"Narsih, kamu masih ingat berapa biaya pernikahan kamu sama Rangga?" Tanya Bu Darmi- mertuaku. Aku hanya mengangguk.
"Bagus," ucapnya dengan raut wajah yang sulit untuk di artikan.
"Maksud Mama apa ya? Narsih gak faham?" Tanyaku.
"Kamu tau gak, mulai saat ini, detik ini, kamu harus bekerja lebih keras lagi untuk membayar biaya pernikahan kalian. Termasuk mahar."
Aku hanya terpaku dengan semua ucapan Mama mertua, aneh. Dimana-mana biaya yang sudah diberikan pada mempelai wanita yang itu artinya sudah milik keluarga nya, kok, ini harus dikembalikan? Maksudnya apa coba.
"Maksud Mama? Narsih harus mengembalikan semuanya atas apa yang sudah keluarga ini berikan pada kami?" Jawabku yang di anggukan kepala olehnya.
"Ya, emang kamu pikir saya nikahin kamu karena cinta, gak! Narsih! Mana mungkin, aku seorang anak keluarga yang terpandang di desa ini harus menikah dengan wanita kampungan, sudah begitu kamunya dekil, lecek, gak sedap dipandang, malu-maluin kalau dibawa ke kondangan apa kata dunia Narsih?" Ucap mas Rangga suamiku, membuat diri ini bingung dengan semua ucapannya itu.
Maksudnya apa sih? Sedari tadi aku gak faham, apa karena aku tidak sekolah tinggi? Ya, aku hanya anak seorang anak buruh tani, aku hanya lulusan SD saja. Memang kami keluarga yang miskin, dan satu lagi aku bukan wanita yang bisa membuat suami malu, apa ada yang salah dengan wajah ku? Justru para pemuda luar desaku menginginkan aku untuk menjadi istrinya? Katanya sih, aku cantik dan pintar dalam bertani karena aku sering ikut ibu menanam padi atau sayuran milik tetangga yang sawahnya luas. Tak sedikitpun tetangga meminta aku untuk menjadi mantunya.
Pertemuan ku dengan mas Rangga tak lama hanya dua bulan kenal kamipun sepakat untuk menikah, kata Mama Darmi aku gadis cantik, cocok untuk Mas Rangga calon menantu idaman katanya waktu itu saat datang melamar ku. Bapak kurang setuju dengan mas Rangga karena Mas Rangga anak orang kaya, namun aku masih keukeuh ingin menikah dengan pria yang sudah mencuri hatiku.
"Nduk, pikir kan lagi, Rangga orang kaya, Bapak nggak mau nantinya kamu dijadikan budak oleh mereka," ucap bapak dengan wajah suram dan menatap ke depan seperti tau kalau anak sulungnya akan begini.
"Bapak ngomong apa sih, Mas Rangga itu orangnya baik loh Pak, liat aja, kalau kesini pasti bawakan makanan dan pakaian buat bapak sama ibu, udah ah, jangan begitu Pak, bapak harusnya bersyukur punya mantu baik. Gak seperti yang bapak pikirkan," aku masih membela diri agar Bapak merestui hubungan kami.
"Banyak orang miskin nikah dengan orang kaya, ujung-ujungnya dijadikan pembantu atau malah di hina dan direndahkan apalagi kamu. Yang hanya sekolah saja lulusan SD, opo gak dijadikan bahan hinaan?"
"Gak mungkin Pak, Mas Rangga itu sayang banget sama aku, buktinya dia membawa seserahan pernikahan saja banyak begini, dan mas kawin juga emas, kata mamanya Mas Rangga itu semua menghabiskan uang sebesar dua puluh juta," ucapku dengan bangga dan menyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Yo wes, terserah kamu Nduk, yang penting Bapak sudah mengingatkan semuanya."
Jawabnya dengan pasrah.
"Bapak ini korban sinetron ikan nyungsep," ledekku. Bapak hanya gelengkan kepala seraya melenggang masuk ke kamar.
"Nduk, jangan ledekin bapakmu nanti kualat." Ibu berucap dan menatap wajah ku .
"Siapa yang meledek bapak Bu? Narsih ngomong apa adanya, emang benarkan bapak korban ikan sungsep. Ibu sama Bapak orangnya baperan."
