"Akhirnya elu datang juga," ucap Adisha seraya merentangkan kedua tangannya.
Aulia yang baru tiba di Bandara hanya tersenyum melihat adiknya yang seakan ingin memarahi dirinya itu, adik perempuannya yang selalu saja memberikan perhatian yang sangat luar biasa.
Walaupun bibirnya terkesan ketus dalam berucap, tapi dia sangat tahu jika adiknya itu begitu menyayangi dirinya.
"Gue pasti balik, Dek. Apalagi Ibu sakit, mana mungkin gue tinggal terus di pulau S." Aulia membalas pelukan adiknya.
Rasa rindu begitu membuncah di dalam dada Aulia, dia begitu merindukan adiknya karena selama tiga tahun ini dia benar-benar tidak pernah pulang.
"Bagus, terus masalah kerjaan bagaimana?" tanya Adisha seraya melerai pelukannya, lalu dia mengambil koper dari tangan Aulia.
Aulia terlihat menghela napas barat ketika adiknya itu menanyakan tentang pekerjaannya, pekerjaan yang hanya dia jadikan sebagai pelarian saja.
"Gue ngga bakal balik lagi ke sana, mulai minggu depan gue kerja di kantor pusat," jawab Aulia.
Adisha terlihat tersenyum samar ketika Aulia mengatakan hal itu, itu artinya kakak perempuannya itu tidak akan berpisah lagi dengan dirinya dan juga ibunya.
"Syukurlah kalau begitu, gue butuh elu. Ibu juga, kita langsung ke Rumah Sakit, Ibu kritis," ucap Adisha.
Wajah Aulia berubah sendu, ketika mendengar apa yang dikatakan oleh adiknya. Dia benar-benar merasa bersalah karena sudah meninggalkan ibunya selama tiga tahun ini.
"Iya, gue paham." Aulia dan juga Adisha langsung keluar dari Bandar, lalu mereka pergi ke Rumah Sakit menggunakan mobil Adisha.
Setibanya di Rumah Sakit, Aulia dan juga Adisha langsung melangkahkan kaki mereka menuju ruang perawatan di mana Ibu mereka dirawat.
Saat mereka masuk ke dalam ruang perawatan tersebut, Aisyah, ibu dari Aulia dan juga Adisha terlihat terbaring dengan lemah.
Aulia terlihat menghampiri ibunya, dia duduk di bangku tunggu seraya menggenggam erat tangan Ibunya itu.
Aulia benar-benar sedih ketika melihat ibunya yang terbaring lemah, bahkan matanya terlihat masih terpejam.
Selama ini ibunya tidak pernah mengatakan apa pun tentang penyakitnya, yang Aulia dan Adisha tahu, ibunya itu selalu terlihat sehat.
"Dek, sebenarnya Ibu sakit apa?" tanya Aulia.
Dia tidak paham kenapa tiba-tiba adiknya berkata jika ibunya sakit dan langsung kritis, padahal setahunnya ibunya itu selalu terlihat sehat. Bahkan dia tidak pernah mengeluh.
"Kanker otak stadium empat," jawab Adisha dengan bibir bergetar.
Dia merasa menjadi anak durhaka karena tidak tahu jika ibunya sudah sakit parah, padahal setiap hari mereka selalu saja bersama.
Hanya siang hari saja di kala dia bekerja tidak bertemu dengan ibunya, karena dia harus mencari nafkah untuk menghidupi kehidupan mereka.
Ayah Adisha dan juga Aulia sudah meninggal saat mereka duduk di bangku smp, saat itu Aulia sedang duduk di bangku kelas tiga sedangkan Adisha duduk di bangku kelas satu.
"Stadium empat?" tanya Aulia kaget.
"Ya, dia selalu berpura-pura baik-baik saja. Dia sangat hebat, sampai-sampai aku yang selalu bersama ibu saja tertipu dengan senyum dan keceriaan yang selalu ibu tampilkan," ucap Adisha.
Adisha terlihat menangis sesenggukan, dia benar-benar tidak tahan dengan kesedihan yang kini membuat dadanya terasa sangat sesak.
