Asap tebal membumbung tinggi, si jago merah melalap semua bangunan rumah Pak Bahari seakan meluapkan kemarahan, tanpa ampun.
Semua warga berlarian saat melihat musibah kebakaran yang menimpa keluarga Pak Bahari.
Beberapa dari mereka bergotong royong membawa ember berisi air untuk membantu memadamkan api. Sayang nya usaha mereka tampak sia-sia saja, karena kobaran api sudah melebar ke seluruh bangunan rumah.
" Den Bahari,,, Bu Ratna,,, ! " pekik Bi Sari memanggil-manggil nama majikan nya yang di pastikan bahwa mereka terjebak di dalam sana.
Dua orang warga berada di sisi kanan dan kiri Bi Sari, mencoba menahan wanita tersebut agar tak nekad lari ke dalam rumah yang terbakar. Pasal nya Bi Sari berulang kali hendak menembus kepulan asap, ia ingin menyelamatkan dua majikan nya yakni Bahari dan Ratna.
Sungguh sangat berbahaya jika sampai Bi Sari melakukan hal itu. Warga pun mencoba mencegah perbuatan nekad nya, agar tak ada lagi korban berikut nya dari musibah kebakaran ini. Pak Bahari dan Bu Ratna sudah di pastikan mereka tewas di dalam sana. Karena pada saat warga bermunculan, api sudah membesar dan tak bisa di jinakkan.
Posisi rumah Pak Bahari berada jauh dari pemukiman warga, hingga pada saat kebakaran terjadi tak seorang pun mengetahui nya. Warga baru menyadari saat melihat kepulan asap tebal dan bara api dari kejauhan. Melihat itu, mereka bergegas mencari sumber asap tersebut yang di duga berasal dari arah rumah Pak Bahari. Dugaan mereka pun benar. Rumah Pak Bahari kebakaran.
Api yang sudah membesar membuat mereka tak bisa menyelamatkan penghuni rumah. Saat terjadi kebakaran Mang Nur dan Bi Sari tengah berada di rumah mereka. Hingga mereka tak mengetahui penyebab pasti kebakaran tersebut.
Nampak Mang Nur pun terdiam menatap nanar bara api dan puing-puing bangunan yang mulai menghitam. Kelopak mata keriput itu membendung tangis yang tertahan. Begitu pun dengan Fathir, mata nya berembun semburat luka menggores hati. Ia teringat pada Kirana, yang pasti terpukul akan kejadian ini. Fathir tak bisa berbuat apa-apa bahkan untuk menolong kedua orang tua Kirana yang terjebak di dalam sana pun ia tak mampu.
" Kita harus beritahu Den Bagas sama Non Kirana, " lirih Mang Nur di tengah kegetiran orang-orang yang membaca takbir, karena mereka sudah tak sanggup lagi menjinakkan api. Kini mereka hanya menyaksikan kobaran api yang terus merajalela menghabiskan bangunan rumah tersebut. Tak ada pemadam kebakaran karena memang armada itu belum tersedia di desa Jatiasih.
Beberapa menit berlalu, api pun mulai menyisakan bara dan asap, meninggalkan puing bangunan rumah yang sudah tak berbentuk.
Di pesantren,
" Assalamualaikum. Ustad memanggil ku? " ucap Kirana.
" Wa'alaikum salam. " Ustad Sahir mengangguk pelan. Kirana menangkap sorot mata Ustad Sahir memancar kan sesuatu yang sulit di arti kan. Seperti ada kesedihan di balik teduh nya wajah sang Ustad.
" Nak, kamu yang sabar ya. " Ustad Sahir menghentikan kalimat nya, sejenak ia menghela napas pelan. Seakan begitu berat untuk nya mengatakan pada Kirana jika saat ini kedua orang tua Kirana tengah mengalami musibah yang telah merenggut nyawa keduanya.
Kirana menautkan alis, tersemat tanya dalam hati melihat sikap Ustad Sahir yang seperti ini.
" Kedua orang tua mu mengalami musibah, telah terjadi kebakaran di rumah mereka. Dan kini,,, " belum sempat Ustad Sahir melanjutkan perkataan nya, Kirana yang semula berdiri kini ambruk ke lantai.
" Innalillahi wa innailahi rojiun. " Suara Kirana bergetar, tangis pun pecah seiring ambruk tubuh nya ke lantai. Kaki Kirana terasa lemas hingga tak mampu menopang bobot tubuh nya, seakan bumi ini ikut runtuh mendengar penuturan Ustad Sahir.