"Bukan begitu N-"
"Bu, biarkan saja toh, yang menjalani hidup Narsih bukan kita. Yang penting kita sudah menasehatinya," timpal Bapak membuat ibu diam. Hadeehh jadi bingung deh, ngadepin orang tua yang pemikirannya yang begitu mengkhawatirkan anak sulungnya yang hanya berpendidikan SD. Tapi jangan salah gini-gini otakku encer gak padat. Kenapa aku bisa menyombongkan diri?
Ya. Karena aku bisa bahasa Inggris kebanyakan anak-anak di kampung ku tak sedikit meminta bantuan pada ku untuk mengerjakan PR sekolah dan nilai mereka A, itu tandanya aku pintar. Awal mulanya aku gak percaya dengan apa yang terjadi padahal aku memberikan jawabannya hanya asal. Kok. Bisa betul semua, kata tetangga aku disuruh jadi guru privat bahasa Inggris untuk anak-anak mereka, namun hati nurani yang menolak takut salah kedepannya. Aku hanya modal nekad.
"Yo, wes. Ini sudah malam tidur sana," perintah ibu yang aku anggukan dan bergegas masuk kedalam kamar.
Ku baringkan tubuh ini diatas kasur kapuk yang mulai lepek, maklum belum aku keramasin. Namanya juga orang kismin.
Kini hanya ada penyesalan kenapa aku tidak mendengarkan nasehat Bapak. Insting orang tua tak akan pernah salah walaupun tak sedikit semuanya itu akan terjadi kisah cintaku, kisah rumah tanggaku mirip cerita novel yang sekarang aku baca.
Dalam novel yang aku baca peran wanitanya lemah dan akhir kisah cinta rumah tangganya hancur dan berujung perceraian akankah lidahku sama dengan nov3l yang aku baca? Nauzubillah yang sampai terjadi yang aku inginkan tetap langgeng hingga maut memisahkan kita. Mudah-mudahan Mas Rangga maupun Mama mertuaku tidak seperti tokoh didalam cerita novel.
Sebuah teguran membuat lamunanku buyar tepatnya sih. Hardikan dari suami tercinta, ups. Apakah masih bisa di sebut suami tercinta? Setelah apa yang terjadi pada ku? Wanita apa katanya tadi, aku wanita kampungan, kucel, dekil lecek dan tak pantas di bawa kemana mana, kata-kata itu masih terngiang di telingaku sampai menusuk ke ulu hati.
"Narsih!!!" Suaranya menggelegar hebat, seakan-akan isi rumah berjatuhan dia kira aku budeg apa.
"Iya, Mas, ada apa? Tak bisakah kau memanggilku dengan lembut?" Jawabku sopan, bagaimana pun ia suamiku yang harus aku hormati.
Mas Rangga hanya mendengus sebal pada ku. "Mulai besok pagi kamu harus mulai kerja! Kamu akan aku kenalkan dengan sahabatku."
"Untuk."
"Untuk, untuk. Ya buat kerja, Narsih! Dasar *tak dangkal!" Makinya dengan wajah garang seakan-akan mau menelanku hidup-hidup. Andaikan bukan suamiku sudah aku tinju wajahnya sayang dia masih berstatus suami mana baru satu hari aku menyandang status sebagai istri orang kayah. Udah begini endingnya.
Aku iyakan saja, aku lelah harus debat dengan-nya biarlah besok pagi aku akan bicara dengan mama siapa tau bisa menengahinya dengan bijak, atas apa yang anaknya lakukan pada istrinya.
Setelah aku mengiyakan Mas Rangga melenggang menuju kamar nya, dan tentunya aku mengekornya alhasil dia menghentikan langkahnya dan berbalik ke belakang.
"Mau kemana kamu?" Tanyanya dengan ketus.
" Mau ikut kamu kekamar kita," jawabku dengan pedenya.
"Hah, kamar kita!" Aku mengangguk.
"Siapa bilang," ujarnya dengan senyum mengejek.
"Aku."
"Hahaha, Narsih, Narsih. Kamar pembantu ya, di belakang lah." Ucapnya dengan bangga.
"Ngak bisa gitu deh Mas, bagaimana pun aku ini istrimu, istri yang sah," sewotku akukan wanita normal mendambakan surga dunia melewatkan malam pertama dengan lelaki yang kita cintai? Apa salah. Enggak kan.
