Aida tengah membersihkan halaman rumah, yang tampak dipenuhi oleh rumput liar yang sudah mulai meninggi. Tidak keseluruhan, karena ada sebagian terdapat tanah yang tidak bisa di tumbuhi rumput. Sedikit lelah, tapi itu harus dilakukan Aida. Menunggu Abi atau Umminya yang akan membersihkan rasanya tidak mungkin. Apalagi menunggu adik perempuan, bahkan itu lebih tidak memungkinkan.
Adiknya yang berada empat tahun dibawahnya. Apalagi gadis itu tengah disibukkan dengan belajar. Sebentar lagi gadis itu akan mengikuti ujian hingga lebih kurang tiga bulanan. Menduduki bangku kelas tiga, membuat gadis itu tidak lagi leluasa sepeti sebelumnya. Hari-harinya di penuhi dengan belajar, belajar dan belajar. Kadang dia juga lelah. Namun, demi mendapatkan beasiswa untuk kuliah dengan hasil keringatnya sendiri adalah suatu yang sangat membahagiakan dirinya. Meski orang-tua mereka mampu menguliahkan dirinya, namun jika hasil dari perjuangannya sendiri, rasanya akan jauh lebih berbeda.
Rasa lelah membuat Aida menghentikan pekerjaannya. Duduk dan mengambil air yang dia bawa keluar menggunakan botol minuman. Meneguk tiga kali tegukan untuk menghilangkan rasa lelah serta haus. Menyeka keringat yang membanjiri wajahnya, terutama bagian hidung serta atas bibir.
Dirasa rasa lelahnya sudah berkurang Aida kembali melanjutkan pekerjaannya yang hanya tinggal seperempat lagi. Mengikat bagian depan hijabnya yang tampak seperti mukenah ke belakang kepalanya, agar memudahkan gadis itu untuk bekerja. Bukan tak ada hijab pendek, hanya saja gadis itu lebih nyaman memakai hijab yang ukurannya sudah melewati ukuran XL.
***
Meja makan sudah diisi oleh Abi, Ummi serta adiknya. Mereka tengah menyendok makanan kepiring masing-masing. Sedangkan Aida masih menunggu mereka siap terlebih dahulu. Aida kurang suka jika bergantian, yang ada akan terasa lama. Apalagi apa yang dia inginkan sedang di ambil sama yang lain.
Dalam waktu lebih kurang 25 menit akhirya mereka sudah berada di ruang tamu kecuali adiknya yang sudah izin ke kamar untuk belajar. Lantaran gadis itu besok, akan mengadakan simulasi satu.
"Aida," Suara Hasan membuat Aida menoleh ke arah sang abi.
"Iya Bi, ada apa?" Aida ikut menolehkan kepalanya kepada laki-laki, cinta pertamanya.
"Boleh Abi mengatakan sesuatu, Sayang?" Hasan menatap lekat wajah cantik putrinya. Putri yang sebentar lagi tidak akan menjadi miliknya lagi, lantaran dia akan memberikan sang putri kepada laki-laki lain yang akan berstatus seorang suami.
"Boleh Bi. Emang Abi mau ngomong apa? Sepertinya sangat serius?" Aida menatap dengan lekat wajah sang abi. Wajah laki-laki yang tak lagi muda karena termakan usia.
Sedangkan Aisyah, selalu seorang Ibu hanya bisa diam. Menyimak segala sesuatu yang akan di bicarakan kedua anak dan ayah itu. Jika diperlukan, maka dia akan mengeluarkan suaranya. Saat ini yang berhak berbicara hanya suami serta putrinya sulungnya. Belum ada keterlibatan dirinya untuk ikut berbicara.
"Abi mau kamu menikah dengan Husein, Nak" Hasan belum melanjutkan perkataannya. Melihat bagaimana reaksi sang putri saat dia membahas masalah pernikahan.
Aida tampak terkejut dengan apa yang dikatakan Abinya. Tak pernah terfikir oleh Aida, jika Abinya akan membahas hal tersebut. Lantaran selama ini Abinya hanya diam saja tanpa pernah sekalipun membahas masalah pernikahan.
