Maria Jonshon gadis pemilik toko roti yang tidak jauh dari salah satu Rumah Sakit, biasanya para suster, Dokter ataupun keluarga pasien sering datang membeli roti buatannya.
Maria tinggal di toko roti itu dari hari senin sampai jum'at sementara hari sabtu dan minggu dia akan kembali ke rumahnya.
Maria tinggal berdua bersama Neneknya, Ayahnya pergi meninggalkan Maria di saat Maria masih berada di dalam kandungan Ibunya.
Dan Ibunya juga ikut pergi meninggalkan Maria di saat anak itu berusia tiga tahun sebab tuntutan ekonomi yang tidak sanggup di penuhi.
Dari kecil Neneknya lah yang merawat Maria. Bekerja menjual roti keliling untuk menghidupi cucu satu-satunya itu.
Tidak di sangka kini mereka punya toko sendiri dengan nama Maria's bread.
Dua hari yang lalu ada pria yang entah pingsan atau tidur di depan toko Maria. Dan entah nyata atau hanya halusinasi Maria saja, sebab sampai detik ini Maria saja masih belum mengerti kemana perginya pria itu.
Tapi dalam waktu dua hari Maria sudah melupakan kejadian itu. Anggap saja itu mimpi. Kata Maria.
Maria memiliki iris mata seindah biru laut dengan rambut coklat dan kulit putih. Neneknya bilang mata biru itu dari Ayahnya dan kulit putihnya dari Ibunya.
Maria mematut dirinya di depan cermin seraya mengikat rambutnya dengan tersenyum.
"Pagi yang indah harus di awali dengan senyuman ..." seru Maria dengan semangat.
Gadis itu pun bergegas membuka tirai jendela. Membalikan tanda tutup di pintu menjadi buka.
Tidak butuh waktu lama orang-orang langsung menyerbu toko Maria Jonshon.
Ada yang makan di toko itu ada juga yang minta di bungkus.
"Silahkan ..." seru Maria dengan tersenyum mengantarkan pesanan pelanggan ke meja.
"Sepertinya kau sedang bahagia Maria Jonshon, benarkah?" Seru seorang satpam. Dia satpam di Rumah Sakit yang menepi di toko roti Maria untuk sarapan terlebih dahulu.
"Pertanyaanmu salah Tuan Regno. Yang benar, Maria Jonshon selalu bahagia ..."
Regno tertawa. "Ah aku lupa. Itu kan moto hidupmu."
Dengan tersenyum dan semangat di dalam dirinya Maria menjawab. "Moto adalah tujuan hidup dan tujuan hidup Maria Jonshon selalu bahagia."
"Benar, kau benar," seru Regno setelah memakan rotinya satu suapan.
"Tujuan hidup semua orang pasti bahagia. Tapi, kita tidak bisa bahagia setiap hari, benar?"
"Bisa!"
"Bagaimana caranya?" Tanya Regno penasaran.
"Dengan selalu tersenyum!" Sahut Maria seraya menunjuk kedua pipinya dengan tersenyum.
Regno menggelengkan kepala. "Astaga hidupmu benar-benar positif. Aku malah khawatir denganmu Maria Jonshon."
"Khawatirkan saja hidupmu Tuan Regno," sahut Maria menepuk pundak Regno beberapa kali lalu kembali menyiapkan pesanan yang lain.
Regno berdecih. "Aku penasaran berjodoh dengan siapa gadis yang selalu tersenyum itu!"
Maria menerima panggilan telpon dari salah satu Dokter di Rumah Sakit.
"Maria Jonshon, apel karamel satu, durian satu, coklat satu. Antar ke ruanganku ya!"
"Oke siap, Dok. Di tunggu ya, Maria Jonshon segera datang."
Dokter perempuan itu tersenyum ketika panggilan telpon berakhir. Sebab dia suka dengan suara Maria yang memang selalu terdengar semangat melakukan pekerjaannya.
