NovelToon NovelToon

Cinta Dalam Diam

Cinta Dalam Diam 01

Senja hari itu menyapa dengan cara yang berbeda dari biasanya. Seperti akan terjadi hal yang tak terduga. Benar saja, ketika senja beranjak pergi dan malam menghampiri, seorang perempuan datang ke rumahku. namanya Tante Irene. Ia bertemu dengan ibuku untuk membicarakan perihal perjodohanku dengan anak lelakinya, namanya Andre yang umurnya berbeda 5 tahun denganku.

Aku berada di antara mereka dan betapa terkejutnya diriku, sehingga aku marah dan berkata kasar karena Ibu tidak bertanya dulu padaku. Dengan perasaan marah aku berlari ke kamarku dan menangis. Tanpa aku sadari egoku itu telah menyakiti hatinya.

Tok tok tok

suara ketukan pintu berulang kali tak menarik minatku untuk membukanya. Namun saat pikiranku mulai tersadar, aku menghapus air mataku dan membuka pintu kamarku. Aku menahan air mataku yang seolah akan jebol lagi. Hanya karena aku tidak ingin melihat Ayah bersedih. Karena itu aku masih terlihat baik-baik saja di depan Ayah.

Aku membalikkan badan, lalu mendekati ranjang lagi. Ayah pun langsung menyusulku yang kini termangu.

"Kenapa kamu sedih, Sa? Bukanya pernikahan akan di laksanakan setelah kamu lulus SMA. Iya, kan?" tanya Ayah mengusap puncak kepalaku dengan lembut.

Tutur kata pahlawanku itu berhasil membuat rasa sakit hatiku berkurang. Karena setidaknya, aku masih bisa melanjutkan pendidikanku sampai lulus SMA.

Saat sang fajar menyapa embun di dedaunan, Kak Andre meneleponku. Entah mengapa dia menghubungi nomor yang bahkan tidak mungkin ia kenal.

Sontak aku menyergah, "Kak, aku tau kita sama-sama tidak setuju, kita harus mencari jalan keluar. Aku gak peduli apapun itu, pokoknya kita harus gagalkan rencana konyol ini."

"Sa, maksud kamu apa? Bukanya tadi malam kamu sudah setuju?" tanya kak Andre membuatku semakin jengkel.

"Aku gak beneran, Kak. Aku, aku janji aku akan berusaha kok buat menggagalkan perjodohan kita, tapi kamu harus bantuin aku. Aku tahu kamu merasa keberatan dengan perjodohan ini," tegasku.

"apa-apaan sih, Sa? Enggak, aku gak mau nyakitin perasaan Mama aku. Aku juga gak merasa keberatan kok, aku fine-fine aja," ucapnya lagi. Kali itu, aku benar-benar tidak bisa menahan amarahku.

"Kamu jangan egois dong! Oke kalau kamu emang gak keberatan, tapi aku ini masih SMP. Ini, ini benar-benar gak masuk akal buat aku," ucapku meninggikan nada bicara.

"Maksud kamu apa, Sa? Bukanya sebentar lagi kamu lulus SMA?" tanyanya menyergah.

Aku pun sangat terkejut di buatnya.

Lalu aku menutup telepon itu dan aku berlari menghampiri ibuku dengan linangan air mata. Aku butuh penjelasan darinya.

"Bu, aku menolak perjodohan itu, aku masih ingin melanjutkan sekolahku, tolong mengertilah!" pintaku pada Ibu.

"Sa, kamu ini ngomong apa sih? Tadi malam kamu kan sudah bilang setuju. Jangan plin-plan deh!" ujar Ibu enggan menghentikan pekerjaannya yang sedang menyetrika baju.

"Kenapa kalian tidak mengatakan pada Kak Andre kalau aku masih SMP?" tanyaku tidak terima.

"Bentar lagi kan kamu lulus, Sa," jawab Ibu tenang. Bagaimana bisa Ibuku bisa setenang itu? Sementara aku seperti cacing kepanasan.

"Tapi aku ingin melanjutkan sekolahku, Bu. Tolong mengertilah!" desakku.

Aku merasa di bohongi, karena Ayah bilang masih menunggu aku lulus SMA malam itu, tapi kenyataanya tidak.

Aku menanyakan hal itu pada Ayah, namun ia malah mengatakan kalau ia tidak tahu-menahu tentang hal itu. Dia pikir pernikahan akan dilangsungkan setelah aku lulus SMA. Tapi Ayah memintaku untuk tetap mendengarkan kata Ibu, karena tidak ingin Ibu merasa kecewa. Duniaku serasa berhenti, waktu telah mempermainkan diriku, dan ketenangan di renggut dariku.