"Husein? Husein mana Bi?" Aida masih tetap berusaha tenang, meski saat ini hatinya tengah kocar-kacir tak menentu. Husein, satu kata yang bahkan tak pernah Aida dengar nama itu selama ini.
Apakah Abinya akan menikahkannya dengan anak seorang Ustad. Atau malah anak dari seorang Kiyai, yang tentunya paham akan agama. Tak akan ada seorang wanita yang tak memimpikan seorang suami yang paham akan agama. Paham apa yang telah diajarkan Rasulullah kepada umatnya. Yang akan membawanya menuju jannahnya Allah secara bersamaan.
"Husein anaknya adik angkat Abi, Sayang," Langsung saja Hasan mengatakan siapa sebenarnya Hussein. Kembali menatap sang putri, saat sebentar dia menatap ke arah televisi yang sengaja volumenya di perkecil.
Aida berusaha mengingat siapa itu Husein. Mana tau waktu kecil dia pernah berteman atau jika tidak bertemu dengan orang yang memiliki nama Husein tersebut. Namun, kepingan-kepingan memori lama, tak membuat Aida ingat siapa gerangan nama tersebut.
"Apakah aku pernah bertemu dengan dia, Bi?" Aida menatap wajah sang abi yang kini juga tengah menatap dirinya.
Hasan menggeleng. "Tidak Sayang. Bahkan selama ini adik tiri abi tinggal jauh dari kita. Jika dia rindu, mereka pasti akan datang kesini seperti tahun kemaren. Tanpa membawa putra mereka, karena kesibukan yang mungkin tak bisa ditinggalkan," jelas Hasan kepada putri sulungnya.
"Emang di mana adik tiri, Abi tinggal?" Aida tampak mengerutkan keningnya. Rasa penasaran membuat gadis itu sedikit kepo. Meski Aida tau jika sang abi memiliki seorang adik tiri. Namun, Aida tidak pernah tau dimana mereka tinggal, bahkan Aida juga tidak tau jika mereka memiliki seorang anak. Aida tidak terlalu ingin tahu akan keluarga Abinya. Jika sang abi bercerita, maka dia akan mendengarkan. Jika tidak, Aida tidak akan menanyakan.
"Mereka tinggal di luar Negeri Sayang, tapi jika nanti kamu menikah dengan putra mereka, mereka akan menatap disini dan akan mengembangkan perusahaan yang ada di sini. Sedangkan perusahaan yang ada di luar Negeri akan mereka serahkan kepada bawahan yang bisa mereka percaya," jelas Hasan dengan hati-hati. Dia sangat tau jika putrinya tidak akan tergiur dengan harta berlimpah. Bahkan jika boleh jujur, keluarga Hasan juga tak kalah kayanya dengan keluarga Husein. Tapi kehidupan yang dijalani Aida sangat sederhana tidak menampakkan betapa kayanya orang-tuanya. Bahkan adiknya juga mengikuti jejaknya yang diajari kedua orang tuanya yang sederhana.
Karena Umminya pernah berkata. "Sebanyak apapun harta yang kita miliki tidak akan ada gunakan jika ajal sudah datang. Bahkan untuk mengambil setitik oksigen yang selalu diberi gratis oleh sang Kuas sudah tidak bisa lagi. Lalu apa yang hendak disombongkan dengan harta berlimpah. Yang nyatanya disanalah hisab yang sangat banyak dia khairat nanti" Lebih kurang itulah kata-kata yang dikatakan Umminya, saat Aida berumur 18 tahun sedangkan adiknya sudah berumur 14 tahun.
Aida mengangguk dengan penjelasan Abinya. "Apa dia termasuk ke dalam kriteria calon suami yang pernah aku katakan dulu, Bi?" Aida mengingat jika dulu, waktu umurnya masih 17san, gadis itu pernah mengatakan bagaimana kriteria calon suami yang akan menjadi suaminya nanti saat dia sudah dewasa.
