamu lembut, ini benar-benar di luar dugaanku, Devina.” tuturnya tersenyum puas.
Devina menatap wajah tampan di atasnya. Sekarang mereka berbaring dengan Devina meletakkan kepala pada lengan pria itu.
“Apa itu akan membuatmu mencariku kembali? Hem!” tantang Devina.
Sebelah alis sang pria menukik ke atas. “Tentu saja, apa kekuranganmu membuatku tidak mencarimu kembali. Bahkan aku berniat menginginkanmu selama yang aku mau.” tuturnya.
Devina yang mendengar hanya tersenyum tanpa terkejut. Ini bukanlah tawaran yang pertama baginya.
“Tapi sayangnya, aku tidak bisa terikat.” ucap Devina to the point.
Kening pria itu mengkerut bingung. “Tidak bisa terikat bagaimana? Bukankah menyenangkan? Kau tidak perlu bekerja susah payah kesana kemari. Aku akan mencukupi kebutuhanmu, Dev. Apartemen, black card, mobil apa lagi yang kau mau? Aku sanggup.”
Devina akhirnya bangkit dari tidurnya dan memilih menyandarkan tubuh pada sandaran kasur.
“Aku seperti ini punya tujuan mencari seseorang. Dan aku juga butuh uang. Maka dari itu aku tidak bisa terikat dengan satu orang.” jelasnya memberi pengertian.
Pria itu menyesal karena tidak bisa membawa wanita yang ia inginkan. Sungguh ia ingin memilikinya sendiri. Bukan dalam artian pernikahan tentunya.
“Baiklah. Aku tidak bisa memaksamu. Tetapi yang pasti setiap aku membutuhkanmu? Kau mau kan hadir?” Devina mengangguk tersenyum.
“Iya, sebaiknya istirahatlah. Kau pasti lelah.” Devina yang ingin berbaring lagi di cegah oleh pria itu.
“Beri aku pengantar tidur,” senyuman nakal pria itu membuat Devina paham. Ia pun kembali menjadi pemimpin dalam permainan malam itu, tepat di jam 12 malam.
Keduanya bertengkar dengan peluh masing-masing yang menjadi satu.
Pekerjaan yang menggiurkan untuk kesekian kalinya usai sudah.
Pagi yang cerah menyilaukan kulit putih seorang wanita yang saat ini tengah berdiri di depan hotel hendak memasuki taksi yang ia pesan.
“Duh lama sekali Pak? Saya buru-buru loh ini.” ucap Devina saat baru masuk ke dalam taksi.
“Maaf, Non. Di depan tadi ada kecelakaan.” jawab Pak supir sopan.
Devina tak lagi bersuara, ia fokus pada ponsel miliknya. Senyuman tersungging melihat saldo mbangking miliknya.
“Semoga dengan ini cukup dan membuat Ibu sembuh, apa pun caranya Ibu harus sembuh.” gumamnya memeluk ponsel miliknya.
Semua hasil kerja keras Devina selalu ia tabung, meski tidak seluruh. Ia juga harus menjaga penampilan agar tetap menarik.
“Pak nanti singgah sebentar di perempatan itu. Saya mau ke restoran sebentar. Tapi di tunggu yah? Hanya beli makanan saja kok.” Devina ingin membawakan makan yang enak untuk sang ibu.
“Baik, Non.” Pak supir patuh.
Perjalanan pagi itu cukup padat hingga Devina memilih meluangkan waktu untuk istirahat sejenak. Bekerja di atas tempat nyatanya tak seenak yang di katakan orang. Melayani, tentu Devina harus memiliki tenaga ekstra. Bahkan tak jarang ia mengkonsumsi vitamin agar fit.
Tiba-tiba di kesunyian perjalanan, ponselnya berdering.
“Halo,”
“Dev, sore ada lagi nih. Bisa kan? Atau yang malam juga ada. Lu pilih yang mana?” Seorang pria di seberang sana kembali menawarkan pelanggan yang terpilih untuk Devina.
Devina memijat kepalanya, sisa semalam saja tubuhnya rasanya begitu letih karena pria yang baru ia tinggalkan pagi ini bekerja tanpa tahu waktu.
“Yang malam gue ambil. Gue harus ke rumah sakit dulu soalnya. Yang sore jadwalin besok sore bisa kok.” Suara Devina terdengar begitu lelah.
“Oke,” Beruntung Devina bekerja sama dengan seorang teman yang cukup mengerti dan baik.
Setelah perjalanan dan membelikan makan, kini Devina sudah berada di depan pintu ruang rawat sang ibu.
“Pagi, Bu.” sapanya tersenyum melihat sang Ibu yang sudah bangun.
“Dev, dari mana saja? Kamu lembur lagi di hotelnya?” tanya Ibu Devina lemas.
Iya hanya tahu jika anaknya bekerja di hotel sebagai tim audit. Itu memang sesuai dengan jurusan sekolah Devina. Tanpa sang ibu tahu pekerjaan asli anaknya.
Devina bahkan belum pernah mencoba melamar pekerjaan semenjak lulus kuliah.
“Tidak, Bu. Semalam bukan lembur. Tapi ada acara dinner karena manajer di hotel itu lagi ulang tahun. Malam ini baru Devina dapat lembur lagi. Ibu nggak apa-apa yah Devina tinggal kerja?” tuturnya sembari bergerak menyiapkan sarapan untuk ibunya.
“Dev, kenapa beli makanan banyak? Ibu sudah ada jatah makannya, Nak.” sahut sang ibu tidak tega memikirkan anaknya harus kerja banting tulang.
Padahal bukan banting tulang, tetapi banting badan.
“Makanan untuk ibu pasti tidak enak karena kita pakai pelayanan paling murah, Bu. Jadi biar ibu enak makan Devina belikan ini.” Ia duduk lalu mulai menyuapi sang ibu makan.
Di sela-sela makan Devina menatap wajah sang ibu seolah ingin bicara. “Bu, dulu ibu pernah katakan, pria itu punya tanda lahir merah seperti bulan di pinggang kanannya?”
Seketika wajah teduh sang ibu berubah murka mendengar anaknya membahas hal yang paling tidak ia inginkan.
“Devina, hilangkan pembahasan itu. Ibu sudah katakan berhenti membahasnya.” Nada tinggi suara sang ibu membuat Devina takut jika ibunya kambuh lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!