NovelToon NovelToon

Pesona Sekretaris

Bab.1 Talak

Bab.1 Talak

Hujan turun dengan deras di luar sana. Sesekali petir menggelegar disertai kilat yang cukup membuat hati menciut karena takut. Untunglah, meski hanya tinggal di sebuah perumahan kecil bertipe 36, Alleyah sudah sangat bersyukur karena memiliki tempat untuk berlindung.

Di rumah yang tak terlalu luas ini, karena hanya memiliki dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur, dan ruangan kecil untuk menerima tamu, Alleyah tinggal bersama suami dan putri semata wayang mereka yang usianya hampir dua tahun.

Alleyah hanyalah istri dan ibu rumah tangga pada umumnya. Ia tak memiliki pekerjaan lain selain mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Memiliki bayi membuatnya harus tetap berada di rumah.

Daster adalah pakaian kebesarannya, yang hampir setiap hari ia kenakan. Menggendong anak ke sana ke mari tanpa mekap sudah menjadi hal wajar baginya. Ia tetap santai dan tenang dengan semua yang melekat pada dirinya. Baginya kebahagiaannya adalah suami dan anaknya.

Ia tak perlu bermewah-mewah apalagi harus bermekap tebal hanya demi gengsi semata. Suaminya juga tak pernah komplain dengan penampilannya yang bersahaja. Ah ... Mas Fadil memang suami idaman seperti yang dulu ia harapkan. Tak pernah sekalipun pria itu rewel dan mempermasalahkan penampilan Alleyah yang sudah sangat berubah sejak memiliki bayi.

Namun, semua itu ternyata hanya sangkaan semu belaka. Sebab diam-diam, suaminya mendua dengan wanita yang lebih pandai bersolek dari pada dirinya. Malam itu menjadi saksi hancurnya mahligai rumah tangga yang ia bangun bersama Fadil selama hampir tiga tahun lamanya.

"Kamu mau ke mana sih, Mas, kok semua baju kamu dimasukin ke koper gitu?" Alle—panggilan Alleyah—mengancingkan kembali kancing dasternya setelah selesai menyusui Chilla—putri semata wayangnya—dan memastikan jika anak itu sudah benar-benar terlelap.

Ia bangkit kala tak mendapatkan jawaban dari sang suami. Pria yang menurut Alleyah tampan tersebut terus saja menata baju-bajunya ke dalam koper besar yang dulu mereka gunakan untuk memindahkan baju-baju mereka dari rumah orang tua Fadil ke perumahan bersubsidi yang dibeli Fadil dengan sistem KPR tersebut.

"Mas." Alle menyentuh tangan pria itu. Menyadarkan bahwa sejak tadi ia mengajaknya berbicara.

Fadil hanya memicing, lalu lanjut menata baju terakhir yang ia ambil dari dalam lemari. Menutup resleting koper dan kemudian membawanya berdiri. Alle yang masih berada di samping Fadil mengikuti gerakan Fadil berdiri.

"Mas, kamu ini kenapa, sih. Kenapa diam saja, aku ngajak kamu ngomong lho dari tadi." Alle berharap penjelasan dari Fadil. Bukan hanya sikap diam pria itu, tapi juga untuk apa pria itu mengemas bajunya ke dalam koper.

"Aku ingin kita pisah."

Bagai disambar petir, pernyataan mengejutkan Fadil membuat Alle terdiam seketika. Tak mau berlama-lama dalam kebingungan, Alle pun bertanya, "Maksud kamu apa sih, Mas. Kalau mau bercanda, ini nggak lucu, tau!"

"Aku tidak bercanda, aku serius. Aku ingin kita bercerai," jawab Fadil dengan raut tegas.

Alle mundur selangkah, menjauh dari Fadil. "Nggak ... kamu bohong, ini bercanda, kan?" Alle tidak terima dengan pernyataan Fadil. Ia menyangkal apa yang baru saja suaminya utarakan.