Tiba-tiba saja wajah Hasan berubah murung. Melihat reaksi itu, Aida jadi berfikir yang tidak-tidak. Apalah calon suami yang dikatakan Abinya tidak sesuai dengan keinginannya. Atau bahkan tidak sama sekali.
"Tidak ada sedikit pun kriteria kamu pada anak itu, Sayang. Bahkan bisa dikatakan dia kurang tahu akan ajaran agama. Jika tahu mungkin hanya sedikit. Dia sudah terlena akan nikmatnya dunia, bahkan sampai lupa akan akhirat tempat yang paling nyata." Hasan menatap wajah sang putri yang tampak pias mendengar ucapannya. Dia tau putrinya pasti kecewa dengan apa yang dia katakan. Sangat jelas terlihat dari raut wajah putrinya yang sudah berubah.
TBC
"Aku tidak bisa Bi. Aku tidak bisa menerima laki-laki yang bahkan untuk mengajari ku akan agama Allah saja tidak bisa. Bagaimana aku harus menjalani rumah tangga nantinya dengannya Bi. Sungguh aku tidak bisa menerima laki-laki seperti itu Bi," Aida menolak permintaan Abinya. Hatinya tidak menerima laki-laki seperti itu.
Sungguh, ini bukanlah suatu yang hal di inginkan Aida. Bahkan membayangkan rumah tangga dengan laki-laki yang tak tau akan ajaran agama Allah bukanlah hal yang mudah.
Hasan menatap wajah anaknya yang sangat kecewa dengan pilihannya. Hasan juga tak mau egois akan kehidupan anaknya. Tapi, keluarga sang laki-laki mempercayakan jika putrinya dapat mendidik anak mereka agar tahu akan ajaran agama Allah.
"Tak bisakah kamu menerimanya, Sayang?" Sekali lagi Hasan menatap sang putri yang tampak kecewa dengannya.
Aida menggeleng. "Tidak Bi. Aku sungguh tak bisa menerima laki-laki seperti itu. Aku tak akan sanggup menikah dengan laki-laki yang tak bisa membawa aku ke jalan Allah," Aida menatap Abinya dengan tatapan yang jelas tergugat rasa kecewa disana.
"Tolonglah sekali ini saja Sayang. Hanya kamu harapan satu-satunya keluarga itu untuk putra mereka. Mereka yakin jika kamu mampu mendidik putra mereka akan ajaran agama Allah. Abi yakin kamu bisa dan kamu pasti akan bahagia dengannya Sayang. Percaya sama Abi," Hasan kembali membujuk putrinya. Bahkan laki-laki paruh baya itu tampak memohon kepada sang putri.
Hasan yakin putrinya bisa merubah laki-laki itu. Dia hanya terlena akan duniawi, karena salah pergaulan. Sehingga lupa akan akhirat yang sungguh tempat paling nyata. Tempat yang paling kekal untuk selamanya. Dunia hanya sebagian ujian bagi seorang hamba. Dan itu yang kini dilupakan laki-laki itu.
"Aku tetap tak bisa Bi," Aida masih menolak ucapan Abinnya.
"Coba berita Abi alasan yang lebih jelas lagi, Nak," ucap Hasan.
"Aku tidak akan menikah dengannya Bi. Abi tahu jelas dengan alasan yang aku miliki tanpa harus menanyakan secara detail lagi," jawab Aida menatap Abinya. Lagian apalagi yang harus dijelaskan, jika Abinya mengetahui alasannya secara detail. Tak mungkin Abinya lupa akan ucapnya beberapa tahun lalu. Abinya belum terlalu tua untuk mengingat apa yang sudah dia ucapkan saat masih remaja.
"Baiklah," Satu kata itu yang keluar dari mulut Hasan. Tak tau lagi harus membujuk putrinya agar mau menikah dengan anak adik angkatnya.