"Siapa bilang kita mau jap jip jup dekat kamu aja aku risih." Mas Rangga mengusap wajah setelah bicara seperti itu. Seakan-akan aku ini menjijikan untuk disentuh.
Aku coba untuk bersabar walaupun hati ini sakit.
"Akukan istrimu Mas,"
"Narsih ini sudah malam aku mau tidur, paham kamu, dan besok aku akan membawa kamu ke pabrik sahabatku untuk kerja. Dasar punya istri tak berpendidikan tinggi ya gitu, *tak nya lemot."
Aku tergugu dengan ucapan suami terburukku ya, terburuk bila suami tercinta dia tak pernah melontarkan kata-kata yang menyakitkan, inimah sama saja menjatuhkan mentalku, sudah tau aku lulusan es bon-bon masih aja dinikahi.
Awal mula berkenalan aku sudah jujur sejujur-jujurnya bahwa aku anak orang tak berpunya dan berpendidikan SD.
"Mas, apa aku gak salah dengar ucapan kamu yang ingin menikahi gadis kampung macam aku orang tak berpunya pendidikan pun minim hanya lulusan SD," jawabku dulu.
"Gak masalah bagi Mas, mau SD, es bon-bon atau es Doger sekalipun yang namanya cinta tak mengenal status, bila hati sudah menjatuhkan pilihan tak bisa berbuat apa-apa. Ini yang namanya jodoh kata pepatah jodohmah jorok ketemu di mana aja. Jadi Mas harap kamu jangan merendah Dimata Allah SWT kita sama kalau mati sama-sama dikuburkan di tanah tak membawa harta benda yang di bawa amal ibadah yang Soleh," ucapnya kala itu yang bijak.
"Aku gak salah pilih suami, sudah penyayang, baik ahli agama lagi," pujiku membuat Mas Rangga tersenyum manis memperlihatkan lesung pipinya. Ah Mas Rangga aku padamu.
Tapi kini Mas Rangga menjadi srigala yang memperlihatkan belangnya, sifat dan karakter nya. Aku tertipu oleh karakternya yang bisa menjadi bawang putih dan berubah menjadi bawang merah yang membuat aku setiap saat akan mengeluarkan air mata karena getah bawangnya yang tajam menusuk mata. Andaikan waktu bisa berputar kembali aku akan mendengarkan nasehat Bapak dan tidak akan pernah mengalami hal serupa yang bapak pikirkan. Sudah terlanjur salah jalur mau gimana lagi? Nikmati dan resapi mau ngadu sama bapak yang ada aku kena Omelan.
Tidur dalam ruangan yang cukup besar dan disana terdapat kasur size yang begitu empuk bila ditidurinya dengan senyum manis ku merenggang kan kedua tanganku dan siap melompat keatas kasur.
"Eehhh, mau kemana," Mas Rangga mencekal tanganku namun aku sudah bersorak riang diatas kasur empuknya aku sengaja berperilaku seperti anak kecil biar dia tambah emosi massa bodoh dengan harga diri toh. Dia sudah menghinaku bukan? Dia jual aku beli dengan caraku yang unik dan nyentrik. Bagus bukan?
"Mas, sini bobok," manjaku dengan menepuk-nepuk bibir ranjang.
Mas Rangga mendelikan kedua bola matanya padaku dan melangkahkan kakinya kedalam kamar mandi tak lama kemudian ia kembali dengan wajah yang tak sedap dipandang.
"Serius, gak mau bobok sama prinses Narsih?" Godaku sambil mengerlingkan mata genitku namun ia cuek dan ngeloyor pergi menuju sofa ternyata ia memilih tidur di sofa daripada denganku. Baiklah aku lelah, ku tarik selimut sampai dada.
Kini kami bertiga duduk di meja makan untuk sarapan pagi. Kulihat wajah Mas Rangga kusut sepertinya belum disetrika ah, bukan urusanku salah sendiri tidur di sofa nyaman juga di kasur. Dasar suami tak tau di untung.
"Ga, kamu kenapa sakit?" Tanya Mama yang melihat wajah anak kesayangan kusut semrawut.
Yang ditanya malah gelagapan mungkin bingung mau jawab apa.