Dua santriwati yang menemani Kirana segera mendekat dan menenangkan gadis itu.
" Ustad tau ini pasti sangat menyakitkan, menangis lah nak jika itu dapat meringankan semua kesedihan mu, " ucap Ustad Sahir.
Lidah Kirana terasa kelu. Hanya air mata yang mengalir deras , begitu hebatnya kepedihan yang ia rasakan saat ini hingga tangis nya pun tak bersuara. Kirana memegang dada yang terasa begitu sesak, air mata nya pun membasahi bagian cadar yang ia kena kan. Dua santriwati terus mengelus punggung dan lengan Kirana, berusaha menguatkan meski cara seperti itu tak cukup menenangkan.
Benak Kirana seketika menerka-nerka kemungkinan terburuk terjadi menimpa kedua orang tua nya. Hati nya semakin terasa sakit bagai terhujam benda tajam, dada nya sesak, pandangan pun kian buram dan pada akhirnya Kirana tak sadarkan diri. Ia tak kuat mendengar kenyataan pahit ini, ia belum siap dengan kepergian orang tua nya.
Mendengar kabar dari Fathir tentang musibah yang di alami Pak Bahari dan Bu Ratna, Ustad Sahir pun tak mungkin tinggal diam. Kirana harus segera di bawa pulang ke desa Jatiasih saat ini juga. Walau masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Para santriwati membantu mengangkat tubuh Kirana ke dalam mobil.
Tiga santriwati, dua santri dan Ustad Sahir mengantar Kirana menuju desa Jatiasih.
Di tempat lain, Bagas pun terkejut mendengar kabar buruk yang di beritakan Fathir melalui sambungan telepon.
" Gas, sabar ya ! " ucap Yanuar menenangkan.
Sementara Bagas masih terdiam mematung tak bergeming. Ia masih tak percaya dengan apa yang sudah terjadi di kampung halaman nya. Peristiwa kebakaran telah merampas nyawa kedua orang tua nya.
" Kenapa harus seperti ini, KENAPA? " jerit Bagas seraya memukul apa saja yang ada di hadapan nya, bahkan kepalan tangan nya pun melayang memukul dinding hingga jemari Bagas berdarah darah.
" Gas jangan seperti ini, istigfar ! " titah Yanuar.
" Iya Gas, sabar tenang,, " ujar Aryo.
Bagas menoleh menatap mereka satu persatu.
" Kalian bilang tenang? Sabar? Bagaimana aku bisa tenang sedang orang tua ku di sana meninggal ? " kata Bagas dengan nada tinggi.
" Iya aku tau, tapi jangan kaya gini. Harusnya kamu berdoa untuk mereka. Tenangkan diri kamu, sekarang juga kita pulang ke kampung mu. " Yanuar mengguncangkan bahu Bagas.
Bagas memang tipikal orang yang tak bisa mengontrol diri dalam keadaan apapun. Dia cenderung mudah tersulut emosi. Wajar saja ia bersedih, karena siapapun pasti akan terpukul saat mendengar kabar orang tua meninggal apalagi kedua-dua nya yang pergi dan di panggil Sang Khalik. Pasti berat untuk Bagas juga Kirana.
Bagas, Aryo dan Yanuar pun bergegas menuju desa Jatiasih. Waktu mereka tak banyak, apalagi perjalanan menuju ke sana cukup jauh. Tak yakin jika mereka sampai nanti bisa melihat jenazah Pak Bahari dan Bu Ratna. Pasti nya dua jenazah tersebut sudah di kebumikan sebelum mereka sampai ke sana.
Matahari semakin condong ke arah barat. Kirana dan Bagas sudah tiba di desa Jatiasih, namun sayang nya mereka tak sempat melihat jenazah kedua orang tua untuk yang terakhir kali nya. Karena jenazah Pak Bahari dan Bu Ratna telah di kebumikan siang hari. Sementara Bagas maupun Kirana datang di saat menjelang sore. Para warga tak bisa menunggu kedatangan mereka untuk melakukan proses pemakaman, karena tak baik jika jenazah di biarkan lebih lama lagi dan harus segera di kebumikan. Apalagi kondisi jenazah sudah tak utuh, sekujur tubuh kedua korban mengelupas dan gosong akibat terbakar kobaran api.