Jauh di lubuk hati Hasan, dia sangat ingin putrinya menikah dengan anak dari adik angkatnya. Bukan masalah harta, bahkan hartanya juga tak akan ada habisnya. Tapi karena Hasan yakin putrinya bisa merubah laki-laki itu seperti yang dikatakan adik angkatnya beberapa waktu lalu. Saat itu adiknya juga sempat memohon kepadanya, untuk membujuk Aida menjadi menantunya. Tak ada cara lain, untuk merubah sifat putranya selain istri sholeha. Meski awalnya sulit, dia yakin jika Aida pasti bisa. Tak akan ada seorang pun tidak berubah jika dilakukan dengan cara yang lembut.
***
Di dalam kabar bernuansa biru langit itu terdapat seorang wanita yang duduk di atas ranjang sambil memegang al-quran di kedua telapak tangannya. Jangan lupakan jika wanita itu masih mengenakan mukenah yang dia pakai saat melaksanakan sholat isa.
"Sayang boleh ummi masuk?" Wanita paruh baya yang berstatus seorang ibu itu melonggokkan kepalanya melalui pintu kamar sang putri.
Aida yang tengah membaca Al-Qur'an menghentikan bacaannya. Melirik wanita yang telah melahirkan dirinya puluhan tahun lalu.
"Boleh Mi, masuklah," jawabnya disertai senyum yang tak pernah pudar dari bibir sedikit tebal itu
Wanita yang kerap kali di panggih Aisyah itu melangkah menuju ranjang sang putri. Bahkan di tangannya terdapat segelas susu coklat kesukaan putrinya.
"Kenapa Ummi repot-repot membuatkan aku susu? aku kan bisa bikin sendiri Mi," celetuk Aida saat melihat Umminya membawakan segelas susu di tangannya.
"Tidak apa-apa Sayang. Lagian sekali-sekali ummi membuatkan putri, ummi susu," balas Aisyah setelah meletakkan susu yang dibawanya di atas nakas.
Aida menangguk. Benar, Umminya sekali-sekali saja membuatkan dirinya susu. Meskipun begitu, Aida terus saja melarang sang Ummi untuk membuatkan dirinya. Karena dirinya sudah besar, pasti sudah bisa membuat sendiri. Tanpa harus merepotkan Umminya.
"Boleh Ummi mengatakan sesuatu Sayang?" Saat ini Aisyah duduk di samping putrinya. Menatap anaknya dengan tatapan lembut seperti biasanya.
"Boleh Mi. Emang Ummi mau mengatakan apa?" Aida menyatukan alis matanya, karena penasaran Umminya mau mengatakan apa. Sepertinya ini meruapakan hal yang serius.
"Bisakah kamu menyetujui permintaan terakhir dari Ummi, Sayang. Setelah ini Ummi tidak akan pernah meminta apapun lagi dari kamu, Nak?" Aisyah menatap penuh harap kepada sang putri. Bahkan mata wanita itu tampak berkaca-kaca.
"Kenapa Ummi berbicara seperti itu. Jangan mengatakan hal itu Umm. Aku tidak suka," Aida tidak suka Umminya mengatakan hal demikian, seperti seorang yang akan pergi jauh saja.
"Maka dari itu, bisakah kamu memenuhi permintaan terakhir Ummi, Nak. Sekali ini saja," Tangan Aisyah memegang sebelah tangan sang putri. Karena, tangan yang satunya tengah memegang al-quran yang baru saja di baca wanita itu.
"Baiklah aku akan menerima permintaan Ummi. Tapi, apa itu permintaan Ummi?" Aida menatap wajah wanita yang ada di depannya ini. Tampak jelas ada kerutan di dekat matanya. Tidak terlalu banyak, hanya ada sekitar tiga kerutan.
"Apa kamu bisa berjanji untuk memenuhinya, Nak?" Aisyah tampak senang dengan jawaban anaknya.