"Aku serius, aku akan pergi malam ini. Mulai hari ini, aku ... Fadil Nugraha, menceraikanmu Alleyah Syarif. Mulai saat ini kamu bukan lagi istriku." Setelah ucapan itu Fadil menarik kopernya dan menyeretnya keluar kamar.

"Kamu, mentalak aku, Mas?" Alle tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut suaminya.

"Ya, mulai sekarang, kita berpisah."

"Mas, aku mohon jangan seperti ini, kita bisa bicarakan lagi semuanya baik-baik, Mas." Kini Alle menahan lengan Fadil yang tengah menyeret kopernya keluar kamar.

Tanpa perasaan, Fadil menghempaskan tangan istrinya. "Aku akan segera mengurus perceraian kita."

Alle semakin tak percaya. Suaminya serius. Seserius tatapannya sekarang ini.

Beberapa detik Alle tertegun, berusaha memahami situasi ini. Diceraikan secara mendadak tanpa tahu apa salahnya membuat ia syok seketika.

Alle menggeleng-gelengkan kepalanya. Berusaha menyangkal kenyataan. "Nggak, kamu bohong ... kamu bercanda ... nggak mungkin kamu mau ninggalin aku dan juga Chilla begitu saja. Ini prank, kan, Mas?" sangkal Alle.

Dengan sorot yang tajam Fadil menatap Alle, tapi enggan memberikan keterangan. Ia justru mengambil sikap untuk segera pergi dan meninggalkan rumah kecil yang belum lunas ini.

"Mas, kamu mau ke mana?" sergah Alle, dan tak mendapatkan jawaban apa pun dari suaminya tersebut.

"Mas, aku mohon ... Mas, tolong pikirkan lagi. Pikirkan Chila yang masih kecil, Mas." Alle terus mengejar Fadil, berharap suaminya itu berubah pikiran dan mau kembali padanya. "Lagi pula apa salahku. Kenapa kamu bersikap kayak gini. Kalau ada masalah, kita bisa bicarakan semuanya baik-baik, Mas." Alle terus berusaha mencegah kepergian Fadil.

Pria itu seperti orang tuli saja. Ia tak menggubris sedikit pun omongan Alle. Fadil terus berjalan keluar rumah dan segera masuk ke mobil sedan merah yang sejak tadi menunggunya.

"Mas ...." Alle berteriak keras ketika mobil mewah itu melaju meninggalkan halaman rumah mereka. Alle ingin terus mengejar jika saja ia tak mendengar suara tangisan anak kecil dari dalam rumahnya.

Mengurungkan niatnya untuk mengejar sang suami, Alle memilih untuk masuk ke dalam dan melihat Chilla. Putri kecilnya itu ternyata terbangun dan sudah terduduk di atas rajang dengan tangis yang kuat.

Segera Alle menggendong anak berusia hampir dua tahun itu. Mencoba menenangkannya.

Berkali-kali juga Alle membujuk sang putri agar tenang, tapi tetap saja anak kecil itu meraung tak berhenti. Entah karena memiliki perasaan karena sang ayah telah meninggalkannya atau memang ia hanya terjaga biasa. Sebab, memang Chilla masih suka terbangun di jam-jam seperti ini untuk minta susu.

Sudah satu jam lebih Chilla tak mau diam. Alle juga sudah memberikannya susu tapi anak itu menolak meminumnya. Anak itu hanya terus saja menangis.

Alle semakin panik menghadapi tangis Chilla yang tak biasa. Perasaan sedih langsung melingkupi hatinya kala teringat kini ia hanya sendiri. Air matanya terus mengalir mengingat kepergian Fadil yang meninggalkannya tanpa rasa kasihan.

Tangis Chilla yang semakin kuat membuat Alle harus berjuang lebih keras untuk menenangkannya. Ia berusaha menggendong anak itu dan mengajaknya berkeliling kamar agar terdiam sembari mengucapkan kata-kata bujukan.