"Kenapa Ibu seenaknya memutuskan hal mengenai hidupku tanpa diskusi dulu padaku. bahkan Ayah saja tidak tahu," gumamku sembari meremas-remas bantal di pangkuanku.

paginya, ketika aku hendak sarapan. aku mendengar suara gaduh di dalam kamar Ibu. Aku pun sengaja mendekat dan mencuri dengar suara gaduh itu.

"Ibu kenapa egois sekali? Sasa punya hak untuk meneruskan pendidikanya, Bu," ucap Ayah dengan nada sedang.

"Pake uang siapa, Yah? Kamu pikir biaya sekolahnya Sasa itu gak banyak? banyak, Yah," ucap Ibu dengan nada tinggi. Aku yang berada di balik pintu, menahan kuat-kuat air mata dan rintih tangisku.

Mengapa harus aku? harus aku yang mengalami semua ini. Lalu apa yang harus aku lakukan? menerima atau menolak perjodohan itu? Batinku.

Aku beranjak pergi dan mengabaikan makanan yang sudah tersaji di meja.

Meninggalkan Ayah dan Ibu dengan ribut-ribut kecilnya itu yang membuatku tambah pusing.

***

Di sekolah

"Sasa, tumben jam segini baru datang?" sapa Septa sambil memandangi jam yang melingkar paksa di tanganya. Dia adalah salah satu sabatku yang resek.

"Mending Lo benerin dulu tuh jam tangan Lo! Kenceng banget. Takut banget emang, kalau jatuh," ucapku menatapnya sinis.

"Jam tangan kesayangan gue nih," ucapnya sambil mencium jam tangannya.

"Hehhh," desisku sembari memutar bola mata dan beranjak pergi meninggalkanya masuk kelas.

"Sa, tungguin!" pekiknya.

Di dalam kelas, aku kembali mendapat ledekan dari sahabatku yang lain. Mereka seperti tak punya rasa bosan yah menggodaku.

"Ehemm, tumben sahabat-sahabat teladanku ini baru dateng?" ucap Melda berdehem kecil.

"Sekali ini," ucap Septa.

Aku yang masih mengingat kejadian akhir-akhir ini terdiam saja mendengar celoteh kedua sahabatku.

"Sa, tumben diem mulu, di cari Rendy tuh," ucap Melda, jail.

"Duhh, apaan sih, gak usah resek deh!" wajahku kusut. Bak baju tersentuh setrika saat listrik mati.

"Lo lagi ada masalah? cerita lah, jangan diem-diem kaya gini! bikin khawatir aja tahu gak," ucap Septa cemas.

Septa memang jail, resek, tapi dia sahabat yang perhatian dan pengertian. Melda jail, manja, tapi asik kalau di ajak bertukar pikiran.

"Ayolah, kita kan sahabat," ucap Septa sekali lagi.

"Gueee–."

Ibu Risma memasuki ruangan sebelum aku menyelesaikan bicaraku. Entah, mungkin tuhan ingin aku menyelesaikan masalahku ini tanpa harus membebani kedua sahabatku. Baiklah, siapa takut!

"Assalamualaikum." Senyumku yang sudah aku paksakan sedari tadi, seketika memudar menatap kedua manusia itu, lagi-lagi di rumahku.

"Waalaikum salam, eh anakku udah pulang, Mbak," ucap Ibuku pada Tante Irene dan tak lupa dia membawa anak semata wayangnya itu.

"Dia lagi, mau ngapain lagi sih, Kak? Katanya pengusaha, sibuk. Ini yang ada bertamu terus ke rumah orang!" sapaku ketus.

"SASA!" Ibu berdiri memandangku dan pasang muka harimau yang hendak menerkam.

"Tante, gak papa, namanya juga ABG," sahut kak Andre menengahi.

"Kalau tahu gue ABG ngapain mau-mau aja di jodohin sama gue? Gak beres!" ucapku beranjak pergi menuju kamar. Tak peduli apa pendapat mereka tentangku. Sekalian aja biar risih.

"Aaaaaa!" Aku melempar tas sembarangan.

"Kenapa sih? Gue cuma mau nikmatin masa muda gue. Bareng temen-temen gue, bukan suami," teriakku lirih dengan mata berkaca-kaca.

