NovelToon NovelToon

Terpaut 20 Tahun

Bab 1. Pertemuan Tak Di Sengaja

Gerimis rintik-rintik turun di kota Jakarta. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang cenderung lambat melintasi jalanan yang licin. Hari sudah mulai gelap tetapi jalanan kota semakin ramai.

Meskipun laju mobilnya sangat pelan, tetapi Affan merasa sangat terkejut dan menginjak remnya secara mendadak ketika melihat seseorang yang tiba-tiba melintas.

"Astagfirullah!" pekiknya sambil memegangi dadanya yang berguncang.

Affan menepikan mobilnya dan berhenti sejenak untuk menghilangkan rasa gugupnya.

Belum juga hilang keterkejutannya, di luar mobilnya seorang gadis yang melintas tadi menggedor-gedor pintunya. Kening Affan berkerut. Dia merasa tidak asing dengan gadis berseragam SMA itu.

Melihat wajahnya yang ketakutan, Affan pun membukakan pintu mobilnya dan memintanya masuk. Tidak lama kemudian muncul seorang pria yang berlari dari arah yang sama dengan gadis itu.

"Tolong jangan katakan aku di sini, Pak!" Gadis itu menunduk dan bersembunyi di balik jas milik Affan yang semula dia letakkan di samping kemudinya.

Kaca mobil Affan yang gelap membuat seseorang kesulitan untuk melihat pengemudi dan penumpang di dalamnya. Pria itu terlihat celingukan dan kembali berlari setelah tidak menemukan orang yang dia cari di mobil Affan.

Gadis itu merasa lega setelah melihat pria itu benar-benar menjauh dan tidak kembali lagi ke sana. Kini dia memperhatikan wajah pria di sampingnya yang tidak lain adalah ayah dari temannya.

"Om Affan!" Gadis itu terkejut dan terlihat malu. Karena terburu-buru kabur dia tidak sempat menggunakan jilbabnya. Sadar akan hal itu dia segera mengenakannya meskipun jilbabnya basah terkena air hujan.

"Astagfirullah!" Affan kembali beristighfar ketika melihat pemandangan yang tidak seharusnya dia lihat. Dia memalingkan wajahnya dan menunggu hingga gadis itu selesai memakai hijabnya.

"Ma-maaf, Om. Aku ... aku membuat jas ini basah," ucap gadis itu sambil membentangkan jas milik Affan di hadapannya.

"Tidak masalah Aira. Jas itu juga kotor dan harus segera dicuci. Apa yang terjadi padamu? Mengapa kamu berlari di tengah hujan? Dan ... dan ... siapa orang yang mengejarmu tadi?"

Pertanyaan Affan yang begitu banyak membuat Aira kesulitan untuk menjawabnya. Dia terlihat bingung dan tidak tahu pertanyaan yang mana yang harus dijawab lebih dulu. Sisa-sisa ketakutan masih tergambar jelas di wajahnya.

"Kamu tidak perlu menjawabnya jika tidak ingin. Aku akan mengantarmu pulang. Tidak baik anak gadis berada di luar malam-malam begini."

Melihat kediaman Aira, Affan pun menduga jika gadis itu tidak ingin menjawab pertanyaannya. Orang tuanya pasti sangat khawatir jika dia tidak segera pulang, pikirnya.

Aira terlihat sedih. Sebenarnya dia sangat ingin menceritakan tentang semua hal yang dia alami pada Affan. Namun, untuk saat ini rasa takutnya masih menguasai dirinya.

Affan memperhatikan Aira dari spion. Dia tidak berani menatapnya secara langsung. Dari pantulan spion dia bisa melihat dengan jelas jika air mata Aira terus mengalir meskipun tidak terdengar isaknya.

'Kelihatannya ada yang tidak beres dengan Aira. Aku tidak ingin ikut campur dalam masalahnya, tetapi melihatnya seperti ini aku juga tidak tega.' Affan terlihat gelisah.