"Semalam Mas Rangga tempur di sofa makanya lemas gitu, iya Mas," ceplosku tanpa senyum habis suami macam Mas Rangga harus digituin biar perang dunia sekalian sama mamanya. Karena mama Darmi tak mau anaknya itu tidur bersama ku, katanya sih, gak mau punya cucu dari wanita kampung dan tak berpendidikan tinggi. Anak sama ibu sama-sama gendeng biarlah aku dibilang menantu durhaka juga, habis mereka duluan meremehkan aku tepatnya anak wong ndeso.
Lah, wong kita sama-sama makan nasi bukan berlian hadeehh orang kayah kelakuannya aneh-aneh.
Ucapanku sukses membuat Mama mertua melototi Mas Rangga.
"Narsih! Jangan asal ngomong kamu!" Bentaknya.
"Jangan ngeles Mas, kayak bajai saja." Ucapku tak kalah kerasnya biarpun asalku dari ndeso tapi aku pintar jangan samakan aku dengan cerita novel yang peran wanitanya lemah dan cengeng.
"Emang nyata. Apa susahnya jujur saja aku gak mengapa bukan begitu Mama?" Tanyaku pada Mama.
Kutatap wajah yang tak muda lagi dan banyak garis besar di bawah kantung matanya.
'bingung, bingung deh. Mau cari alasan atau jawaban apa gak bakalan mempan so, belangnya sudah keliatan, rupanya Mama juga sekongkol dengan mas Rangga mereka menginginkan aku menjadi sapi perahnya atau ATM berjalannya, kasian amat.' batinku merasa puas melihat wajah keduanya kalang kabut emang enak.
"Emm... itu...anu," jawabnya gugup.
"Anunya siapa mah," ujarku seraya menahan tawa.
"Narsih! Jangan menertawakan Mama kamu pikir kamu siapa? Aku aja anaknya gak berani membentak Mama?" Mas Rangga membela mamanya tak terima aku gituin.
"Siapa juga yang me nertawakan Mama, Mas? Hahaha...nah, yang ini baru tertawa," sahutku sambil tertawa lepas.
"Sudah! Jangan pada ribut! Mama pusing, di jam segini kalian ribut, kapan sarapannya Rangga? Kamu juga Narsih."
"Ini jam setengah delapan Mama? Lagian yang ngajak debat siapa hayoo?"
Biarlah mereka menganggap aku benar-benar katrok dan kampungan tepatnya sih menjatuhkan harga diri gak juga. Hanya ingin membuat mereka lebih jengkel, sebal padaku biar mudah untuk aku balik hina mereka.
Mas Rangga mengebrak meja lalu pergi. Membuat Mama terkezut melihat kelakuan anaknya.
"Rangga gimana kalau piring dan gelas pecah? Inikan barang branded," sungut Mama.
Lah, piring biasa dibilang branded, dimana-mana banyak. Heran sama mamer Darmi ( Mama mertua)
"Ma, piring kayak gini nih banyak di toko ntar aku beliin satu gros khusus buat Mama itung-itung hadiah dari menantu terjelek dan terhina ini." Aku menepuk dada membanggakan diri sendiri walaupun hati ini sakit. Sakitnya tidak berdarah yang mati sekalipun akan terasa sakit bila kita terlalu meresapi rasa sakit ini maka dari itu kita buat happy ajalah salalala, mirip lagu aja hehehe.
"Siapa bilang kamu jelek dan hina, siapa orangnya nak, biar Mama kruwes mulut lemesnya."
Andai tau orangnya siapa, apa mau Mama meng kruwes bibirnya sendiri? Gak mungkinlah kan, sakit.
"Ayo, kita sarapan nak, mubazir kalau gak di makan ntar nangis nasi goreng nya."
Hah. Yang ada orangnya kali, yang nangis sedaritadi kelaparan karena perut Mama berdendang minta jatah dikira aku Bu deg apa.
"Aku ambilkan ya ma?" Mama mengangguk. " Segini cukup," tanyaku.
"Terlalu sedikit, tambahin satu centong lagi," pinta Mama. Memang benar bahwa nasi goreng yang berada di piring hanya setengah centong saja, sengaja aku ngasih nya.