Tak berapa lama, aku mendengar dari dalam kamar kalau mereka pamit pulang. Mungkin karena penolakanku akan kedatanganya. Sepertinya ada yang ingin mereka diskusikan perihal perjodohan itu lagi.Tapi untunglah, mereka meninggalkan rumahku dengan cepat.

Cinta Dalam Diam 02

Hari demi hari terus terngiang di pikiranku tentang perjodohan itu. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Aku tidak ingin mengecewakan kedua orang tuaku, tapi aku tidak ingin menikah, aku tidak ingin meninggalkan pendidikanku. Akhirnya, aku putuskan untuk tetap berusaha membatalkan perjodohan itu. Aku punya alasan yang jelas untuk itu. Namun terpaksa aku mengikuti permintaan mereka terlebih dahulu saat itu.

Hingga pada suatu malam, keluarga kami makan bersama di rumahku. Perjodohan kami selalu menjadi buah bibir setiap kali kedua keluarga berkumpul. Saat itu aku langsung menanyakan pada mereka, kenapa tidak menunggu aku lulus SMA saja? Mereka bilang, mereka ingin pernikahan dipercepat karena takut kami akan mencari pasangan lain.

Aku lihat kak Andre hanya membisu saat itu. Sepertinya dia sangat tertekan sampai tidak bisa berkata apa-apa. Baru beberapa detik terlewat, mereka meminta aku dan kak Andre pergi bersama lain waktu, agar bisa saling mengenal. Kamipun mengiyakannya saja, terserah lah apa kata mereka (sedikit pasrah).

Fajar berikutnya, aku dan kak Andre pergi ke Kapilot Cafe, tapi aku malah sibuk memainkan ponsel dan senyum-senyum sendiri mengabaikan dia. Mungkin sikapku itu membuatnya merasa bosan dan kecewa, tapi percayalah! tidak ada unsur kesengajaan kok, aku hanya membalas pesan temanku saja, tapi malah keterusan.

"Sa, udahan dulu lah main ponselnya! Di nikmati dulu espresso dan suasana santai seperti ini." laki-laki bergigi gingsul itu melebarkan senyum membujuk menatapku.

"Iya, duluan aja!" Aku menatapnya sebentar, lalu kembali mengarahkan wajah dan pandanganku pada layar ponsel.

"Maaf ya, aku gak bisa berbuat apa-apa untuk menggagalkan perjodohan kita," ucapnya usai menyeruput espresso di tanganya.

"Hehhh (senyum kecut) gak bisa, atau gak mau?" Aku menggelengkan kepala dengan muka masam. Dan bodohnya dia hanya terdiam.

Aku meletakkan ponselku dan meraih espresso yang sudah beberapa detik aku abaikan. Tiba-tiba ada yang menyentuh tangan kiriku yang aku letakkan di atas meja ketika meminum espresso. Sontak aku terkejut dan berdiri karena merasa dia sudah kurang ajar.

"Kak Andre!" ucapku dengan nada tinggi. Namun setelah aku memandang, rupanya aku salah orang. Bukan kak andre, melainkan Rendy teman Mtsku.

"Maaf, aku cuma ingin menyapa saja. Aku tidak tau kalau kamu sampai terkejut," lontar Rendy membelalak.

"Lain kali kalau mau nyapa, nyapa aja! Gak usah pegang-pegang tangan," ucapku sinis.

"Iyah, gue boleh gabung, kan?" ucapnya lagi.

"Duduk aja! Ayo Kak, pulang." Aku berdiri dan beranjak pergi.

"Sa, jangan pergi dulu. Kenalin dulu dia ke aku!" teriaknya

"Bomat," lontarku.

Perjalanan pulang, ia mengendarai motornya bak siput. Macam anak TK yang baru bisa naik sepeda.

"Lo pelan banget sih, cepetan dikit lah!"

Ucapku kesal. Mendengar celotehku membuatnya langsung menarik gas V-ixion itu kuat-kuat sehingga melaju sangat kencang. Tubuhku yang hanya seberat kapas ini pun rasanya ingin terbang melayang.

"Gila Lo, pelan-pelan dong!" celetukku sembari menepuk pundaknya dengan keras.

"Katanya mau cepet nyampek, masih aja salah. Cewek maunya dianggap bener terus ya," ucapnya, sesekali mengelus rambut cepaknya itu.

"Dasar bodoh," ucapku lirih.

Senyumnya yang mengembang terlihat dari kaca spion. Jujur, kalau kalian melihat senyumnya pasti langsung melting.