Affan selalu membawa air mineral di dalam mobilnya. Saat lampu merah dia mengambil satu botol dan memberikannya untuk Aira.

"Terimakasih, Om."

Aira memang merasa sangat haus. Meskipun dia melihat ada air minum dihadapannya dia tidak berani untuk mengambilnya. Dia bersyukur akhirnya Affan memberikannya tanpa diminta.

"Sama-sama."

Affan kembali melajukan mobilnya setelah lampu lalu lintas berubah menjadi warna hijau. Dia memutar arah dan berbelok ke alamat rumah Aira. Dia sudah hafal tempat tinggalnya karena beberapa kali mengantarkan Faya ke sana. Faya adalah putrinya yang merupakan teman sekelas Aira.

Setelah menurunkan Aira, Affan kembali melajukan mobilnya untuk pulang ke rumahnya. Namun, baru beberapa meter dia berjalan, dia melihat tas Aira tertinggal di mobilnya. Affan kembali memundurkan mobilnya dengan hati-hati.

Pemandangan yang sangat menyedihkan terlihat di hadapannya. Orang tua Aira terlihat sangat marah padanya. Mereka melemparkan tas, pakaian dan barang-barang milik Aira keluar. Aira berdiri mematung dan menangis seorang diri karena orang tuanya telah masuk dan menutup pintu rumahnya.

Affan turun dari mobilnya dan berjalan menghampiri Aira. Kedatangannya membuat Aira terkejut dan segera menghapus air matanya. Lagi-lagi gadis itu terdiam. Mungkin hatinya sedang rapuh dan tidak sanggup untuk bercerita saat ini.

Aira memunguti barang-barangnya dan berjalan menghampiri pintu rumahnya. Berharap sang pemilik rumah mau berbelas kasihan padanya.

"Om, Tante! Maafkan Aira, Om, Tante!" panggil Aira sambil mengetuk-ngetuk pintu di hadapannya.

'Om, Tante? Jadi mereka bukan orang tua Aira? Jadi selama ini Aira tidak tinggal bersama orang tuanya?' Affan mengernyit heran. Entah apa yang mendorongnya, dia tidak ingin meninggalkan Aira seorang diri.

****

Bersambung ....

Bab 2. Pernikahan Mengejutkan

Aira terus mengetuk pintu rumahnya sambil meminta maaf hingga suaranya serak. Namun, om dan tantenya tidak mau peduli. Mereka tidak juga membukakan pintu untuknya.

Affan merasa iba pada Aira tetapi dia tidak tahu bagaimana harus bersikap. Tidak peduli sebesar apa kesalahan yang dilakukan oleh Aira, seharusnya om dan tantenya tidak harus mengusirnya seperti ini.

Isak tangis Aira membuat hatinya teriris. Affan memunguti barang-barang milik Aira yang masih tercecer lalu membawanya ke hadapan pemiliknya.

Keadaan Aira terlihat sangat menyedihkan. Dia terduduk di teras rumahnya sambil memeluk lututnya. Dagunya menempel di lututnya untuk menyangga kepalanya yang terasa berat

"Aira. Bolehkah aku tahu apa yang terjadi? Mungkin aku bisa membantumu." Affan duduk berjongkok di hadapan Aira.

Aira menatap wajah Affan dengan mata sembabnya. Air matanya masih mengalir tanpa permisi. Besar keinginannya untuk bercerita tetapi bibirnya sulit untuk digerakkan.

Warga yang tinggal di sekitar rumah Aira mulai berdatangan. Kabar begitu cepat menyebar meskipun pada awalnya hanya satu dua orang saja yang tahu. Mereka saling berbisik sambil melirik ke arah keduanya.

Affan menjauh dari Aira dan menjaga pandangannya. Kini dia berpaling ke arah warga yang berkerumun dan berniat untuk meminta tolong pada mereka.