"Ya tuhan, maafkan aku. Karena kekecewaan yang aku dapat, aku malah meninggalkan Ibu untuk bekerja di pelosok," kata Aulia penuh sesal.
Sejak kecil Aulia memiliki sahabat yang bernama Andika, kemana-mana mereka akan selalu bersama.
Tanpa dia duga benih cinta pun tumbuh di hatinya, berkali-kali Aulia menepis rasa itu. Namun, tetap saja rasa itu bersarang di dalam hatinya.
Bahkan, semakin hari rasa cinta itu tumbuh semakin besar. Walaupun dia sudah mengingatkan kepada dirinya sendiri, jika Andika tidak akan pernah tergapai.
Karena memang sahabatnya itu merupakan anak dari orang kaya di kota kelahirannya, tapi tetap saja dengan tidak tahu dirinya rasa cinta itu tumbuh dengan sangat besar di dalam hatinya.
Saat memasuki usia remaja, mereka semakin sering pergi bersama-sama. Saat mereka kuliah pun mereka mengambil jurusan yang sama, mereka seakan tidak pernah terpisahkan.
Namun, saat mereka lulus kuliah, Aulia merasa sangat kaget karena tiba-tiba saja ibu Alika menikahkan Andika dengan Andini, anak dari teman kolega bisnisnya.
Aulia yang merasa kecewa melihat sahabat sekaligus lelaki yang dia cintai itu bersanding dengan wanita lain, memutuskan untuk pergi dari kota kelahirannya.
Dia sengaja bekerja di pulau lain agar bisa melupakan lelaki yang sangat ia cintai itu, lelaki yang teramat dia sayangi.
"Maaf, Bu. Maafkan aku, aku terlalu mementingkan perasaanku sendiri," sesal Aulia.
Air matanya terlihat jatuh berurai di kedua pipinya, dia benar-benar merasa sangat sedih sekali. Dia benar-benar merasa menjadi seorang anak yang tidak berguna, karena lebih mementingkan perasaannya sendiri.
Dia berpikir dengan pergi Maka rasa kecewa dan luka hatinya akan sembuh, tapi ternyata tidak. Sampai saat ini rasa kecewa dan rasa sakit itu masih saja ada.
Bahkan, rasa cinta itu masih saja ada. Hal itu yang membuat Aulia merasa begitu kesal terhadap dirinya sendiri, padahal Andika saja belum tentu mengingat dirinya.
"Maaf, Bu. Maafkan Aulia," kata Aulia seraya mengecup kening ibunya dengan penuh kasih.
Adisha terlihat menghampiri kakaknya itu, lalu memeluk kakaknya dengan penuh kasih sayang. Walau bagaimanapun juga, Adisha sangat mengerti bagaimana kegundahan hati sang kakak.
Dia begitu tahu bagaimana besarnya rasa cinta kakaknya itu terhadap lelaki yang bernama Andika itu, sehingga kekecewaannya begitu besar ketika mengetahui lelaki itu malah menikah dengan wanita lain.
Walaupun pada kenyataannya mereka memang tidak pernah ada ikatan cinta, hanya ada kata persahabatan di antara keduanya.
"Sudahlah, Kak. Sekarang waktunya kita menguatkan ibu, bukan malah menangis seperti ini," kata Adisha seraya menangis.
Walaupun dia berusaha tegar, tapi tetap saja air matanya terus mengalir di kedua mata mereka, kakak beradik itu terlihat saling memeluk di hadapan ibunya yang terlihat begitu lemah.
"Aulia, Sayang. Apakah itu kamu, Nak?" tanya Ibu Aisyah dengan terbata.
Mendengar ibunya bertanya dan sudah terlihat sadarkan diri, Aulia dan juga Adisha terlihat melerai pelukannya.
Kemudian, mereka tersenyum dan mengecup pipi ibunya secara bergantian. Tidak lupa mereka mengucap syukur berkali-kali, karena ibunya kini sudah terlihat sadarkan diri.