Setelah berjuang cukup lama untuk menenangkan Chilla, anak itu akhirnya jatuh tertidur karena lelah menangis. Ia pun mendudukkan dirinya di tepi ranjang untuk mengurangi rasa lelah.

Ia menatap putri kecil dalam dekapannya dengan derai air mata yang tak kunjung surut. Beberapa kali mengecup dahi sang putri yang terlelap.

Hatinya bergejolak. Bayangan tentang masa depannya dan juga sang anak memenuhi benak. Setelah ini bagaimana nasib dirinya dan Chilla.

Mampukah ia bertahan sendirian tanpa suami?

Bagaimana ia akan mendidik dan membiayai Chilla tanpa Fadil di sisinya.

Banyak tanya yang menjejal di otaknya tentang kepergian Fadil. Rasanya ia sudah bersikap dan berusaha menjadi istri sebaik mungkin untuk Fadil. Ia tak pernah menuntut banyak dari pria itu. Ia bahkan tak pernah mengeluh dengan berapa pun uang yang diberikan Fadil untuknya.

Ia juga menyelesaikan semua pekerjaan rumah dengan baik. Melayani suaminya itu tanpa pernah menolak sekali pun sejak mereka menikah. Lalu di mana salahnya?

Semua terasa janggal bagi Alle yang sudah menjalankan semua tugasnya tapi masih saja ditinggalkan. Dengan kejam, Fadil meninggalkannya tanpa kata dan penjelasan kenapa ia harus diceraikan.

"Mas Fadil ...," jerit Alle dalam hati.

Bab.2 Putusan

Rupanya, pena takdir benar-benar menuliskan nasib Alle untuk menjadi seorang janda. Apa yang malam itu Fadil ucapkan kini pria itu wujudkan. Tak berselang lama, surat gugatan dari pengadilan Agama datang untuk Alle. Demi mengetahui alasan Fadil menceraikannya, dengan hati yang dipaksakan Alle mendatangi agenda sidang tersebut.

Awalnya Alle ingin mempertahankan rumah tangga yang dirasanya baik-baik saja. Namun, setelah melihat Fadil datang bersama seorang perempuan menggunakan mobil sedan merah yang dulu membawa Fadil keluar dari rumah kecil mereka, niat itu Alle urungkan.

Ia mulai sadar jika ada wanita idaman lain dalam biduk rumah tangganya. Di saat itu juga, Alle tak lagi ingin berjuang untuk pria yang dulu dicintainya. Ia menerima semua dengan ikhlas, termasuk talak yang diucapakan Fadil di sidang akhir perceraiannya.

Sejak itulah, status baru dalam hidupnya tercipta. Janda beranak satu. Yah ... Fadil tak mengajukan gugatan atas hak asuh anak, ia serahkan Chilla yang masih di bawah umur itu dalam pengasuhan Alle, juga rumah yang ditempati Alle sekarang. Fadil pun memberikan rumah tersebut untuk Alle dan membiarkan Alle membayar angsuran ke depannya.

"All ...," sapa Fadil setelah sidang perceraian berakhir.

"Mas ... ayo!" ajak wanita yang selalu menemani Fadil selama sidang ini berlangsung.

Alle yang masih berdiri menunggu angkutan untuk pulang hanya bisa berpura-pura tak melihat dua mahkluk yang telah menorehkan luka dalam hidupnya itu.

"Ish ... Mas Fadil, ayo!" Wanita itu menarik lengan Fadil yang semula ingin berbicara sebentar dengan Alle—mantan istrinya. Nampaknya pria itu tak berdaya di depan wanita bergaun biru tersebut. Buktinya ketika si wanita menarik dan mengajak Fadil untuk segera masuk ke mobil, pria itu hanya pasrah dan menurut.

Alle tak ambil peduli dengan mantan suaminya tersebut, bahkan ketika Fadil menatapnya dari balik kaca mobil yang melaju untuk terakhir kalinya, Alle memilih untuk melengos.