"Tunggu di sini! Aku akan bertanya di mana rumah ketua RT pada mereka. Aku ingin mereka menyelesaikan masalah di keluargamu," ucap Affan lembut.

Aira mengangguk. Badannya berguncang saat terisak.

Baru beberapa langkah dia berjalan. Sebuah mobil Alphard berwarna putih berhenti tepat di belakang mobilnya. Seorang pria keluar dari dalam mobil itu dan melangkah menyibak kerumunan.

Pria itu melangkah tergesa menuju ke arah Affan dan Aira berada. Tangannya mengepal dan sorot matanya terlihat menakutkan.

Aira segera beranjak dari duduknya dan menyusul Affan. Dia berlindung di balik punggung ayah sahabatnya itu.

Melihat wajah takut Aira, Affan merasa ada sesuatu yang tidak beres. Pria itu adalah pria yang mengejar Aira sebelum dia mengantarkannya pulang.

"Oh, jadi kamu memilih berkencan dengan om-om daripada bersamaku. Atau jangan-jangan kamu sudah menjalin hubungan dengan pria ini sejak lama? Hebat! Prok! Prok Prok!" Pria itu bertepuk tangan sambil menatap Aira dengan pandangan menghina.

"Jaga ucapanmu, Mas! Jangan asal bicara. Kami tidak serendah itu." Affan tidak terima dia dituduh telah melakukan hal yang tidak pernah dilakukannya.

"Sok alim! Kamu pikir aku tidak tahu jika kamu sering mengantarkan Aira pulang dari sekolah!"

Affan terkejut mendengar ucapan pria itu. Dia memang beberapa kali mengantarkan Aira pulang, tetapi mereka tidak hanya berduaan. Ada Faya juga di dalam mobilnya.

"Sepertinya kamu salah paham. Sebaiknya kita duduk bersama dan membicarakan hal ini baik-baik." Affan mengangkat kedua tangannya sebatas dada berusaha menenangkan pria di hadapannya.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Affan.

Beberapa orang warga lari mendekat dan memegangi tubuh pria itu. Mereka tidak ingin melihat perkelahian di sana

"Tenangkan dirimu, Rehan! Kita selesaikan masalah ini baik-baik," ucap salah satu warga yang memegangi Rehan.

"Lepaskan aku! Aku ingin menghajar pria brengsek ini. Berani-beraninya dia merebut calon istriku!" Rehan mencoba memberontak.

"Calon istri?" Affan menarik napasnya dalam. Kejadian yang terjadi hari ini benar-benar membuatnya bingung. Dia dihadapkan dengan masalah yang tidak dia pahami.

Om dan tante Aira keluar dari dalam rumah setelah mendengar keributan yang terjadi di luar. Tidak lama kemudian Pak Seno selaku ketua RT setempat datang ke sana. Entah siapa yang memanggilnya.

Agung dan Reni terlihat gugup. Mereka tidak menyangka tindakannya mengusir Aira malam ini akan berbuntut panjang. Wajah mereka terlihat pucat pasi saat melihat Rehan yang menatap mereka tajam.

Pak Seno meminta Rehan, Aira, dan Affan masuk ke dalam rumah Agung. Dia juga meminta empat orang warga ikut bersamanya untuk menyelesaikan masalah ini.

Mereka duduk bersama untuk membicarakan keributan yang terjadi. Pak Seno meminta Agung untuk menjelaskan apa yang terjadi.

Agung memiliki banyak hutang pada Rehan, perjaka tua yang tinggal di seberang rumahnya. Dia akan menganggap hutang mereka lunas jika Agung menikahkan Aira dengannya.

Hari ini, Rehan menjemput Aira sepulang sekolah dan membawanya jalan-jalan. Rencananya malam ini mereka akan menginap di hotel dan menghabiskan malam di sana. Aira menolak keinginan Rehan untuk melakukan hal dewasa layaknya sepasang suami istri.

