NovelToon NovelToon

GIFALI DAN MAURA

Dasar Novel. Prolog

Novel ini adalah lanjutan penggabungan dua novelku yang berjudul

"Bersahabat Dengan Cinta Terlarang dan Mantanku Presdirku Suamiku

Bisa buka di profil aku untuk baca novelnya dari part awal. Thankyou❤️.

***

Nadifa Pov❤️

Perkenalkan aku adalah Nadifa Putri Hadnan. Wanita apa adanya yang hanya memiliki cinta untuk suamiku, Galih Hadnan dan ke empat buah hati ku. Jika dulu aku pernah menjadi sesuatu yang buruk dimasa lalu maka saat ini aku akan sangat bersyukur. Karna dengan keburukan itu membuat aku dan suami, menjadi pasangan yang paling membahagiakan saat ini. Kami menjadi kokoh dan kuat akan setiap terjangan badai yang selalu menerpa.

Aku dan suamiku pernah menjadi pasangan paling menyakitkan dalam waktu bersamaan. aku menghianatinya dan dia pun menghianati ku.

Kejadian itu pula membuat kami mendapatkan suatu balasan, mungkin aku tepatnya.

Suami yang begitu ku cinta tega melahirkan seorang madu untuk ku. Walau ku tahu itu adalah hasil dari ketidaksengajaannya. Ia dijebak oleh orang yang mencintainya dan aku tau dia membenci wanita itu.

Lalu bagaimana dengan kisahku? Aku harus melepas hubungan terlarang ku dengan dia, lelaki bijaksana yang selalu aku hormati sampai detik ini. Kami memang pernah gelap mata dan salah arah, namun hubungan kami masih belum dikatakan berlebihan. Kami masih saling menjaga kehormatan masing-masing.

Begitu sakitnya hatiku ketika mendengar suamiku telah menikah dan menghamili wanita lain disaat aku belum bisa memberikannya keturunan, sampai di usia Lima tahun pernikahan kami. Bukannya aku membenci hal itu namun aku malah menyambut kedatangan mereka. Itu semua ku lakukan untuk mengusir rasa bersalah kepada suamiku yang telah ku hianati cintanya dan mengakui kekurangan ku, karna belum kunjung memberinya seorang anak.

Walau suami ku pernah berkata, ia akan tetap bersamaku walau aku tidak bisa memberi anak sekalipun.

Sungguh perjalanan rumah tangga kami adalah suatu Ironi.

Suamiku dan wanita itu, telah menjadikanku sebagai ibu sambung untuk anak mereka. sempat hidup bertiga dalam atap yang sama, membagi ranjang dan membagi sosok suami. Dan aku pun pernah memutuskan ingin bercerai darinya, agar ia dengan maduku bisa menjalani kehidupan yang membahagiakan.

Namun tuhan berkata lain, ketika ia memberikan kami kesempatan kedua untuk tetap bersama. Maduku meninggal dunia setelag melahirkan anak sambungku dan menghilangkan cinta terlarang yang pernah bersemayam dihatiku kepada lelaki yang pernah kucinta setelah sosok suamiku, Malik Gunawan.

Memang dunia begitu sempit, aku tercengang etika ku ketahui istri dari Malik adalah kakak sepupu dari Sagita Haryani, maduku. Maka tetap saja walau kini aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Aku masih mengizinkan Gifali untuk sesekali menginap atau liburan bersama mereka, karna Malik dan Kinanti Mereka merasa Gifali cocok untuk menjaga putri-putri mereka yang sebenarnya umurnya lebih tua dari Gifali.

Terkadang aku suka frustasi untuk hal itu, aku takut mereka akan membocorkan siapa jati diri Gifali dan sosok diriku sebenarnya. Namun sekali lagi fikiran semua itu enyah ketika aku ingat Malik tak akan mungkin sampai menghianatiku, ia tahu betul aku mencintai keponakan mereka lebih dari nyawa dihidpku.