Bersamaan dengan itu, kembali lagi air mata Alle mengalir. Namun kali ini ia berusaha menahannya agar tak semakin menderas. Ia hapus air yang baru beberapa titik keluar dan mengangkat wajahnya ke atas. Satu tangan yang memegang berkas perceraian menyadarkan dirinya akan status baru dan juga perbuatan Fadil padanya.

"Jangan menangis lagi All, semua sudah berakhir. Kamu akan memulai takdir barumu. Fadil sudah hilang dari kisah hidupmu. Sekarang kau harus menulis takdir barumu dengan Chilla. Buat ia bahagia dan raih kebahagiaanmu sendiri," ujar Alle dalam hati untuk menguatkan dirinya sendiri.

Kini ia benar-benar menghapus air matanya dan tak ingin lagi menangis untuk seorang pengkhianat seperti Fadil. Ia harus jadi wanita dan ibu yang kuat untuk Chilla.

Tak lama angkot yang ia tunggu datang, dengan memeluk berkas perceraiannya ia menaiki angkot tersebut dan kembali pada Chilla.

"Assalamualaikum," ucapnya sebelum memasuki rumah.

Di rumah memang ada Mbak Imas, tetangga yang ia minta untuk menjaga Chilla selama ia pergi ke pengadilan.

"Waalaikumsalam ... eh, Mama udah pulang," jawab Mbak Imas seakan mewakili Chilla.

"Anak Mama pinter 'kan di rumah sama Budhe Imas?" Alle mengambil alih Chilla dari Mbak Imas. "Nggak rewel, kan, Mbak?"

"Nggak lah, Chilla kan anak pinter. Ya Sayang, ya. Dari tadi kita mainan aja ya chilla."

Alle tersenyum lega mendengar penuturan Mbak Imas. "Makasih ya, Mbak, udah bantuin aku jaga Chilla. Maaf juga udah ngerepotin Mbak Imas akhir-akhir ini."

"Ish ... Kamu ini ngomong apa sih. Kita ini tetangga, aku bahkan udah anggap kamu kayak saudara. Nggak usah lah kamu mikir kayak gitu. Lagi pula aku seneng kok jagain Chilla, sapa tahu nanti aku juga bisa ketularan." Mbak imas nyengir sembari mengusap perutnya yang rata. Sudah delapan tahun Mbak Imas berumah tangga tapi sampai sekarang belum juga mendapatkan momongan.

"Aamiin," ucap Alle mendoakan.

Alle langsung mengajak duduk Chila di sofa kecil di ruang tamunya. Tanpa diminta, Mbak Imas justru mengambilkan air putih untuk janda baru itu.

"Setelah ini apa rencana kamu, All?" ujarnya sembari mengulurkan segelas air putih.

Alle menerima gelas tersebut dan tak lupa berterima kasih. Kemudian meminum setengah dari isinya. "Belum tahu, Mbak, yang pasti aku akan cari kerja. Karena mulai sekarang nggak ada lagi yang kasih aku nafkah."

Mbak Imas mengangguk paham. "Oh ... Kalau begitu, selama kamu cari kerja biar aku saja yang jaga chilla."

Sedikit kaget mendengar tawaran Mbak Imas, tapi di hati merasa lega juga. Tanpa diminta, Allah membuka jalan pertama untuknya agar bisa sedikit lebih tenang. "Mbak, serius?"

Mbak imas mengangguk yakin.

"Terus gimana dengan mas Dito?"

"Mas dito nggak akan keberatan kalau cuma jagain chilla. Mungkin malah dia akan seneng aku punya kegiatan, dari pada tiap pagi cuma tiduran melulu."

Alle dan Mbak Imas sama-sama tertawa.

"Kalau Mbak Imas nggak keberatan, aku setuju saja Mbak. soalnya aku juga butuh orang untuk jagain Chilla biar aku bisa kerja."

Alle juga menceritakan putusan pengadilan tentang rumah yang ia tempati, juga tentang nafkah untuk Chilla. Fadil berjanji akan memberikan nafkah untuk chilla setiap bulan dan nafkah iddah untuk Alle akan diberikan sekaligus. Sementara rumah yang masih dalam angsuran akan diberikan pada Alle dan memberikan tugas mengangsur pada mantan istrinya itu.