Tidak ingin namanya menjadi buruk di mata masyarakat, Rehan memutar balikkan fakta dan membuat seolah-olah Affan yang bersalah. Dia mengatakan jika tidak semua yang dikatakan oleh Aira benar. Rehan juga mengatakan jika Aira sudah tidak suci lagi dan tidak lagi berminat untuk menikahinya.

Hati Aira benar-benar hancur. Fitnah itu begitu kejam dan membuatnya tak berdaya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Kemalangan terus menerus datang memporak-porandakan hidupnya. Setelah kematian kedua orangtuanya, dia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Agung.

Rehan menuntut Agung untuk segera melunasi hutang-hutangnya atau mereka harus pergi dari rumah yang mereka tinggali saat ini. Mendengar akan hal itu, muncul pikiran jahat dipikirannya. Dia memaksa Affan untuk mempertanggungjawabkan kesalahan yang tidak dia perbuat.

Ketua RT pun sependapat dengan Agung. Dengan alasan tidak ingin membuat nama kampung mereka menjadi buruk, dia meminta Affan untuk bertanggung jawab dan menikahi Aira.

Pernikahan ini bertolak belakang dengan isi hatinya, tetapi dia tidak bisa membiarkan Aira dinilai buruk di mata masyarakat. Dengan terpaksa Affan pun menyetujui pernikahan ini. Dia juga melunasi seluruh hutang-hutang Agung pada Rehan.

Malam itu juga, Affan menikahi Aira secara agama dengan disaksikan oleh warga sekitar.

'Ya, Allah. Aku hanya manusia biasa yang memiliki perasaan. Semua yang terjadi begitu mengejutkan dan aku tidak bisa berpikir lagi.' Affan tertunduk lesu sambil memegangi kepalanya yang terasa berat.

Aira yang telah selesai mengemasi barang-barang miliknya berdiri mematung di hadapan Affan.

Agung dan Reni melihat keduanya dengan perasaan tidak senang. Meskipun begitu, Affan tetap bersikap sopan pada mereka.

"Om, Tante. Saya dan Aira mohon pamit. Terimakasih sudah menjaga Aira selama ini. Selamat malam." Affan meraih tangan Agung dan menyalaminya.

Aira belum bisa menguasai dirinya. Dia hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh Affan tanpa mengucapkan sepatah katapun. Saat ini dia tak ubahnya hanya boneka yang dijual sebagai penebus hutang.

Tidak ada penyesalan di wajah Agung.

"Tinggalkan celenganmu! Kamu pikir itu uang dari mana? Setiap hari kami memberimu uang saku, kan?" ketus Reni.

Affan menatap Aira dengan lembut lalu mengangguk pelan. Dia ingin Aira merelakan barang yang diinginkan oleh tantenya itu.

Aira meletakkan celengan itu di atas meja dan melangkah mengikuti Affan untuk tinggal bersama. Hatinya berkecamuk. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini dan bagaimana tanggapan Faya tentang status barunya.

****

Bersambung ....

Bab 3. Pembicaraan Serius

Sebagian warga masih berdiri di luar pagar rumah Agung dan Reni. Mereka merasa iba dengan nasib Aira. Belum genap setahun dia tinggal di sana, tetapi harus pergi dalam keadaan terhina. Tidak semuanya percaya dengan apa yang dikatakan oleh Rehan yang terkenal sangat arogan di kampungnya.

"Aira!" panggil bu Isna, tetangga samping rumahnya yang sering mengobrol dengannya.

Aira menghentikan langkahnya. Saat ini dia adalah tanggung jawab Affan sehingga dia tidak bisa seenaknya. Tanpa seijinnya dia tidak berani mendekati bu Isna.

Affan mengangguk sebagai isyarat jika dia mengijinkannya untuk pergi menemui bu Isna dan ibu-ibu yang berdiri menunggunya.