"Ma, tau gak, kalau makan nasi goreng kecap Suir ayam dan sosis bisa membuat seseorang meninggal? Apa lagi usia mama tak semuda dulu?" Aku sengaja aku menakuti nya biar aku yang kenyang lagian orang kayah masak nasi sendulit amat, dasar pelit.
"Masak sih, kok, Mama baru dengar ya? Kamu kata siapa?"
"Kata dokter ahli jantung," jawabku asal.
"Dokter ahli gizi Narsih? Beda lagi dengan dokter jantung ya buat ngobatin orang yang sakit jantung," timpalnya.
"Mama, dokter jantung dan dokter gizi kan satu kelompok ya, pasti semua dokter Taulah orang sama-sama memiliki titel doctor," sengaja aku mengatakan kata doctor. Seketika wajah Mama cemberut sambil menyendokan nasi kemulutnya sesekali ia melirik kearah ku, tepatnya pada piring nasiku yang penuh oleh nasi goreng nya.
"Kalau sudah selesai, beresin semuanya dan cuci piringnya Mama gak mau melihat barang kotor di westafel." Perintahnya lalu melengos pergi entah kemana.
Aku hanya mengangguk sambil memonyongkan bibirku, sebal ia, masak baru satu hari disini Mama sudah berani memerintah? Kan lucu, beda jauh sama cerita novel, hihihi.
Selesai mencuci aku berjalan menuju ruang tengah samar-samar aku mendengar ucapan ibu dan anak yang bikin aku geli soalnya keduanya curhat tentang aku yang menurutnya menyebalkan.
"Ga. Awas aja kalau kamu tidur sama Narsih, lalu punya anak." Ancam Mama.
"Mama gak mau punya cucu dari wanita ndeso," imbuhnya lagi.
"Siapa juga yang mau tidur sama dia, amit amit harus punya anak dari wanita bod*h." Ujar suamiku yang luknut. Rasanya ingin aku kruwes mulut lemesnya yang membuat sakit hati.
'Idih. Sok. Kepedean aku juga ogah punya anak dari lelaki munafik dan mertua jilid macam kalian.' batinku dengan menahan sesak di dada.
Seandainya aku tau niat mereka menikahi ku hanya untuk dijadikan ATM berjalannya sudah aku tolak mentah-mentah namun semuanya sudah terjadi mau apa. Kini aku harus main cantik dengan mereka.
"Ma, para pembantu sudah Mama pulangkan ke rumahnya masing-masing?" Tanya Mas Rangga dan mama anggukan kepala.
Sial. Ternyata aku bukan dijadikan ATM berjalannya tapi pembantu juga. Bapak kenapa engkau harus punya firasat yang buruk. Ingin aku menangis namun semuanya sudah tak ada gunanya lagi.
"Tenang Ga, dengan adanya Narsih kita akan untung berlipat ganda yang pertama dia akan mengembalikan modal yang sudah kita berikan pada mereka dan kedua dia jadi Art gratis, ide Mama berlian bukan?"
Mas Rangga mengacungkan jempol ke atas dengan senyum manis. Dasar manusia tak tau malu uang yang sudah dikasih malah diminta lagi, jujur hati ini dongkol banget.
Tiba tiba terbesit ide cemerlang aku langkahkan kaki ini menuju ibu dan anak laki nya seketika obrolannya terhenti saat menantu kesayangannya datang.
"Lagi ngomongin apaan? Kayaknya serius banget," ujarku seraya ikut duduk di samping Mas Rangga.
"Gak ada apa-apa," sahutnya dengan garuk-garuk kepalanya.
"Kok, ada aku jadi diam semua? Apa aku mengganggu?" Tanyaku dengan wajah memelas.
"Siapa bilang gak kok," sahut Mama mertua dengan mengelus tanganku.
Bulsit.
"Mas, katanya mau ke pabrik buat aku kerja. Aku ingin cepat-cepat kerja biar cepat lunas bayar utangnya," kataku dengan menekankan kata utang.
"Maafkan Mama ya sayang, bukannya kita gak ikhlas tapi--" ucapnya tergantung.
"Modalnya dapat ngutang juga gitu, jadi aku harus yang bayar." Aku manggut-manggut.
"Bukankah kalian orang kayah, masak uang segitu ngutang? Malu dong."