"Yang sabar ya, All." Mbak Imas mengusap punggung Alle.

Wanita itu kini sudah tak lagi menangis kala harus bercerita tentang Fadil. "Ya, Mbak, aku udah ikhlas kok. Sekarang aku akan berjuang untuk chilla."

________________

Sejak hari itu, Alle mulai mencari lowongan pekerjaan dan mengirimkan surat lamaran ke beberapa perusahaan yang dirasa cocok dan sesuai ijasah yang ia miliki. Tentu juga yang dekat dari rumah.

Setiap pagi Alle berangkat dan memasuki gedung-gedung perkantoran demi mendapatkan pekerjaan. Ternyata semua tak segampang dalam pikirannya, tak memiliki pengalaman kerja menjadikannya harus berusaha lebih.

Ini adalah kantor ketiga yang ia datangi hari ini sejak sebulan yang lalu ia mencari pekerjaan. Di kantor ketiga ini, Alle juga mendapatkan penolakan.

Rasa letih dan haus membuatnya harus beristirahat sejenak. Ia berhenti di sebuah warteg pinggir jalan untuk membeli segelas es teh manis. Banyak karyawan yang juga makan di sana karena saat itu memang bertepatan dengan jam makan siang. Pandangan Alle mengedar menatap beberapa orang yang sedang menyantap menu warteg tersebut.

Hingga seseorang menepuk bahunya dan membuatnya harus menoleh.

"Alleyah?" sapa orang itu.

"Iya ...," jawab Alle bingung.

"Lupa, ya, sama aku?"

"Maaf, siapa, ya?"

Orang itu menggeleng. "Ya ampun, apa kita lama banget nggak ketemu, sampai kamu lupa. Aku Wina, temen satu kampus dulu. Inget, nggak?"

Alle berusaha mengingat-ingat wajah Wina. "Oh, Wina mantannya Agung?"

Wanita itu mencebik kesal. "Kok malah itu sih yang diinget. Nggak ada apa kenangan baik yang lain gitu? Misalnya Wina si cantik dari jurusan manajemen, atau Wina si baik hati yang suka neraktir."

Alle tertawa. "Maaf, soalnya yang aku ingat soal kamu itu yang kemana-mana selalu jalan sama Agung."

"Ya udah ... Ya udah nggak apa. Ngomong-ngomong, kamu apa kabar?"

"Aku baik sih, tapi lagi bingung cari kerjaan," aku Alle jujur.

"Kamu lagi nyari kerja?"

Alle mengangguk.

"Wah pas banget, di kantorku lagi ada lowongan pekerjaan jadi sekretaris. Pas banget kan sama jurusan kamu dulu."

Alle tersenyum bahagia mendengarnya. "Beneran? tapi ...." Mendadak raut wajah Alle sedikit muram mengingat pengalaman kerja yang tak ia miliki.

"Kenapa?" tanya Wina yang menyadari perubahan ekspresi Alle.

"Aku belum ada pengalaman kerja," jawab Alle tak menutupi kenyataan.

"Wah ... sayang sekali, soalnya yang dicari yang udah pengalaman."

Wina pun menceritakan semua tentang info lowongan pekerjaan itu.

"Dia itu CEO baru di kantorku. Sudah satu bulan ini lowongan sekretaris dibuka tapi pas ada yang ketrima pasti nggak bertahan lama. Ada yang baru masuk satu hari, eh ... udah dipecat aja. Orangnya rewel banget."

Wina menilik jam tangannya. "Eh, gue balik dulu ya. Udah jam masuk, nih."

Alle mengangguk.

"Nanti kalau ada lowongan lain aku kabari deh. By the way, ini kartu namaku." Wina mengambil selembar kartu nama dari dompetnya dan menyerahkannya pada Alle. "Jangan lupa hubungi aku biar aku nanti save nomor kamu," ujar Wina sebelum meninggalkan Alle.