Beberapa menit kemudian.

"Oh ya, tadi Mama minta kamu mampir ke rumahku dulu, gak papa kan?" tanya kak Andre.

"Oke lah," balasku.

"Assalamualaikum," aku mengucap salam saat kami sudah berada di ambang pintu. Kebetulan pintu rumah Tante Irena jarang tertutup.

"Waalaikum salam." Tante Irene mendekat memelukku.

"Ma, aku ke kamar mandi dulu yah," ijin kak Andre.Tante Irene hanya mengangguk-anggukkan kepala memberi tanda ijin sembari tersenyum tipis.

"Ayo duduk, Sayang!" Ia menarik lembut tanganku menuju sofa.

"Bi, tolong buatin minum ya buat calon menantu kesayangan saya!" pinta Tante Irene.

Dengan gercep BI Inah membuatkan minum untukku, sedang aku tersenyum mendengar cuitan Tante Irene yang mengatakan aku calon menantu kesayangannya. Rasanya aku tak percaya, baru kelas Mts sudah punya gelar calon menantu. Hemmm, aku menghela nafas mengingat perlakuanku kemarin-kemarin pada kak Andre dan Tante Irene yang terkesan kurang ajar, sedangkan Tante Irene begitu baik padaku.

Jarum jam menunjukkan hari sudah sore, usai minum jus, aku ijin pulang pada Tante Irene. Kak Andre yang baru selesai mandi harus mengantarkan aku pulang.

Sesampainya di depan rumahku, kak Andre langsung pergi karena aku bilang Ibu dan Ayah tidak ada di rumah, mereka sedang pergi, sedangkan aku berjalan masuk ke rumah dengan langkah hampa mengingat perjodohanku dengan kak Andre.

Fajar berikutnya, setelah aku pulang dari sekolah aku pergi ke rumah kak Andre, karena rindu dengan Tante Irene. Saat aku sampai, pintunya terbuka. Aku sudah mengucapkan salam berulang kali, tapi tidak ada yang merespon. Akhirnya, aku putuskan untuk menyelusuri rumah Tante Irene.

Sampai aku melewati sebuah kamar, aku mendengar seseorang sedang menangis. Karena penasaran, aku memasuki kamar itu. Aku melihat kak Andre duduk di samping ranjang dengan linangan air mata. Aku mendekati dia dan bertanya.

"Hei, kamu kenapa nangis?" Aku mengangkat kepala yang sedari tadi menunduk layu. Hanya pelukan yang aku terima tatkala ia melihatku. Aku bertanya lagi padanya mengapa ia menangis. Dengan deraian air mata dia menunjukkan sebuah foto padaku yang dikirim oleh seseorang. Dia bilang foto itu adalah pacarnya.

Sontak aku menyergah, "Kak, kamu punya pacar? Lalu mengapa kamu tidak mengatakan pada keluarga kita. Mungkin mereka tidak akan menjodohkan kita lagi."

"Tidak, Sa, karena akhir-akhir ini aku sudah curiga kalau dia selingkuh," jawab kak Andre dengan raut wajah sedih.

Aku merasa selama ini dia menjadikanku pelampiasan atas kesedihanya, namun aku buang prasangka itu dan merubah jadi rasa iba melihatnya. karena itu Aku mencoba menenangkan dia dan menguatkan hatinya.

Saat kurasa dia sudah lebih baik, tanpa menunggu lama aku langsung menanyakan keberadaan Tante Irene. Dia bilang orang tuanya sedang pergi, aku pun langsung pamit untuk pulang. Akan tetapi, kak Andre menahanku karena dia ingin aku ikut dengannya ke sebuah danau untuk menenangkan diri. Aku ikuti saja kemauan dia. Mungkin suasana danau Rawa Indah bisa membuatnya lebih tenang.

Di sana, dia banyak bercerita tentang hubungannya dengan pacarnya. Lagi-lagi dia sedih. Lalu aku berusaha menghiburnya dengan menceritakan tingkahku saat di sekolah yang sering membuat teman temanku gregetan karena kekonyolan dan kejailanku. Syukurlah dia bisa tersenyum. Aku tidak ingin lain waktu dia sedih lagi, karena itu aku memberi motivasi padanya agar bisa ikhlas dan melanjutkan hidupnya meski tanpa pacarnya yang sudah menghianatinya. Senja sudah hampir pergi, aku mengajak kak Andre untuk pulang..