Maria pun segera membungkus roti rasa apel karamel, durian dan coklat.
Pelanggan yang lain masih asik makan di toko nya sambil mengobrol dan belum ada pelanggan baru yang masuk jadi Maria bisa pergi ke Rumah Sakit terlebih dahulu untuk mengantarkan pesanan roti Dokter langganan nya itu.
Maria Jonshon berlari secepat mungkin sebab takut ada pelanggan baru yang masuk ke toko nya.
Jika roti nya di antar biasanya Maria akan mendapatkan uang tip dari pelanggan nya. Lumayan, bukan.
"Dok ini dok ..." Maria menyimpan roti itu di meja Dokter yang bernama Tessa.
"Ah sebentar ya ..." Dokter Tessa membuka laci dan mengambil dompet pink miliknya lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dan memberikannya kepada Maria.
"Dan ini uang tip nya."
"Loh, kebesaran itu Dok."
"Jadi kau menolak?"
"T-tidak sih hehe. Terimakasih ya," seru Maria mengambil uang itu.
"Aku ke toko dulu. Semangat Dok, bahagia terus ya, semoga duniamu secerah warna kuning. Bye ..." Maria pergi melambaikan tangan nya.
Dokter Tessa tersenyum melihat kepergian Maria. Terkadang para Dokter dan Suster di sana memesan roti untuk mendengar kata-kata manis atau kata-kata semangat yang di lontarkan Maria Jonshon.
"Nona ada kue pastry?"
"Ada," sahut Maria yang sedang menghitung uang. Dia menyimpan uangnya di laci terlebih dahulu dan menguncinya.
"Mau berapa?" Tanya Maria.
"Dua saja," sahut perempuan itu.
"Oke, sebentar ya. Duduk dulu ya," seru Maria dengan tersenyum.
Maria mengambil kue pastry di pemanggang, dia diam-diam memperhatikan wajah perempuan tadi. Terlihat lesu dan sedih.
Maria yakin perempuan itu pasti salah satu keluarga pasien di Rumah Sakit. Tak jarang keluarga pasien menepi di toko roti miliknya untuk merenung, sering kali Maria menemui orang-orang yang sedih sampai menangis di toko roti miliknya.
Sampai Maria tahu apa yang membuat mereka sedih. Kebanyakan karena salah satu keluarga mereka mengidap penyakit parah dan mereka harus pura-pura baik-baik saja di depan mereka tapi sebenarnya rapuh di belakang.
Maria mengambil kertas dan menulis sesuatu di sana lalu memasukannya ke bungkus roti tersebut.
"Dua kue pastry," teriak Maria.
Perempuan itu pun sontak berdiri, mengambil pesanannya dan membayar.
"Terimakasih ya, semoga hari ini kau di berikan kekuatan bahagia di hidupmu hehe."
Perempuan itu terkekeh kecil. "Terimakasih. Kau lucu sekali Nona."
"Ya. Itulah aku," sahut Maria dengan percaya diri dan tidak lupa senyuman di wajahnya.
Wajah Maria berubah menjadi datar ketika melihat perempuan itu pergi dari toko nya. Dia khawatir apa yang terjadi dengan perempuan itu, apa keluarganya benar-benar mengidap penyakit parah seperti orang-orang yang pernah dia temui sebelumnya?
"Sayang, ini Mommy belikan kue pastry kesukaanmu," seru perempuan itu kepada putra nya yang baru berusia lima tahun. Wajahnya pucat dengan kepala botak sebab panasnya kemoterapi membuat rambut anak itu rontok.
Perempuan itu sontak terdiam melihat kertas di dalam bungkusan roti tersebut. Dia pun mengambil dan membukanya.