Yes. Keduanya saling tatap dan merasa tidak nyaman atas apa yang aku katakan.
"Bukan begitu, iya kan, Ga? Mama hanya ingin kalian berdua hidup bahagia kedepannya."
Bahagia apaan. Baru sehari jadi mantu aku sudah makan ati teroos. Lama-lama jadi kurus ini badan.
Sudah satu bulan aku bekerja di sebuah pabrik kerupuk milik kenalan Mas Rangga, ya, lumayan gajinya bisa buat healing kamana aja. Tuk menghilangkan rasa stres.
"Mbak Arsi." Sapa salah satu karyawan.
"Iya, ada apa?" Sahutku dengan senyum.
Arsi nama panggilan aku di sini mereka begitu ramah dan sopan tua maupun muda kita memanggilnya dengan sebutan Mbak, tidak seperti suami dan mertua julid bila memanggilku dengan sebutan Narsih padahal namaku cantik kayak orangnya, hehehe memuji diri sendiri walaupun kenyataannya sudah cantik bin pintar.
"Di panggil oleh pemilik perusahaan bos kerupuk."
"Oh." Jawabku. "Sekarang bos-nya di mana?"
"Di ruangnya atuh Mbak, Mbak Arsi mah becanda Mulu," ia berkata dengan senyum.
"Aku serius nanya Mbak. Satu bulan kerja di sini belum pernah melihatnya," akupun mengiyakannya karena aku belum ke ruangannya bos. Wujudnya seperti apa aku gak tau, apa genteng atau jelek.
Terdengar suara kasak kusuk dari para karyawan. Aku mendekat dan bertanya pada nya.
"Ada apa?"
"Tau nggak Arsi, ternyata bos kita ganteng banget. Biasanya yang kesini bukan beliau."
"Ya Allah gantengnya gak ketulungan."
"Aku dijadikan istri yang ke delapan juga mau."
"Menjadi selingkuhan nya juga mau."
Astaghfirullah, nauzubillah mereka sama saja merendahkan diri memangnya gak ada cowok yang ganteng lagi di dunia ini? Pastinya banyakan? Bukan bos juga kali. Aku gelengkan kepala seraya mengusap dada.
Perlahan pintu aku ketuk tanpa lama suara dalam ruangan memerintahkan aku masuk.
"Masuk!"
Suara itu terdengar tak asing bagi aku, tapi dimana? Dan siapa? Dengan gelisah ku langkahkan kaki ini menuju meja bertuliskan Direktur, sayang wajahnya tak terlihat karena ia membelakangi ku.
Dalam posisiku sekarang membuat aku bingung harus apa, beberapa menit hanya ada kesunyian tanpa suara.
Ini bos aneh banget, bukannya dia memanggil aku masuk tapi di cuekin aja, bibirku kelu tuk sekedar basa-basi kuberanikan diri bertanya dengan suara terbata bata, maklum tegang ini pertama kalinya bertemu langsung dengan bos pemilik perusahaan kerupuk.
"A-ada apa Pak. Bapak memanggil saya?" Tanyaku gugup dengan wajah tertunduk dan kedua tanganku saling bertautan takut.
Suara deheman kecil membuat wajah ini terangkat ke atas dan terkejutnya aku ketika melihat siapa yang berdiri tepat di depan ku seorang lelaki mapan dan menyandang gelar bos lelaki yang sudah pergi meninggalkan aku, di kala itu sebelum kepergiannya ia pamit untuk bekerja menjadi orang sukses.
"Arsila. Kamu kemana aja sih! Aku kerumah kamu kata pakde kamu gak ada, ternyata disini? Lagi ngapain?" Tanyanya waktu itu.
"Mau ngapain cari aku. Bukannya aku gak penting ya?" Cibirku tanpa melihat wajah nya.
"Kamu itu udah kayak jelangkung datang tak diundang pulang pun tak tau!" Aku menggeser posisi duduk ku disaat dia ikut duduk dan ikut melempar bebatuan kecil kedasar sungai. Aku hanya mendengar kekehan nya.
"Baperan jadi cewek. Jangan ngambek ah, jelek," ia mencolek hidungku dengan senyum manis. "Aku nyariin kamu karena aku mau pamit," ucapannya membuat aku heran memangnya dia mau kemana? Ingin bertanya padanya namun hati ini gengsi dong, kan, tadi aku marah duluan.