"Makasih, ya." Alle melambaikan tangannya pada Wina yang keluar dari warteg.

Alle menghela napas kasar. Ketika ada lowongan pekerjaan, selalu yang berpengalaman yang dicari. Kembali ia memutar otak, bagaimana caranya agar segera mendapatkan pekerjaan sebelum nafkah iddahnya habis.

Bab.3 Pria Aneh

Setelah memikirkan panjang lebar karena belum juga mendapatkan pekerjaan, Alle pun mengubungi Wina dan menanyakan tentang lowongan pekerjaan di kantornya apakah masih dibuka atau tidak. Beruntung, CEO yang dulu Wina ceritakan belum menemukan sekretaris yang pas dan lowongan masih dibuka lebar.

Tekadnya untuk segera mendapatkan pekerjaan membuat Alle pada akhirnya memberanikan diri untuk melamar pekerjaan di kantor Wina meski tanpa pengalaman. Ia yakin, jika itu rejeki yang tertakdir untuknya pasti Tuhan akan memudahkan jalannya.

Pagi ini, dengan balutan kemeja formal berwarna putih dan pencil skirt hitam dengan panjang di bawah lutut, serta rambut yang disanggul rapi dengan harnet, Alle dengan mantap melangkahkan kaki ke gedung PT. Bumi Sentosa Damai.

"Bismillah, semoga hari ini Engkau mudahkan jalanku untuk mendapatkan pekerjaan, Ya Allah." Doa Alle ketika melangkah masuk ke gedung pencakar langit tersebut.

Bermodal tanya pada satpam di depan tadi, Alle berniat mendatangi ruangan HRD di mana ia akan memasukkan berkas lamaran pekerjaannya. Untaian doa tak lepas dari bibirnya, berharap hari ini ia akan diterima kerja. Pandangannya mengedar mencari di mana elevator yang akan membawanya naik ke lantai tujuh seperti arahan satpam tadi.

"Itu dia!" ucapnya dalam hati saat matanya menangkap pintu berwarna silver tersebut tengah terbuka disusul dengan orang-orang yang segera masuk ke dalam.

"Tunggu!" teriak Alle berharap ada orang yang masih mau menunggunya untuk bisa masuk ke dalam elevator. Ia berlari secepat mungkin menjangkau elevator yang hampir tertutup tersebut. "Tunggu, aku!" teriaknya lagi.

Secepat mungkin Alle berlari agar bisa terangkut bersama orang-orang yang lebih dulu masuk. Meski dengan napas yang ngos-ngosan, Alle berhasil masuk ke dalam elevator berkat bantuan dari seseorang yang menahan pintu agar tak segera menutup.

Sedikit menubruk orang tersebut karena Alle terlambat menghentikan laju kakinya membuat Alle berkali-kali meminta maaf pada orang yang telah membantunya untuk bisa masuk dalam elevator. "Maaf, maafkan saya, Pak," ujar Alle dengan menundukkan sedikit kepalanya.

Pria yang tadi membantu Alle hanya diam tak menggubris apa yang Alle katakan. Justru orang-orang di sekitarnya memperhatikan Alle yang tengah minta maaf. Alle masih dalam kebingungan karena diabaikan saat denting elevator berbunyi dan membawa beberapa orang yang ada di dalamnya keluar termasuk pria yang telah membantunya tadi.

Melihat floor designator yang berada di atas pintu elevator menunjukkan angka tujuh Alle segera bergegas. Ia lupakan kebingungannya dengan sikap pria tak dikenalnya tadi. Fokusnya sekarang adalah mencari ruangan HRD yang akan ia tuju. Karena ragu harus melangkah ke mana, Alle pun memberanikan diri untuk bertanya pada seseorang. Kebetulan yang ada di depannya dalah pria yang membantunya tadi.

"Pak, tunggu!" panggil Alle dengan suara yang keras.