Kirana dan Bagas hanya mampu bersimpuh di hadapan gundukan tanah merah basah bertabur bunga yang masih segar.
" Ibu,, Ayah,,jangan tinggalkan Kirana," lirih nya.
" Kirana yang sabar ya. Semua sudah takdir Allah, kita harus menerima dengan ikhlas. Jangan beratkan kepergian mereka dengan air mata mu. " Ustad Sahir mencoba mengingatkan jika siapapun manusia di dunia ini pasti akan menerima azal nya. Sejati nya di dunia ini tak ada yang abadi, semua akan kembali pada pemiliknya. Yakni pada Tuhan Sang Pemilik hidup dan mati.
Sekuat hati Kirana mencoba berusaha tegar, mengikhlaskan kepergian kedua orang tua yang teramat ia cintai. Meski dadanya terasa sesak dan sakit atas kepulangan mereka ke Rahmatullah.
" Lebih baik kita berdoa untuk kedua orang tua mu. Agar amal ibadah mereka di terima di sisi Allah, di lapangkan alam kubur nya, di ampuni dosa-dosa nya, " lanjut Ustad Sahir.
" Betul kata Pak Ustad, Neng. Kita tidak boleh larut dalam kesedihan. Di sini bibi , Mang Nur, kami semua sangat terpukul dengan musibah yang menimpa orang tua neng Kirana. " Bi Sari mendekat dan merangkul tubuh Kirana, menyandarkan kepala gadis itu ke bahu nya.
Kirana merasa nyaman berada dalam pelukan Bi Sari, rasanya ia teringat pada sosok ibu nya. Mulai saat ini ia tak akan lagi bisa merasakan pelukan hangat Bu Ratna, ibu kandung nya.
Ustad Sahir mulai memimpin doa, semua orang yang berada di pemakaman turut mengangkat kedua telapak tangan. Mereka berdoa di depan dua kuburan baru, yakni tempat peristirahatan terakhir Pak Bahari dan Bu Ratna.
Semua tampak khusuk dan memejamkan mata, termasuk Kirana. Hati gadis itu terus berperang melawan perasaan tak rela di tinggal pergi oleh orang tua nya. Ia mungkin bisa sabar, tapi ikhlas itu sangat lah sulit.
Kirana terus meminta kelapangan hati dan ketegaran pada Allah, selain dari doa yang ia panjatkan untuk kedua orang tua nya yang telah tiada. Kirana juga memanjatkan doa untuk ketenangan serta keikhlasan hati nya.
Saat mata terpejam, hanya kegelapan yang terlihat. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja sebuah bayangan melintas di benak nya. Satu sosok yang tak asing muncul begitu saja dalam kekosongan pikiran dan kekalutan hati.
Sosok Nyi Laksmi dengan balutan kebaya merah dan kain jarik sebagai bawahan nya, tampak menyeringai. Manik mata wanita tua itu berkilat memancarkan api kemarahan yang tak kunjung padam. Garis hitam di area cekungan mata keriput menambah sosok tersebut tampak menyeramkan. Sorot mata nya seolah mengisyaratkan jika permainan akan segera di mulai.
Ada firasat buruk berkecamuk memenuhi hati dan pikiran Kirana saat melihat bayangan sosok tersebut. Mulut nya seolah terkunci rapat, tubuh Kirana pun bergetar dan lemas. Ia yang semula berjongkok dan berdoa pun seketika lunglai dan ambruk. Untung saja Bi Sari yang berada tepat di samping nya segera membuka mata dan menahan tubuh Kirana yang hampir saja tersungkur ke tanah.
" Astagfirullahaladzim, " ujar Bi Sari panik.
Langit yang semula di hiasi lembayung senja berwarna kuning kemerahan tiba-tiba saja tertutup awan gelap dengan kilatan cahaya petir di iringi suara guntur dari kejauhan.
Ustad Sahir selesai memimpin doa, ia mendongakan wajah nya menatap cakrawala kelabu. Begitupun dengan Bagas, Yanuar, Fathir dan yang lain nya.
" Lebih baik kita segera pulang, sepertinya hujan akan turun. " Ustad Sahir berdiri mengajak semua yang ada di sana untuk pulang.
" Bantu bawa Kirana ke dalam mobil, " lanjut Ustad Sahir pada Santriwatinya. Dengan di bantu Bi Sari mereka pun segera membopong Kirana ke dalam mobil milik Bagas.