"Syukurlah ibu sudah sadar, apa yang sakit, Bu? Ibu mau apa? Apa Ibu mau dipanggilkan dokter atau bagaimana?" tanya Adisha beruntun.
Ibu Aisyah terlihat memaksakan senyumnya melihat kekhawatiran di wajah kedua putrinya, dia berusaha untuk mengusap wajah kedua putrinya itu.
"Kalau ada yang sakit bilang, Bu. Bilang sama Aulia, jangan diam saja," kata Aulia dengan air matanya yang terus saja berurai.
Dia benar-benar tidak tahan melihat keadaan ibunya yang begitu lemah di hadapannya sendiri, dia merasa hancur.
"Ibu sangat sehat, Sayang. Mendingan kamu makan gih, jangan mikirin Ibu terus. Ibu baik-baik saja," kata Ibu Aisyah dengan tegar walaupun wajahnya terlihat memucat.
"Aku nggak lapar, Bu. Aku mau dekat Ibu aja, aku mau deket Ibu. Aku ngga mau kemana-mana," kata Aulia.
Mendengar apa yang dikatakan oleh putrinya, Ibu Aisyah terlihat menggelengkan kepalanya dengan lemah. Dia tahu putrinya pasti belum makan karena sedari pagi dia melakukan perjalanan jauh, untuk datang ke ibu kota.
"Kalau kamu tidak makan nanti kamu sakit. Kalau kamu sakit, siapa yang mengurus Ibu?" tanya Ibu Aisyah membujuk.
Walaupun berat hati, akhirnya Aulia menganggukkan kepalanya karena yang dikatakan oleh ibunya itu benar adanya.
"Baiklah, aku akan makan dulu. Aku keluar sebentar, ke kantin doang," pamit Aulia.
Setelah berpamitan kepada ibunya, dia terlihat mengecup kening Ibu Aisyah dengan penuh kasih. Lalu, dia keluar dari ruangan perawatan milik ibunya tersebut.
Aulia terlihat melangkahkan kakinya dengan gontai menuju kantin Rumah Sakit, dia ingin mengisi perutnya. Walaupun dia tidak yakin bisa menelan makanan yang nanti akan dia pesan.
Saat tiba di kantin Rumah Sakit, langkahnya langsung terhenti kala dia melihat seorang pria yang sangat dia kenal.
Lelaki yang selama tiga tahun ini dia hindari, lelaki yang dia sangat cintai dan dia benci mengakui jika rasa cinta itu kini masih bersarang di dalam hatinya.
Lelaki itu terlihat duduk dengan raut wajah sedih, tatapannya bahkan terlihat kosong. Dia seperti orang yang tidak memiliki gairah hidup, dia terlihat seperti orang linglung.
"Andika," ucapnya dengan rasa sesak di dadanya.
***
Jangan lupa tinggalkan like dan juga komentarnya, love sekebon kembang.
"Andika," ucapnya dengan rasa sesak di dadanya.
Aulia tidak menyangka jika setelah tiga tahun pergi untuk menghindari Andika, dia malah langsung dipertemukan kembali dengan lelaki itu.
Bahkan, satu hal yang paling dia benci ketika melihat wajah Andika, rasa cinta itu masih saja ada di dalam hatinya.
Bahkan hatinya berdebar dengan sangat kencang ketika melihat lelaki yang begitu dia cintai itu terlihat sedang asik melamun, rasa cinta, iba, haru dan kesal campur aduk menjadi satu.
Dia ingin sekali berlari, tapi kakinya seakan susah untuk digerakkan. Bahkan untuk bergeser sedikit pun tidak bisa.
Andika terlihat menghela napas berat, kemudian dia bangun dan hendak pergi dari kantin. Namun, tatapannya malah terpaku pada seorang wanita cantik yang sedang berdiri di ambang pintu seraya memperhatikan dirinya.
Awalnya dia terlihat diam saja, dia memandang Aulia seraya memicingkan matanya. Dia seolah tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Andika bahkan sampai mengucek matanya berkali-kali, dia takut jika dirinya salah mengenali orang.