Cinta Dalam Diam 03

Aku heran, kenapa di sepanjang jalan kak Andre hanya diam. Dan terlihat jelas dari kaca spion, wajahnya tidak tenang, hingga membuatku terdiam. Bukan karena takut dia marah, tapi ingin memberinya waktu untuk berfikir. Bagaimanapun itu, melupakan orang yang di cintai tak semudah ucap kata semata.

sesampainya di depan rumahku, kak Andre pamit untuk pulang. Namun tidak seperti biasa, ia tergesa-gesa seperti di kejar-kejar setan.

"Sa, maaf aku harus buru-buru pulang, takut Mama nyariin," ucap kak Andre lirih.

"Ya, hati-hati yah," ucapku, mungkin terkesan perhatian padahal biasa saja.

Aku hanya merasa heran dan sedikit khawatir saja, karena dia hanya mengantarkan aku sampai di jalan depan rumahku dan buru-buru pergi. Biasanya pengen mampir dulu ke rumah, tapi sudahlah! Mungkin dia lelah dan butuh waktu sendiri. –pikirku kala itu.

Aku berjalan menuju rumah. Tapi tiba-tiba Ibu meneleponku. "kamu dimana? Kamu lagi sama Andre gak? mamanya nyariin. Nelepon Ibu dari tadi," ucap Ibu dengan nada cemas.

"Iya, Bu, aku tadi keluar sebentar sama kak Andre, tapi dia udah pulang kok. Ini aku juga udah di jalan menuju rumah," kataku pada Ibu. Ibu merasa lega mendengar penjelasanku dan memberitahu Tante Irene.

Sesampainya aku di rumah, Ibu dan Ayah menyambutku dan memintaku untuk segera mandi, karena adzan sudah berkumandang sore itu. Setelah itu kami makan malam. Tiba-tiba, tante Irene meneleponku dan bilang kalau kak Andre belum pulang. Suaranya terdengar sangat khawatir. Menarik puing-puing kecemasan yang sudah aku buang beberapa jam yang lalu padanya. Aku mencoba meneleponnya, tapi tidak diangkat.

Aku pun mulai menaruh rasa curiga dan khawatir.

Apa mungkin dia menemui pacarnya? Tapi aku tidak tau dimana rumah pacarnya itu.

terlintas di kepalaku, kalau kak Andre pasti kembali ke danau. Aku pun memutuskan untuk mencarinya ke danau, meskipun sudah malam. Di perjalanan, Tante Irene meneleponku dan mengatakan kalau kak Andre sudah pulang, tapi dalam keadaan terluka dan membisu. Aku buru-buru pergi kerumahnya untuk melihat keadaanya.

Sesampainya di sana, aku bertemu Tante Irene. Dia bilang, pulang-pulang kak Andre langsung masuk kamar dan tidak menjawab pertanyaanya. Tante Irene sangat khawatir dan memintaku untuk menemui dia di kamarnya. Saat aku masuk ke kamarnya, aku lihat kak Andre memang terluka, seperti habis di pukuli.

Aku berjalan pelan mendekatinya sembari menatapnya dengan mengernyitkan dahi, rasanya aku ikut merasakan ngilu melihat luka yang menghisi wajahnya.

"Kakak kenapa?" tanyaku berhati-hati. Ternyata dugaanku benar, dia menemui pacarnya. Kak Andre bilang, dia bertemu dengan selingkuhan pacarnya juga. Dan mereka berkelahi.

Aku pun mengobati lukanya sambil memarahinya. "Kenapa kamu tidak mengajakku? Malah mengantarkan aku pulang," kataku padanya.

"Untuk apa?" sahut kak Andre singkat.

"Ya, biar kamu gak berkelahi dengan si pengecut itu. Biar aku beri dia. Dia yang salah, dia yang mukul. Lelaki macam apa itu, dasar pengecut!" ucapku padanya.

"Memangnya kamu mau melakukan apa? Kamu khawatir yah sama aku?" ucap kak Andre terdengar meledek. Membuatku kesal saja. Lalu aku pulang karena sudah larut malam. Tadinya kak Andre mau mengantarku, tapi aku melarangnya karena melihat keadaanya yang tidak memungkinkan untuk berkendara apalagi larut malam.

Keesokan harinya, tepat jam 9 pagi, hari minggu. Entah kenapa dia mengajakku jalan. Awalnya aku menolak, tapi sudahlah mungkin dia masih sedih dan butuh teman curhat. Akhirnya aku mau pergi sama dia. tepat jam 10 dia menjemputku.