Semangat ya ... kau bukan satu-satunya orang yang mendapatkan kesedihan pagi ini. Buatlah tembok pertahanan yang kuat di dalam dirimu agar energi negatif tidak masuk dan memenuhi kepalamu. Jika ada salah satu keluargamu yang sakit, akan aku doakan semoga cepat sembuh. Katakan kepada dia kue pastri buatanku punya mantra kesembuhan.
Kau pantas bahagia dan tersenyum setiap hari dan kau bukan satu-satunya orang yang berlari mengejar kebahagiaan pagi ini.
^^^Maria Jonshon. ^^^
Perempuan itu perlahan mengembangkan senyumannya membaca tulisan yang di tulis Maria Jonshon. Dia sampai berkaca-kaca.
Bersambung
Sore hari seharusnya toko Maria belum tutup tapi semua rotinya sudah habis terjual. Dia sangat bersyukur untuk hari ini.
Dia bersenandung pelan dengan mengelap meja pelanggan di toko nya agar besok dia tidak perlu bersih-bersih lagi.
Dia juga mencuci piring dan gelas yang kotor dan juga mengelap dapurnya, sesekali dia menyeka keringat di wajahnya.
Lelahnya tidak sebanding dengan penghasilan hari ini. Setelah selesai dia meminum coffe dingin dari kulkas sambil berjalan mendekati telpon rumah.
Maria menelpon Emma, Neneknya.
"Selamat sore Nyonya Emma yang terhormat dan kaya raya. Bagaimana kabarmu? Apa hari ini cukup baik?" Tanya Maria dengan tersenyum.
Ucapan adalah doa maka sebutan kaya raya adalah doa yang tulus dari Maria untuk Emma.
Emma tertawa. "Selamat sore juga Maria Jonshon. Aku baik-baik saja, aku sedang berkebun ketika kau menelpon. Hari ini cukup baik bagiku, karena semua wortel ku sudah bisa di panen."
"Jika kau berkenan kirimi aku wortel itu Nyonya Emma. Aku sangat menyukainya."
"Dasar bulu kelinci!" Hardik Emma dengan tertawa membuat Maria ikut tertawa.
Maria sangat suka Wortel. Dia bisa makan wortel yang di masak dengan cara apapun, apalagi jus wortel yang segar. Bahkan Maria juga suka wortel mentah.
"Nyonya Emma rotiku habis hari ini."
"Oh iya?" Teriak Emma begitu senang. "Astaga aku senang mendengarnya. Kau penjual roti berbakat, Maria."
"Semua roti ku resep darimu Nyonya Emma. Aku berhutang budi padamu, harus ku apakan kau yang sudah tua ini untuk membalas kebaikanmu hm?"
Emma tersenyum. "Pulanglah ... perempuan tua ini merindukanmu."
"Oke!" Sahut Maria dengan semangat. "Aku akan pulang. Tau kan apa yang harus di siapkan ketika aku pulang Nyonya Emma?"
Emma kembali tertawa. "Makanan yang banyak!"
"Seratus untuk Nyonya Emma!"
"Ah dasar kau ini! Cepat aku menunggumu."
Maria kembali menyimpan telpon di tangan nya. Dia tersenyum lalu bergegas masuk kamar untuk mengambil tas miliknya.
Ini bukan hari sabtu atau minggu. Tapi karena sore ini roti Maria terjual habis jadi dia seakan punya berkat indah untuk menemui sang Nenek.
Maria sudah mengembok toko roti miliknya itu sebelum pergi.
Perjalanan menuju rumah Emma sekitar dua jam. Maria masuk ke salah satu bis langganan nya. Dia duduk di belakang sambil memalingkan wajahnya ke luar jendela.
Dia tersenyum melihat kesibukan orang-orang di luar sana, mengobrol di dalam mobil, berjalan di trotoar jalan sambil bercerita dan tertawa.
Gadis itu pun mengeluarkan ponsel di dalam tas nya lalu memotret mereka di balik jendela bis. Entah kenapa Maria suka sekali melihat orang tertawa.