"Aulia! Elu, elu Aulia, kan?" tanya Andika.
Dengan cepat Andika menghampiri Aulia, dia memindai penampilan wanita itu dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Penampilannya memang benar-benar berubah, tapi dia sangat yakin jika wanita yang ada di hadapannya itu adalah sahabat karibnya.
"Ah, gue yakin ini elu. Elu berubah banget, elu jadi makin cantik. Elu pakai dress, ya ampun Aulia. Gue seneng banget ketemu sama elu," kata Andika seraya memeluk Aulia dengan erat.
Andika begitu bahagia bisa bertemu dengan sahabat dari kecilnya, Aulia. Dia bahkan sampai memeluk Aulia seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Berbeda dengan Aulia, dia masih terdiam terpaku tanpa berniat sedikit pun untuk membalas pelukan dari Andika.
Dia masih bingung harus melakukan apa, dia masih bingung haruskah dia membalas sapaan Andika. Hati dan pikirannya kini seakan berperang, dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Otaknya serasa kosong, dia hanya berdiri seperti patung yang tidak bernyawa. Bingung dan kaget masih dia rasa.
"Ya ampun, Pimoy. Elu balik juga akhirnya, gue kangen banget sama elu. Kenapa elu pergi. ngga pamit lagi sama gue? Tega banget sama sohib sendiri," keluh Andika.
Andika yang sejak tadi terlihat murung dan juga bersedih, kini berubah menjadi ceria. Dia terus saja memeluk Aulia dengan penuh kerinduan.
Bahkan, beberapa orang yang ada di kantin tersebut terlihat memperhatikan interaksi di antara kedua insan manusia berbeda jenis kelamin tersebut.
Andika terus saja berbicara meluapkan rasa rindunya terhadap Aulia, wanita yang dulunya sangat tomboi dan juga selalu ada untuk dirinya.
Wanita yang selalu menemani dan membantu dirinya dikala kesusahan, Aulia benar-benar seperti bayangan untuk dirinya.
Namun, saat dia menikah Aulia malah menghilang. Dia mencari sahabatnya itu ke mana pun, sayangnya tidak ketemu.
Dia sempat bertanya kepada Adisha, tapi anak itu hanya menggedikkan kedua bahunya. Sungguh saat itu Andika sangat kesal karena tidak bisa bertemu dengan Aulia.
Berbeda dengan Aulia, dia merasa sangat sedih karena Andika malah membangunkan rasa cintanya untuk semakin tumbuh dengan apa yang pria itu lakukan.
Air mata langsung turun di kedua pipinya, tapi dengan cepat dia menyusut air matanya. Dia tidak mau terlihat cengeng di hadapan pria yang dia cintai itu.
Dia tidak mau menjadi bahan tertawaan sahabat sekaligus lelaki yang dia cintai itu, dia ingin terlihat kuat dan tegar.
"Sorry, gue terlalu seneng sampai-sampai lupa buat ngajakin elu duduk," kata Andika seraya melerai pelukannya.
Dia pandang wajah sahabatnya yang sangat dia rindukan itu, rasa bahagia begitu membuncah di dalam dadanya.
"Ngga apa-apa," jawab Aulia seraya menahan tangisnya.
Jika saja bisa, dia ingin segera berlari dan menangis sejadi-jadinya di tempat yang tersembunyi, tapi kakinya begitu susah untuk digerakkan.
Pikirannya ingin berlari dari pria yang berada di hadapannya, tapi tubuhnya ingin terus berada di samping pria itu.
"Oh ya ampun, elu nangis," kata Andika seraya mengusap pipi Aulia dengan lembut.
Ada rasa hangat yang menyeruak ke dalam hatinya, tapi dengan cepat dia tepis tangan itu. Dia tidak mau jika rasa itu tumbuh dan akan menyiksa dirinya kembali.
Untuk sesaat dia terdiam memikirkan alasan apa yang harus dia katakan, tapi tidak lama kemudian Aulia pun berkata.