Mendengar itu Aida tampak ragu. Namun wajah Umminya menyiratkan suatu harapan yang sangat besar. Ingin mengatakan tidak bisa, Aida tidak mampu melihat wajah kecewa Umminya. Wanita itu adalah kelemahannya. "Iya Ummi, aku janji," Akhirnya hanya kata itu yang bisa Aida kelurkan. Bahkan sedikit saja Aida tak mampu melihat wajah kecewa Umminya.
Aisyah mengambil nafasnya dalam, lalu mengeluarkan dengan perlahan. "Menikahlah dengan anak adik angkat Abi, Sayang," pinta Aisyah menatap anak gadisnya.
Aida tekejut dengat permintaan sang ummi. Tak terpikirkan oleh Aida jika Umminya akan meminta apa yang Bahkan tak mampu wanita itu penuhi. Batinnya sungguh tak dapat menerima laki-laki seperti itu.
"A-aku tak bisa Umm---"
"Ingat Sayang. Tadi kamu sudah berjanji sama ummi," Asiyah memotong ucapan putrinya. Mengingatkan jika putrinya berjanji kepada dirinya.
Aida terdiam mendengar ucapan wanita kesayangannya. Sungguh, rasanya dia terjebak akan ucapan sang ummi. Tak bisa mengelak sedikitpun. Karena janji yang sudah dilontarkan mulutnya.
"Tapi Umm--"
"Sayang dengerin ummi. Jika kamu hanya berpatokan kepada ilmu agama yang kini tengah dimilikinya, maka hati kamu tetap akan sulit menerimanya, Nak. Jika dia mau belajar tidak ada salahnya. Bahkan bisa jadi nanti dia yang lebih dalam ilmu agamanya dibandingkan kamu, Nak. Mungkin saja apa yang saat ini kamu inginkan belum tentu Allah kabulkan. Bahkan bisa jadi apa yang menurut kamu baik, belum tentu bagi Allah itu yang baik." Aisyah memaparkan panjang lebar. Dia yang sebagai Ibu, yakin jika anaknya akan bahagia dengan laki-laki pilihan suaminya.
Aida terdiam cukup lama mendengar penjelasan Umminya. Memang benar apa yang dikatakan Asiyah. Bisa jadi, bisa jadi laki-laki itu membuatnya kalah jauh suatu saat jika dia mau belajar. Tak ada kata terlambat sebelum ajal menjemput.
"Baiklah Mi, jika itu yang terbaik untuk aku. In sya Allah akan aku terima dengan ikhlas," Putus Aida akhinya. Semoga saja keputusan yang dia ambil itu tidak akan salah. Itu do'anya
TBC
Pagi ini Aida masih duduk di atas sajadah. Melantunkan ayat-ayat suci al-quran dari mulutnya. Terdengar sangat merdu, bahkan jika saja ada yang mendengarmya tidak akan bosan. Lantunan ayat suci alquran yang begitu menenangkan jiwa dan pikiran. Beginilah retunitas wanita itu setiap selesai sholat subuh. Tidak akan pernah berhenti, jika dia tak mengalami masa bulanannya.
Sekitar jam setengah tujuh pagi, Aida turun ke bawah untuk membantu memasak. Meski di rumah itu terdapat seorang pembantu, tak membuat wanita itu engan untuk masuk dapur. Karena, kodratnya seorang wanita bagi Aida harus bisa memasak. Jangan hanya mengandalkan seorang pembantu, jika nanti dia sudah menikah. Karena, seenak apapun masakan seorang pembantu, pasti ada sedikit saja rasanya seorang suami menginginkan masakan yang dibuat melalui tangan istrinya sendiri. Baik itu enak atau tidaknya.
"Mbok, apa sudah selesai masaknya?" Saat sampai di dapur, sudah terdapat beberapa hidangan di atas meja makan.
"Belum Non," jawab Ijah kepada anak majikannya.
"Apalagi Mbok, biar aku bantu," ujar mengambil pisau yang terdapat di raknya khusus samping tempat cuci piring.
"Bikin sayur belum lagi Non. Non bisa membantu memotong sayurnya yang ada di kulkas," jawab Mbok Ijah yang tengah menyalin gulai ayam.