Menurut Maria orang yang tertawa itu berhasil merahasiakan kesedihan mereka. Sedih boleh tapi tertawa jangan di lupakan. Itu menurut Maria.
Setelah asik memotret mereka semua dan hasil fotonya dia simpan di galeri, gadis itu pun tertidur.
Tapi lama kelamaan dia mendengar samar-samar suara seseorang mengobrol di kursi belakang.
"Tuan Hugo bilang dia akan terbang malam ini ke sini. Dia minta kita untuk ketat menjaga Marvel."
"Sebenarnya apa rencana Tuan Hugo? Bukankah Marvel hilang ingatan. Lalu apa untungnya sekarang?"
"Hei kau bod*h. Marvel sekarang masih belum sadarkan diri, kalau dia sudah sadar mungkin Tuan Hugo akan mencuci otaknya dengan mengatakan Tuan Hugo adalah atasan Marvel dan Marvel sudah bekerja dengan Tuan Hugo selama puluhan tahun. Bukankah kekuatan kita akan bertambah dengan adanya Marvel?"
"Ah iya. Kau benar juga!"
"Yang terpenting kita harus menjaga Marvel dari Bryan. Agar dia tidak menemukannya!"
"Untung gadis pemilik toko roti itu pergi saat itu. Jadi kita bisa membawa Marvel dari toko nya!"
Maria perlahan membuka mata mendengar nama Marvel dan juga gadis pemilik roti.
Apa jangan-jangan yang mereka maksud itu dirinya dan pria itu? Maria mengingat nama Marvel di gelang Rumah Sakit yang Marvel pakai.
Ketika bis berhenti di halte pertama, beberapa orang turun. Dan ternyata dua pria yang duduk di belakang Maria juga ikut turun.
Maria tidak turun di sini tapi karena dia penasaran dengan dua pria yang mengobrol di belakangnya tadi alhasil Maria pun ikut turun.
Dia berjalan pelan di belakang dua pria itu dengan mengambil masker di dalam tas nya.
Maria buru-buru mengenakan masker nya itu dan juga kaca mata hitam yang ada di tas nya.
Maria berjalan santai seolah-olah tidak mengikuti pria di depan nya, bahkan gadis itu membeli permen terlebih dahulu di pedagang yang ada di pinggir jalan sambil terus memusatkan mata nya ke arah dua pria tersebut.
Dia tidak boleh lengah dan kehilangan jejak.
Kini Maria mengikuti dua pria itu sambil memegang permen lolipop di tangan nya.
Ketika salah satu pria menoleh ke belakang spontan Maria pura-pura tengah membuka permen lolipop miliknya itu.
Mereka masuk ke salah satu rumah yang tidak terlalu besar. Maria bersembunyi di belakang pohon.
"Apa pria itu di sembunyikan di sana ya?" Gumam Maria.
"Aku harus masuk ke sana. Sepertinya pria itu butuh bantuan ..."
Setelah celengak-celingkuk beberapa saat akhirnya Maria pun berjalan menuju rumah itu.
Dia juga ingin memastikan dua hari yang lalu dia benar-benar tidak berhalusinasi kalau memang benar pria yang ada di dalam rumah itu pria yang sama yang ada di toko nya.
Maria tidak mungkin mengetuk pintu jadi dia mengintip terlebih dahulu di jendela.
Merasa aman, akhirnya dia memutar knop pintu dan masuk perlahan.
Matanya berkeliling memastikan tidak ada orang di dekat Maria.
Maria berjalan mengendap-ngendap. Maria cukup pemberani juga bisa sedikit bela diri, itu semua hasil ajaran dari Emma.
Sebab mereka hanya tinggal berdua jadi harus saling melindungi.
Maria sudah ada di dalam rumah, ada tangga dan juga jalur menuju dapur dan ruangan yang lain. Seperti ruang keluarga, mungkin.
Tapi di sana juga ada pintu, jadi Maria harus kemana?