"Gue lagi sedih, nyokap gue kritis," ucap Aulia.
Dia memang sedang bersedih karena ibunya kritis, jadi dia tidak salah berucap bukan. Karena itu memang kenyataannya.
Mendengar apa yang dikatakan oleh Aulia, Andika terlihat sangat kaget. Karena dulu dia cukup dekat dengan wanita yang bernama Aisyah itu, wanita itu selalu saja bersikap baik kepada Andika.
Bahkan setiap kali dia pergi ke rumah Aulia, pasti Andika akan makan dengan lahap masakan wanita itu.
Andika memang terlahir dari keluarga kaya, tapi untuk masalah makanan dia memang tidak pernah pilih-pilih.
Dalam bergaul pun dia tidak pernah pilih-pilih, maka dari itu Aulia begitu menyukai sosok Andika. Tanpa terasa cinta pun tumbuh di dalam hatinya dan tak terbalas, bahkan tanpa diketahui oleh Andika.
"Tante Aisyah sakit?" tanya Andika.
Aulia menunduk lesu, dia sangat sedih saat Adisha berkata jika ibunya menderita penyakit kanker otak stadium empat.
"Iya, kanker otak stadium empat." Aulia menjelaskan.
"Oh ya ampun, gue turut sedih. Gue pengen ketemu nyokap elu, ajak gue ke ruang perawatan nyokap elu."
Andika merangkul pundak Aulia, tapi dengan cepat dia menepis tangan sahabatnya itu. Andika terlihat tidak senang, dia kecewa.
"Elu berubah, kenapa?" tanya Andika dengan wajah sendunya.
Pertanyaan Andika terdengar begitu konyol di telinga Aulia, Andika adalah pria beristri. Rasanya sangat tidak pantas Andika merangkul pundak Aulia, apalagi memeluk dirinya seperti tadi.
"Gue ngga berubah!" sangkal Aulia.
Andika berdecak sebal ketika Aulia mengatakan hal itu, dia bisa melihat sendiri jika Aulia seakan begitu menghindari dirinya sedari tadi.
"Elu berubah, elu terlihat makin cantik. Elu juga makin seksi, tapi elu galak," kata Andika jujur seraya menatap Aulia dengan lekat.
Dulu Aulia memang wanita yang memiliki bobot tubuh berlebih, dia juga merupakan wanita tomboi. Namun, dia sangat baik dan respek terhadap siapa pun.
Maka dari itu Andika begitu menyukai dirinya, Andika sangat suka bersahabat dengan wanita itu.
Mendengar apa yang dikatakan oleh Andika, Aulia terlihat mencebikkan bibirnya. Selama tiga tahun ini dia meratapi kesedihannya karena ditinggal menikah oleh Andika.
Makanya bobot tubuhnya yang dulu mencapai delapan puluh kilo kini menyusut hingga enam puluh lima kilo, hal itu terjadi bukan karena dia sering olah raga.
Namun, setiap hari dia hanya menangis dan bersedih meratapi nasibnya yang ditinggal menikah oleh sahabat yang dia cintai itu.
"Kok elu ngomongnya gitu, itu artinya elu ngatain bodi gue yang dulu," keluh Aulia dengan bibir yang mengerucut.
****
Selamat siang, selamat beraktifitas. Terima kasih sudah meninggalkan like dan komentarnya, sayang kalian selalu.
"Kok elu ngomongnya gitu, itu artinya elu ngatain bodi gue yang dulu," keluh Aulia dengan bibir yang mengerucut.
"Ck! Elu makin cantik kalo cembertut , gue baru nyadar. Ayo duduk dulu, gue mau ngobrol sama elu. Gue kangen banget," kata Andika.
Tanpa permisi Andika langsung menautkan tangannya ke tangan Aulia, kemudian dia mengajak sahabatnya itu untuk duduk di salah satu bangku yang ada di kantin tersebut.
Aulia hanya bisa pasrah, karena walau bagaimanapun juga dia merindukan sahabatnya itu. Lelaki yang dia cintai itu.