Pria tadi tak mengubbris panggilan Alle. Ia terus saja berjalan seolah tak mendengar.

Alle kembali berlari agar bisa menyamai langkah pria itu, dan ... berhasil. "Pak, saya memanggil Anda," ujar Alle begitu berada tepat di depan pria tadi.

Alle mengatur napasnya lebih dulu sebelum bertanya. "Saya cuma ingin tahu di mana kantor HRD berada," tanyanya kemudian.

Pria itu tak langsung menjawab. Ia justru memperhatikan penampilan Alle dari kepala hingga ujung kaki. Tanpa suara pria itu menunjuk sisi kiri Alle, dimana terdapat tulisan HRD yang menggantung dengan jelas.

Alle terlihat malu sendiri ketika melihat tulisan itu. Kenapa ia tak berusaha dulu mencari baru bertanya. Rupanya ruangan yang ia cari tak jauh dari elevator yang membawanya naik tadi.

Sedikit nyengir Alle berkata, "Te-terima kasih banyak, Pak."

Pria itu kembali meninggalkan Alle tanpa menjawab apa pun ucapan alle.

"Kenapa sih dia, dari tadi aneh banget sikapnya. Aku kan cuma bilang terima kasih, jawab kek. Ini malah cuek." Alle menggedikkan bahu, tak ingin lagi memikirkan hal itu.

Segera ia mendekati pintu bertuliskan HRD tersebut dan mulai mengatur napas. Berusaha merapikan penampilannya dengan mengelus rambut serta membenahi kemeja yang ia kenakan agar terlihat lebih rapi. Tangan kanannya mengetuk pintu dengan sopan.

"Selamat pagi, Bu," ujar Alle menyapa seorang wanita yang tadi mempersilakan dia masuk.

Alle duduk di depan wanita yang menyandang status sebagai Human Resource Department tersebut setelah dipersilakan. Ia mengutarakan niatnya untuk melamar pekerjaan dan menyerahkan berkas lamaran pekerjaan yang dibawanya dari rumah.

Wanita yang memperkenalkan diri bernama Silvi tersebut langsung membaca berkas milik Alle juga mempehatikan penampilan Alle. Tak lupa menanyakan beberapa hal berkaitan tentang pengalaman kerja Alle.

"Saya belum pernah bekerja sebelumnya, Bu, sebab setelah saya menyelesaikan pendidikan D3 saya, saya langsung menikah dan belum pernah mendapatkan pengalaman kerja kecuali ketika praktek kerja lapangan waktu pendidikan dulu. Meski begitu, saya berjanji akan belajar dengan giat untuk mempelajari pekerjaan saya nanti." Alle mengatakan semuanya dengan jujur, termasuk status janda yang tertulis dalan curriculum vitae yang ia bawa.

Awalnya, Silvi sang HRD ragu dengan Alle yang tak memiliki pengalaman kerja. Tapi karena sudah banyak yang tertolak ia pun memberikan kesempatan kepada Alle untuk mencoba.

"Kamu tunggu di ruang tunggu dulu, ya. nanti akan ada panggilan dan tes langsung dari atasan untuk kamu," ujar Silvi.

Alle merasa senang meski belum diterima setidaknya ada kemajuan dalam lamarannya kali ini, yaitu mengikuti tes. Tidak langsung ditolak seperti sebelum-sebelumnya.

"Kalau begitu, saya pamit keluar dulu, Bu. Terima kasih sebelumnya."

Setelah mendengar arahan dari Silvi di mana Alle harus menunggu, ia pun segera keluar dan menuju ruangan yang tadi Silvi sebutkan. Rupanya di sana sudah ada beberapa orang yang juga menunggu seperti dirinya.

Ada empat orang yang sedang duduk dan menanti hal yang sama dengan Alle. Tak ada satu orang pun yang Alle kenal, mereka semua juga nampak diam saja dan menunjukkan muka tak ramah seolah Alle adalah musuh yang harus dikalahkan. Memang saat ini mereka tengah bersaing untuk mendapatkan pekerjaan ini.