Setelah beberapa detik berpikir akhirnya Maria memilih tangga. Ya, gadis itu naik ke atas.
Perlahan-lahan dia naik menaiki anak tangga selangkah demi selangkah dengan hati-hati.
Ruangan di atas cukup luas, tapi tidak ada siapapun. Kemana perginya dua pria tadi?
Maria mendekati pintu berwarna coklat yang sedikit terbuka. Dia mengintip di sana.
Kemudian matanya terbelalak melihat sosok pria yang dua hari yang lalu terkapar di depan toko roti miliknya itu kini tengah berbaring di ranjang dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Dan pria itu sudah tidak memakai pakaian Rumah Sakit lagi. Hanya kaos putih polos dan celana jeans saja.
Tunggu. Apa sudah dua hari pria itu masih belum juga sadarkan diri?
"Apa kita harus menambah dosis obat biusnya lagi?" Tanya salah satu pria kepada teman nya di ruangan itu.
"Obat bius?" Ulang Maria tanpa suara.
"Suntik saja lagi. Dari pada di bangun!"
"Oke."
Ketika Maria melihat salah satu pria tengah membuka ampul di tangan nya, Maria berusaha mencari ide bagaimana menyelamatkan pria itu.
Sampai akhirnya matanya mendapati bola biliar di ujung ruangan, dia segera mengambil bola itu dan segera kembali ke ruangan tadi sampai akhirnya.
DUG
"Akkhh!" Pria itu memekik kesakitan ketika punggungnya di lempar bola biliar dengan keras sampai ampoule di tangan nya jatuh.
"Aaaaa sakit ..." dia berlutut dengan memegang punggungnya.
"Hei siapa kau!"
DUG
Maria menendang kejantanan pria yang hendak menghampirinya itu. Alhasil dua pria itu menjerit kesakitan.
Maria buru-buru menghampiri ranjang dengan panik mencoba membangunkan Marvel.
"Hei kau ayo bangun! Ayo bangun!" Dia berusaha menggoyang-goyangkan tubuh Marvel tapi Marvel masih belum sadar.
Karena takut dua pria itu kembali punya kekuatan untuk berdiri alhasil Maria menampar Marvel dengan keras.
PLAK.
Bangun? Jawabannya tidak, Marvel belum bangun sama sekali. Entah obat bius apa yang di berikan dua pria itu.
"Kurang ajar kau gadis bedeb*h!" Pria itu menghampiri Maria dengan memegang kejantanan nya. Jalan nya sedikit sempoyongan karena tak kuasa menahan sakit sementara pria yang di lempar bola biliar oleh Maria masih memekik kesakitan.
Apa mungkin tulang punggungnya patah?
"Apa yang kalian lakukan dengan pria ini? Kalian menyuntikan obat bius ke tubuhnya hah? Kenapa kalian menculiknya? Mau aku laporkan ke kantor polisi hah?"
"Berisik sial*n!"
PLAK
"Akh!"
Maria memegang pipinya yang terasa panas akibat di tampar. Dia menatap pria di depannya dengan amarah.
"Berani sekali kau menamparku!" geram Maria.
Bersambung
Maria hendak memukul pria itu tapi pria itu segera menangkisnya dan mendorong Maria sampai tubuh Maria terbentur laci di belakang tubuhnya.
Maria mendesis kesakitan.
"Sekap saja dia!" Seru pria yang di lempar bola biliar tadi.
"Sekap aku kalau bisa!" Sahut Maria dengan angkuh.
"Cari mati kau gadis kecil hah!"
Dia hendak menampar kembali Maria tapi kali ini Maria berhasil menangkap tangan nya dan berakhir dengan menendang keras perut pria itu.
Tidak memberi kesempatan saat pria itu memekik kesakitan dengan membungkuk dan memegang perutnya, Maria langsung menendang wajah pria tersebut.