Di perjalanan

"Kamu mau ngajak aku kemana? Jangan jauh-jauh loh, aku males lama-lama di jalanan," ucapku.

"Ke taman," balas kak Andre singkat.

"Tumben bawa mobil? Biasanya pake motor kamu itu," tanyaku lagi.

"Sekali ini," ucapnya. Aku hanya mengernyotkan bibir mendengarnya.

Beberapa menit kemudian

"Ehh, ehhh, kenapa nih?" Aku spontanitas karena kaget.

"Kayaknya mobil aku mogok deh." Ia mengelus rambut cepaknya.

"Yaelah, belum juga nyampek. Udah mogok aja, nyebelin banget," ucapku kesal. Kak Andre pun memintaku untuk duduk terlebih dahulu. Sementara dia menghubungi montirnya.

Aku terlalu lama duduk di tempat itu, hingga memberanikan diri untuk bertanya.

"Bisa gak, kok lama banget?" tanyaku memandangi jam ponsel.

"gak bisa di hubungin nih." Kak Andre hanya memasang wajah pusing.

Aku melihat sekitar, dan tak sengaja dari kejauhan terpandang olehku ada dua anak kecil cowok main gitar. Aku menghampiri mereka dan meninggalkan kak Andre yang tak berputus asa menghubungi montirnya.

"Dek, lagi apa?" tanyaku sembari menepis rambutku ke belakang telinga.

"Kita lagi ngamen, Kak," ucap salah satu anak tersebut.

"Kenapa ngamen? Memang kalian gak sekolah?" tanyaku sendu.

"Gak ada biaya, Kak."

Sesaat air mataku tumpah. Bagaimana mungkin aku yang jauh lebih beruntung selalu mengeluh atas cobaan yang di berikan tuhan untukku, tanpa sadar di luar sana banyak orang yang hidupnya jauh tidak beruntung.

Kak Andre menghampiriku dan bertanya padaku apa yang sedang aku lakukan.

"Aku gak papa kok," ucapku menepis air mata yang sudah mengalir membasahi pipi.

"Wah, kalian lagi ngapain?" tanya kak Andre mencairkan suasana.

"Ngamen kak, cari uang untuk makan." Mendengar ucapan anak itu membuat kak Andre langsung menatapku, mata kamipun saling beradu.

"Yaudah, biar kakak yang main gitar, kalian sama kak Sasa yang suaranya cempreng ini yang nyanyi."

"Hehhh," aku tersenyum kecut, "ya boleh lah, meskipun pastinya accordnya berantakan," ucapku balik meledek.

Setelah beberapa lama

"Sa, montirnya udah dateng," ucap kak Andre menatap ke arah mobil. Kamipun melanjutkan perjalanan bersama anak-anak menuju taman yang tidak terbilang jauh.

Sampai di taman, Kami menikmati es krim sambil ngobrol. bercanda bareng dan ketawa-ketawa bareng.

"Kak andre kemana?" tanyaku pada anak-anak keheranan.

"Itu dia." Salah satu anak menunjuk sosok lelaki yang berjalan ke arah kami. Dari kejauhan aku mengernyitkan alis melihat kak Andre membawa mawar.

Untuk siapa?

"Ciyee, buat kak Sasa ya?" ledek anak-anak. Tanpa aku sadari, candaan mereka membuatku tersenyum tipis. Kak Andre menyodorkan mawar itu ke arahku. Bikin deg-degan.

"Ayyyyssss, kak Andre!" ucapku terkejut.

Dia ngerjain aku, basah sudah mukaku kena semprot air dari mawar itu.

Mereka malah menertawaiku seperti tak punya dosa saja. Aku meraih mawar itu dari tangannya dan membalas tawa jahat mereka padaku. Tapi aku bersyukur, tak sesuai dengan ekspektasiku. Aku pikir dia masih sedih dan butuh teman curhat. Syukurlah, jika dia sudah melupakan tentang penghianatan yang di lakukan pacarnya padanya dan dia bisa ketawa lagi.

Kami pun pulang karena hari sudah sore. Kak Andre mengantar anak-anak ke rumah mereka. Dan begitu terkejut kami, gubuk yang kumuh tak layak di tinggali, tapi mereka terpaska tinggal di tempat itu hanya berdua saja.

"Insyaallah, kakak akan sering main kesini, boleh yah," ucap kak Andre mengelus rambut kedua anak itu.

"Yeeeee." Mereka melonjak kegirangan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!