Aida mengambil seikat sayur bayam yang masih tampak segar. Membawanya ke wastafel untuk dipotong. Tak lupa wanita itu mengambil ember kecil untuk tempat sayur yang sudah di potong kecil. Selanjutnya Aida memasak sayur bayam diatas api sedangan yang kini sudah tampak mendidih. Sebentat lagi sayur yang dimasaknya matang.
Di meja persegi itu sudah duduk semua keluarga Hasan. Bahkan artnya juga ikut duduk disana. Meski hanya seorang pembantu tak membuat keluarga itu membedakannya. Karena, apapun derajat kita, bagi Allah tetaplah sama. Yang membedakan hanyalah amal kita masing-masing.
Mereka makan dengan tenang seperti yang biasa keluarga itu lakukan. Berbicara jika memang ada sesuatu yang mau dibahas. Tapi lebih banyak jika mereka sedang duduk santai di ruang televisi
"Mau kemana Mi?" Aida melihat Asiyah yang hendak keluar dari rumah dengan menenteng tas yang biasa dibawa wanita itu kepasar.
Aisyah menghentikan langkahnya. "Ummi mau kepasar Nak. Nanti sore keluarga calon suami kamu akan datang," jawab Aisyah dengan tersenyum kepada anak gadisnya.
Aida terdiam mendengar ucapan Aisyah. Tak menyangka jika secepat ini dia akan bertemu dengan keluarga calon suaminya.
"A-apa di-dia juga datang Mi?" Aida menatap wajah wanita itu dengan serius. Rasanya dia belum siap untuk bertemu dengan laki-laki itu untuk sekarang. Jika dengan keluarganya rasanya tidak mengapa. Toh tahun lalu mereka juga sudah ketemu.
Asiyah menampilkan senyum manisnya. Dia paham dengan perasaan putrinya saat ini. Jelas tergugat rasa khawatir serta rasa cemas di wajah cantik anak gadisnya. Tapi mau bagaimana lagi, kedatangan keluarga calon suaminya tentu juga dengan anak laki-laki mereka.
"Iya Nak. Dia juga ikut ke sini," balas Aisyah mengusap kepala putrinya yang di lapisi hijab panjang yang selalu di pakai anak gadisnya.
"Ta-tapi aku belum siapa Mi," ujar Aida menunduk. Gadis itu meremas ujung hijabnya dengan kuat.
"Cepat atau lambat pasti kamu akan bertemu dengannya Sayang. Tidak ada bedanya dengan hari ini. Ummi paham dengan apa yang kamu rasakan Nak, teruslah beristighfar untuk menghilangkan rasa gundah yang tengah kamu rasakan, Sayang," Aisyah menguap lembut pipi putrinya yang kini tampak mengalir air bening dari matanya.
Aida mengangguk. "Terimakasih Mi."
"Sama-sama Sayang. Yasudah ummi pergi dulu ya." Pamitnya diangguki Aida.
Aida menuju kamarnya untuk mengambil wuduk. Hanya dengan membaca al-quran hati gadis itu akan tenang. Meski sudah terus beristighfar, kadang kala itu tidak sepenuhnya membuat hatinya tenang. Berbeda dengan membaca Al-Qur'an serta memahami setiap ayat yang dibacanya beserta artinya.
Suara merdu milik Aida memenuhi kamarnya. Sudah lebih dari satu lembar dia membaca Al-Qur'an untuk menenangkan hatinya.
"Shadaqallahul-'adzim" Aida menutup Al-Qur'an yang dibacanya. Meletakkan sebentar di atas kepalanya lalu menciumnya sebentar. Setelah itu baru diletakkan pada pada tempat dimana gadis itu mengambil kita suci tersebut. {(صَدَقَ اللهُ اْلعَظِيْمُ) "Maha benarlah Allah yang Maha Agung".}
\*\*\*
"Assalamu'alaikum," Bunyi bell serta ucapan salam mengalihkan atensi semua orang yang ada di ruang tamu.