"Memang harus ya," ejekku.
"Ya, iya harus, kan, kamu cin.... eh, maksudnya sahabat terbaik aku," ujarnya membuat hatiku terasa tercubit. Padahal aku mengharap lebih dari sahabat ternyata kejujuran lebih menyakitkan biarlah aku nggak ada hak marah-marah padanya.
Hati ini kecewa dengan penuturannya tak terasa sudut mataku merembes ku usap dengan telunjukku jangan sampai dia melihatku yang sesedih.
"Arsila Darwati? Kamu dengar aku gak sih." Dengan membalikan tubuhku menghadapnya kedua wajah kami hampir aja bertabrakan tepatnya bibirku dengan bibirnya dengan cepat aku menghindar namun naas tuk menghindari bibirnya malah aku men cium pipinya.
Sial. Maluku setengah mati.
"Manis."
Satu kata yang keluar dari mulut lemesnya dengan senyum sumringah.
"Apaan sih. Jangan geer! Itu kecelakaan," sungutku dengan melotot.
Haruskah aku bahagia? Atau marah, saat bibir ini menyentuh pipinya. Ya. Jelas aku bahagia karena aku menyukainya tapi tidak dengan nya. Bisa dikatakan cintaku bertepuk sebelah tangan. Sedihnya karena dia akan pergi meninggalkan aku entah akan berapa lama dan nantinya dia akan menikah dengan orang lain.
"Lihat, wajah kamu merah mirip tomat busuk." Ia memainkan kedua alisnya terangkat ke atas.
"Bullying teroos! Sesuka kamu."
Aku pergi meninggalkan dia tanpa menghiraukan panggilan nya.
''Aku memang tidak ada artinya di hatimu kamu tak pernah sayang sama aku. Bahkan kamu menyamakan wajahku dengan tomat busuk, dimana perasan kamu," lirihku dengan berlari.
"Arsi! Arsila!" Ia terus memanggil ku.
"Arsi! Aku janji! Kalau aku sukses aku akan datang tuk menjemput mu dan akan aku jadikan istri dan ibu dari anak-anakku," serunya waktu itu. Saat itu hatiku sudah terlanjur kecewa tak mempercayainya dengan semua ucapannya.
Itulah janjinya dulu padaku, entah benar yang ia ucapkan dari hati yang paling dalam atau sekedar candaan.
Lelaki yang pernah aku kagumi kini ada di depanku, ada rasa debaran halus menyeruak kembali tapi, ah, aku sudah bersuami. Ya, suami hanya setatus istri yang tidak pernah di sentuh suami entah pernikahan apa yang aku jalani saat ini.
"Arsila?" Ucapnya gugup.
Aku hanya tersenyum, itu yang mampu aku lakukan disaat ini. Jangan tanya bagaimana detak jantungku berdetak kencang berlipat-lipat ganda rasanya ingin aku sembunyi di balik tembok atau menghilang seperti jin Aladin.
""Arsila?" Lelaki itu menjentikkan jarinya di depan wajahku.
"Em, eh, anu," ucapku dengan menunjukkan cengiran.
"Terpesona dengan ketampanan aku ya?" Ia menautkan kedua alisnya terangkat ke atas memang lelaki ini suka menggodaku terus, apa sih. Maunya.
"Enggak tuh."
"Massa."
Ledekan demi ledekan yang keluar dari mulut lemesnya bikin jengah mendengarnya. Tapi itu dulu kini hanyalah kenangan yang harus aku lupakan, karena kau sudah menikah.
"M-mas Arifin?"
"Iya, ini aku Mas mu," ia melemparkan senyum yang manis ah, membuat detak jantung ku melompat tak karuan.
Apa dia bilang Mas mu? Andaikan aku masih sendiri mungkin aku akan menghambur ke pelukannya.
"Apa kabarnya Mas, jadi bos aku itu kamu?" Tanyaku gugup.
Hanya anggukkan kepala darinya yang memperlihatkan lesung pipinya. Setelah ngobrol ngalor ngidul aku ngerti namun sudah terlanjur mau gimana lagi andaikan dia jujur sedari dulu mungkin sampai sekarang aku akan menunggunya untuk melamar aku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!