"Sumpah gue kangen sama elu," kata Andika lagi.
Berulang kali pria itu mengatakan hal yang sama, apa yang dikatakan oleh Andika itu sukses membuat Aulia susah untuk bernapas.
"Dari tadi ngomong kangen gue mulu, bini elu gimana?" tanya Aulia.
Sengaja dia bertanya seperti itu, agar Andika sadar jika dirinya kini sudah menikah. Bahkan, usia pernikahannya sudah tiga tahun. Mungkin saja Andika sudah mempunyai bayi mungil, pikir Aulia.
"Bini gue pingsan, tadi dia ngamuk. Dia sedih karena tidak terima dengan hasil tes kesehatan yang baru saja dilakukan," kata Andika seraya menatap wajah sahabatnya dengan lekat.
Andika sengaja duduk di kantin seraya menikmati secangkir kopi, hal itu dia lakukan agar pikirannya lebih tenang.
"Maksudnya?" tanya Aulia tidak paham.
Andika menghela napas panjang kemudian menghembuskannya secara perlahan, dia terlihat mencondongkan tubuhnya lalu berkata.
"Nyokap minta cucu, jadinya kami memutuskan untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata, bini gue mandul. Bahkan di rahimnya ada kanker, dia harus operasi pengangkatan rahim. Gue bingung," kata Andika dengan sedih.
Dia benar-benar syok saat mengetahui hal itu, dia tidak menyangka jika istrinya yang begitu cantik, seksi dan juga sempurna malah tidak bisa memiliki keturunan.
Dia dinyatakan mandul dan harus melakukan operasi pengangkatan rahim, sungguh itu adalah bencana untuk dirinya.
"Gue ikut sedih dengernya, kalian pasti saling mencintai. Soal anak bisa adopsi, bisa milih yang cantik dan lucu-lucu." Aulia mencoba menenangkan.
Dia menatap sahabatnya dengan iba, tangannya tanpa sadar terulur dan menepuk-nepuk punggung tangan Andika.
"Sayangnya nyokap pengen anak kandung dari gue, kalau nyokap tahu bini gue mandul. Gue pasti di suruh cerai, gue ngga mau. Kesannya kaya habis manis sepah dibuang," jelas Andika.
Andika menyugar rambutnya beberapa kali dengan kasar, dia merasa prustasi. Dia bingung harus bagaiman, dia bingung harus apa.
"Gue ngga paham," celetuk Aulia.
Selama tiga tahun dia pergi, selamat itu juga dia tidak tahu apa yang terjadi terhadap sahabatnya. Yang dia tahu Andika begitu bahagia berumah tangga dengan wanita yang sudah dijodohkan oleh ibunya itu.
Karena dia masih sangat ingat ketika Andika berkata akan menikah dengan wanita seksi pilihan dari ibunya, dia pasti tidak akan menyesal karena menikah dengan wanita pilihan dari ibunya itu.
"Perusahaan nyokap dulu hampir bangkrut, gue disuruh kawin sama Andini buat nyelametin perusahaan. Jasa dia banyak, bahkan perusahaan miliknya udah digabung sama perusahaan milik nyokap."
Andika terlihat menghela napas berat, kemudian dia mengeluarkannya dengan perlahan. Rasanya begitu sulit untuk menceritakan semuanya kepada sahabatnya itu.
"Kedua orang tuanya udah ngga ada, rasanya kejam banget kalau gue cerain dia," ungkap Andika.
Aulia terlihat mengerutkan dahinya ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Andika, Andika mengatakan hal tersebut seolah dia mengaku jika dia tidak begitu mencintai istrinya.
Dia hanya menikah demi harta, demi menyelamatkan perusahaan. Apakah ini yang dinamakan pernikahan bisnis, pikir Aulia.
"Jangan diceraikan, mungkin kamu bisa menikah lagi dengan wanita lain. Tapi istri kamu jangan sampai tau, kamu bisa mempunyai keturunan dari istri kedua kamu," cetus Aulia.