Lalu aku ikhlas menjalani kehidupanku sebagai istri dan ibu sambung untuk anak sulung kami. Putra Gifali Hadnan. anak laki-laki yang begitu gagah dan cerdas. Ia adalah kakak tertua dari ke tiga adiknya. Selalu membela, melindungi dan mencintai. ia tidak akan segan-segan mengeluarkan taringnya kepada siapapun jika melihatku menangis. Hebatnya dia mampu menjadi panutan untuk ke tiga adiknya, mereka lebih terbiasa meminta pendapat Gifali tentang suatu hal dari pada meminta pendapat ku dan suamiku dan ku tahu ia amat dicintai para sahabatnya.

Dia selalu memprioritaskan kami, keluarganya. aku curahkan kasih sayang yang sama rata kepadanya dengan tiga anak kandungku yang lain. malah cukup dibilang, aku amat bergantung padanya.

Ya...Lima tahun setelah itu aku mendapatkan anugerah luar biasa dari allah. Aku diizinkan hamil dan melahirkan anak-anak kami.

Anak kedua kami adalah Putri Ganaya Hadnan, anak pertama yang ku lahirkan dari rahimku sendiri, tentu saja dia tetap menjadi anak kedua setelah Gifali. Kami memanggilnya Gana, anak perempuan yang cantik, penurut dan penyayang. Semua hobiku turun kepadanya, dia hobi memasak dan membuat kue. Walau kami mempunyai uang, tentu saja anak ini akan menabung susah payah untuk membeli apa yang ia suka.

Selang setahun kelahiran Gana, aku pun dipercayai lagi untuk hamil anak ketiga yaitu Putri Gelfani Hadnan. Anak perempuan kedua ku ini sungguh berbeda, ia lebih berani dari semua kakak-kakaknya. Ia sangat mirip dengan ku tapi sifatnya mengambil suamiku. Ia akan berteriak, meronta-ronta jika keinginnanya tidak dituruti, usil, lucu dan yang paling manis akan selalu menjaga kakak-kakak dan adiknya dari setiap masalah yang ada.

Tiga tahun kemudian akhirnya aku melahirkan anak lelaki dari rahimku sendiri. Ia adalah Putra Gemma Hadnan. Tentu saja aku senang akhirnya bisa memberikan suamiku seorang anak laki-laki dari rahim ku sendiri. Walau menjadi anak bungsu, namun ia tidak pernah manja. Suamiku selalu melarangku untuk program KB. Katanya ia akan siap berapapun anak yang akan aku lahirkan kedunia ini.

Tentu saja dengan adanya mereka, membuat hidup kami menjadi harmonis dan bahagia. selalu ramai dalam satu meja makan, tinggal dirumah baru yang cukup besar dan beberapa kendaraan untuk kami.

Adanya empat orang anak, membuat aku dan suamiku harus terus bekerja dengan giat untuk menafkahkan mereka. Karna kegigihan suamiku dalam karirnya membuat ia berhasil memiliki perusahaan sendiri dan mempunyai 3 cabang dibeberapa kota. Membuat aku pun harus menuruti kemauan suamiku untuk tetap dirumah dan sesekali menjadi konsultan keuangan diperusahaan dan beberapa cabang kepemilikan kami.

Kini usia pernikahan kami sudah menginjak angka 22 tahun, dimana anak sulung kami sudah berumur 17 tahun dan duduk dikelas 3 SMA.

Gifali ada di kelas Tiga, Gana ada dikelas dua dan Gelfa ada dikelas satu. Papah nya meminta mereka untuk menimba ilmu dalam sekolah yang sama. Tentu karna ia merasa Gifali ada disana, ia bisa diandalkan untuk menjaga Gana dan Gelfa.

Semua kebahagiaan terus mengalir deras. aku rasa alam sangat mencintai rumah tangga kami, hampir 17 tahun aku dan Galih selalu bisa melewatkan rintangan yang tidak terlalu berarti.

Tetapi dimana suatu saat badai hebat menerjang biduk rumah tangga dan ke empat anaku. Rasanya sakit bukan main, hati kami semua hancur bersamaan. Aku rasa hanya ingin mati saja saat itu. Tidak akan pernah terbayang dibenakku mengapa semua itu bisa terjadi. Merubah keadaan keluarga kami 180 derajat.

Dan ini lah kisah kami..