Tangis mereka pecah ketika Aira sampai di hadapan mereka dan memeluk bu Isna. Ibu-ibu yang lain ikut memeluknya bergantian. Mereka tidak sanggup berkata-kata tertahan oleh kesedihannya.

"Jaga dirimu baik-baik, Nak. Kamu boleh main ke rumah ibu kalau ada waktu." Bu Isna tidak ingin menahan Aira lebih lama lagi. Malam sudah larut dan semakin gelap karena mendung yang hampir turun hujan.

"Terimakasih, Bu. Kami permisi!" Aira dan Affan mencium punggung tangan ibu-ibu itu satu persatu.

Mereka berpesan pada Affan agar menjaga Aira dengan baik dan tidak menyakitinya. Meskipun berat melepaskan gadis yatim piatu itu, tetapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Meskipun baru menikah secara agama, Affan lebih berhak dari siapapun atas diri Aira.

Affan membukakan pintu mobil untuk Aira. Mereka tidak bisa lagi berlama-lama di sana karena gerimis mulai turun.

Untuk beberapa saat mereka terdiam. Affan fokus melihat jalanan sambil mengemudi sedangkan Aira melihat ke luar jendela sambil bergumam. Dia berdzikir di tengah hatinya yang dilanda kegelisahan.

'Apa yang akan dipikirkan Faya tentang diriku? Aku tiba-tiba pulang ke rumahnya dan menjadi ibu tirinya. Pasti dia akan sangat marah dan kecewa. Selama ini dia selalu menolak keinginan ayahnya untuk menikahi Bu Amanda, bawahan ayahnya di kantornya.' Aira *******-***** ujung jilbabnya.

Affan mengamati apa yang dilakukan oleh Aira. Meskipun hatinya kalut, dia sudah dewasa dan bisa berdamai dengan kenyataan. Dalam hal ini dia harus bersikap layaknya seorang ayah, bukan sebagai suami.

Affan Karim adalah seorang duda berusia tiga puluh delapan tahun. Istrinya meninggal ketika melahirkan Faya. Dia telah menduda selama dua puluh tahun dan membesarkan Faya seorang diri. Kedua orang tuanya membantunya merawat Faya sewaktu bayi, tetapi mereka juga dipanggil Sang Khaliq beberapa tahun kemudian.

Ayahnya meninggal ketika Faya berusia tujuh tahun dan tiga tahun kemudian ibunya menyusul. Untuk kebutuhan keluarganya, Affan mengelola perusahaan peninggalan ayahnya yang bergerak di bidang properti.

Menikah muda adalah pilihannya, tetapi siapa sangka dia hanya menikmati pernikahan itu selama dua tahun saja. Affan dan Kayra menikah setelah tamat SMA dan berkuliah di universitas yang sama. Setelah menikah Affan membuka sebuah kafe di depan universitas mereka. Dari pendapatannya dia bisa menghidupi istrinya dan membiayai kuliah mereka berdua.

"Aira!" panggil Affan lembut.

Aira menoleh pada pria yang beberapa menit yang lalu bersaksi kepada Tuhan untuk mengambil tanggung jawab atasnya.

"Iya, Om. Eee ... maaf aku tidak tahu harus memanggil Anda siapa." Aira terlihat canggung dan salah tingkah.

"Panggil saja seperti biasanya. Aku memang lebih pantas untuk menjadi paman atau ayahmu," ucap Affan dengan ekspresi yang datar.

"Bub-bu-bukan begitu maksudku, Om. Eh, Mas." Aira meralat ucapannya lalu menutup mulutnya sambil melirik malu ke arah Affan.

Bola matanya terlihat begitu indah dengan wajah cantik yang terlihat natural.

"Jangan menjadikan beban hanya untuk sebuah panggilan. Ada hal penting yang ingin aku sampaikan padamu secara pribadi." Affan membelokkan mobilnya untuk menepi lalu menghentikannya di sebuah tempat yang sepi.