Untuk sesaat Andika terdiam, dia sedang memikirkan ide yang dilontarkan oleh sahabatnya itu.
"Malah bengong, gue bercanda. Dah ah gue mau makan, laper perut gue," kata Aulia seraya mengelus perutnya yang terlihat rata.
Andika langsung menolehkan wajahnya ke arah perut Aulia, dia tersenyum melihat perut rata sahabatnya.
"Tapi ide elu bagus, gue setuju." Andika tersenyum melihat wajah sahabatnya.
Andika terlihat menatap wajah sahabatnya dengan lekat, hal itu membuat Aulia menjadi salah tingkah.
"Dih! Elu ngapain ngelihatin gue kaya gitu? Elu jadi aneh," kata Aulia.
"Gue ngga aneh, gue mau nikah sama elu. Elu sahabat gue, elu tahu banget gue. Gue ngga bakal salah kalau milih elu, elu pasti wanita terbaik yang Tuhan kirimkan untuk gue," kata Andika.
"Ka, elu ngga salah minum obat, kan? Nikah bukan mainan loh," kata Aulia dengan sedih.
Dia merasa jika hidup seakan mempermainkan dirinya, dia memang mencintai Andika.
Namun, bukan berarti dia harus menikah dengan Andika dan menjadi orang ketiga dalam rumah tangga sahabatnya itu.
"Elu gila, gue ngga mau nikah sama elu. Gue ngga mau jadi orang ketiga di dalam rumah tangga elu," kata Aulia memelas.
"Please, gue mau elu hamil anak gue. Elu itu orangnya baik banget, pengertian, perhatian. Elu juga cantik, pasti anak gue bakal cantik dan pinter kaya elu," kata Andika.
Andika terlihat merayu Aulia, karena baginya Aulia adalah wanita yang terbaik jika dia harus menikah kembali.
Menurutnya, tidak ada wanita sebaik Aulia. Karena istrinya saja terkadang tidak mengerti apa yang dia mau dan apa yang dibutuhkan.
Tidak seperti saat dirinya bersama dengan Aulia dulu, Aulia selalu paham dengan apa yang dia inginkan dan juga dia mau.
"Bagaimana dengan nyokap sama bini elu?" tanya Aulia.
Andika terdiam, dia seperti sedang memikirkan apa yang harus dia lakukan ke depannya.
"Jangan sampai mereka tahu," pinta Andika.
Aulia terlihat kaget karena ternyata Andika benar-benar menginginkan pernikahan itu, pernikahan yang dilakukan demi mendapatkan keturunan untuk ibunya.
"Ngga mau gue, itu ide gila yang pernah gue denger. Gue ngga mau," tolak Aulia.
"Please, gue mau elu yang jadi ibu dari anak gue," pinta Andika memelas.
"Ngga bisa, gue ngga bisa ngelakuin itu!" kesal Aulia.
Andika berdecak, dia menatap netra Aulia dengan lekat. Dia tersenyum lalu berkata.
"Kenapa ngga mau? Elu takut jatuh cinta sama gue, ya?" tanya Andika seraya menadang Aulia dengan lekat.
Aulia terlihat mmembulatkan matanya dengan sempurna ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Andika, dia bukan takut untuk jatuh cinta.
Justru dia takut cintanya akan semakin dalam kepada Andika dan dia akan lebih sulit untuk meninggalkan Andika ketika dia melahirkan nanti.
"Ngga ada, mana ada kaya gitu." Aulia memalingkan wajahnya, dia tidak berani memandang lelaki yang dia cintai itu.
"Kalau begitu, berarti elu mau jadi istri gue." Andika tersenyum seraya menggenggam tangan Aulia.
"Ngga usah pegang-pegang tangan gue," kata Aulia seraya menarik tangannya dengan cepat.
"Ciee, salting nih sohib gue." Andika mencuil dagu Aulia.
"Ngga lucu, Ka." Aulia menepis tangan Andika dengan cepat.
****
Selamat siang, dua bab sudah meluncur. Terima kasih sudah meninggalkan komentarnya, Love seempang kong Jali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!