***

Pengorbanan sang kakak

Assalammualaikum kesayangan. selamat membaca ya🤗

***

Suasana sekolah telah kembali hening, para siswa-siswa kembali masuk kedalam kelas. Karena jam ishoma sudah lama berakhir. Mereka kembali fokus untuk menyerap semua pelajaran dari guru-guru dikelas masing-masing.

Namun keheningan itu terganggu dengan langkah kaki sepatu pantopel kepemilikan Ganaya. Terdengar begitu nyaring di sisi koridor kelas, sampai terlihat beberapa siswa saling menengok ke jendela, untuk mencari tahu siapakah gerangan pemilik langkah itu.

Langkahnya terburu-buru, nafasnya naik turun. Beberapa butir keringat mengucur dari sisi-sisi rambutnya. Keningnya terus berkerut, matanya sedikit sendu karna takut. Ia terus melangkah sampai tepat berdiri di kelas 12 IPA 1.

Kepalan tangannya diarahkan ke daun pintu dengan ragu-ragu, matanya sedikit mengintip ke sisi pintu yang terbuka. Terlihat Pak Guru sedang berdiri dipapan tulis dan semua murid kelas tiga sedang menunduk dan mencatat.

Begitu hening.

Lalu

Diketuknya daun pintu itu pelan-pelan, tubuhnya sedikit dicondongkan ke pertengahan pintu, agar semua yang didalam dapat melihat gadis berkulit putih ini.

Seketika Pak Guru menoleh dan mulai menghampiri Ganaya, belum sempat bertanya ada keperluan apa gadis ini datang, sudah lebih dulu di selak oleh Gifali.

"Maaf Pak, ini adik saya. Saya ijin dulu dari kelas sebentar Pak," tukas Gifali dengan sopan.

"Baiklah, silahkan!"

Gifali menarik tangan adiknya, untuk mengikutinya menjauh dari kelas. "Kamu cari kakak? kenapa?"

"K--kak?" terlihat wajah Gana makin melemah.

"Kenapa Gana?" Gifali memegang bahu sang adik, agar cepat untuk berucap.

"Gelfa kak, tadi dia telepon aku katanya lagi di IGD Rumah Sakit!"

"Hah?" tak sengaja ia berteriak histeris, lalu memelankan kembali suaranya. "Maksudnya gimana?"

Ganaya masih berfikir untuk menceritakan semua nya kepada Kakaknya. Yang iya tahu Gifali pasti akan marah besar.

"Gelfa ikutan balapan motor sama teman-teman sekelasnya, Kak. Terus dikejar-kejar polisi, dan akhirnya jatuh. Gimana nih Kak? Papa pasti marah banget nanti sama kita, karna nggak bisa jaga dia, uuhh..kesel banget deh sama itu anak!"

Ganaya menghentakkan kakinya kelantai seraya meluapkan kekesalannya pada sang adik, lalu genangan air mata terlihat sudah hadir di kelopak mata Ganaya.

Gifali menelan nafasnya dengan kasar, mengusap rambutnya kebelakang dengan urakan.

"Oke! kita kesana, Kakak ijin pulang cepat dulu sama Pak Guru, kamu juga siap-siap, ambil tas dikelas. Kita ketemuan diparkir motor ya, Jangan pakai lama!"

Kemudian mereka pergi berlainan arah menuju kelas masing-masing. Gifali dan Ganaya tidak pernah mengerti dengan sifat Gelfani yang susah diatur. Kecerdasan Gelfa menurun dari Gifali, tapi sikap nya yang brutal entah menurun dari mana.

***

"K--kak!" Gelfa melambaikan tangannya kepada kedua kakaknya yang lagi celingak- celinguk mencari keberadaanya didalam IGD. Suaranya amatlah berisik dan begitu nyaring, membuat semua mata tertuju kepadanya.

"Kamu berisik deh! jangan teriak-teriak ini tuh Rumah Sakit, Gel!" ucap Ganaya dengan sewot, namun tidak dengan hatinya. Ia begitu sedih melihati keadaan Gelfa saat ini, terlihat perban ada didahi dan dilengan tangannya.

"Itu sakit nggak?" Ganaya menunjuk perban yang telah terpasang menutupi luka.

"Ahh, luka gini mah cemen. Nggak ada apa-apanya, Kak Gana!" gelak tawa Gelfa mengembang diudara.