"Selamat pagi semuanya," sapa Silvi pada kelima orang yang sedang menunggu di ruang tunggu tersebut. "Sudah siap untuk tesnya?"

"Siap!" jawab mereka berempat kompak, kecuali Alle. Jujur Alle sedikit takut juga ragu karena melihat penampilan keempat orang yang ia temui terlihat sudah berpengalaman.

"Kenapa kamu diam, kamu nggak siap?" tanya Silvi yang menyadari jika hanya Alle yang tak menjawab.

"Eh ... nggak kok, Bu, saya siap," jawab Alle meyakinkan. Ia harus mencoba, ia harus berusaha. Semua demi masa depannya dan juga Chilla. Begitu yang ia katakan dalam hatinya.

"Ok, kalau sudah siap kita semua ke pantry," ajak Silvi.

Keempat orang tadi saling tatap. Merasa heran dan bingung kenapa harus ke pantry. "Bu kita mau melamar pekerjaan sebagai sekretaris, bukan OG. Kok, disuruh ke pantry?" ujar salah satunya.

Silvi hanya tersenyum menanggapi. "Ini adalah tes kalian untuk menjadi sekretaris di kantor ini. Kalau kalian tidak siap, pintu keluar di sebelah sana!" ujar Silvi tegas, menunjuk ke arah pintu.

Semua menatap ke arah pintu yang ditunjuk Silvi, tak terkecuali Alle. Ia juga menatap ke sana tapi tak sekalipun punya pikiran untuk keluar tanpa mencoba tesnya.

"Ada yang mau keluar?" tanya Silvi mempertegas.

Semua terdiam bahkan menunduk.

"Bagus, kalau masih tetap ingin ikut tes mari ikut ke pantry."

Semua mengikuti Silvi berjalan menuju pantry.

"Di sana ada cangkir dan juga bahan-bahan membuat kopi. Silakan kalian semua membuat kopi sesuai kemampuan kalian."

Mereka kembali bingung untuk apa tes membuat kopi. Sekali lagi mereka merasa aneh karena mereka tak ingin menjadi OG.

"Kopi ini bukan untuk kalian, tapi untuk Bapak Aksa, selaku CEO PT. Bumi Sentosa Damai. Kalau saya boleh bilang ini adalah tes termudah untuk menjadi seorang sekretaris, karena sebelum-sebelumnya tesnya tidak semudah ini, jadi lakukan yang terbaik," ujar Silvi.

"Bu, pak Aksa itu suka yang manis atau yang pahit?" ujar salah satu pelamar.

Silvi tersenyum ramah. "Itulah yang harus kalian cari tahu, karena kopi buatan kalian akan menentukan terpilihnya kalian atau tidak."

Silvi kemudian mempersilakan mereka membuat kopinya masing-masing. Dengan warna cangkir yang berbeda, kelima orang itu mulai membuat kopi. Setelah selesai seorang OB membawanya ke ruangan CEO. Sebelumnya Silvi sudah mencatat warna cangkir dan siapa yang membuatnya.

Silvi mengajak Alle dan keempat orang lainnya untuk pergi ke ruang CEO dan meminta mereka untuk menunggu panggilan dari sang bos. Sementara Silvi masuk lebih dulu ke ruangan itu.

"Aneh nggak sih, kita ngelamar untuk posisi sekretaris, tapi tesnya suruh buat kopi?" ujar salah satu dari kelima orang yang sedang menunggu. "Kayak kita mau jadi OG aja," sambungnya.

"Iya sih aneh, tapi ya suka-suka bosnya lah. Kan dia yang punya perusahaan," jawab yang lainnya.

Alle hanya jadi pendengar saja tanpa ingin menyambung percakapan mereka. Ia tak peduli harus di suruh bikin kopi atau apa yang penting ia dapat pekerjaan. Kalau pun tak bisa jadi sekretaris jadi OG pun akan ia jalani asal ia bisa kerja.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!