" Aku dan Kirana pulang ke mana Ustad? Rumah kami habis terbakar tak bersisa. " Bagas yang sedari tadi hanya terdiam mulai angkat bicara. Dalam diam nya itu bukan hanya kesedihan tetapi juga amarah dan ketidaksiapan atas kepergian kedua orang tua mereka.
" Den Bagas sama Non Kirana tinggal di rumah mamang, " kata Mang Nur.
Bagas mengernyitkan dahi hingga muncul kerutan di sekitar keningnya. Di rumah Mang Nur? Rumah kecil, kumuh dan jelek. Bagaimana bisa Bagas tinggal di rumah semacam itu?
Perlahan gerimis pun mulai turun. Bagas tak mengiyakan atau menolak ajak kan Mang Nur untuk tinggal di rumah nya. Tapi apa boleh buat, curah hujan mulai rapat dan deras. Tak ada pilihan lain selain mengikuti Mang Nur dan Bi Sari. Sementara Ustad Sahir dan para santri juga santriwati nya memilih berteduh di rumah Fathir. Karena tak mungkin jika semua ikut tinggal di rumah Mang Nur. Mengingat rumah Mang Nur maupun Fathir sama-sama berukuran kecil, hingga mereka harus membagi tempat untuk berteduh setidak nya sampai hujan reda. Belum lagi Bagas pun membawa serta Aryo dan Yanuar ke rumah Mang Nur.
Jarak dari pemakaman umum ke tempat mereka tak begitu jauh. Hingga mereka bisa cepat sampai sebelum hujan kian mengguyur deras. Seakan bumi dan langit pun turut berduka atas kepergian Pak Bahari dan Bu Ratna.
Suara guntur menggelegar, kilatan cahaya tampak membelah langit yang kian menghitam.
Bi Sari segera menuju dapur sesampai nya mereka di rumah. Ia hendak membuatkan teh hangat untuk Kirana, Bagas dan yang lain.
Kirana sudah siuman sejak ia berada dalam mobil, kini ia di baringkan di kamar Bi Sari. Tubuh nya masih lemas tak bertenaga, dalam hati nya tersemat tanda tanya besar atas apa yang ia lihat dalam bayangan di benak nya. Ada rasa cemas dan takut jika ternyata sosok Nyi Laksmi benar-benar kembali. Tapi apa lagi yang leluhurnya itu inginkan? Dan apakah kejadian yang menimpa orang tua Kirana ada sangkut paut dengan kembali nya Nyi Laksmi?
Kirana harap pikiran buruk nya itu tidak benar, perasaan nya terus menyangkal sebuah firasat yang tak mengenakan. Ia juga enggan mengatakan apa yang ia alami barusan pada Bagas maupun Mang Nur dan Bi Sari. Semua ia anggap hanya bayangan biasa yang kemungkinan muncul karena cukup lama tak menginjakan kaki di desa Jatiasih semenjak ia tinggal di pesantren Ustad Sahir.
Bisa saja pikiran buruk itu muncul saat ia tiba di desa ini, desa yang memang meninggalkan kenangan pahit yang ia alami semasa jiwa nya di ganggu makhluk astral. Mungkin saja ia trauma hingga sosok leluhurnya kembali menghantui pikiran nya. Kirana berusaha berpikiran seperti itu, menepis keyakinan yang terus membisik jika Nyi Laksmi telah kembali.
Terdengar suara Yanuar, Bagas, Aryo dan Mang Nur sedang berbincang di luar sana. Tampak nya Bagas masih tak rela dengan peristiwa yang merenggut nyawa kedua orang tua nya. Bisa Kirana dengar dari cara dia berbicara pada Mang Nur. Bahkan Bagas terus meminta penjelasan pada Mang Nur, apa penyebab dari kebakaran itu?
Padahal berulang kali Mang Nur bilang jika ia sendiri pun tidak tau dan tak berada di lokasi kejadian. Setelah di evakuasi warga, tak ada tanda-tanda yang menunjukan penyebab kebakaran. Hanya saja mereka berkesimpulan, kemungkinan besar dari korsleting arus listrik. Entah lah yang pasti Bagas masih tak terima alasan apapun, karena jika memang penyebabnya di karenakan korsleting listrik mungkin kedua orang tua nya akan segera keluar rumah sebelum percikan api kian membesar. Terlebih musibah tersebut terjadi di pagi hari, dimana kedua orang tua nya sudah beraktifitas.