Aisyah bergas menuju pintu yang diyakininya itu adalah keluarga besannya. Yang tak lain adik angkat dari suaminya.
"Mari masuk Mas, Mbak" Aisyah mempersilahkan tamunya untuk masuk ke dalam rumah.
Mereka mengangguk. Mengikuti Aisyah menuju ruang tamu.
"Apa kamar Mas?" Hamzah memeluk sekilas kakak angkatnya. Sudah satu tahun mereka tidak bertemu.
"Alhamdulillah Mas sehat, Ham," Hasan membalas pelukan adik angkatnya.
"Alhamdulillah kalau begitu Mas. Aku turut bahagia" Hamzah langsung saja duduk di sebrang kakaknya. Sedangkan di sebelahnya sang istri baru anak laki-lakinya.
Tak lama setelah itu ART di rumah itu menyuguhkan teh manis untuk ketiga orang itu. Tak luka kue yang juga di letakkan diatas piring kecil.
"Silahkan di cicipi terlebih dahulu Ham, Fat, dan kamu --" Hasan tampak bingung menyebutkan nama laki-laki itu. Bukan tidak tahu, hanya saja dia lupa-lupa ingat.
"Husein, Mas," jawab Hamzah yang melihat sang kakak tampak menghentikan ucapannya.
"Ahh ya, Husein. Maklum, Om sampai lupa soalnya sudah lama sekali kita tidak bertemu,"
"Iya benar sekali Kak. Kalau tidak salah waktu Husein masih berumur sepuluh tahun," ujar Hamzah mengingat jika putranya berkunjung kesini saat masih menduduki bangku sekolah dasar.
"Aida," Hasan menyebut nama putrinya yang tampak menunduk. Tak berani mengangkat wajahnya batang sedikitpun.
"Iya Bi," Aida mengangkat kepalanya sebentar, kaku kembali menunduk.
"Itu calon suami kamu, Nak," Hasan melirik ke arah Husein yang tampak memperhatikan putrinya yang hanya menunduk.
Aida menatap laki-laki yang berada di samping Fatimah. Mata mereka saling bertemu.
"Astagfirullahal'azim, astagfirullahal'azim, astagfirullahal'azim," Aida langsung saja memutuskan tatapan mata itu. Kembali menunduk seperti semula. Mengucap istighfar berulang kali, karena menatap yang bukan mahramnya. Meskipun hanya sebentar bagi Aida itu tetap tidak di benarkan.
"Kenapa Sayang?" Aisyah yang berada di samping putrinya memegang lembut tangan sang putri kala, telinganya mendengar sang anak terus berucap istighfar.
Aida menggeleng. "Tidak apa Mi," jawab Aida tersenyum kepada wanita itu.
"Berhubungan kami sudah datang ke sini. Saya selaku kepala keluarga, ingin meminang putri dari kakak untuk dijadikan istri untuk putraku satu-satunya," Langsung saja Hamzah mengatakan maksud baiknya kepada Hasan yang kini mendengarkan ucapannya.
Hasan tersenyum serasa mengangguk. "Baiklah, karena saya juga mengatakan sebelumnya kepada putri kami tentang maksud baik kamu Ham. Jadi saya akan menjawab putri saya menerimanya dan otomatis saya juga akan menerima," jawab Hasan melemparkan senyuman kepada adiknya itu.
Aida? Wanita itu hanya terdiam. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Dia duduk mematung setelah mendengar jawaban dari Abinya. Jujur saja hatinya tengah menangis meski tidak dengan matanya. Masih terasa sulit bagi Aida menerima pinangan ini, namun dia tidak mau egois. Yang terpenting orang-tuanya bahagia, terutama Umminya.
"Alhamdulillah," Kata itu keluar dari Hamzah serta Fatimah. Sedangkan putranya hanya terdiam tanpa ada kata yang keluar dari mulutnya.
Selanjutnya mereka menentukan kapan hari baik untuk putra-putri mereka akan melaksanakan ikatan sakral, apalagi jika bukan ikatan pernikahan.
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!