Jantung Aira berdetak sangat kencang setelah mendengar ucapan Affan. Mobil itu berhenti di sebuah tempat yang gelap. Berbagai pikiran negatif berseliweran di kepalanya, meskipun mereka telah sah sebagai suami istri tidak seharusnya Affan membawanya ke tempat seperti ini.

Affan mengerti ketakutan di wajah Aira. Gadis lugu sepertinya pasti tidak berpengalaman dalam urusan percintaan.

"Kamu jangan merasa salah paham, Aira. Aku tidak akan mengambil hakku sebagai seorang suami. Hubungan kita tidak berlandaskan cinta dan rasa saling memiliki. Setelah ini, kamu bisa memilih pria yang kamu sukai. Aku tidak bermaksud untuk mempermainkan sebuah pernikahan. Aku hanya tidak ingin membuat masa depanmu hancur karena keegoisanku." Affan menjelaskan apa yang ada di dalam pikirannya.

Aira menarik napas lalu menghembuskannya secara perlahan. Sebagai seorang yang mengerti agama, dia tidak lantas senang dengan ucapan Affan. Meskipun belum ada perasaan di hatinya, tetapi dia tidak ingin mempermainkan sebuah pernikahan. Bisa saja apa yang terjadi malam ini memang sudah tertulis di dalam buku takdirnya.

"Apakah, Om, em, Mas akan menceraikan aku malam ini juga? Atau ada seseorang yang sedang menunggu Anda untuk dinikahi?" tanya Aira setelah hatinya merasa sedikit tenang.

Affan menatap Aira untuk beberapa saat lalu segera menggeleng.

"Aku tidak ada niat untuk mempermainkan sebuah pernikahan, tetapi aku akan melepaskanmu jika kamu menginginkannya. Kamu masih muda, cantik, kamu bisa mendapatkan pria sesuai kriteriamu, Aira. Sungguh aku tidak bermaksud tidak baik padamu."

Affan tidak ingin Aira salah paham dengan ucapannya. Dia sendiri merasa bingung dengan kejadian yang mendadak ini.

"Aku tidak memiliki kriteria khusus, Om. Mungkin saat ini aku belum bisa menerima status baruku, tetapi aku tidak berniat untuk melawan takdir yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Bukan hal yang tabu bagi seorang pria dewasa menikahi seorang gadis belia karena dalam Islam itu tidak dilarang. Yang aku pikirkan adalah Faya dan penilaian orang lain tentang hubungan ini." Aira menunduk.

Hati Affan menghangat. Rasa hangat itu terus menjalar hingga ke seluruh nadinya. Gadis kecil di hadapannya itu memiliki kedewasaan yang melampaui usianya.

"Kita akan membicarakan ini dengan Faya setelah tiba di rumah. Mengenai orang lain, sebaiknya kita merahasiakan pernikahan ini sampai kamu lulus. Sebentar lagi kamu akan ujian, lebih baik kamu memikirkan itu dulu dan mengabaikan masalah kita." Affan mencoba mencari jalan tengah untuk permasalahan mereka.

"Terimakasih, Om. Semoga Faya tidak salah paham dan menyalahkan kita. Jika dia keberatan aku tinggal bersama kalian, aku akan pergi mencari kontrakan saja." Aira mengatakan apa yang mengganjal di hatinya. Selama ini Faya memang bersikap baik padanya, bisa dibilang mereka berteman dekat. Namun, dia tidak tahu apakah Faya masih menganggapnya teman setelah dia menikah dengan ayahnya.

"Faya anak yang baik. Aku yakin dia akan mengerti." Affan berusaha menenangkan Aira.

Affan kembali menjalankan mobilnya menuju ke kediamannya yang tidak jauh lagi dari sana. Hanya butuh sekitar lima menit saja untuk sampai.

****

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!