Tetapi itu tidak berlangsung lama, ketika ia menoleh ke arah Gifali.

Sang Kakak lelakinya masih saja diam menatapi kondisi adiknya saat ini, bayangkan saja mereka harus meminta pulang cepat dari sekolah hanya karna untuk mengurusi anak ini.

"K-kak?" ucap Gelfa merengkuh lengan kakak lekakinya. Ia sungguh menatap mata tajam yang tengah mendelik ke arahnya. Gelfa masih bergeliat manja memeluk sang kakak.

"Iih..udah deh, kaya ulet bulu tau nggak!" Ganaya memisahkan tubuh Gelfa dari Gifali. Entah mengapa dari dulu Ganaya selalu cemburu jika Gifali hanya perhatian kepada Gelfa, padahal itu hanyalah perasaanya saja. Karena kenyataannya kakak lelakinya itu amat sayang dan cinta kepada semua adik-adiknya.

"Mas, tolong diselesaikan administrasinya ya dikasir, jika sudah nanti adiknya boleh pulang." ucap seorang Perawat memberikan sebuah nota kepada mereka.

Kemudian, mereka bertiga sama-sama menunduk melihati total biaya yang diberikan oleh perawat tadi.

"Ya Allah, mahal banget Kak!" ucap Gana memecah keheningan diantara mereka.

"Kakak punya uang?" diisusul Gelfani dengan wajah datarnya.

Gifali hanya bisa melemparkan pandangan bisu ke arah bola mata adik-adiknya.

Sebagai kakak tertua, tentu jiwanya terpanggil untuk menyelesaikan masalah ini tanpa membawa nama orang tua nya. Ia harus menutupi kejadian Gelfani dari sang Mama dan Papa.

Lalu ia berjalan keluar dari pintu IGD, disusul oleh langkah Gana dari belakang. Ia terus menatap lurus, melihati sisi kanan dan kiri, dikepalanya terus berfikir bagaimana caranya ia mendapatkan uang untuk melunasi biaya perawatan Gelfa saat ini.

"Kak, lebih baik kita hubungi Papa aja! biar Papa datang kesini, buat bayarin biaya perawatan Gelfa." ucap Gana sambil memegang lengan baju kakaknya. Gana memberi saran yang cukup baik untuk menyelesaikan masalah mereka saat ini.

"Jangan Gana, nanti Papa pasti marahin Mama, karena nggak bisa ngejagain kita, mau lihat mereka berantem?"

Seketika wajah Gana mulai sendu dan menunduk, ia yakin perkara itu akan terjadi dirumah jikalau Nadifa dan Galih tahu akan masalah Gelfa.

Gifali memang sangat mencintai Mamanya, baginya kebahagiaan sang Mama adalah nomor satu. Ia pun tidak segan-segan memarahi adik-adiknya, jika dirasa rewel terhadap mama nya.

Tak lama kemudian, muncul lah ide cemerlang melekat dikepalanya, walau mungkin ini akan menjadi pertentangan di mata Gana.

Gifali pun berlalu menghampiri seorang tukang parkir yang terlihat banyak memakai cincin emas disemua jemarinya. Tanpa rasa takut ia pun mulai membuka suara.

"Bang?"

"Iya Jang?"

Gifali terlihat melepaskan jam tangan mahalnya ke lelaki tua itu.

"Bayarin bang, buat bayar obat adik."

"K-kak!" pekikan keras keluar dari Gana. "Kak, jangan! jam itu kan kado ultah dari Papa, harganya mahal banget!"

"Udah diem--!" jawab Gifali dengan wajah serius ke arah Gana. "Kalau nggak gini, gimana kita bisa pulang dari sini?"

Mereka memang tidak punya pilihan.

"Berapa nih jang?" tanya si tukang parkir sambil terus melihati jam mahal kepemilikan Gifali.

"Saya butuh 400 ribu bang, ada nggak?"

Tanpa fikir panjang, si tukang parkir langsung memberinya uang cash senilai 400 ribu. Dia sepertinya tahu jam ini bisa dijual kembali dengan harga tinggi.