Dia membuka laci dan menemukan ada ampoule di sana, dia yakin itu obat bius, Maria segera mengambil jarum suntik.
Dengan cepat Maria membuka ampoule dan mengambil cairan itu dengan jarum suntiknya di saat pria di dekatnya masih memekik kesakitan.
JLEB
"Aaaaa ..."
Punggung tangan Maria di tusuk pisau dan pria itu segera mencabut kembali pisau itu dengan kasar membuat Maria semakin menjerit kesakitan.
"Mampus kau!"
Pria itu hendak kembali menusuk Maria tapi tiba-tiba kepalanya di benturkan dengan keras ke dinding.
Marvel sadar ketika mendengar teriakan Maria. Dengan sekali gerakan dia membenturkan kepala pria itu ke dinding sampai mengeluarkan darah.
Maria tercengang melihat itu. Marvel mendelik ke arah pria yang lain yang terduduk di lantai dengan satu tangan memegang punggungnya.
Pria itu tampak tegang dengan wajah pucat melihat Marvel sadar.
Dengan amarah Marvel berjalan mendekati pria itu, pria itu beringsut menjauh seraya menggelengkan kepala ngeri.
Sementara Maria masih belum bisa berkutik melihat pria yang menusuknya tadi sudah tidak sadarkan diri. Entah mati atau pingsan.
Maria hanya diam dengan memegang tangan nya yang berdarah.
Marvel menendang punggung pria itu yang tadi di lempar bola biliar oleh Maria. Dia semakin menjerit kesakitan.
Lalu Marvel menendang kepalanya dengan keras membuat Maria terhentak kaget.
Marvel berbalik menatap Maria, menatap mata biru sebiru laut itu untuk pertama kalinya. Nyali Maria menciut seketika dengan tatapan Marvel kemudian pandangan pria itu turun ke tangan Maria.
Marvel segera membuka laci dengan tergesa-gesa sampai akhirnya dia menemukan perban.
Marvel melilitkan perban di tangan Maria berharap darahnya tidak keluar banyak.
"Aw aw sakit." Pekik Maria kala ikatan perban nya terlalu kencang.
Marvel tidak berbicara dia menarik tangan Maria yang lain dan membawanya keluar dari ruangan sementara dua pria tadi sudah tidak sadarkan diri.
"Tunggu-tunggu ..." Maria menghempaskan tangan nya ketika mereka sudah berada di luar rumah.
Marvel berbalik.
"Kau sudah sembuh?" Tanya Maria.
Marvel menaikan alisnya. Tangan gadis di depan nya ini terluka tapi dia masih bertanya soal keadaannya.
"Sudah," sahut Marvel asal. Sebenarnya kepalanya masih sakit, badan nya juga. Dia tidak tahu gadis ini siapa. Dia juga tidak tahu siapa dirinya sendiri, yang jelas Marvel harus membawa gadis ini ke Rumah Sakit.
"Siapa namamu?" Tanya Maria walaupun Maria sudah tahu nama Marvel.
Marvel terdiam. Dia mencoba mengingat siapa namanya.
Tapi yang Marvel lakukan hanya mengangkat kedua bahunya membuat Maria mengernyit.
"Nama ... namamu siapa?" Tanya Maria.
"Tidak tau. Ayo ke Rumah Sakit." Marvel menarik tangan Maria tapi Maria kembali menghempaskan nya.
"Tunggu, apa kau tidak ingat namamu?" Tanya Maria menatap Marvel dari atas sampai bawah.
Maria berpikir apa jangan-jangan pria di depan nya ini pasien amnesia.
"Darahnya semakin banyak." Marvel menatap tangan Maria.
Maria pun menatap tangan nya dan benar darahnya semakin banyak.
Marvel mengedarkan pandangan nya dan melihat ada Rumah Sakit tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Hanya saja Rumah Sakitnya tidak terlalu besar.
"Kesana ..." Marvel menarik tangan Maria membawanya ke Rumah Sakit itu.