Memang sedikit janggal jika di telisik oleh logika, tapi bagaimana pun tak ada yang bisa menghentikan jika sudah kehendak Tuhan. Apalagi sebatas akal manusia tentu tak akan dapat menjangkau kuasa illahi.
Kirana yang semula terbaring pun kini duduk di atas ranjang kapuk. Menekuk lutut dan membenamkan wajah di antara dada dan lutut nya. Seraya terus mendengarkan pembicaraan mereka di luar sana. Hampir lima tahun ia berada di pesantren, dan ini kali pertama untuk diri nya menginjakan lagi kaki di desa Jatiasih. Namun kembali desa ini mengukir peristiwa memilukan sekali pun setelah lama ia tinggal pergi dan kembali dengan membawa berita buruk.
Seolah desa Jatiasih ini sebuah desa kutukan bagi diri nya, dimana deretan kejadian buruk terjadi. Dan fakta-fakta mencengangkan terkuak di sini.
Lima tahun lalu, ia memutuskan tinggal di pesantren. Selain untuk belajar ilmu agama, ia juga ingin menyembuhkan trauma mendalam yang terjadi selama ia tinggal di desa Jatiasih. Sebab itu ia tak pernah kembali ke desa ini sebelum trauma itu hilang. Karena alasan tersebut selama ia tinggal di pesantren, orang tua nya yang berkunjung ke sana.
Tapi kini, sebuah kejadian mengenaskan menimpa kedua orang tua nya hingga menimbulkan trauma baru untuk nya.
" Non. " Bi Sari membuka pintu kamar, berjalan mendekat ke arah Kirana yang kini mendongakkan wajah saat lamunan nya buyar.
Secangkir teh hangat dalam genggaman Bi Sari, terlihat asap tipis mengepul dari cangkir tersebut.
" Minum dulu. " Bi Sari duduk di bibir ranjang, menyodorkan secangkir teh pada Kirana.
" Makasih bi, " ucap Kirana dengan suara parau. Kirana meraih cangkir tersebut dan menyeruput air teh hangat sedikit demi sedikit.
Air itu terasa menghangatkan tenggorokan dan perutnya. Cuaca dingin yang di sebabkan guyuran hujan membuat tubuh Kirana terasa membeku. Namun serasa lebih baik setelah akhirnya ia meneguk sedikit demi sedikit teh hangat yang di berikan Bi Sari.
Di dalam kamar, Kirana sudah membuka cadar nya. Bi Sari menatap wajah Kirana yang sayu. Terpancar aura yang berbeda dari diri gadis itu setelah lama Bi Sari tak bertemu dengan nya. Kirana makin cantik setelah mahkota nya terbalut oleh hijab, serta pakaian syar'i yang melekat indah di tubuh nya. Membuat Kirana terlihat jauh berbeda dari sebelum nya. Sayang nya di balik wajah cantik itu tersirat kesedihan dan luka yang mendalam, bisa Bi Sari lihat dari garis wajah nya.
" Neng yang ikhlas ya. Agar orang tua neng tenang di alam sana. Neng juga tak perlu khawatir, ada bibi dan mamang yang akan menjaga Neng Kirana. Anggap saja kami sebagai orang tua, karena kami juga sudah menganggap Neng Kirana sama Den Bagas seperti anak kandung kami sendiri. " Bi Sari mengusap pipi Kirana. Tatapan hangat dan perlakuan lembut wanita itu makin membuat Kirana rindu pada Ibu nya.
" Iya bi, makasih. Maaf jika nanti saya dan Kak Bagas akan merepotkan Bibi sama Mang Nur. Apalagi sekarang kami tak punya tempat tinggal, " lirih Kirana.
" Sssttt, jangan bicara begitu. Dengan senang hati bibi membantu neng Kirana. Sungguh tak merepotkan, hanya saja keadaan kami seperti ini. Semoga Neng maklum. " Mata Bi Sari mengedar ke langit-langit dan sekeliling kamar sempit , seakan menunjukan keadaan rumah nya yang kecil dan tak semewah milik orang tua Kirana.
" Tidak apa-apa bi. " Kirana mengulas senyum tipis.
" Di izinkan tinggal di sini saja sudah alhamdulillah, " lanjut nya.
" Kalau begitu lebih baik Neng istirahat. Pasti Neng capek setelah menempuh perjalanan jauh dari pesantren ke sini, " kata Bi Sari.