"Kakak--!" ucapan sewot terdengar mencuat dari bibir Gana. Ia sedih melihat kakaknya sampai hati mengorbankan itu semua. Memang begitulah Gifali, ia akan siap berkorban untuk melakukan apapun demi keluarga nya.

***

Like Vote Rate & Komen nya yaa💕

Terjebak dalam hujan

Selamat baca 🤗🤗

***

Sore ini turun hujan begitu deras, sesekali gluduk saling bersautan. Suasana pun seketika menjadi padam berawan gelap, suara gemercik hujan terus membasahi jalan, membawa para penguasa jalan untuk menepi sebentar, menatap langit kapankah ia menarik kekasih hatinya kembali agar tidak membasahi bumi.

"Mah..?" ucap Gemma menghampiri Nadifa yang masih berada di dapur, tengah memasak untuk makan malam. Anak bungsu itu pun meraih punggung tangan Mamanya untuk dicium.

"Kok sendiri, Kakak-kakak mu mana?" Nadifa celingak-celinguk ke arah pintu utama, mencari keberadaan Ganaya dan Gelfani.

Setiap harinya Gema, Ganaya dan Gelfani akan diantar sopir untuk berangkat dan pulang sekolah. Sang Papa memberikan mereka satu mobil untuk dipakai bersama, sedangkan Gifali dia lebih memilih untuk memakai motor besarnya.

Tak jarang di SMA, orang-orang mengenal mereka dengan sebutan 3G Banking ( Gifali, Ganaya dan Gelfani anak bos), namun tetap karena didikan Nadifa dan Galih, mereka tumbuh menjadi anak yang harus mandiri, tidak boleh cengeng dan harus bekerja keras jika mau mendapatkan sesuatu. Tidak boleh sombong atau besar kepala. Harus menghargai dan merangkul teman dalam apapun kalangannya.

Nadifa dan Galih sepakat untuk memberikan anak-anak mereka gadget ketika sudah menginjakan kaki di bangku SMA, biar sebelumnya mereka bisa bermain dengan puas dan mengenal dunianya tanpa Gadget.

Mungkin ini yang dirasakan Gemma, ia masih duduk di bangku SMP dan tanpa gadget digenggamannya. Ia akan menghabiskan kebosanan dengan PS dirumah, bermain piano atau bermain bola bersama teman-temannya.

Begitu pun uang jajan, semua anak dijatah dan nominalnya tidak disamakan. Mereka mendapatkan jatah jajan seminggu sekali, Nadifa sengaja mendidik seperti ini agar anak-anak mereka mampu mengelola keuangan, waktu dan aktivitas mereka dari umur belia. Agar saat tua, mereka tidak akan terseok-seok menyesali apa saja yang sudah dtinggalkan di masa muda.

"Nggak tau Mah, tadi pas kita sampai sekolah Kakak, mereka semua udah nggak ada. Mang Adim udah tanya ke satpam, katanya Kakak-kakak sudah pulang duluan."

Jag.

Dada Nadifa bergemuruh kencang, apalagi yang akan dirasakan seorang ibu ketika mengetahui anak-anaknya belum sampai rumah tanpa kabar. Nadifa terus berimajinasi dengan alam fikirnya, meraba-raba kemana kah mereka pergi.

"Adik ganti baju dulu sana, langsung mandi ya!"

Gemma mengangguk tetapi masih melihati wajah Mamanya yang sedikit cemas namun tidak terlalu diperlihatkan kepada anak dirinya.

Nadifa berbalik melihati panci yang berisi sayur sop makaroni kesukaan Gifali, dirasa sudah matang ia pun mematikan kompornya. Kemudian berlalu dari dapur menuju ruang tamu untuk menghubungi setiap anak-anak nya.

Dimulai dengan nomor Gifali, menyambung tapi tidak diangkat.

Apa mungkin sedang dijalan?

Lalu beralih ke nomor Ganaya, hanya ada suara voice mail.

Kok nggak aktif?

Terakhir berpindah ke nomor Gelfani, hanya terdengar NSP lagu boyband, tapi tidak diangkat.

Pada kemana sih, anak-anak?