----
"Selesai ... ada obat minum untuk pereda nyeri nya ya," seru seorang suster di sana. "Ambil saja nanti di depan."
"Iya sus, terimakasih," sahut Maria dengan tersenyum.
Ketika suster itu keluar, Maria menatap tangan nya yang di perban juga sempat di jahit walaupun tidak banyak kemudian dia menoleh ke arah Marvel.
Pria itu berdiri di dekatnya juga menatap matanya.
"Terimakasih ..." seru Marvel membuat Maria menaikan alisnya.
"Untuk?"
"Kau membawaku keluar dari sana."
"Kau tau mereka orang jahat?" Tanya Maria yang di jawab anggukan dari Marvel.
"Mereka membawaku dari toko roti milikmu. Hari itu aku lemah sampai membuka mata saja sulit tapi aku mendengar suaramu dan suara mereka."
"Ah begitu ..." Maria mengangguk-ngangguk. Akhirnya dia sudah bisa memastikan kalau dia tidak berhalusinasi bertemu dengan pria di depan nya ini.
"Kau hebat dalam berkelahi," seru Maria memuji.
Tapi Marvel malah terdiam dengan pujian Maria. Rasanya kenapa enteng sekali dia melawan dua pria itu seakan itu hal biasa yang sering Marvel lakukan.
Maria juga terdiam menatap Marvel dengan pertanyaan di kepalanya.
Pria ini benar-benar amnesia mungkin ya? Masa nama sendiri saja tidak tau.
"Kau tinggal dimana?"
Marvel yang melamun kembali menatap Maria lalu menggelengkan kepala membuat Maria mendengus kasar.
"Benar-benar amnesia sepertinya," gumam Maria Jonshon pelan.
"Kau tidak punya tempat tinggal kan? Ikut aku saja!"
Maria berdiri dari duduknya, Marvel yang awalnya hanya diam akhirnya mengikuti Maria.
Aku harus membantu pria ini mengembalikan ingatan nya. Besok aku ke Rumah Sakit saja lah. Sekarang aku bawa dia ke toko roti saja dari pada ke rumah Nyonya Emma.
Mereka akhirnya naik bis bersama. Marvel menatap lengan Maria yang di perban.
"Itu sakit?" Tanya Marvel.
"Sakit lah, tapi aku kuat," sahut Maria dengan tersenyum.
"Oh ..." Marvel mengangguk-ngangguk.
"Oh iya, kau kenapa bisa masuk Rumah Sakit hari itu? Kecelakaan ya? Banyak luka di tubuhmu."
Marvel menganggukan kepala.
"Jadi benar kecelakaan?" Mata Maria melebar sempurna. Ternyata tebakannya benar.
"Iya."
"Tabrakan mobil atau kau menabrak sesuatu?" Tanya Maria.
Marvel diam sejenak mencoba mengingat-ngingat. "Tabrakan," sahut Marvel.
"Astagaa ... kau sendirian kan di mobil itu?" Tanya Maria.
Marvel kembali terdiam sejenak mencoba berpikir. Kalau tidak salah dia tidak sendiri di mobil yang membawanya kecelakaan.
"Ada satu orang lagi tapi aku tidak ingat wajahnya."
"A-ada satu orang lagi?"
Marvel mengangguk.
"Coba, coba kau ingat-ingat lagi. Mungkin dia salah satu keluargamu. Siapa tau aku bisa membantumu bertemu dengan keluargamu!"
"Marvel menggelengkan kepala. "Aku tidak ingat. Tapi sepertinya dia perempuan ..."
Marvel hanya mengingat baju kebaya yang di pakai seseorang yang satu mobil dengan nya itu. Tapi Marvel benar-benar tidak ingat wajahnya.
Maria berdecak.
Sudahlah aku tidak perlu banyak tanya dulu biar aku besok langsung tanya ke Dokter saja.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!