Kirana menjawab dengan sebuah anggukkan.
" Bibi tinggal dulu ya, mau siapin makanan buat nanti makan malam. Neng istirahat saja di sini, tapi jangan sampai ketiduran. Soalnya udah mau surup, pamali tidur di waktu seperti ini. " Bi Sari pun berdiri dari duduk, ia segera melenggang pergi meninggalkan Kirana di kamar.
Kirana menyandarkan tubuh nya di ranjang, sambil menunggu adzan maghrib berkumandang ia memilih untuk beristirahat sejenak. Bi Sari benar, tubuh Kirana memang lelah setelah menempuh jarak yang jauh dari pesantren ke desa Jatiasih.
Tak hanya tubuh saja yang terasa lelah, bahkan pikiran nya pun cukup terkuras.
Sayup terdengar adzan maghrib berkumandang, di tengah obrolan Bagas yang kian memanas di luar sana. Entah kenapa hati Bagas begitu keras. Ia masih saja tak bisa rela dan menerima kenyataan. Apalagi ia sadar jika saat ini tak punya apa-apa lagi, harta benda pun habis terlalap api. Hanya tinggal mobil yang Bagas miliki, selain itu semua habis tak bersisa.
Di tengah suara guyuran hujan dan kumandang adzan. Terdengar Bagas berteriak dan pergi keluar rumah, menembus derasnya air hujan. Yanuar dan Aryo sudah berusaha mencegah agar Bagas tak pergi, tapi Mang Nur menahan keduanya untuk membiarkan Bagas pergi. Bagas butuh waktu sendiri. Itu kata Mang Nur.
Mengetahui Kakak nya pergi, Kirana bergegas meraih cadar di atas nakas dan memakainya. Kemudian ia keluar mencoba untuk menghentikan Bagas yang kian berulah di saat genting seperti ini.
" Kak Bagas tunggu !! " teriak Kirana.
" Neng, udah biarkan Den Bagas pergi. Mungkin dia butuh waktu merenung sendiri dan menerima kenyataan ini. " Mang Nur menghalangi jalan Kirana yang hampir saja sampai ke teras rumah.
" Iya Kirana. Nanti juga dia pasti kembali kok, " kata Aryo.
Kirana pun mendengar nasihat Mang Nur, ia duduk di kursi kayu di ruang tamu . Hati nya seakan tak ingin membiarkan Bagas pergi di waktu seperti ini. Sulit sekali mengartikan perasaan yang seakan tau sesuatu namun ia sendiri tak bisa menjelaskan nya. Jauh di lubuk hati Kirana terus saja menunjukan sebuah firasat buruk.
" Aku salut sama kamu, kamu lebih tegar dan ikhlas menghadapi semua ini. Jauh sekali dengan Bagas kakak mu yang masih kekanak-kanakan dan tak bisa mengontrol emosi. Padahal dia laki-laki dan kamu perempuan, tapi kamu lebih kuat darinya, " ucap Yanuar memuji Kirana.
Kirana yang mendengar itu hanya menoleh ke arah Yanuar sekilas, kemudian membuang muka.
" Jangan berlebihan memuji seseorang. Aku tak sekuat yang kakak kira, aku juga manusia, bisa rapuh sama hal nya dengan kak Bagas. Mungkin dia hanya butuh waktu saja menerima kenyataan ini, betul kata Mang Nur. " Kirana berdiri dan menuju ruang belakang, ia hendak mengambil wudhu untuk melaksanakan shalat maghrib. Ia harap setelah beribadah nanti hati nya bisa jauh lebih tenang dari sekarang.
Mendengar penuturan Kirana, Yanuar makin jatuh hati saja pada gadis itu. Entah kenapa perasaan nya pada Kirana. tak pernah berubah dari dulu bahkan hingga detik ini. Apalagi sekarang Kirana tampak jauh lebih dewasa baik dari segi penampilan ataupun sikap. Kecantikan Kirana makin terpancar luar dalam setelah gadis itu mengenakan hijab dan berbalut busana muslim yang menutupi semua aurat. Wanita seperti Kirana sungguh sangat pantas untuk di jadikan istri. Selain luar nya yang mencerminkan pribadi muslim yang baik, sudah pasti ilmu agama nya pun mumpuni apalagi sudah cukup lama Kirana mengenyam pendidikan agama di pesantren.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!