Lagi-lagi jantungnya berdegup kencang, dadanya mulai terasa berat dan fikirannya mulai dirancau akan hal yang aneh-aneh. Beberapa kali langkahnya diputar dari ruang tamu menuju pintu utama, menatap gerbang rumah yang sekitar 20 meter dari pandangan yang belum juga menunjukan secerca bayangan anak-anak mereka untuk pulang.

Nadifa terus menatapi hujan yang makin deras mengguyur pekarangan rumahnya.

***

Mereka bertiga menepi di sebuah gardu ditepi jalan, baju mereka setengah basah. Dengan terpaksa Gifali membonceng kedua adiknya dalam motor yang sama, bertiga dimotor merupakan suatu hal yang tidak boleh dicontoh.

"Kita neduh dulu ya, hujannya masih deras!" ucap Gifali lalu disertai anggukan dari kedua adiknya. Di gardu ini bukan hanya mereka yang sedang menepi, tetapi ada dua orang lagi dan satu pedagang siomay sepedah.

Ganaya dan Gelfani terus melihati panci yang berisi somay tersebut, kulit tenggorokan mereka naik turun seakan dorongan dari perut yang mulai lapar. Ini semua ditangkap jelas dalam pandangan Gifali, ia pun juga merasakan hal yang sama, namun adik-adiknya lebih penting dari dirinya. Merogoh kantong dan masih menemukan uang puluhan tiga lembar. Lalu ia ambil selembar dan berjalan menuju abang siomay yang tengah berdiri menunggu hujan sama seperti mereka.

"Bang tolong buatkan dua piring ya." Gifali mengerahkan selembar uang kepada si abang siomay. Ganaya dan Gelfani mulai bahagia karena sebentar lagi mereka bisa mengganjal perut yang sudah tidak bisa tertahan karena lapar.

Namun kedua mata mereka mengerucut aneh, ketika sang kakak hanya membawa dua piring yang disodorkan kepada mereka.

"Loh Kakak nggak beli?" tanya Gana.

"I-iya kak, apa mau barengan sama aku?" sambung Gelfa.

"Kakak nggak lapar, kalian aja yang makan. Ayo cepat habiskan!"

Gifali melihati adik-adiknya begitu lahap dalam menghabiskan makanannya. Ia bisa saja membelinya, namun uang jajannya tidak akan cukup sampai hari jumat.

"Kak, ayo makan, nih...!" Gana menyodorkan sendok berisi somay ke mulut Gifali. Gifali menggeleng dan memberi senyuman lembut untuk sang adik. "Gana aja yang makan, Kakak nggak lapar!"

Berbeda dengan Gelfani, tanpa menunggu beberapa menit dalam hitungan detik saja piring somay itu sudah bersih tidak tersisa.

"Haus ya?"

"I-iya nih seret." jawab Gelfa.

"Tuh hujan lagi turun, langsung mangap aja," Gifali berdecis geli meledek adiknya.

"Ihh kakak!" gerutu Gelfa.

Gifali pun membuka tasnya untuk mengambil botol minum yang masih berisikan air.

"Dibagi buat berdua ya!"

Tanpa jawaban dua adik perempuannya langsung saling berebut, untuk siapa duluan yang akan meminumnya.

"Lepas! aku dulu yang minum!" tukas Gana

"Aku dulu dong, aku kan adikmu. Harusnya kamu ngalah sama aku!"

"Tapi aku kakakmu, kamu harus nurut apa yang ku bilang!" Gana menarik botol minum itu.

"Aku kan lebih kecil dari mu, kata Papa yang besar harus mengalah kepada yang kecil!" Gelfa menarik botol minum itu kembali.

"Siapa yang duluan lahir sebelum kamu?"

"Kamu--" mata Gelfani melolong.

"Berarti aku dulu yang harusnya minum baru kamu!" Gana meraih kembali botol minum itu.

"Aahhhhhh, tapi aku haus!" Gelfa tidak tahan untuk meronta.

"Udah sini..sini!" akhirnya botol minum itu direbut kembali oleh Gifali dan dihabiskan sendiri kedalam kerongkongannya, membiarkan adik-adiknya merancau kehausan sampai pulang kerumah.

"Aaahhhh...Kakakkkk!" teriakan mencuat dari mereka.

***

Like dan Komennya jangan lupa ya🖤

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!